Kamis, 31 Maret 2011
Tangkaplah Daku Kau Kujitak
1 . Tangkaplah Daku, Kau Kujitak!
KENAL Lupus? Anak kelas satu SMA Merah Putih yang doyan mengenakan baiu lengan paniang itu? Dia Iumayan ngetop, Iho! Serius. Kalau kebetulan kamu mampir ke rumahnya dan menyebut namanya, pasti orang seisi rumah pada tau semua.Itu kan membuktikan bahwa dia cukup ngetop. Setidaknya, ya... di antara orang seisi rumahnya. Model anaknya seperti kebanyakan remaja sekarang, kurus dan rada tinggi. Tampangnya lumayanlah, daripada kejepit pintu. Yang menarik sih model rambur dengan rambut depan yang panjang hampir menunutupi matanya. Sementara bagian samping dipotong rapi ke arah belakang. Sedang bagian belakang, panjang hampir menutupi kerah. “Biar kayak john Taylor,” sahutnya ge-er.
“Eh, kamu dari belakang malah kayak Mick jagger deh,” begitu teman-temannya sering memujinya, “tapi kalo dari samping, kok kayak mikrolet... ?”
Dan Lupus tak pernah merasa tersinggung diledek begitu.
Bila kamu kebetulan sempat memperhatikan dengan lebih saksama lagi, kamu akan melihat dia selalu membawa permen karet ke mana dia pergi. jangan sekali-kali minta, karena dia terlalu pelit untuk memberikan makanan-makanan yang sa· ngat dia sukai. Kecuali kalau kamu tukar dengan coklat yang harganya tentu lebih mahal. Dan Lupus hanya akan memakan permen karetya saat dia merasa grogi, bingung, atau tidak mempunyai makanan lain yang bisa dia minta dari temannya secara gratis. Curang, ya? Dia memang begitu. Dan satu hal yang jelek, dia tak pernah bisa menghilangkan kebiasaan buruknya untuk me- nempelkan bekas permen karet pada bangku sebelahnya yang kosong di bis kota. Entah berapa korban yang telah dirugikannya. Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, dia mempunyai sifat yang sangat pendiam. Terutama kalau lagi tidur. Tapi nggak tentu juga. Dia bisa menjadi orang yang begitu cerewet jika berkumpul dengan orang- orang yang disukainya.
Dan seperti kebanyakan remaja lainnya, dia pun amat menyukai musik. Semua musik, kecuali musik ilustrasi film horor. Dia tak bisa melepas kebiasaannya untuk bernyanyi kalau lagi jalan- jalan. Kalau sudah begitu, teman sebelahnya akan terkejut dan menatap cemas padanva, “Kamu lagi batuk, ya?”
Dia juga suka menulis artikel dan kadang iuga cerpen di maialah remaja. Keahlian ini mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dari dirinya. Karena dengan begitu, dia tak pernah minta uang dari ibunya kecuali kalau terpaksa (malangnya, dia justru sering berada dalam keadaan terpaksa harus minta uang pada ibunya). Tapi ibunva yang baik hati itu tak pernah kesal. Sebab kalau lagi punya uang banyak, Lupus sering memberikan sebagian kepada ibunya.
•••
Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu Lupus bengong nungguin bis di terminal Grogol. Sejak terminal bis Grogol dipindahkan ke Kalideres (eh, tau Kalideres, kan? ltu lho, dekat Kalifonia...), Lupus memang merasa dirugikan. Bis-bis yang lewat situ sudah sarat dengan penumpang. Dan kalau begitu, bis-bis itu pada jual mahal semua. Mereka terlalu gengsi untuk sekadar mampir di Terminal Grogol guna menjemput Lupus. Walha- sil, Lupus terpaksa sering kedapetan sedang mengejar-ngejar bis yang berhenti agak jauh di depen. Ditambah lagi bis yang jurusannya lewat sekolah Lupus termasuk langka. Kadang sebulan sekali baru lewat. Itu juga kalau sopirnya merasa iseng karena tak ada hal lain yang perlu dikerjakan (hehehe...)
Dan saat itu, Lupus masih asyik berbengong-ria. Saking lamanya, muka udah kaya terminal face. Mana bawaannya lumayan banyak seperti orang yang mau pulang kampung. lni gara-gara guru biologi yang menyuruh bawa contoh—contoh tanaman, baju praktek, dan barang-barang Iain umuk praktekum biologi siang nanti.
Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran Iain, Lupus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan Iari pagi dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajak- nya ngobrol. Siapa tau jodoh ....
Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komu- nikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus.
“Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong- dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar- benar sempurna menunjukkan rasa penyesalan- nya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.
“Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus!” sahut cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwara- nya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.
“Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh penyesalan. Kali ini serius.
Gadis itu tersenyum.
Oh. God, ini kesempatan baik.
“Nama kamu siapa?” tanya Lupus Iagi setelah beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada ‘Iain’ itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya begitu?
“Saya Yanti. Kamu siapa?” sahutya balik bertanva.
“Saya Lupus,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. Dan bisa ditebak. Untuk seterusnya mereka ngomong soal sekolah, cuaca, film, musik, dan makanan favorit.
Di luar jalanan macet. Pagi-pagi begini memang banyak orang yang bertugas. Tapi Lupus sama sekali tidak mengutuki keadaan itu. MaIah bersyukur. Dan di Senayan, seseorang turun. Meninggalkan bangku kosong yang Iangsung diduduki Yanti. Lupus pun segera menitipkan bawaannya yang banyak kepada Yanti. Contoh- contoh tanaman serta diktat yang besar-besar.
Tapi sial! Di sebelah Yanti ternyata duduk seorang cowok yang langsung mengaiak ngomong Yanti. jauh lebih agresif dari Lupus. Ngomongnya disertai humor-humor yang sama sekali tidak Lucu menurut Lupus, tapi bisa membuat Yanti tertawa-tawa kecil. Lupus mengutuki Yanti yang begitu mudah akrab dengan cowok itu, sampai menelantarkan dirinya. Dasar cewek! Makinya dalam hati.
Dan dia terus menggerutu sampai kelupaan turun. Akhirnya dcngan tergesa-gesa. Lupus pun menerobos desakan penumpang untuk segera melompat ke pintu bis. “Kiri! Kiri, Bang!” teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Sang kondektur memandang sewot ke arahnya. “Sial, lu! Bukan dari tadi bilangnya!”
Lupus melompat turun sambil meledek kondek· tur yang marah-marah. Lalu jalan menelusuri trotoar. Tapi, astaga! Barang-barang bawaan serta diktatnya ketinggalan di bis! Lupus Iangsung balik hendak mengejar bis itu, tapi yang tertinggal cuma kepulan debu dan derunya. Lupus habis memaki- maki. Dasar cewek pembawa petaka! Percuma tadi bagun pagi-pagi nyari contoh tanaman buat praktek kaIo akhirnya begini! Mau pulang Iagi, jelas nggak keburu.
Wah, rasanya mau teriak keras-keras. Menum- pahkan kekesalan yang mbludag di hatinya. Tapi situasi tak mengizinkan. Banyak anak-anak sekolah yang Iagi jalan. Jangan-jangan malah dikira gila. JaIan paling aman iaIah memakan permen karet dan menggigitnya keras-keras. Dia nyesel, kenapa tadi rambutnya si Yanti nggak ditempelin permen karet saja, biar tahu rasa!
“Hei... Lupus!!!!” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil. Lupus segera menoleh. Eh, itu Yami sambil mengacung-acungkan tanam- an serta diktatnya.
“Kamu Iupa bawa ini, ya?” teriaknya Iagi. Wajah Lupus berubah cerah. Lho. Yanti kan harusnya turun di Mayestik, kok dia bela-belain ngebalikin barang-barang itu sih? pikirnya.
“Wah, makasih banget, Yan! Bawa sini dong!” sahut Lupus girang sambii menghampiri Yanti, tetapi Yanti malah menjauh sambil tertawa-tawa. ”Ayo, tangkap dulu, dong. Hahahaha .... “
Dan Lupus pun mengejarnya dengan mudah. Hm, romantisme ndeso! Mereka pun tertawa- tawa.
“Kamu sombong ya, turun nggak bilang- bilang!” sahut Yami terengah-engah. Lupus cuma mencibir. “Kamu sih keasyikan ngobrol sama cowok itu. Jadi ngelupain saya!” balas Lupus.
“ldih, cemburu, ya?”
“Nggak!!” jawab Lupus dengan wajah memerah. Tapi akhirnya Lupus pun dengan setia menemani Yanti menunggu bis yang akan lewat berikutnya. Nggak peduli bel sekolah yang berdentang di kejauhan. Dan dia malah bersyukur ketika bis yang ditunggu tak kunjung tiba.
2. Kencan Pertama
“Kalian liat Lupus?” tanya Poppi pada Ita dan Yuni yang lagi asyik nggosip di ujung sekolah. kelas-kelas sudah rada sepi, pelajaran baru saja berakhir beberapa menit yang Ialu. Tapi beberapa anak masih terlihat nongkrong di sekolah. Miasih doyan ngumpul. Heran—padahal besok pasri ketemu lagi.
“Nggak—“ jawab Ita singkat.
“Ke mana sih anak itu? Tadi masuk, kan?”
Poppi jelalatan memandang pada sekelompok anak yang barjalan pulang beriringan.
“Tadi kan waktu keluar main kedua dia dipanggil Pak Kusni, mungkin masih di sana. Ngapain sih nyari dia?”
Poppi cuma tersenyum sambil mengedipkan matanya. Lalu berlari ke ruang kesenian. Betul juga, anak itu Iagi asyik ngobrol sama Pak Kusni. Pasti soal musik arau urusan kesenian Iainnya.
“Selamat siang, Pak. Maap, mengganggu sebentar. Lagi asyik, ya ?Saya mau pinjam Lupus sebentar bo|eh?” sapa Poppi ramah. Pak Kusni mengangguk, Lupus pun ditarik ke luar.
“Ada apa, Pop?”
“Saya cuma mau ngasih selamat. Saya sudah baca cerita kamu yang menang sayembara itu. Hayo, kamu nggak bisa mengelak Iagi, katanya mau traktir!”
Lupus nyengir sambil mengacak-acak rambutnya.
“Eh, kamu tau juga, ya? Boleh deh kalau kamu mau, asal jangan yang mahal-mahal.”
“Sekarang?”
‘”Terserah. Saya selalu punya kok waktu untuk cewek cakep macam kamu,” goda Lupus.
“Nggak usah ngerayu. Tapi jangan siang ini, ya?”
“Apanya? Ngerayunya?”
“Bukan. Itu, traktirnya. Siang ini saya udah dijemput. Mau Iangsung kursus Inggris. Gimana kaIau... eh, gini aja. Gimana kalau kita nonton aja? Mau?”
“Di tempat gelap-gelapan? Mau dong. Nonton apaan?”
“Apa aja. Di bioskop murahan dekat pasar situ. Kira nonton yang sore aja. jam limaan, soalnya besok kan sekolah. Tapi pulangnya beli bakso, ya?”
“Boleh. Terus berangkatnya gimana? Saya jemput kamu atau kamu jemput sa...”
”Gombal, kamu jemput saya dong. Gitu aja deh, saya udah ditunggu sopir nih. Sampai nanti, ya?”
Poppi berlari ke pintu gerbang. Lupus tersenyum waktu dia membalik dan melambaikan tangannya.
***
Jam lima kurang seperempat. Lupus belum juga kelihatan batang hidungnya. Keterlaluan. Apa dia tak tau kalau saya udah rapi begini sejak setengah jam yang Ialu? pikir Poppi kesal. Memang benar, pulang dari les lnggris tadi, dia tak biasanya langsung mandi. lengkap dengan gosok gigi dan cuci rambut. Lalu setengah jam duduk di depan kaca. Sibuk dengan segala macam atributnya. Madonna juga kalah menor. Setelah selesai, dia berputar-putar di depan kaca. Ke kiri ke kanan. Persis anak TK Iagi karnaval.
Tapi sekarang, hampir setengah jam dia duduk di teras. Membolak-balik majalah dengan kesal. Poppi tau, Lupus doyan ngaret. Dalam artian suka datang terlarnbat dan suka makan permen karet. Tetapi Poppi sama sekali nggak bisa menerima kalau pada saat bersejarah seperti ini, dia masih mati-matian mempertahankan kebiasaan ngaret- nya. Boleh dibilang ini kencan pertama mereka, kalau memang jodoh. Soalnya Poppi sendiri sebetuInya sudah mulai tertarik ketika baru masuk SMA, enam bulan yang Ialu.
Dia masih ingat, saat itu dia langsung ditunjuk jadi ketua kelas. Dan dia pun mulai memerintah- kan teman-teman lain untuk membawa segala macam keperluan kelas. Dari sapu. kalender, hiasan dinding, ember, lap, keset, pokoknya macem-macem deh. Soalnya saat itu juga masih dalam masa ‘perkenalan sekolah’. Lupus yang datang terlambat iuga kebagian dapat tugas membawa bulu ayam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, anak-anak sudah ngumpul di sekolah. Hari kedua itu akan diadakan Iomba kebersihan kelas. Maka mulailah Poppi dengan lagak bak panglima perang meme- riksa bawaan anak buahnya. Ketika sampai pada bangku Lupus, dia sedikit heran karena anak itu kayanya cuma bawa buku satu. Nggak bawa tas atau bawaan lainnya.
“Hei, mana bulu ayamnya?” “Hm? Oya..., tunggu sebentar. Mudah-mudahan nggak jatuh di jalan!” sahut Lupus sambil membolak-balik Iembaran bukunya yang kucel. Lalu dia pun mengambil sehelai buIu ayam yang terselip di situ. “Ini dia. Untung nggak jatuh. Satu cukup, kan? Untuk apa sih? Kilik kuping, ya?” Ianjutnya kalem. Poppi hanya melotot padanva, diiringi tawa teman-teman vang Iain. Tapi Lupus memang tak salah. Dia benar-benar nggak tau kalau yang Poppi maksudkan itu bukan sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng.
Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu. Dan entah kenapa, dia jadi suka membayangkan Lupus. Anak itu polos, jarang lho bisa ketemu cowok polos begitu di Jakarta ini.
“Hei, Perawan!” teriakan keras dari jalanan mengagetkan Poppi dari lamunannya. Tanpa dia sadari, sekelompok anak muda tengah ramai menertawakannya dari beIik pagar. Poppi lang- sung melirik ke jam tangannya. Sudah Iewat magrib. Dia pun dengan cepat masuk ke dalam. langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate Lupus seratus kali di buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia merasa matanya mulai basah ....
***
Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti Iagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?
Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk mima salinan pe-er.
Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.
Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.
“Kamu mau apa?” sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus. Lupus kaget dan menoleh.
“Saya...”
“Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?”
“BeIum. Saya justru Iagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong...” sahut. Lupus sedih.
Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.
“Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... ”
“Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?” bantah Poppi ketus. “Alasan apa Iagi yang mau kamu katakan sekarang?”
“Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman-teman Iain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... ”
“Ini Iebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab!” teriak Poppi. “Kamu egois! Pengecut!”
Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stop-watch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.
“Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak usah berdalih macam-macam!” suara Poppi melemah. Lupus kelihatan ragu. ”Saya...”
”Ya, kenapa?” desak Poppi tak sabar.
“Saya nggak tau rumah kamu .... “ suara Lupus pelan sekali.
“Apa?” Poppi terbelalak.
“Maafkan saya. Saya memang paling norak. Saya malu sekali dengan kebodohan saya ini. Sungguh mati, ini yang pertama buat saya untuk pergi dengan seorang gadis. Saya terlalu gembira dan tak tau apa yang harus saya Iakukan. Saya sama sekali nggak sadar kalau saya tak pernah punya alamatmu. Jadi, mana mungkin saya bisa menjem- putmu? Kau mau memaafkan saya? Lain kali, saya Janji...” suara Lupus makin pelan.
Beberapa saat, Poppi tak tau apa yang harus dilakukannya. Hanya matanya yang menatap lebih bersahabat.
***
“Lupus!” panggil Poppi pelan, ketika Lupus memasuki kelas keesokan harinya. Lupus Iangsung menoleh dan menghampiri Poppi.
“Ada apa?”
“Hus, jangan keras-kears! Anak nakal, nanti sore saya tunggu kamu lagi jam lima. Ini alamat saya, jangan sampai hilang, ya?”
Poppi menyerahkan secarik kertas, Ialu seperti tak terrjadi apa-apa dia berjalan meninggalkan Lupus.
“Eh, tunggu!” tahan Lupus.
“Ada apa Iagi?” Poppi celingukan takut kepergok temannya.
“Ini, saya juga mau ngasih alamat. jemputlah saya kalau kamu kelamaan menunggu .... “
Poppi melotot.
3. Prestise jazz
SUDAH tau, kan, kalau Lupus itu di samping anak kelas I SMA Merah Putih, juga jadi wartawan freelance majalah remaja Hai? Nah, itulah, makanva sekarang ini dia lagi suntuk banget ngedengerin suguhan musik jazz Open Air untuk remaja. Mana duduknya pas dekat loud-speaker berkekuatan tinggi. Suara-suara cempreng yang keluar dari situ Iangsung masuk telinga Lupus tanpa difilter Iebih dahulu.
Lupus berada di antara para remaja yang kebanyakan SMA tanpa bisa keluar dari situ. Dan pada saat begini, dia benar·benar keder dengan profesi wartawan yang disandangnya. Karena dari tempatnya duduk, dia tak bisa Ieluasa bergerak mengambil gambar-gambar yang baik untuk pelengkap berita yang akan dia tulis. Dan rasanya rada sungkan juga umuk meminta jalan pada remaja-remaja di depannya, untuk kemudian mengambil posisi memotret di dekat panggung.
Masalahnya, tadi dia sempat keki ketika baru datang, dan hendak naik ke panggung umuk memotret close-up sang penyanyi, seorang petugas menghardiknya keras, “Hei, Anak kecil! Ngapain naik-naik ke situ? Nakal, ya. Ayo turun!!”
Lupus keki banget dibilang anak kecil. Wah, tu orang nggak tau kalau saya wartawan! gerutu lupus. Dan dia menjadi keki kuadrat ketika seorang pemuda yang mengenakan tanda pengenal panitia menyuruhnya menjauh dari tempat artis- artis jazz. Dikira mau minta tanda tangan apa?
Makanya, sekarang ini dia lebih suka duduk dengan manis di rumpul seperti remaja Iainnya. Tanpa bisa menikmati suguhan musik yang digelar. Dia merasa bodoh sekali. Wartawan kok gitu? Dan dia bingung. apa yang harus dia tulis dalam artikelnva nanti. Lupus semula agak menolak juga ketika Mas Wendo—sang pemred majalah Hai—menyuruhnya meliput berita jazz Open Air ini. Masalahnya dia nggak ngerti dan kurang suka jazz. Tapi daripada menolak, ya coba-coba aja. deh!
Dan sekarang dia benar-benar suntuk. Bukan- nya nyesel nonton ginian, tapi nggak nyangka bakal ngerusak telinga begini. Tiba-tiba seorang cewek yang duduk di sebelah mengeluh. Saat itu musik Iagi break, jadi suasana kembali tenang. Banyak penonton lain yang duduk dekat loud- speaker seperti Lupus, bernapas lega sambil meyakinkan bahwa kupingnya belum budek.
“Aduh, saya pingin pipis. Gimana ya, cara keluar dari sini?” kata cewek itu. Lupus yang lagi asyik bengong nyeletuk, “Pipis di sini aia. Banyak rumput kok .... “
“Ogah ah. Takut nge-top!” cewek itu nyengir.
“Takut nge-top apa takut dilihat saya?” tantang Lupus.
“Apa iya kamu mau Iihat? Kalau bener saya bela-belain nih!” jawab cewek itu Iagi. Gantian Lupus yang nyengir.
Sementara cowok yang di sebelah Lupus ikutan ngomong juga,
”Eh, ngomong-ngomong dari tadi Iagu yang dimainin tuh ganti-ganti atau yang itu-itu terus?”
Lupus kaget juga ditanya begitu. Untung cowok itu nggak tau kalau Lupus itu wartawan musik.
“Nggak tau. Lho, kamu tadi sama temen-temen kamu pada goyang-goyang kepala. Dikirain tau Iagunya...?“ Lupus balik bertanya.
“Tau? Boro-boro, suka aja nggak!!”
”Ha? jadi ngapain dong kamu manggut-manggut kaya tadi begitu?”
“Ya... ikut-ikutan yang lain aja. Kita berani taruhan kalau mereka juga nggak ngerti musik apa yang dimainin barusan. Mereka cuma biar kelihatan aksi aja. Lucunya, ada yang sok bawa pacarnya ke sini. Bela-belain bayar uang masuk cuma supaya pacamya mengira dia punya selera musik yang tinggi. Tapi itu udah wajar kok. Maklum deh, namanya aja remaja .... “
“Iya, betul tuh. Saya juga nyadarin kok. Dateng ke sini cuma ikut-ikutan temen aja,” temen sebelahnya mendukung.
Lupus tambah mikir. Jadi, apa yang mereka cari dengan nonton beginian? Dikirain dia doang yang nggak ngerti musik yang disuguhin. Nggak taunya semua sama saja! Pantesan tepuk tangan penonton seperti diatur. Kalau ada seorang yang tepuk tangan, yang Iainnya pada ikutan. Lucunya ada yang menoleh dulu ke teman sebelahnya, baru ikutan tepuk tangan.
“Kalau yang disuguhin jazz ringan kaya lagu-Iagunya Whitney Houston atau Michael Frank sih boleh-boleh aja. Saya suka. Tapi ini sih, yang main musik asyik sendiri. Dengan improvisa- si-improvisasi. Sedang yang nonton malah komat- kamit berdoa supaya lagunva cepet habis. berharap supaya Iagu berikutnya Iebih enak didengar. Syukur-syukur kalau kenal lagunya. Jadi kayanya para pemusik itu bermain untuk dirinya sendiri .... “ cewek Iain ikut komentar.
Sementara musik kembali mengalun. Dan para penonton memulai lagi sandiwaranva. Manggut- manggut, dan menggoyangkan kakinya. Lupus jadi tertarik dengan pembicaraan remaja-remaja yang di sebelahnya tadi. Mereka seperti mewakili seluruh remaja yang berjubel membanjiri pagelar- an siang bolong itu. Lupus seperti menangkap sesuatu. Sesuatu yang bisa menjadi bahan tulisannya. Sesuatu yang mungkin tak terpikirkan Oleh wartawan lain. Mungkin hasilnya tak begitu Bagus, tetapi lupus akan mencoba.
Beberapa minggu kemudian, majalah-majaiah Ramai memberitakan pagelaran musik tersebut. Majalah hai juga memuat. Lupus yang menulis. Tapinya dia kini malah lagi asyik becanda dengan Mas Aries yang asyik melukis. Suasana di kantor redaksi Hai ini memang santai dan menyenangkan. Itulah sebabnya, kenapa Lupus betah di situ. Hampir saban pulang sekolah, kala teman- temannya pada main ding-dong di dekat pasar swalayan, Lupus Iari ke kantor Hai. Orang-orang yang kumpul di sini memang merupakan gabungan dari beberapa karakter yang unik. Ada yang doyan ngecap, ada yang doyan tidur di kolong meja, ada yang pendiam, ada yang hobinya godain cewek Iewat, ada yang doyan nyanyi, ketawa, ngeledek, tau yang kerjanya nggambar meIuIu. Seperti Aries ini. Ngakunya dari rumah mau kerja. Sudah dapet restu dari ibu-bapaknya. Ee, nggak taunya sampai di kantor kerjanva ngggambaaaar melulu. Ada iuga Jipi—perjaka yang hobinva nempelin-nempelin dan gunting-guntingin kertas. Bakat ini memang kentara ketika dia duduk di TK. Nilai pelajaran seni melipat kertas-nya dapet angka delapan. Tapi yang kurang menguntungkan adalah kulitnya yang rada kelarn dibanding rekan-rekannya. Sampai pernah ada teka-teki yang paling nge-top di kantor ini dan hampir semua orang di situ bisa menjawabnya: ’Kenapa kaus kaki jipi berwarna coklat? jawabnya singkat: ‘Karena kelunturan kulit kakinya .... “
Tapi Jipi bukannya sakit hati, malah bangga.
“Hei, kok pada ketawa-ketawa? Ajak—ajak dong .... “ Mas Wendo ttba-tiba muncuI. Dia baru datang dari seminar. Nggak jelas seminar apa. Kayanya sih seminar tuyul.
“Lho, ini Iagi ngetawain kamu kok. Mas,” jawab Mas Aries cuwek.
Wendo, yang nggak siap bakalan langsung di-kick begitu, langsung ngajak Lupus ngomong. Ngobrol sama Lupus memang aman. Dia jarang nge-kick orang, kecuali kalo terpaksa.
“Hei, Lupus. Tulisan kamu tentang jazz kemarin itu bagus Iho! Jauh berbeda dengan yang ditampilkan majalah-majalah Iain. Kamu tak bicara soal kaidah-kaidah musik jazz, kamu tak bicara soal teknik bermain mereka, soal struktur harmoni irama mereka, soaI apa yang mereka mainkan itu fusion, ragtime, blues, atau funky. Kamu mening- galkan itu semua. Tapi yang kamu ketengahkan benar-benar dari kaca mata remaja. Dan itu bagus. Itu yang membuat tulisanmu Iebih mudah dipahami. Tidak berkesan menggurui. Dan remaja seusia kamu memang Iebih suka baca artikel yang kamu tulis itu, tanpa bingung—bingung memikir- kan istilah-istilah aneh vang diketengahkan oleh kebanyakan media. Kamu bisa merasakan emosi yang begitu karena kamu terjun Iangsung sebagai remaja. Remaja yang mengamati musik jazz. Teruskan, Lupus .... “
Lupus kaget juga. Nggak nyangka bakal dipuji begitu banyak. Karena dia tau, Mas Wendo jarang memuji orang. jadi kalau dia memuji berarti dia memang benar-benar menyukainya.
Kamu mungkin heran, ya, apa yang ditulis Lupus dalam artikelnya. Singkat saja. Dia cuma merangkum pendapatnya dan pendapat remaja- remaia yang ikutan nonton waktu itu. Dia tidak mengritik musik yang ditampilkan, tapi justru mencela panitia yang terlalu memaksakan remaja- remaja untuk menyukai musik yang bukan gejolak jiwa mereka. Dan anehnya, kok para remaia yang dicekoki ya mau saja. Itu yang ditulis Lupus. Tapi terus terang, dia sendiri pada awalnya tak yakin bahwa tulisannya itu bagus. Bakal dapat pujian. Bayangkan saja, jika seorang yang sama sekali tak tau musik jazz disuruh menulis tentang jazz. Apa yang bisa ditulis?
Tapi Lupus cukup pintar untuk memetik sesuatu yang berharga dari pengalamannya. Bahwa sesuatu yang kelihatan remeh, yang kadang tak terlihat di mata orang, bisa menjadi sangat menarik. Tinggal kepekaan kita untuk menangkap ’sesuatu’ itu. Dan ini yang menjadi modal Lupus untuk tetap menulis. Tulisannya memang tak akan mempeng- aruhi apa-apa. tetapi bisa merupakan sumbangan kepada remaja pembacanya untuk membuka cakrawala pemikiran mereka lebih luas lagi.
Telepon berdering. Lupus dipanggil. Ada orang yang ingin bicara dengannya. Lupus pun menerima.
“Halo, kami dari panitia jazz Open Air kemarin. Terima kasih untuk artikel yang Anda buat. Itu lebih berharga bagi kami, daripada apa yang kebanyakan orang ketengahkan di majalah lain, untuk koreksi diri. Anda benar, kita tak bisa memaksakan selera remaja. Lain kali kita akan adakan acara serupa, tetapi lebih disesuaikan dengan selera remaja. Anda bisa kasih pandangan? Oya, bulan depan ada acara jazz lagi di TIM. Anda mau datang? Kalau mnu, akan kami kirim undangannya .... ”
Lupus terdiam. Nonton jazz lagi? Oh. God, kali ini—apalagi yang bisa saya tulis?
4.Playboy Duren Tiga
TENGAH hari bolong. Anak-anak kelas I A2 sedang dilanda kantuk yang luar biasa. Siang-siang begini memang lebih enak tidur, ketimbang dengerin guru Bahasa Indonesia yang asyik dengan gaya bahasanya. Yang dengan genitnya mencontohkan, bagaimana seseorang bergaya bahasa itu.
Tetapi anak-anak tetap tak berminat.
Apalagi di deretan bangku belakang. Tak ada tanda-tanda kehidupm di sana. Cuma Boim yang tampak asyik main ramal-ramalan dengan Heru- moko. Heru, yang bawaannya ngamuk melulu, membiarkan si Boim meramal setiap sidik jari dari telapak tangannya. Dia sendiri sudah dari setengah jam yang lalu terbang dengan mimpi indahnya.
Lupus, yang duduk di sebelah Boim, mendekat. Penasaran kepingin diramal juga. Lupus segera menyodorkan tangan kanannya. Boim meneliti. Berlagak mikir. Lalu dengan meyakinkan, dia bersabda, “Kamu panjang umur. Dan garis-garis keberuntunganmu juga not so bad. Bolehlah. Tapi ini, lho, garis yang paling atas .... “
“Kenapa garisnya?” Lupus penasaran.
“Tidak seperti saya punya. Arah dan garisnya jelas. Sedang kamu tidak .... “
“Saya kenapa?”
“Ini garis jodoh. Kalau saya ketauan, jodohnya jelas. Lihat aja sendiri. Dan bukti nyata kamu sudah tau, kan? Nah, kalau kamu... ah!”
“Kenapa jodoh saya?”
“Berantakan .... “
“Sialan!” Lupus menarik tangannya. Boim memang suka sok tau. Anak itu nama sebenarnya Imbauan. Baginya tak ada yang lebih berharga di dunia ini selain cewek dan cewek melulu. Dan ceritanya sudah setinggi langit kalau dia bisa jalan bareng dengan primadona-primadona SMA Merah Putih ini. Ge-er-an memang. Entah karena dia memproklamirkan dirinya sendiri atau ada bebe- rapa temannya yang iseng, dia sering dijuluki playboy. Ganti-ganti pasangan terus. Tapi si Boim ini cuma playboy cap duren tiga. Mau nampang modalnya cuma geretan merek duren tiga. Rokok aja nebeng melulu. Kaus kakinya juga nggak pemah ganti. Habis pake langsung dijemur. Pernah sekali waktu sembahyang jumat di sekolah, dia membuka sepatu. Baunya, bujubune .... Membuyarkan konsentrasi sembahyang.
Dan seminggu sekali, setiap malam minggu, dia patah hati. Herannya dia nggak pernah kapok. Pernah sekali dia naksir si Elsa. Cewek jet-set yang cakepnya nggak ketulungan. Kontan saja cintanya ditolak. Berhari-hari dia langsung nggak nafsu makan. Semua unek-uneknya ditumpahkan kepada Lupus.
Dan nasihat Lupus cukup sederhana, “Sudah- lah, Im, nggak usah frustasi. Ditolak kan belum tentu diterima .... “
***
Akhirnya bel tanda sekolah usai berdentang. Anak-anak seperti tersengat. Semangat hidup yang hampir sirna tadi, kini kembali. Guru bahasa yang tadinya mau meneruskan beberapa bab yang tersisa (masih beberapa bab kok dibilang sisa?), tak bisa berbuat apa-apa ketika anak-anak serempak berteriak, “S’lamat siiiang. Bu Guruuuu...!!”
Itulah anak SMA. Masuk sekolah pagi-pagi cuma mau nungguin bel pulang di siang hari. Makanya Boim yang belagu itu pernah berfilsafat (dalam hal ini, dia jelas ingin menonjolkan kemampuannya berbahasa lnggris), ”You know, my friends, school is just a plaee to rest between week-ends!” Dan dia dengan bangganya tidak mengeratui bahwa semua temannya pernah membaca kata-kata itu di toko baju.
“Hei, Kucing! Kok bengong aja? Mau ikut pulang?” tiba-tiba suara cempreng menyapa Lupus yang lagi bengong di pintu gerbang. Lupus melotot dipanggil ’kucing’ begitu. Siapa lagi kalau bukan si Boim. Dia memang Iebih senang memanggil kucing daripada ‘Pus... Pus...’ begitu. Kan sama aja, katanya.
“Hayo, nungguin Poppi, ya? Saya dengar kamu ada main sama dia. Hu... kuno! Poppi sih udah bekas saya. Udah abis deh saya kerjain,” sambung Boim lagi. Lupus hanya mendengus, lalu berjalan menelusuri trotoar.
“Ayolah, pulang saja. Kamu ke Grogol, kan? Ikut saya aja. Saya juga mau ke sono. Biasa, ada mangsa baru. Yuk?” Boim menarik Lupus untuk ikutan di motomya yang butut.
Tiba-tiba Poppi berlari mendekat. Lupus melepaskan cengkeraman tangan Boim. “Halo, Lupus. Sori, ya, kita nggak bisa pulang bareng. Saya dijemput sih. Mau langsung les .... “
Lupus mengangguk, lalu menoleh pada Boim.
“Saya ikut kamu!” Boim ngakak.
Di perjalanan, Boim banyak cerita tentang pengalamannya. Lupus cuma jadi pendengar setia saja. Tanpa komentar apa-apa. Apanya yang mau dikomentarin kalau yang diceritakan cuma ’gom- balan’ melulu? Sampai suatu ketika dia cerita soal Irma. Anak baru pindahan dari Semarang yang kece, tapi nggak memble.
”Saya heran, kok belakangan ini mimpi-mimpi saya selalu dihadiri oleh sosok tubuh mungilnya. Kenapa itu, ya?” ujar Boim belum puas nggombal.
“Irma yang mana sih? Saya kok nggak kenal?” tanya Lupus polos.
“Kamu dasar kuper. Irma itu, Iho, yang anak baru. Masa nggak tau? Dia kan pernah bikin cowok-cowok pada ngerebutin. Yang cakep kaya Yanti lssudibjo .... “ ujar Boim rada berapi-api.
“Yanti lssudibjo? Yang mana lagi, tuh? Anak baru juga?” Lupus makin bingung.
“Biang panu! Yanti itu foto model dan penyanyi yang kondang. Nah, si Irma mukanya setipe dengan dia. Kamu tau Irma nggak sih?” Boim jadi ngotot.
“Oooo, yang menang kontes kebaya kemarin itu?”
“Betul!! Akhirnya terbuka juga matamu.” “
Lho, dia kan memang pernah nanyain kamu. Kapan, ya? Oya, kemarin!”
“Hah? Bener nih?” Boim mendadak girang. “Tuuh, kan, apa saya bilang. Belakangan dia memang sering saya pergokin lagi mencuri pandang ke arah saya. Dia emang naksir saya. Saya merasakan hal itu kok. Oya, Lupus, dia tanya apa aja tentang saya? Tell me, my friend, is there something I should know?”
Lihat saja, kalau ada maunya dia baru manggil Lupus, bukan kucing.
“Katanya... bener nggak kamu yang waktu itu bawa motor bebek item ke sekolah .... “
“Hm, kapan, ya? Soalnya-terus terang-saya suka ganti-ganti kalo bawa motor. Tapi..., hm ya! Saya inget. Sabtu kemarin saya memang bawa motor bebek item ke sekolah. Kok dia tau, ya?”
“ltulah, dia sangat memperhatikanmu. ..,” sahut Lupus geli.
“Iya, ya. Betul juga. Terus nanya apa lagi?”
“Dia tanya, kamu di rumahnya buka bengkel gitu?”
“Lho, kok dia tau? Memang sih—kakak saya memang buka bengkel di samping rumah. Tapi bengkel elite lho! Kok dia tau sih? Kalo gitu dia sangat memperhatikan saya, ya? Aduh, Lupus, saya jadi utang budi nih sama kamu .... “
“Ah, biasa. Sama teman. Kalau gitu bener dong ya tebakan Irma...!”
“Lho. Irma nebak apa? Kamu bilang saya playboy, ya? Wah, jangan gitu dong, Lup. Meskipun saya, yeah—sering ganti-ganti pasang- an, saya kan bisa setia juga. Atau dia nebak motor saya suka ganti-ganti? Atau soal nama bekenku di sekolah? Ah, itu belum seberapa Iho, Pus. Kalau kamu ingin tau lebih dalam kamu bisa ke rumah saya. Saya akan senang menyambut tamu agung seperti kamu. Oya, Irma nebak apaan sih?” cerocos Boim kaya petasan.
“Enggak apa-apa. Soalnya honda bebek item yang kamu bawa tempo hari itu punya dia, yang emang lagi dibetulin di bengkel. Mungkin di bengkel kakak kamu, ya?”
Saat itu juga, Lupus diturunkan secara tak hormat di pinggir jalan.
5.Razia Rambut
Lupus berjalan memasuki pintu gerbang sekolah. Menenteng ransel sambil iseng menghitung jumlah cewek yang sudah asyik majang di hari yang sepagi dan seindah ini. Ada yang asyik ketawa-ketawa, ada yang sibuk meneliti daftar absen. Cari-cari, siapa yang enak buat digosipin. Salah satu di antaranya adalah Ruri. Anak ini memang biang gosip. Hobinya ngegosipin anak-anak sesekolah. kalo kamu ingin ngetop—dalam arti jadi gunjing- an anak-anak satu sekolah—gampang aja. Tinggal suruh temen kamu ngarang cerita bohong kepada Ruri. Tanggung satu hari bakal menyebar. Dan jangan heran kalau kerangka cerita yang kamu berikan itu akan berkembang jadi satu cerita panjang yang penuh bumbu.
Ruri memang berbakat jadi wartawan gosip. Tapi ketika Lupus iseng bertanya tentang cita-citanya pada suatu hari, jawabannya cukup mengejutkan. Dia ingin kerja di BAKIN. Mau jadi agen rahasia negara kita. Ya, Tuhan, nanti bukannya mengorek keterangan dari musuh, malah keceplosan ngebocorin rahasia negara. Dari sekarang dibilangin aja, buat kamu yang demen gosip. jangan jadi agen rahasia, deh. Bukan apa-apa, kurang begitu cocok aja dengan profesi dan hobi yang telah kamu tanam sejak keeil.
Sementara, udara pagi ini masih segar. Sesegar wajah Suli, cewek manis berambut panjang yang berlari-lari ke arah Lupus.
“Hei, Anak kecil. mau ke mana? Kok buru- buru?” goda Lupus. Anak itu cuma mencibir.
“Eh, Lupus. Telepon umum di depan sana jalan nggak?” tanyanya di sela napas yang terengah- engah.
“Enggak tuh!” jawab Lupus jujur.
”Yaaaa...” wajah Suli jadi berubah kebingung- an. Dia berbalik hendak kembali ke kelasnya. Tapi Lupus segera menahannya.
“Eh, Suli, kalau mau telepon, pake aja. Kok nggak jadi?”
“Lho, katanya nggak jalan?”
“lya memang. Telepon kan nggak bisa jalan. Kalau misalnya bisa jalan-jalan, ya repot dong. Kamu malah nggak bisa pakai. Nanti main kejar-kejaran.”
“Sial!” Suli kembali berlari ke arah telepon yang di depan sana. Meninggalkan Lupus yang masih asyik mengulum permen karetnya.
Dan begitu Lupus memasuki kelasnya, Budi sang ketua kelas sudah menyambutnya, “Hei, Lupus! Hebat kamu. Saya udah baca majalah kamu yang terbaru yang memuat tentang kegiatan di sekolah kita. Begitu, dong. kita harus bangga- banggain sekolah kita juga!”
Lupus cuma nyengir dan mengambil tempat duduk paling belakang. Teman-temannya memang sudah pada tau kalau Lupus itu sering menulis di majalah Hai. Dan baru-baru ini dia memang dipaksa teman-teman dan gurunya untuk menulis tentang kegiatan amal di sekolahnya. Lupus sama sekali tak bisa menemukan sesuatu yang menarik yang bisa ditulis dari kegiatan itu, tapi karena paksaan dan rasa tak enak dari teman dan gurunya, lupus pun menuliskan. Untung hasilnya tak begitu mengecewakan.
***
Jam istirahat pertama hampir tiba, ketika terdengar ada suara ribut-ribut di luar. Lupus melongokkan kepalanya lewat jendela. Memanggil salah seorang anak yang lewat di dekat jendela kelasnya.
“Sst! Ada apa sih?” naluri kewartawanannya selalu timbul kalau mendengar ada ribut-ribut.
“Gawat tuh, ada razia rambut gondrong!” jawab anak itu terburu-buru.
“Razia rambut?” Lupus terkejut. Memang tak ada hal lain yang paling bikin dia sebel, selain razia rambut. Di mana guru-guru datang menggebrak kelas yang tadinya tentram dan damai dengan membawa gunting. Persis tekab yang menggebrak sarang perjudian. Kemudian dengan seenaknya, beliau-beliau itu mengguntingi rambut-rambut yang panjang melewati kerah dan menutupi telinga. Padahal anak-anak sudah mengubah taktik dengan hanya memanjangkan rambut bagian depannya saja. Seperti yang sekarang lagi mode itu. Tapi tetap saja kena razia.
Lupus yang rambutnya panjang baik di depan maupun di belakang, jelas jadi sibuk sendiri. Dia buru-buru mengemasi buku-bukunya.
”Mau ke mana kamu, Lupus?” tanya Heru yang duduk di sebelahnya.
“Kabur!” jawab Lupus seenaknya, sambil matanya tetap mengawasi guru gambar yang membelakangi murid-murid.
”Kabur? Maksud kamu lewat jendela?” tanya Heru curiga.
“Iya. Apa kamu pikir saya mau minta izin dulu sama guru itu, lalu baru kabur? Begitu? Don’t be a fool, friend. Lebih baik kamu awasi guru itu, ya? Soalnya bahaya nih, ada razia rambut...,” sahut Lupus nekat melempar tasnya ke luar. Tetapi begitu dia menclok di jendela, sang guru tiba-tiba membalikkan tubuh. Matanya langsung tertuju pada figur Lupus yang bak maling lagi beroperasi. Kalau lagi terdesak, anak ini memang suka nekat.
Tak pelak lagi, Lupus langsung diseret ke depan kelas untuk diinterogasi.
“Anu, Pak, saya sakit perut yang tak tertahan- kan. Daripada kecolongan di kelas...” sahut Lupus membela diri. Tapi tampang marah guru gambar itu tak bisa terhapus dengan alasan yang sesederhana dan tanpa pemikiran yang matang itu.
“Saya tak mau dengar alasan macam-macam. Ini jelas penghinaan berat yang Anda tujukan kepada saya. Sekarang juga, ikut saya ke kantor Kepala Sekolah!” hardiknya. Lupus tak bisa berbuat apa-apa. Dia memang mengaku salah. Tapi situasi ini justru menyelamatkannya. Pada saat yang bersamaan, dua orang guru menyerbu ke dalam kelas sambil membawa gunting.
“Semua pria yang berambut panjang, harap diam di tempat. Akan diadakan pengguntingan rambut gratis. Tinggal sebut mau model apa. Lumayan, kan daripada pergi ke salon?” sahut beliau-beliau itu mencoba melucu. Tapi bahkan Robert pun, yang doyan tertawa, tak tertawa.
Dan saat itu Lupus sudah diboyong ke kantor Kep—Sek.
***
Lupus memasuki ruangan yang hening itu. Sementara sang Kep-Sek, figur yang selalu ditakuti dan disegani murid—murid, duduk tenang sambil menekuni buku yang ada di depannya. Guru gambar yang tadi mengantar dan menyampaikan prolog serta maksud dan tujuan membawa Lupus ke kantor itu, telah ke luar ruangan. Hu. Pengaduan! maki Lupus dalam hati.
“Kamu tau kenapa kamu dibawa kemari?” sahut Pak Kep-Sek tenang.
“Anu. Pak. Saya mau minta maaf atas kesalahan saya. Sungguh mati, Pak, saya sangat menyesali tindakan saya yang di luar kontrol itu. Bapak kan tahu bahwa kadang-kadang manusia memang suka bertindak di luar kontrol. Tapi di samping itu, saya juga mau memberi tahu bahwa laporan kegiatan amal di sekolah kita tercinta ini sudah dimuat di majalah Hai, Pak,” sahut Lupus pelan.
“Oh, jadi kamu toh yang menulisnya?”
Lupus mengangguk cepat. Wajah Kep-Sek berubah menjadi agak ramah.
“Ya... ya, saya sudah baca tadi pagi. Anak saya kan langganan majaIah... apa tadi namanya? Hai, ya, majalah Hai. Saya suka kepada murid yang bangga akan sekolahnya sendiri seperti kamu. Boleh diteruskan bakat seperti itu. Oya, siapa nama kamu tadi?”
“Lupus.”
“Ya. Lupus. Saya sudah sering membaca tulisanmu, tapi baru kali ini ketemu orangnya. Kamu yang sering menulis laporan ilmu penge- tahuan dari sekolah-sekolah lain, kan?” Lupus agak terkejut. Apa iya dia sering nulis begituan? lni aja baru sekali-kalinya. Tapi toh ia buru-buru mengangguk sambil tersenyum hormat.
“Saya memang sudah terlalu tua,” lanjut Kep-Sek. “Sudah sangat sulit mengenali anak-anak seusiamu. Apalagi zaman sekarang ini, rata-rata wajah mereka hampir sama semua. Padahal kalau saya mudah mengenali kamu, lebih enak Iagi. Saya bisa dengan mudah menghubungi kamu kalau sewaktu-waktu kita bikin kegiatan lain yang patut diketengahkan di media kamu.”
“Tapi, Bapak kan mudah saja mengenali saya?” jawab Lupus bersemangat.
”Oya? Bagaimana caranya?” “’Lihat saja, Pak. Rambut saya unik. Tidak seperti anak lain yang dipotong pendek. lni kan bisa menjadi ciri khas yang mudah dikenali. Bahkan dari jarak jauh sekalipun .... “
Kep-Sek membetulkan letak kaca matanya. Dahinya berkerut.
“Oya-ya. Rambut kamu gondrong. Tapi itu kan melanggar peraturan. Apa kamu tak kena pemeriksaan tadi?”
“ltulah, Pak. Kalau rambut saya dipotong seperti anak lainnya, nanti Bapak malah sulit mengenali. Apalagi wajah saya begini pasaran. Bapak kenal Ridwan, Andi, atau Roni itu? Kami berempat sering dikira anak kembar. Padahal kan tidak. Saudara juga bukan. Hanya nenek mereka dengan nenek saya saja yang memang sama-sama nenek-nenek .... “
Pak Kep-Sek itu cuma menganguk-angguk. Mungkin kurang kopi dengan pembicaraan Lupus yang kacau. Tapi itu memang tak-tik Lupus. Kalau dia berhasil lolos razia kali ini, berarti paling tidak selama tiga bulan berikutnya tak akan ada razia lagi. Karena beliau-beliau juga anget-angetan aja bikin kegiatan gila—gilaan seperti ini. Lupus jelas merasa beruntung, karena dia amat segan memo- tong pendek rambutnya. Nantinya nggak kece lagi, katanya. Soal kalau nanti ada razia lagi, itu bisa dipikirkan nanti.
“Bagaimana, Pak? Saya bisa keluar sekarang? Saya juga akan tetap berusaha mengangkat nama Sekolah kita tercinta ini, Pak. SMA Merah Putih!” sahut Lupus mantap, sambil mengulurknn tangannya (dikata layangan apa?). Pak Kep-Sek pun menyambut uluran tangan itu.
“Selamat buat Anda. Berkaryalah terus mum- pung masih muda!”
Lupus mengangguk hormat. Lalu melangkah mantap ke luar kantor Kep-Sak. Tiba-tiba dia teringat pada tasnya yang tadi dilempar ke luar jendela. Jangan-jangan masuk ke got?
6.Styling Foam
Lupus mendadak genit. Jadi teliti banget dalam merawat tubuh. Setidaknya, itu kata Lulu, adik Lupus semata wayang. Dia yang melaporkan hasil laporan pandangm matanya selama empat hari terakhir ini kepada ibunya.
“lya lho, Bu—dia jadi genit sekarang!”
“Ah, masa?”
“Ealah, lbu nggak percaya. Saya sering liat dia ngaca sendirian berjam-jam. Senyum-senyum sendiri. Gila kali ya, Bu?”
“Hus!”
Tapi memang betul. Lupus yang biasanya bangun telat. yang selalu terburu-buru mandi dan berpakaian sekenanya untuk mengejar waktu yang tinggal beberapa menit lagi agar tidak terlambat sekolah, kini subuh—subuh sudah bangun. Lebih rajin dari ayam jagonya yang kini mulai enggan berkokok, lantaran jatah jagungnya dikurangi biasa, resesi!. ltu sebabnya dua hari yang lalu, dia beli jam weker kuno dari kaleng itu. Yang bunyinya bisa ngebangunin orang sekelurahan, Lantaran keras sekali. Ayam betinanya aja sempat histeris sewaktu mendengar dering weker itu untuk pertama kalinya.
Lulu yang tidur bersebelahan kamar dengannya. protes keras atas digunakannya weker sialan itu.
”Ya ampun, Lupus, pasang weker jangan di tengah malam buta begini dong!”
“Kamu aja yang dasarnya malas. Ini kan udah pagi. Bangun, dooong!”
Tapi rajinnya Lupus ini memang rada aneh. Bangun pagi-pagi cuma sibuk milihin baju, dan menyetrikanya. lni aneh, dan memancing kecu- rigaan Lulu. Biasanya, boro-boro disetrika, baju dari jemuran langsung main samber aja. Dan bayangin juga kalau dia yang biasanya mandi sekali sehari, kini jadi tiga kali sehari sehabis makan (kaya minum obat aja!).Jadi rajin sikat gigi, ngilik-ngilik kuping (soalnya nggak lucu kan kalo pacaran tapinya budi—rada budek dikit. Sebab orang pacaran itu biasanya lebih sering bisik-bisik, atau ngomong mendesah-desah, ketimbang teriak- teriak. Dan itu butuh pendengaran yang peka lho!). Tapi, apa sih penyebab dari semua ini? Kita ikuti saja laporan pandangan mata selanjutnya dari reporter kita, Lulu.
“Ternyata, dia lagi jatuh cinta, Bu.”
“Ah, masa? Rasanya tak terlalu aneh kan kalau seseorang itu suatu saat akan berubah. Ibu senang kalau dia sudah mulai memperhatikan dirinya sendiri .... “ komentar ibunya singkat.
Dan Lulu tak bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan meledek. Sengaja nyanyi lagu First Love keras-keras,
.... Ev’ryone can see, there’s a change in me They all say I’m not the same kid I used to be It’s my first loye, what I ‘m dreaming of.....
Tapi Lupus acuh saja. Orang kata, punya pacar itu memang enak. Kita jadi ada yang memperhati- kan. Semangat belajar, semangat sekolah. Dan setiap malam minggu, bisa punya acara khusus. Nggak memble aje di rumah. Bisa menjurnal diri, dan terus meningkatkan penampilan. Tau kan, siapa pacar Lupus? Yak, betul. Namanya Poppi. Teman sekolah Lupus yang hampir saban hari diantar-jemput sopirnya.
Lupus juga jadi rajin membersihkan muka pake face tonic. Dan yang jadi korban adalah Lulu. Alat-alat pembersihnya jadi transmigran semua ke kamar Lupus. Seperti sekarang ini, dia nyolong styling foam adiknya, untuk membentuk rambut- nya yang gondrong. Bolak-balik memandangi poster Duran Duran untuk ngikutin gaya rambutnya. Sudah setengah jam lebih dia berkutet di depan cermin. Setelah merasa pas, dia keluar kamar dan mulai berjalan hilir-mudik di depan Lulu yang lagi asyik makan. Bak peragawan.
“Lu, rambut saya keren nggak?”
“Hei, kamu pake styling foam saya, ya!!” jerit Lulu seketika. Tanpa ampun nasi-nasi yang lagi dikunyahnya berhamburan ke luar.
“Pelit! Minta sedikit kenapa sih?” sahut Lupus sambil berlari masuk kamar kembali. Lulu menggedor-gedor dari Iuar.
“Lupuuuus, jangan diabisin dong. Itu kan mahal!”
“Duile, minta dikit aje. Ntar kalau saya kelihatan keren kan kamu bangga juga. Bisa dipromosiin ke temen-temen kamu. Bisa nebeng top. Siapa sih yang nggak bangga punya kakak kayak john TayIor?” terdengar suara Lupus dari dalam.
“Hu..., ge-er!”
Dan setengah jam berikutnya, dia kembali Mengatur-atur rambutnya. Dengan membasahi sedikit pada bagian pinggir, biar memberi efek basah yang tahan lama. Ha, siapa bilang cuma cewek saja yang merasa rambut sebagai mah- kotanya!
Setelah selesai dia menemui ibunya yang asyik di dapur untuk minta doa restu (dikata mau perang apa?). “Bu, saya pergi dulu. Mungkin sampai malam atau nginep, jadi nggak usah dicariin deh. Kan malam minggu .... “
“Huuu... Ibu sih lebih kebingungan kalo kehilangan sendok daripada kehilangan kamu!” ledek adiknya.
Lupus cuma mencibir sambil membuat balon- balonan dari permen karetnya yang dikunyah.
”Lu, rambut saya keren, ya? Pake efek basah!” sahut Lupus nyombong, sambil mengusap-usap rambutnya. Sengaja mau bikin keki.
“Hm... kalau mau tahan lebih lama lagi efek basahnya, bukan begiru caranya...,” komentar Lulu seraya meneliti rambut Lupus.
“Eh, gimana dong?” sahut Lupus penuh minat. Nggak nyangka adiknya bakal kasih perhatian juga.
”Ceburin aja kepalanya ke sumur... hahaha .... “
“Jangkrik!”
***
Sekarang ini, dia lagi asyik duduk di pojokan sambil makan permen karet dalam bis Patas yang ditumpanginya. Khusus untuk acara-acara berseja- rah seperti malam minggu ini, Lupus memang mengistimewakannya dengan menumpang bis Patas, bukan bis biasa. Alasannya, di samping lebih leluasa duduk, parfum dan rambutnya nggak berantakan berbaur oleh penumpang-penumpang lain.
Dan kini, masih mengunyah permen karet, dia lagi asyik ngebayangin Poppi yang bakal terka- gum-kagum melihat penampilannya yang rada lain. Terutama rambutnya. Padahal bapak-bapak yang duduk di sebelahnya sempat geleng-geleng kepala melihat rambut Lupus yang menurutnya seperti tak disisir selama berminggu-minggu.
Sementara bis Patas-nya masih melesat menem- bus udara malam yang kian dingin. Di luar memang berhembus angin kencang. Lupus sempat memaki-maki ketika dia membuka jendela, dan diserang oleh angin sialan yang mengacak-acak rambutnya.
”Kenapa, Nak, kok marah-marah?” tanya Bapak-bapak di sebelahnya.
“Eh, enggak kok. Anu, anginnya kencang sekali. Bikin rambut kusut saja...,” jawab Lupus sambil nyengir.
“Bikin kusut?”
”Iya, kok Bapak heran?”
“Lho, tadi bukannya lebih kusut lagi?” tanya bapak itu lagi.
Lupus nyengir, dan membuang pandangan ke luar jendela. Tapi, ya amplop! Di luar turun hujan. Rintik-rintik. Dan itu tak menjadi soal benar kalau tidak disusul oleh hujan deras. Bagaimana saya bisa turun tanpa kehujanan?
Dan ketika bis itu melewati pasar Blok M, Lupus cemas total. Semua penumpang pada turun, kecuali Lupus. Dan biasanya kondektur suka seenaknya menurunkan penumpang kalau tinggal sendirian. Lupus sibuk komat-kamit di pojokan. Baca mantera biar ngusir pikiran jahat sang kondektur. Tapi, benar juga. Begitu lewat Blok A, kondektur itu mulai menghampiri Lupus.
“Dik, turun di mana?”
“Cilandak! Kenapa?”
”Ya, gimana, ya. Kita mau langsung pulang nih. Pindah bis belakang aja, ya? lni ongkosnya saya kembaliin!”
”Tapi...”
“Ayo, cepatlah. Masa saya harus ke Pondok Labu dengan satu penumpang saja?”
Lupus tetap protes. Masalahnya di luar masih hujan deras. Tapi apa boleh buat, kondektur itu cukup besar juga badannya. Terpaksa Lupus diturunkan di pinggir jalan. Dengan dongkol yang meluap-luap dia melompat turun. Tapi, ya, Tuhan, di daerah situ sama sekali tak ada tempat berteduh. Mana hujan masih deras. Walhasil, dengan keadaan basah kuyup, dia berlarian menelusuri malam. Sampai menemukan pember- hentian bis. Dan ketika sebuah metro melintas, Lupus melompat ke dalamnya.
Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur got. Basah kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa dibayangkan, betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah Poppi dengan keadaan basah kuyup begini? Betapa memalukan. Dan apa kata orang tuanya nanti?
Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke rumah. Kalau balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa terpingkal-pingkalnya Lulu melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan hanya efek basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula sudah kepalang tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.
***
Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma berjalan lemas ke tempat pember- hentian bis, dan menyandar lemas pada tiang penyangga. Benar-benar don’t know what to do. Tak ada gairah lagi untuk terus ke rumah Poppi yang tinggal beberapa meter lagi. Semuanya sirna bersama tetes air huian yang membasahi tubuhnya. Lupus mengusap wajahnya dengan sedih. Baru kali ini dia merasa begitu menderita. Kedinginan sekujur tubuh. Bibirnya pun mulai membiru. Setengah mati menahan air matanya yang hendak berbaur bersama air hujan, karena kesal. Tidak, saya harus pulang! Harga diri saya bakalan jatuh di pasaran! batinnya.
Dan dia hendak melangkah pergi, ketika matanya tertumbuk pada seorang gadis yang berpayung beberapa langkah dari situ.
Lupus mencoba mtnghampiri.
“Poppi?” tanyanya ragu. Gadis itu terkejut dan menoleh. “Lagi ngapain, Pop?”
“Ya, Tuhan, Lupus. Kok basah kuyup begini? Dan bibir kamu itu... birunya! Aduh, kamu kehujanan. ya?” berondong Poppi sambil meng- guncang-guncangkan bahu Lupus.
“Enggak!” sahut Lupus kering
“Ayo ke rumah. Saya udah cemas banget, lho. Saya pikir kamu nggak bakalan datang, hujan-hujan begini .... “ sahutnya lagi sambil menarik tangan Lupus.
“Tapi saya malu, Pop. Basah kuyup begini .... ”
“Kenapa malu? Saya malah bangga, karena kamu bela-belain dateng meski hujan deras, itu kan tandanya kamu bertanggung jawab. Selalu menepati janji. Saya suka orang yang menghargai janji .... “ sahut Poppi ceria. “Ayolah, nanti kamu kedinginan. Di rumah akan saya suruh sediakan air hangat, dan baju buat ganti. Biar nggak masuk angin .... “
Lupus jadi terharu.
”Satu pertanyaan lagi, Poppi. Apa kamu lagi nungguin saya dengan berpayung kaya tadi?”
“Pertanyaan jelek! Abis nunggu siapa lagi dong? Saya pikir kamu belum basah kuyup begini. jadi saya bawain payung. Tapi ternyaxa kamu doyan basah-basahan. Senang mandi hujan. Dasar, masa kecil kurang bahagia, ya?”
Lupus tersenyum kecut. Nah, kan, punya pacar itu enak?
7.Some Things Are Better Left Unsaid
MALAM telah larut (emangnya gula?), ketika Lupus dan Anto melintasi jalan sepi sekitar kuburan Belanda. Udara dingin menggigit, dan bunyi- bunyi jangkrik nyaring di kejauhan. Seperti hendak mendramatisir keadaan. Dan memang, suasana di situ hening sekali. Bibir Lupus saja terkatup rapat, sama sekali tak berminat memecah- kan kesunyian yang mencekam. Bukan apa-apa, nanti jangan-jangan dia malah kaget sendiri. Sementara Anto, temannya yang pendiam itu, tak mencoba mengakrabkan suasana. Padahal di daerah ini, dia tuan rumahnya. Lupus kan cuma pendatang. Diajak menginap, mumpung besok ada libur sehari. Kalau mau tahu hari libur besar atau tanggalan merah, tanya saja pada Lupus. Dia memang paling hafal. Jauh-jauh hari kerjaannya memang cukup ngafalin begituan. Hobi kayanya.
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton midnight di bioskop murahan dekat pasar inpres. Nomon film lamanya Linda Blair, Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih merasa tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
“Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi, ya?” Akhirnya Lupus nggak betah diam melulu.
“Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat. Ya, di sini ini. Kalau lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih, jalan kaki, tapi nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem juga lewat sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh yang sering terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang biasa jaga malam itu—cerita bahwa dia melihat seseo- rang berjalan tanpa kepala di kuburan di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak taunya kepalanya sendiri .... “
Lupus cepat-cepat menutup telinganya. Dia keki berat. Lagi seram-seram begini malah cerita yang nggak keruan.
“Lho, kamu nggak percaya, Pus? Beneran, kok. Pak Karta orang jujur, saleh, dan hampir nggak pernah bo’ong, kecuali kalau nggak ada orang yang tahu bahwa dia bo‘ong...,” sela Anto tanpa merasa salah.
“Anto, apa kamu nggak pernah diajari bagaima- na cara melawak yang baik?” ujar Lupus geram.
“Terserah kalau kamu nggak pereaya. Saya nggak maksa. Saya juga nggak lagi melawak. Kamu jangan nuduh sembarangan dong. Itu fitnah namanya. Dan fintah itu adalah perbuatan setan. jadi kamu sama aja dengan setan .... “
“Ya, dan saya akan mencekikmu bila kamu nggak mau berhemi berkicau!”
Tapi tiba-tiba keduanya terpekik perlahan, ketika terdengar suara botol dibanting tepat di dekat mereka.
Secara refleks, keduanya berpe- gangan. Memandang sekeliling dengan hati berdebar. Dan muncullah sebuah sosok yang seram dari balik pohon kamboja. Memandang sinis ke arah mereka.
“Sst..., itukah setan yang diliat Pak Karta? Kok ada kepalanya, ya?” bisik Anto ketakutan.
“Diam kamu!”
Sosok itu mendekat. Diikuti oleh beberapa sosok tubuh lainnya. Rata-rata berwajah kasar dan seram. Anto berbisik pelan pada Lupus.
“Gawat, Pus. Itu bukan hantu. Mereka anak-anak berandal seberang kuburan sana! Mereka pasti mau bikin setori dengan kita!”
“GiIa, apa alasan mereka mengganggu kita?” sahut Lupus keras.
“Sst, jangan keras-keras. Ya, Tuhan, kamu bisa dihajarnya .... “
Dan kini wajah sosok yang pertama terlihat sudah sangat dekat di depan mata Lupus. Menatap tak berkedip dengan sorotan mata yang tajam. Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada Anto, “Kamu benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba menakut-nakuti kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut, ya ....“
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu. Maknadengan sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto ketakutan setengah mati.
“Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya? Lu mau belagak jagoan di sini? Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di depan gue!” sahut orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu mundur beberapa langkah dengan mata yang masih menatap berandalan tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah- patah, “Ma-maaf, Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat sini. Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... “
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan, tapi tenggorokannya kok ya terasa kering.
“He. lu punya duit nggak?” salah seorang temannya yang dari tadi diam, tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu Anto. Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong Anto. Tapi tangan lain menariknya keras-keras.
“Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada beberapa ribu. Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!” sahut Anto cepat. Lupus pun didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit dan mau membalas. Tapi Anto menahan- nya, “Kalem. Pus. Mereka banyakan. Nggak ada gunanya melawan .... “
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki- makian kotor, mereka pun membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto menghela napas lega.
“Enak amat mereka minta-minta uang? Emang- nya jalan nenek moyangnya?” gerutu Lupus! Tapi, tentu saja anak-anak berandalan itu tak mende- ngar. Wong mereka udah ngacrit.
“Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngom- pasin orang-orang yang lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh dari rumah saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil. Tapi memang saya nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya saban malem nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau sengaja cari gara-gara. Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka marah, habislah kita .... “
“Eeeee... emangnya saya berani?”
***
Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam di kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah. Kerjanya cuma pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara radio dari berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi tentang harga pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit, dan sejenisnya itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa?
Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca beberapa buku.
“Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam ini, saya mau ke markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di dekat pos yang kemarin kamu bilang, kan?”
Anto terkejut. “Gila. Ngapain ke sana? Mau cari penyakit? Lupakan uang kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah dipikirin terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya, mereka lebih berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus. Nggak usah balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi .... Lupakanlah!”
Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan dalam berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara seenaknya, polos, dan kadang bikin keki. Tapi kini dia menatap Anto dengan wajah serius.
“Ada hal-hal yang lebih baik kita lupakan dalam hidup ini. Apalagi pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat kita resah. Tapi kamu nggak usah cemas, To. Saya bukannya jagoan yang mau mengobrak-abrik sarang mereka. Saya tertarik untuk mengungkapkan cerita yang mungkin menarik dari remaja-remaja macam mereka. Kenapa mereka tak betah di rumah seperti kamu? Atau, bagaimana mereka memandang masa depannya .... “
Anto terdiam, menatap bingung pada Lupus. Dia memamg sudah lama berkawan dengan Lupus, tapi hingga kini, dia sering tak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Lupus sebenarnya. Dan dia benar-benar tak habis pikir ketika malamnya Lupus nekat pergi sendirian ke pos anak berandalan itu.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lupus baru pulang. Dengan wajah pucat karena mungkin semalaman tak tidur.
“Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup!” sahut Anto sambil menyerbu Lupus. Lupus cuma mencibir, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
“Lho, kok langsung semaput? Kamu nggak di apa-apain?”
“Apa hak mereka memukul saya? Saya datang secara baik-baik kok, dan dengan maksud yang baik juga!” jawab Lupus sombong. Tapi kalau kamu tau, bagaimana gemetarnya Lupus ketika datang ke markas berandalan itu, kamu pasti nggak bisa menahan nya. Untung saja bagian itu disensor.
“Memangnya mereka kenal kompromi juga?”
“Nah, itulah kesalahan kamu. Kamu terlalu cepat menuduh orang lain jelek. Tanpa berusaha membuat pendekatan lebih dahulu. Saya nggak percaya ada orang yang begitu jahatnya di dunia ini sampai tak punya perasaan sama sekali. Kadang malah dari merekalah kita menemukan pribadi yang menarik. Seperti rasa setia kawan yang begitu hebat. Sampai-sampai rela mengorbankan kebaha- giaannya sendiri. Memang rasa setia kawan mereka kadang tak pada tempatnya. Suka merugikan orang lain. Tapi itu nggak selamanya benar. Makanya saya tertarik ketika kamu cerira banyak tentang perbuatan-perbuatan mereka yang selalu merugi· kan orang lain. Saya ingin membuktikan. apa itu benar? Kalau ya, atas dasar apa? Saya pun pergi ke sana. Mengadakan pendekatan dengan mereka. Meski memang tak mudah. Saya sampai keluar banyak uang untuk membelikan mereka rokok. Korban perasaan dan korban lain-lainnya, tetapi saya toh berhasil. Saya ngaku aja sebagai orang baru di sini. Saya nggak betah di rumah karena banyak problem keluarga. Saya ingin gabung dengan mereka. Dan mereka pun menerima dengan terbuka. Pada dasamya, mereka selalu menaruh simpati pada orang-orang yang senasib dengan mereka. Mereka bahkan mau menolong saya. Nah, hebat, kan? Dari pengalaman semalam, mereka banyak cerita tentang dirinya, cara hidupnya, dan juga bagaimana mereka meman- dang masa depan. Ternyata luar biasa, Nto! Kebanyakan mereka ingin jadi ABR!. Pembela Negara. Hebat, kan? ltulah, mereka tak seharus- nya dimusuhi, malah patut dikasihi. Diberi harapan. Ini kan bagus buat bahan tulisan .... “
“Bahan tulisan? Maksud kamu, kamu pergi tadi malam itu untuk bikin tulisan di majalah kamu?”
“Kok heran? Ini kan baik umuk tulisan yang bersifat human interest. Penulisan yang menonjol- kan sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki banyak dimensi dalam hidupnya, kan menarik? Bisa menimbulkan rasa haru, simpati dari mereka- mereka yang dulunya tak pernah peduli dengan mereka. Siapa tahu setelah membaca artikel saya, anak-anak berandalan itu mau mengubah diri. Dan pandangan umum tentang mereka juga dapat berubah, sehingga yang tadinya nggak peduli, kini mencoba meraih mereka .... “
Anto terdiam. Lama. Seperti berpikir. Lalu berkara pelan, “Kadang, saya iri dengan kamu, Pus. Kamu selalu bisa berbuat seauatu dari apa-apa yang terjadi. Saya sering merasa iri. Kamu tau, saya adalah orang yang nggak pernah punya inisiatif. Apalagi untuk berbuat sesuatu bagi orang-orang yang paling saya benci. Saya yang sekian lama tinggal di lingkungan mereka, tak pemah punya pikiran seperti kamu. Saya jadi merasa sebagai orang yang tak berarti .... “
Kini giliran Lupus yang kaget dan terdiam. Agak lama. Sampai Anto mengira dia tertidur.
Tapi akhirnya terdengar suara Lupus, pelan, “Jangan punya pikiran begitu, Nto. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan sifat yang berlainan. Saya justru yang ingin seperti kamu. Tanpa pernah merasa peduli atau terusik kalau ada kejadian apa pun. Yang bisa tidur enak, walau sejuta masalah hadir di benakmu. Sungguh! Saya ingin seperti kamu. Yang tak pernah merasa terpanggil, merasa bersalah, merasa tergoda kalau ada sesuatu yang terasa ganjil. Yang selalu menjalani hidup ini dengan tenang. Sedang saya? Mana bisa saya rertidur begitu mudah, saat sejuta masalah hadir di benak saya seperti ini .... “
Tapi menit berikutnya, Lupus sudah tertidur dengan nyenyaknya. Pakai ngorok segala. Semen- tara Anto tetap tak bisa menebak jalan pikiran makhluk Tuhan yang aneh ini ....
8.Kantin Sekolah
TAU nggak, di SMA-nya Lupus cuma ada satu kantin. Terletak di ujung lapangan dan terlindung di balik pohon-pohon yang rindang. Tempat yang sangat strategis untuk ngeceng anak-anak yang berolahraga di lapangan, membolos pelajaran, numpang nggosip atau benar-benar mau makan (asal jangan nembak!). Hampir semua anak menyukai tempat itu, kecuali Lupus dan beberapa teman cowoknya. Dia jauh lebih suka meloncati pagar untuk jajan di luaran, daripada pergi ke kantin sekolah. Banyak hal yang memaksa Lupus berbuat begitu, meski risikonya kalau ketauan ke luar lingkungan sekolah pada saat jam-jam belajar, bisa disuruh membersihkan kamar mandi dan WC. Sebuah kerja paksa yang paling dibenci semua murid karena dirasakan tanpa kemanusiaan. (Bayangkan saja kalau kamu disuruh membersih- kan tempat di mana orang-orang justru membuang sesuatu yang paling kotor. Ih!)
Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut, karena di sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega sekali, tuh! Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen karet daripada tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika, Lupus pernah meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual permen karet barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah. Katanya bikin kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan bisa mengotori dinding.
Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak efektif. Terutama untuk makanan- makanan primer seperti mie ayam, mie bakso, atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau pesan mie ayam sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama juga tuh. Dan kita rada kurang sabar nungguinnya. Bagaimana tidak lama kalau setelah diselidiki ternyata yang punya kantin baru mengejar-ngejar ayam tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu dapat. Kalau misalnya sudah dapat, baru kemudian disembelih, dicabuti bulunya satu-satu, dibersihkan lagi, direbus, dan dipotong kecil-kecil untuk mie ayam. Alangkah kasihannya nasib si pembeli!
Pernah waktu pelajaran koseng, Lupus kelaparan. Belum sarapan. Mau makan di luaran, situasi kurang memungkinkan, karena tak bisa mengon- trol kelas yang siapa tau gurunya tiba-tiba datang. Maka Lupus pun pesan mie bakso di situ. Sengaja mie bakso, karena dengan begitu berarti dia tak usah menunggu yang punya kantin berkejar-kejar ria dengan ayam-ayam yang berkeliaran itu. Tapi ditunggu-tunggu ternyata lama sekali. Mungkin baksonya baru dibikin. Setengah jam lebih belum jadi juga. Sampai guru kimia yang galak, sok disiplin, konyol namun adil dalam memperlakukan murid itu nongol di ujung koridor. Kontan saja Lupus, masih dengan semangat ‘45, pontang- panting lari menuju kelasnya. Soalnya kalau terlambat selangkah saja di belakang guru kimia itu, jangan harap diperbolehkan masuk kelas. Itu peraturan yang dia... eh, beliau terapkan. Dan konyolnya, begitu melihat Lupus lari-larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, sang guru itu pun ikut-ikutan lari. Maka, terjadilah adu cepat-cepatan masuk kelas. Syukurlah, perlomba- an itu dimenangkan oleh Lupus dengan selisih jarak yang kecil sekali. Dan dengan senyum kemenangan, Lupus berjalan masuk kelas. Dia berhak mengikuti pelajaran kali ini.
Namun ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang pesuruh dari kantin mengetuk pintu kelas untuk mengantarkan mie bakso pesanan Lupus. Kontan saja Lupus kaget dan jadi bahan tertawaan anak sekelas.
Tapi sekarang ada cerita baru tentang kantin sekolah itu. Anaknya ibu kantin yang sekolah di Bandung datang. Dan ikut melayani di kantin tersebut. Gila, cakep juga! Dan pelayanannya bisa lebih cepat lagi. lni kan jadi menarik perhatian cowok-cowok yang tadinya suka jajan di luar, kecuali Lupus. Karena dia masih keki dengan pendiskriminasian mereka untuk tidak menjual permen karet.
Bisa ditebak, anak yang paling ribut kalau ada barang baru yang cakep adalah si Boim, playboy Duren Tiga. Pagi-pagi sekali, waktu Lupus baru memasuki kelas, dia sudah ngocol ke sana kemari. Ribut sekali, kaya orang kebakaran janggut.
“Hei, Kucing! Kok dua hari ini nggak masuk? Gimana..., emak lu baek?” sapanya begitu melihat Lupus.
“Baek. Emang kenapa? Mau diaduin sama emak lu?” balas Lupus seenaknya.
Boim nyengir, lalu tanpa tedeng aling-aling dia langsung ngoceh tentang anaknya ibu kantin.
Tapi bukan hanya Boim saja. Semua anak cowok kalau ada pelajaran kosong atau waktu istirahat, selalu betah nongkrong di kantin. Jajan nggak jajan pokoknya ngumpul. Puas biar cuma memandangi wajah cantik anak ibu kantin. Oya, nama itu lndah. Tentu saja primadona-primadona SMA Merah Putih ini pada keki berat dapat saingan begitu. Pasaran mereka jatuh drastis. Bangsanya Elsa, Ayu, Svida, atau Ruri (yang terakhir ini nggak kece, tapi suka sok kece. jadi daripada nangis, lebih baik diikut-sertakan. itung-itung amal.) yang biasa suka ber’ge-er’ ria kalau lagi digodain, kini ditegur pun jarang. Apa nggak bikin sebel tuh?
“Huh, baru anak tukang jualan aja direbutin. Dasar cowok di sini seleranya rendah semua!” maki Ruri, si biang gosip.
“Bukan selera kita rendah...,” balas Irvan membela kaumnya, “tapi kalian-kalian sudah terlalu uzur buat digodain. Makanya, rajin-rajin dong sembahyang, biar masuk surga .... “
Ruri makin dongkol.
“Tapi anak itu memang benar-benar kece, Pus. Tempel aja!” promosi David kepada lupus, di suatu siang nan gersang.
“Dikata salonpas apa? Maen tempel aja!” balas Lupus spontan.
“lya, Cing, kamu kok nggak pernah ikutan nongkrong di kantin, sih? Bego. Saya lagi naksir berat nih sama dia. Gimana ya caranya sampai dia tau kalau saya naksir? Ayo dong, Pus, kamu kan suka banyak ide!” Lagi-lagi Boim ngegombal. Lupus ogah-ogahan mendengar celoteh Boim. Dia malah lagi mikir, gimana bisa tidur enak di kelas tanpa diganggu cecurut macam Boim begini.
“Say it with flowers!” jawab Lupus sekenanya. Tapi reaksi Boim benar-benar luar biasa. Ide yang cemerlang, teriaknya. Keesokan harinya, pagi- pagi sekali, dia sudah membawa seikat bunga buat anak ibu kantin itu. Dan bisa ditebak, cintanya ditolak!
***
Tapi belum sampai tiga hari sejak kedatangan Indah, kantin sekolah tiba-tiba ditutup. Begitu mendadak. Perintah pemboikotan kantin itu datang langsung dari Kep-Sek. Sang Kep-Sek ini shock berat ketika mendengar bahwa di kantin sekolah dijual juga minuman keras (bukan es, lho, tapi yang mengandung alkohol) dalam kemasan plastik. SMA Merah Putih, yang selama ini menjadi SMA teladan karena nama baiknya, yang para siswanya tak pernah terlibat perkelahian meski bersebelahan dengan sekolah lain (tentu saja, wong sekolah ini bersebelahan dengan SD inpres. Mana bisa diajak perang?), dan juga prestasi siswa-siswinya yang sering memenangkan cepat- tepat di TV (ini juga, setelah diselidiki ternyata mereka ikutan Cepat Tepat-Tingkat SLTP, tentu saja menang!), dan kebanyakan siswanya bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa ikut sipenmaru, tentu saja tak mau tercemar dengan berita mengejutkan macam itu.
Lupus tadinya tidak begitu ambil pusing, karena dia toh jarang jajan di kantin itu. Pengalaman buruk masa lampau cukup membuatnya kapok. Tetapi ketika suatu siang, sepulang sekolah dia ketemu lndah di dekat terminal Grogol, dia jadi ingin tahu. Soalnya lndah itu malah jualan makanan kecil buat para kondektur. Indah berusaha menghindar ketika tau Lupus itu siswa SMA Merah Putih. Tapi Lupus memergokinya.
“Kamu lndah, kan? Kok jualan beginian? lbu kantin sekarang di mana?”
Indah cuma diam beberapa saat. Tapi kemudian dia cerita banyak. Tentang bagaimana hidup dia tanpa usaha kantin di sekolah Lupus.
“ltu penghasilan kami satu-satunya. Dengan begitu, setelah kejadian ini saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi di Bandung. Terpaksa bantu-bantu ibu jualan makanan kecil .... “ sahut Indah sedih.
“Tapi, kenapa kalian sampai bisa terlibat kasus penjualan minuman keras itu? Kekurangan duit, ya?”
“Kami memang cereboh. Kami mau saja menerima titipan dagangan dari orang luar. Kami benar-benar tak tau kalau bungkusan plastik itu minuman keras. Bagaimana kami bisa curiga kalau yang menitipkan dagangan itu siswi SMA itu sendiri?”
“Siswi SMA Merah Putih? Siapa? Kok kamu tidak lapor saja?”
”Lapor? Mana mau mereka mendengar suara kami, kaum lemah? Mereka begitu mudahnya mengusir kami tanpa memberi kesempatan untuk membela diri!”
“Jangan berprasangka buruk. Mungkin sang Kep-Sek lagi panik. Soalnya terus terang. ini pukulan pertama bagi beliau. Apalagi dia itu jantungan! Ngomong-ngomong, siapa yang meni- tipkan minuman keras itu?”
“Ruri.”
“Ruri?” Lupus tiba-tiba bisa menangkap latar belakang semua ini.
Dan sore harinya, Lupus sudah berada di rumah Ruri.
“Kamu jangan nuduh sembarangan dong! Kalau memang naksir anak tukang jualan itu bilang aja. Nggak usah berlagak sok pahlawan!” jawab Ruri ketus.
“Naksir dia? Oh, kamu salah, Ruri. Saya lebih baik memilihmu daripada dia. Tapi masalahnya, kau telah merampas mata pencarian utama mereka, sehingga lndah tak bisa melanjutkan sekolah. lni soal perikemanusiaan, bukan soal naksir-naksiran. Bayangin aja kalau hal itu terjadi pada diri kamu. Ayahmu di-PHK dengan mendadak, dan kamu terpaksa harus berhenti sekolah. Harus jualan serabi di terminal, hanya untuk bisa bertahan hidup. Ginmna, coba? Indah kan sudah tak punya ayah lagi...,” celoteh Lupus tenang.
Ruri memang suka iri, sirik, usil, biang gosip, dan sederetan predikat jelek lainnya. Tapi dia toh tetap seorang wanita. Yang mempunyai perasaan. ltulah sela yang diserang oleh Lupus.
“Yang perlu kamu lakukan hanya lapor ke Kep-Sek. Bilang, mereka tak bersalah dan akui kesalahanmu. Saya tau, ini bukan kehendak kamu. Pasti ada pihak lain yang mempergunakan kesempatan ini.” Ruri termangu. “Iya, Pus. Meski saya iri pada kecantikan Indah, tapi saya nggak akan sejahat itu. Minuman keras plastik itu diberikan oleh Tante Mari. Yang rumahnya dekat sekolah. Dia sengaja ingin menjatuhkan citra ibu kantin, karena saya tau Tante Mari ingin sekali menguasai kantin sekolah kita. Tak jarang dia mengejek masakan dan makanan yang disediakan oleh ibu kantin. Saya tak bisa mengerti, dia kan sudah punya banyak toko makanan di pasar-pasar, dan hidup serba kecukup- an. Kok ya masih mau merampas jatah orang!” sahut Ruri tanpa ekspresi.
“Saya percaya, ini memang bukan keinginanmu. Dan kamu masih bisa menebus dosa. Laporkan hal ini kepada Kep-Sek besok pagi. Dan kamu akan jadi pahlawan. Kamu telah menolong nasib orang lain yang menderita. Ayolah, Rur. Kalau Bob Geldof yang doyan kumpul kebo itu saja bisa menjadi malaikat penolong, kenapa kamu tidak? Biar begini-begini, kamu toh nggak doyan kumpul kebo. Iya, kan? Nah, makanya...”
Ruri cemberut.
***
Pagi hari udara cerah. Lupus berjalan me- nyeberangi lapangan sekolah sambil menenteng tasnya di pundak. Dua hari sudah Lupus terpaksa bolos. Gara-gara disuruh meliput berita oleh majalahnya. Kini dia melewati kantin sekolah. Tersenyum lebar ketika melihat kantin itu kembali dibuka. Secara iseng, dia melongokkan kepalanya ke dalam kantin. Dan terkesima ketika melihat satu stoples penuh berisi permen karet terpampang rapi di meja tempat jualan.
“Eh, Nak Lupus. Kok baru kelihatan? Kemarin lndah mencarimu. Tapi nggak ketemu. Sekarang dia sudah kembali ke Bandung,” sapa ramah ibu kantin mengejutkannya, “Mari masuk. Sudah sarapan? Mau dibikinkan mie bakso?”
“Eh, enggak deh. Terima kasih, Bu. Saya cuma mau beli permen karet itu!”
“Ooo..., iya. Itu memang disediakan khusus untukmu. lndah yang memesankan. Oya, dia juga titip surat ini.”
Dan pada saat itu Poppi masuk. Tersenyum sebentar pada ibu kantin dan langsung menarik Lupus ke luar.
“Hm, bagus ya! Ternyata kamu juga ikut-ikutan anak-anak ngejar si Indah. Ayo, mana suratnya. Biar saya yang baca!”
Lupus cuma melongo, tanpa bisa berbuat apa-apa.
9.Kolak Pisang buat Lupus
BULAN puasa adalah bulan suci. Bulan yang penuh berkah Tuhan. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa pada bulan-bulan seperti ini, kelesuan hampir menjalari wajah-wajah siswa SMA Merah Putih. Di mana kegiatan sekolah tetap dilaksanakan seperti biasa. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mereka mencoba berkonsentrasi pada pelajaran yang diterangkan, sementara perut masing-masing mereka asyik ber-‘keroncong-ria’.
Tapi kata Wak Haji, kalau puasa itu nggak boleh dipikirin laparnya. Dosa, dan bisa dituduh nggak rela puasa sama Tuhan. Dan berpuasa bukan cuma nahan lapar dan haus. Tapi juga nafsu lainnya, termasuk ngomongin orang lain. Nah, ini yang kayaknya berat buat mereka. Bayangin aja, sebulan penuh nggak boleh nggosip di sekolah. Wu, mana tahan? Dan bagaimana dengan nasib Ruri yang biang gosip itu? Makanya di saat keluar main, kerjaan anak-anak cuma luntang-lantung, bengong, atau paling banter masuk perpustakaan, terus tidur. Tak ada yang nampak becanda. Boro-boro becanda, ketawa aja males. Habisnya banyak larangan yang bisa membatalkan puasa. Cowok dilarang ngeceng. Cewek juga. Dilarang pacaran, dilarang ngetawain orang, dilarang baca buku yang ’serem-serem’. Pokoknya semuanya yang membangkitkan hawa nafsu. Mau main basket atau voli, segen. Takut haus.
Tapi itu tetap peraturan. Buktinya di pojokan perpustakaan, Ruri masih menyempatkan diri untuk nggosip sama teman-temannya. Lupus yang lagi nyari buku dekat-deka: situ, bisa memergoki. “Hayo, mulai ya nggosip lagi!”
Ruri kaget, tapi dengan cepat menjawab, “Enak aja nuduh. Kita kan cuma menceritakan sesuatu yang kurang sreg di hati. Daripada dipendam terus, malah bikin lapar”
“Apa bedanya? Kamu kira dengan kamu menemukan definisi yang baru macam itu, akan mengurangi dosa? Tunda aja nggosipnya sampai beduk magrib. Nanti begitu buka puasa, nah, buru-buru deh. telepon teman-reman terdekat kamu. Kali-kali aja Tuhan bisa memaklumi!” nasihat Lupus.
Ruri mendengus, lalu pindah ke bangku lain. Dan mulai nggosip lagi.
Dan Lupus meneruskan mencari buku. Di dekat jendela. dia memergoki Sri Sajita, cewek keraton yang akrab dengan panggilan Ita, lagi ngelamun sendirian (tentu dong, kalau ngelamun berdua mana enak?).
“Hayo, ngelamun yang jorok-jorok, ya? Batal Iho!” goda Lupus, Ita terkejut.
“Ih, bikin kaget aja! Siapa yang ngelamun jorok?”
“Kalau gitu, pasti ngelamunin doi yang dijawa, ya? Aduh, Ita, saya kan udah bilang, kalau kamu kesepian ditinggal merantau sama cowok kamu, buka cabang aja di sini. Buat iseng, supaya nggak ngelamun terus. Nggak dosa, kok. Dan bannyak yang mau. Seperti saya. misalnya .... “
Ita cuma mencibir.
Tapi bulan puasa tidak selalu diisi dengan kemuraman. Bisa tambah Iapar. Kadang anak-anak juga ngumpul di depan kelas masing-masing. Bikin cerita lucu atau teka-teki yang aneh-aneh. Sampai beberapa hari, teka-teki itu mulai nggak sehat. Mulai dicari-cari. Tapi malah semakin lucu. Seperti teka-teki yang diberikan oleh Lupus: “Benda apa yang kalau siang ada di dapur, tapi kalau malam ada di pohon?” Semua pada mikir. Dan mulai berspekulasi umuk menjawab dengan sembarang- an. Sampai besoknya, Lupus baru memberikan jawaban.
“jawabnya adalah panci!”
Tentu saja semua anak pada protes. Bagaimana mungkin panci bisa berada di pohon di waktu malam?
“Lho, itu kan panci saya ini. Terserah dong saya mau taruh di mana aja...,” elak Lupus yang langsung dimaki-maki penonton.
Dan canda-canda itu berlangsung sampai mereka tak sadar kalau hari mulai senja. ***
Meski sebenamya tak ada masalah, anak-anak sempat protes juga, karena sekolah belum libur meski sudah mendekati ulangan umum. Waktu istirahat untuk minggu tenangnya cuma dikasih dua hari. Sabtu dan Minggu.
“Itu sih cuma cukup untuk ngeraut pensil!” maki Rosfita. teman Lupus yang punya prinsip: jangan pernah mengecewakan orang yang nawarin makan.
Tapi Lupus lebih suka sekolah. Kalau diam di rumah, waktu bisa terasa berjalan lebih lama. Enakan cari kesibukan di luaran. Dan saat itu dia sedang berada di metro mini juruan Blok M. Sekadar mau jalan-jalan aja untuk killing time. Buang-buang waktu. Sebab, jarang lho orang di bulan puasa punya prinsip time is money. Mereka condong berprinsip time is time, faster is better. Dan Lupus setengah mati menahan diri untuk tidak memandangi cewek-cewek kece di pinggir jalan. Sok cuwek. Tapi, apa iya lihat cewek cakep bisa ngebatalin puasa? Padahal cewek cakep itu kan karunia Tuhan yang menyenangkan untuk dilihat. Masa iya kita harus pake kaca mata kuda? Apalagi menyia-nyiakan karunia Tuhan kan dosa, lho!
Terserahlah. Yang penting. Lupus jelas tak bisa menahan diri lagi ketika seorang eewek naik dan duduk tepat berhadap-hadapan dengannya. Gile, wajahnya benar-benar jet-set, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam panjang terurai, bibir- nya dipolesi lipstik merah muda yang tipis. Benar-benar mubazir untuk tidak dilihat. Dan... sempurnalah godaan itu.
Saat-saat pertama Lupus masih bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan memandang. Cewek itu terlalu keren untuk ditaksir. Nggak bakalan ditanggapi. Dia mencoba mengalihkan perhatian- nya ke luar jendela. Tapi ternyata gadis itu mencuri-curi pandang ke arah Lupus. Lupus masih mencoba untuk tetap cuwek. Dia harus tabah, jangan tergoda. Untuk menghilangkan keresahan- nya, dia mencoba melamun. Dan tiba-tiba aja jadi ingat Mas Wedha, yang suka nggambar di majalah Hai. Dia itu, katanya sendiri. orang yang sangat tabah. Tahan godaan.
“Bagaimana nggak tabah.” sahutnya suatu ketika, “walaupun bapak saya haji, tetangga dan lingkungan saya orangnya pada alim-alim, rajin sembahyang, rajin puasa, rajin tarawih, rajin mengaji, tapi saya tetap tak tergoda untuk ikutan puasa.”
Lupus cuma ngakak. Dan kemarin, ketika Lupus ketemu dia lagi, Lupus iseng menegur, “Gimana, Mas, masih tetap tabah?”
“Alhamdulillah masih...,” jawabnya kalem. ”Tuhan tau bahwa saya nggak bakalan kuat berpuasa. Jadi buat apa membohongi diri? Kalau saya puasa nantinya Tuhan malah marah. Menyangka saya orang yang sombong... sok ikut-ikutan .... “
Lupus sering tak bisa menahan senyum kalau ingat hal ini. Seperti sekarang, secara nggak sadar, dia tersenyum-senyum sendirian di metro mini. Di depan cewek cakep tadi. Dan, oh God, cewek itu membalas senyum nyasar dari Lupus. Gimana nggak ge-er?
“Halo.” sapa Lupus berani. “Mau ke mana?”
Gadis itu tersenyum lagi. Senyum yang penuh godaan. “Ke Blok M, nih. Mau shopping. Anterin, yuk?”
Lupus agak kaget. Agresif banget cewek ini. Dan tanpa menunggu ajakan kedua, beberapa saat kemudian, Lupus telah berjalan keliling-keliling blok M berdua cewek tadi. Dari situ dia tau, namanya Evan. Banyak sekali yang dibelinya. Seluruh pasar Blok M dikelilingi. Dan Lupus jadi agak risi ketika Evan dengan seenaknya menggan- deng tangan Lupus. Gimana kalau ceweknya tau?
Jam tiga siang, mereka berhenti di depan A-ha (maksudnya American Hamburger, bukan grup bandnya si Morten). Evan mengajak masuk. Lupus jelas menolak, meski dia merasa sangat lapar dan haus.
“Ayo deh, saya yang traktir, kok...,” rayu Evan.
”Bukan masalah itu. Saya kan puasa!” “Batal sehari kan nggak apa-apa. Ayo deh, kan capek lho udah keliling-keliling. Dikiiit aja. Yuk?” “Kamu ajah deh, saya nggak.”
“Ya..., kok gitu. Nggak seru, ah. Tadi kita kan udah bareng. Ayo dong, Anak manis!”
Dan jebollah pertahanan Lupus. Akhirnya dengan langkah sedikit ragu, dibarengi celingak- celinguk kanan-kiri, takut kepergok orang rumah, Lupus masuk ke A-ha. Langsung dipesankan steak, strawberry milk-shake dan sprite dingin.
***
Hari mulai senja ketika Lupus melangkah masuk ke rumahnya. Saat itu ibunya masih sibuk kerja di dapur. Memasuk-masukkan makanan ke rantang. Sepeninggal ayah Lupus, ibunya memang buka usaha katering. Lumayan, buat menyambung hidup, komentarnya. Dan hasilnya memang luar biasa. lbu Lupus termasuk wanita yang ulet, yang tak menyerah kepada takdir. Seperti sekarang ini, dia masih tetap bekerja meski puasa. Berbeda dengan Lulu, adik Lupus. Kerjanya kalo puasa tidur melulu. “Itu lebih baik daripada nggosip!” belanya suatu ketika.
Lupus masuk ke ruang tengah dengan perlahan. Tapi ibunya melihat.
”Eh, Lupus. Baru pulang? Itu lbu bikinkan kolak pisang kesukaan kamu buat buka puasa. Cepat mandi, sebentar lagi beduk, lho-!”
Lupus tercekat. lbunya yang sibuk itu masih sempat membikinkan makanan kesukaannya. Betapa ingin dia membahagiakan anak-anaknya. Sedang Lupus?
“Lho, kok malah bengong? Lapar, ya? Tahan aja sedikit. sebentar lagi buka. kok. Cepat mandi biar segar .... “
Tanpa berkata apa-apa. Lupus langsung nge- loyor ke kamar mandi. Dan sempat ketemu Lulu di depan kamar. “Eh, Lupus, udah pulang. Itu ada oleh-oleh buat kamu. Sekotak permen karen. Tadi ogut iseng beli waktu nganterin lbu ke pasar. Hayo, kamu masih puasa nggak?”
Lupus makin terpojok. Di kamar mandi, dia ingin teriak keras-keras. Meneriakkan ganjelan hatinya. Dia memang ngaku masih puasa sampai kini. Dia tak ingin mengecewakan semuanya. Tapi, siapa sangka kalau membohongi diri sendiri itu lebih menderita daripada ngebohongin orang lain
***
Beduk magrib berdentum di kejauhan. Diiringi oleh teriakan azan. Saat itu Lupus malah berlari ke telepon umum di depan rumahnya.
“Halo? Bisa bicara dengan Evan?” “Ya, ini Evan .... “
“SEJUTA TOPAN BADAI BUAT KAMU!!!”
10.Tante Neli
“Beli kolor ni yee .... “
Sapaan serempak dari arah belakang mengaget- kan Lupus yang lagi asyik mengaduk-aduk bak obralan di toko pakaian. Dengan spontan dia melepas ’barang antik’ yang tadi dia pegang, lalu membalik ke arah sumber suara tadi. Di situ berdiri Ita, Meta, dan Utari. Dengan senyum yang mengembang. Lupus malu berat. Padahal tadi dia sudah begitu berhati-hati. Lirik kanan-kiri untuk menyakinkan bahwa tak ada orang yang dikenal- nya di sekitar situ. Dia ingin sekali membeli beberapa celana dalam baru untuk mengganti dia punya yang sudah pada melar-melar karetnya. Tapi, kok ya kepergok teman juga. Cewek lagi! Tiga cewek ‘mini’ ini memang ke mana-mana selalu bertiga. Makanya sering dijuluki ‘trio the kids’. meski mereka sama sekali nggak setuju dengan julukan itu. Hobi mereka gila-gilaan: keliling- keliling pasaraya cuma untuk mergokin orang- orang yang belanja. Syukur-syukur bisa minta traktir. Lupus suka heran, apa mereka nggak takut dikira anak hilang nantinya?
“Apa khabar, Pus? Abis lebaran kemaren kok nggak nongol-nongol lagi? Makin langsing aja. Oya, poni kamu juga masih tetap gondrong tuh. Ceritanya mau nyaingin john Taylor, ya? Moga-moga aja mata kamu nggak kelilipan tiap menit. Moga-moga cuma sedikit juling. hehehe... nggak apa-apa kok juling dikit. Buktinya si Vina Panduwinata, biar bola matanya suka rada juling, tetap aja kece. Iya, nggak?” cerocos Meta.
Lupus cuma mengangguk. Nurut aja.
“Terusin aja milihnya, kok jadi diem? Buat lebaran, ya?”
“Enak aja! Lebaran kan udah lewat!”
“lya. Lebaran taun depan... hahaha .... “
Dan tiga cewek itu pergi lagi. Cari mangsa baru. Lupus sudah nggak semangat lagi mau milih-milih. Dia langsung ke tempat bakery. Beli beberapa roti pesanan ibunya untuk menyambut tamu agung di rumahnya.
***
Sore hari, tamu agung yang ditunggu-tunggu datang. Ibu Lupus dan Lulu menyambut dengan hangat. Lupus yang baru bangun tidur, ogah- ogahan ikut ke depan.
“Here comes the grump,” komentarnya yang langsung di-‘hush’ oleh ibunya. Dan tamu agung itu tak lain adalah Tante Neli. Kakak tertua ibu Lupus yang luar biasa cerewetnya. Turut serta dalam rombongan, kakak nomor dua ibu Lupus dan Ridwan, anak Tante Neli. Mereka semua datang dalam rangka akan menghadiri upacara pernikahan anaknya Tante Mia.
Lupus sebetulnya kurang suka rame-rame begitu. Apalagi kalau sampai terpaksa tidurnya digusur ke ruang tengah, karena kamarnya dipakai. (Maklumlah, kamar di rumah Lupus tak banyak). Wah, sedih sekali. Nyamuk di situ Iuar biasa ganasnya. Lupus yang memang kurang begitu hobi tidur dikerumuni nyamuk (lagi, apa iya ada yang suka begitu? Kahu dikerumuni cewek sih boleh aja!), jelas jadi merasa tersiksa.
“Lupus, ini lho ada Ridwan!” sahut ibunya ketika Lupus malah buru-buru balik takut kamarnya di-booking. Lupus juga kurang suka pada makhluk kesayangan Tante Neli ini. Si Ridwan. Dia suka cari muka dan meremehkan orang lain. Kalau bukan saudara, pasti sudah diajak musuhan oleh Lupus dari dulu-dulu.
“Hei, apa kabar Lupus!” sapanya dengan gaya yang dibuat-buat.
Lupus cuma nyengir. Lalu membiarkan makh- luk itu bercerita panjang lebar sama Lulu. Biasa, cowok memang begitu. Dan bersikap sok jentel di depan Lulu dan tante-tante yang lain. Bolak-balik membawa keranjang yang berat-berat. Nggak kaya Lupus yang malah sibuk bongkar-bongkar oleh-oleh. Kali-kali aja ada permen karet.
***
Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih, karena sepulang sekolah langsung me- nyelesaikan laporan di kantor majalahnya, dia terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama Ridwan itu sudah pulang sejak pagi tadi. “Belum liburan,” katanya. Syukurlah. Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung melompat ke tempar tidur. Wah, betapa nikmat- nya! Pusing-pusing sedikit yang tadi merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama terbang- nya dia ke alam mimpi.
Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara beduk bertalu-talu. Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah tidak, menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib? Kok cepat sekali? lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu magrib tetap saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji. Tapi, eh, kok beduknya rada lain bunyinya? Dan rasanya terdengar semakin dekat dan dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk. Tapi ada orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa makhluk yang tak berperikemanusiaan itu? Keluh Lupus yang dengan malas langsung membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang terasa berat unruk dibuka.
Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk. “Kamu ini bagaimana sih? Datang- datang langsung tidur. Tak punya kesadaran sama sekali! Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para langganan di dapur. Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa gitu!” semprotnya nggak tanggung-tanggung.
“No way!” sahut Lupus pendek dan langsung mengunci kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup kepalanya erat-erat dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli.
Tante Neli, begitu tepat nama itu untuknya. Dia memang persis nenek-nenek cerewet yang kelin- cahan. Lupus bukannya tak mau bantu ibunya, tapi dia memang benar-benar letih. Ibunya iuga maklum. Dan lagi, bukankah ibunya sudah mempunyai empat orang pembantu yang siap menolong setiap saat? Ditambah Tante Neli dan tante-tante lainnya yang bisa digunakan tenaga- nya, daripada nggosip nggak keruan. jadi, dasar aja Tante Neli yang nggak bisa lihat orang senang! Begitu kesimpulan yang diambil Lupus. Dan dia pun bisa melanjutkan tidumya dengan tenang. Tanpa merasa berdosa.
Tapi kesimpulan itu memang tak terlalu salah. Seperti keesokan sorenya ketika Lupus lagi asyik main ayunan yang diikatkan pada pohon jambu bersama Lulu. Lupus mendorong kuat-kuat, sehingga ayunan itu terayun gila-gilaan, membuat Lulu menjerit ketakutan. Di tengah keasyikan itu, Tante Neli tiba-tiba muncul dengan jeritan histerisnya, “Hei, hentikan! Hentikan! Lihat daun-daun jambunya pada berjatuhan. Ayo, bersihkan! Kalian ini bagaimana, sih? Sudah pada gede-gede juga masih kayak anak kecil tingkahnya. Kalian pikir tidak berbahaya main ayun-ayunan Kencang-kencang begitu? Nggak punya otak! Kamu juga, Lupus, kamu kan anak laki-laki tertua. Satu-satunya lagi. Kamu seharusnya bisa meng- gantikan kedudukan ayahmu almarhum. Bersikap- lah dewasa sedikit, tidak seperti anak kecil begitu. Boro-boro deh mau bantuin ibu kamu kerja .... “
Begitulah usilnya Tante Neli. Bahkan hiburan Satu-satunya yang mereka miliki juga dilarang. Terpaksa sore itu Lupus dan Lulu kena setrap untuk menyapu seluruh halaman belakang rumah yang cukup luas itu. Ayam-ayam yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus dekat Lupus. Seolah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak terganggu ketika lagi asyik-asyik tidur di atas pohon jambu, tiba-tiba pohonnya bergoyang- goyang ikut terayun. Dengan keki, Lupus menyambit ayam-ayam sialan itu dengan sapu lidi.
“Lupus, kalau kerja yang betul. ya!” lagi-lagi terdengar teriakan Tante Neli.
Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah serba nggak bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga suka diatur-atur. Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de el el. lbu Lupus cuma senyum- senyum aja ketika Lulu mengadukan semua kejengkelannya.
“Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang teliti dan sangat disiplin.”
Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka ribut-ribut sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan terengah-engah lari-lari masuk ke rumah. langsung ngoceh, “Gila, Iho, tadi di pasar ada yang dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali. Hampir orang sepasar ikut mengeroyoki!”
Tante Neli langsung berdiri panik. “Siapa?Siapa orangnya? Kasihan betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan orang-orang zaman sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu? Masih hidup? Siapa, Lupus? Pelajar? Atau pencuri?”
“Bukan. Tikus.... “ sahut lupus tenang dan langsung masuk kamar.
***
Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai membicarakan dirinya saat saudara-saudara yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia suka membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.
“Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau Saudara-saudaranya lagi pada kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya men- dekam di kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau perhatian pada kita, para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang nolong. Kalau diajak bicara, suka sembarangan menjawab sampai terus mengunyah permen. Betapa tidak sopannya. Tamu dari jauh seperti saya ini, tidak pernah disambutnya dengan hangat. Atau ketika Tante Mia diopname, dia sama sekali tak menjenguk!”
Lupus jadi kena tegur ibunya. Ya. dia memang lebih menyambut hangat oleh-oleh yang dibawa daripada orangnya, kalau kedatangan tamu dari jauh.
“Abis percuma, Bu. Kalau saya ada atau tidak, kan tak ada pengaruhnya buat beliau-beliau. Seperti juga menjenguk Tante Mia, apa lantas setelah saya jenguk dia lantas langsung sembuh? jangan-jangan malah bertambah parah....” jawab Lupus membela diri. “Sebab, apa sih arti seorang Lupus buat mereka?”
“Tapi kamu nggak boleh begitu, dong!”
Lupus memang tak suka basa-basi. Sama ketika ibu Lupus akhirnya jadi ikut ke Bandung, ke rumah Tante Neli untuk melihat rumahnya yang baru, serelah acara perkawinan selesai.
“Boro-boro mau mengantar sampai ke Ban- dung. Bantuin mengangkat kopor ibunya sendiri saja tak mau. Benar-benar anak tak tau diri. Tak tau berterima kasih kepada orang tua. Lain sekali dengan Ridwan. Biar mau ujian, dia pasti mengantar kalau saya mau ke Jakarta,” kata Tante Neli ketus. Lupus jadi merah mukanya dan pergi dari situ. Dia paling tak suka kalau sudah dibanding-bandingkan dengan orang lain. Bukan- nya Lupus tak mau mengangkat kopor, tapi bawaan ibunya kan cuma sebuah tas kecil yang bisa dibawa dengan mudah, jadi buat apa berbasa-basi membawakannya? Dan lagi, kenapa harus diban- drngkan dengan Ridwan yang tak disukainya itu?
***
Sepeninggalan Tante Neli, keadaan rumah jadi sepi. Lupus jadi sering mikir, benarkah ia tak mempunyai rasa hormat seperri yang dikatakan Tame Neli? lbu Lupus memang tipe ibu yang tak banyak omong. Dia selalu mengerjakan apa- apanya sendiri tanpa banyak tuntutan. Tuntutan kepada anak-anaknya agar mau membantu atau mau dihormati. Dia tak pemah mengganggu kalau Lupus lagi tertidur nyenyak di kursi panjang saat mendengarkan kaset. Dia rela menunggui Lupus yang belum pulang sampai tengah malam. Dia tipe Ibu yang mengabdi, seperti ibu-ibu lainnya. Tanpa pernah menuntut imbalan.
Tapi apakah selama ini sikap itu membuat Lupus jadi tak hormat padanya?jadi seperti dimanjakan- nya? Apakah ibunya terkadang iri dengan Ridwan yang penuh perhatian pada Tante Neli itu? Yang pandai membawa diri kala berkumpul dengan keluarga lain? Yang selalu menjadi kebanggaan, karena suka menganrar ke mana ibunya pergi. meski ada ujian? Yang suka memijiti kaki ayahnya kala pulang kanror?
Lupus jadi melamun terus. Dia memang melihat pancaran duka yang terbersit sedikirt dari mata ibunya, ketika Tante Neli menyindir Lupus. Dan Tante Neli seakan hendak menunjukkan, bagaimana mendidik anak yang baik, seperti caranya itu. Penuh disiplin!
***
Lupus lagi asyik tiduran, ketika Lulu mengge- dor-gedor pintu sambil berteriak, “Bangun. Pus, Ibu pulang tuh! lbu pulangl” Tanpa pikir panjang lagi, Lupus Iangsung melompat dan berlari ke luar kamar. Menyusul Lulu yang sudah duluan menyambut.
“Kok lama, Bu, di Bandungnya? Kirain nggak inget pulang,” kata Lulu. Ibunya cuma tersenyum sambil memerintah sopir taksi umuk menurunkan barang-barang bawaannya dari bagasi.
“Gimana keadaan rumah, Pus? Baik-baik saja?”
“Tentu dong, Bu. Semuanya lancar. Kok lama di sananya? Betah, ya?”
lbunya terdiam sebentar. Lalu memandang Lupus dan Lulu bergantian.
“Sebetulnya Ibu mau pulang lebih awaI. Nggak tega ninggalin pekerjaan yang menumpuk di rumah. Tapi...”
“Lho, ada apa sih, Bu...?”
“ltu lho, anaknya Tante Neli, si Ridwan, dia terlibat beberapa kasus yang harus berurusan dengan polisi .... “
“Ridwan? Memangnya dia kenapa?”
“Rupanya sepeninggal Tante Neli ke jakarta, dia berbuat sesuatu yang kurang baik. Mengajak teman-temannya menginap di rumah yang baru. Pakai bawa-bawa perempuan segala. Dan ketika digebrak polisi, ternyata di sana juga terdapat beberapa obat terlarang. Saat itu ayahnya kan lagi tugas di Semarang, jadi lbu terpaksa tinggal beberapa hari menemani Tante Neli mengurusi perkara itu.”
Lulu dan Lupus terdiam. Mereka saling berpandangan. Suasana menjadi hening.
“Itulah. Bu.” sahut Lulu setelah beberapa saat. “Pada akhirnya fakta juga yang berbicara. Kita meski bandel-bandel, tetapi masih dalam batas kewajaran .... “
“Ya, ya. Ibu akui bahwa pada akhimya, Ibu lebih bangga pada kalian,” sahutnya sambil menggandeng kedua anaknya masuk rumah.
“Eh, Lupus. Kamu tidak membawa masuk Barang-baraang itu?” kata ibunya tiba-tiba, setelah berada di dalam.
“O iya, lupa. Sori deh...,” sahut Lupus cengar-cengir sambil buru-buru lari ke luar lagi. Ibunya cuma geleng-geleng kepala.
“Kadang Ibu pikir Lulu benar juga. Ibu akan lebih kebingungan kalau kehilangan sendok daripada kehilangan kamu, Pus!”
Lupus dan Lulu tertawa berbarengan.
- Blogger