Skip to main content

Kamis, 31 Maret 2011

Makhluk Manis Dalam Bis



1. Makhluk Manis dalam Bis

ANAK-ANAK kelas dua punya kebiasaan baru.

Tepat jam satu tengah hari bolong mereka selalu tampak asyik menunggu bis jurusan Blok M. Lupus, Aji, Boim, dan Gito. Rada aneh juga, rumah mereka jadi mendadak pada pindah ke Blok M semua. Selidik punya selidik ternyata mereka itu lagi ngejar cewek. Nggak tau anak sekolah mana. Yang pasti setiap jam satu, wajah manisnya selalu nampak di jendela bis jurusan Blok M. dekat pintu depan. Matanya yang bulat bersinar, rambutnya yang panjang terurai dengan tubuh yang mungil. sempat membuat cowok-cowok kece SMA Merah Putih itu terkagum-kagum.

Mereka melihatnya tiga hari tang lalu. ketika mereka punya rencana mau makan-makan di Blok M, dalam rangka memperingati hari yang paling bersejarah dalam kehidupan Boim, karena dia berhasil memenangkan hadiah porkas setelah sebelas kali ikut. Dan saat itu mereka berempat secara serempak melongo di pintu bis mengagumi makhluk cantik yang duduk dengan manisnya di dekat jendela. kondektur bis yang bawaannya nggak mau sabar, sempat gahar juga. "He, lu pada nian nggak sih naik bis gue? Kok terbengong-bengong begitu?"

Lupus cs yang kaget dibentak begitu, menjawab secara. "Kira lagi berdoa dulu kok biar selamet di jalan."

Dan sejak itu, setiap malam, mereka punya mimpi yang sama. Tentang gadis di dalam bis.

Makanya hari-hari berikutnya, mereka jadi sering kedapatan menunggu bis jurusan Blok M. Setiap ada teman yang nanya, mereka serempak menjawab mau shopping ke Blok M.

"Kok riap hari shopping-nya?"

“Maklumlah namanya juga orang kaya."

Dan sang penanya pun langsung berlalu dengan wajah dongkol.

Bis yang ditunggu datang. dan mereka berempat serempak bangkit dengan semangat. Tak peduli bis tersebut sudah penuh sesak, mereka tetap bela-belain mengejarnya.

“Stop, Bang! Stop!" teriak mereka sambil berlompatan ke dalam bis yang enggan berhenti. Sang kondektur melirik jengkel pada mereka. Bukan apa-apa, makhluk-makhluk ini kalau naik bis pada riburt sekali. Padahal bayarnya cuma gocap. Dia apal betul. Terutama dengan Lupus yang selalu mengulum permen karet. Atau Boim, playboy SMA Merah Putih yang wajahnya gabungan Jaja Miharja dan Benyamin (wah, mentok banget deh!).

Dan seperti ramalan sang kondektur, kala penumpang sudah banyak yang turun, makhluk- makhluk SMA Merah Putih itu mulai menggoda-goda cewek tadi dengan ributnya.

"Hai. Cewek, kenalan dong. Nama saya Boim. Cowok paling kesohor di SMA Merah Putih. Pernah jadi cowok sampul majalah... Bobo. Saya punya motor bebek merah, yang sekarang— karena satu dan Iain haI — Iagi ngadat nggak bisa dipakai. Mungkin tali kipasnya putus (bego juga si Boim ini, motor mana ada tali kipasnya?). Tapi jangan kuatir. motor saya yang Iainnya banyak kok. Tinggal pilih aja mau pakce yang mana. Setiap hari ganti-ganti. Di samping itu, saya ini bintang film Iho. Saya sering nongol di tipi dalam acara..."

"Flora dan Fauna!" cclctuk Gito dari belakang.

"Bukan! Aneh tapi Nyata!" Lupus ikutan ngomong, membela Boim.

Boim melotot sewot ke arah Lupus dan Gito yang cekikikan.

"Jangan dengarkan mereka, Cewek manis. Maklum aja, orang top memang banyak yang nyirikin. Tapi saya udah biasa. Nah, mau kan kenalan sama saya?"

Cewek itu tak bereaksi. Cuma senyum dikit.

"Jangan mau sama Boim, Cewek manis. Doi jarang jajan. Mending sama saya aja. Nama saya Gito. Orangnya rada malu-malu kayak kucing, tapi Iebih ngetop daripada Boim. Saya juga sering nongoI di film ACI, sebagai peran utama. "

"Bo'ong! Jangan percaya!" Lupus berteriak dari belakang. "Dia itu sebetulnya yang jadi Pak Ogah di cerita Si UnyiI!"

Giro ngamuk-ngamuk.

"Enggak, saya bener. Masak kamu nggak ngenalin wajah saya yang begini familier, sih? Look at me!"

"Iya, dia memang main di ACI. Tapi cuma jadi stuntman. Jadi kalau kebetulan pas ada adegan orang digebukin, nah dialah yang dipakai. Mendingan sama saya aja. Nama saya Lupus. Punya radio dua band. Saya1 ini orangnya sederhana, apa adanya, nggak kayak Boim yang..."_

"Dodol! Kok saya terus yang dipadikan kambing hitam?!" protes Boim.

"Emang Iu kambing!" balas Lupus cuwek. ”Sori, rada ada gangguan teknis. Sampai di mana tadi? Oya, saya mi orangnya sederhana. Padahal sebetulnya saya ini orang kaya Iho. Gimana nggak kaya, saya kalo abis mengulum permen karet, Iangsung dibuang. nggak pernah ditelen jadi sekah pakai, Iangsung buang. Nggak kayak Boim, suka dipungut dan dikunyah Iagi."

Sekarang giliran Boim yang ngamuk-ngamuk. Langsung mengacak—acak rambut Lupus. Lupus berteriak-teriak ribut sekali. Duh, itu kelakuan kayak anak play grup aja! (Ya, soalnya Lupus takut kalo rambutnya nggak kayak John Taylor lagi!)

“Alaaah, kalian semua pada kayak anak kecil. Mendingan pacaran sama saya aja, cewek manis. Saya ini orangnya dewasa, jantan dan... kamu pasti akan merasakan kehangatan begitu jatuh dalam pelukanku...” kali ini Aji yang maju.

“Emangnya martabak, pake angket segala?” Lupus menyeletuk lagi dari belakang.

Aji cuwek. Terus merayu. Tapi sayang, bis telah memasuki terminal Blok M. Jadi acara lomba merayu itu terpaksa ditunda dulu sampai besok. Sang kondektur menarik napas lega, sambil baca Alhamdulillah seratu kali.

“Jangan kuatir, Mas, besok kita pasti naik bis ini lagi. Maag!” ujar Lupus sambil menepuk-nepuk bahu kondektur. Kondektur melotot galak, dan Lupus cepat-cepat melompat turun menyusul teman-temannya.



***



Tapi dua hari kemudian, Lupus, Boim, dan Aji dikejutkan oleh berita yang dibawa Gito. Gito bilang bahwa cewek manis itu sekarang udah jadi ceweknya, jadi dilarang ada yang menggodanya lagi. Dan sialnya ternyata berita itu benar. Ketika pulang sekolah, Gito sialan itu dengan santainya ngobrol berduaan dengan cewek manis itu di bis. Lupus, Boim dan aji keki berat.

“Kamu curang Git! Kapan kamu berhasil ngerayunya? Selama ini kan kita senasib dicuwekin terus sama dia? Iya nggak, iya nggak? Protes Aji.

“Kamu pake ilmu santet, ya?” Boim ikutan sirik.

Gito cuma senyum-senyum aja. Duile, mending manis? Dan usut punya usut ternyata tanpa setahu teman-temannya, si Dodol itu nekat datang ke rumah cewek tersebut. Nggak jelas, dia dapet alamat dari mana. Yang pasti, rayuannya berhasil dan makhluk manis berambut panjang itu jatuh ke tangannya. Dan kunci kesuksesannya adalah karena ternyata cewek itu termasuk hobi nonton film seri ACI, dan pernah geliat si Gito yang ikut cengengesan nampang sebagai Fuad. Maka muluslah jalan baginya. Sial banget!

“Huh, baru main di ACI aja digila-gilain. Cewek itu nggak tau, ’kali kalau saya juga bisa main pilem begituan,” gerutu Boim.

“Iya-saya juga sering geliat kamu jadi model iklan di bioskop, radio dan koran-koran. Iya, kan? Betul itu kamu?” Lupus bertanya.

“Eh, kamu tau juga? Iya, itu saya. Kapan kamu ngeliatnya? Di iklan apa? Iklan sepatu? Iklan pakaian pria masa kini? Atau... jangan-jangan yang kamu liat itu Roy Marten. Karena ya-maklumlah, wajah saya kan mirip-mirip dia, meski tetap kecean saya. Iya, kan? Kamu geliat di iklan apa?”

“Itu lho... iklan Kalpanax. Obat panu.”



***

Dua hari berlalu hampa. Tak ada wajah-wajah ceria ketika bis jurusan Blok M datang tepat jam satu siang. Cuma Gito yang langsung bangkit dan ikut pergi bersama bis kenangan itu. Yang lain tinggal atau terus pulang.

Tapi seminggu, kemudian, mereka kembali dihebohkan dengan makhluk cantik lainnya di bis jurusan Grogol. Pertamanya Lupus tak begitu menyadari akan kehadiran gadis itu, tapi begitu besoknya ketemu lagi, Lupus mulai ribut-ribut menceritakan ‘penemuannya’ itu kepada teman-temannya.

“Wah, pokoknya nggak kalah cakep deh. Saya selalu ketemu dengannya kalau pulang sekolah setengah dua!” celoteh Lupus. Kontan aja anak-anak pada tertarik, dan kini, rumah mereka mendadak pindah ke Grogol semua.

Maka hari-hari selanjutnya tepat jam setengah dua, Lupus, Boim, dan Aji selalu nampak asyik menunggu bis jurusan Grogol. Kejadian yang lalu terulang lagi. Ribut-ribut di bis, merayu sang cewek, tertawa dan tentu saja bikin jengkel sang kondektur bis.

Dan suatu ketika, saat mereka bertiga lagi asyik menunggu bis, Gito nampak berlari-lari ke arah mereka.

“Lho, mau ngapain, Git? Kamu gak boleh ikutan lagi dong. Kan udah dapet yang dulu?” tegur Aji.

“Yaaa, saya ikutan dong!” rengek Gito.

“Wah, enggak bisa. Nanti kamu menang lagi. Terus kita-kita jadi nggak bisa hura-hura lagi kalau pulang sekolah.”

“Enggak deh, saya janji. Saya emang seneng banget waktu ngedapetin cewek yang kemari itu. Berarti kan saya lebih kece dari kamu-kamu...”

“Wuuuuuuu!” anak-anak pada protes.

“Eit, nanti dulu. Tapi senengnya cuma sebentar. Karena selajutnya begitu-begitu aja. Monoton. Tiap hari nganterin dia pulang, mampir ke rumahnya, ngobrol. Gitu-gitu terus. Nggak ada seninya. Saya jadi ngiri ketika kalian pada nemuin cewek baru lagi. Jadi kepingin ikut-ikutan ngegodain, ngerayu, ngejar-ngejar, seperti dulu. Nggak tau tuh, kenapa. Menurut kamu kenapa, Im?

“Simpel. Mungkin cinta kamu ditolak!” jawab Boim kalem.

“Enak aja. Kamu liat sendiri saya dengan mudah ngedapetin dia!” Gito ngotot.

“Ealah, malah pada ribut. Mungkin Gito bener. Ngejar-ngejar cewek mungkin lebih enak daripada kalo ngedapetin. Soalnya kita masih remaja. Masih ingin bebas. Jiwa hura-hura kita kan lebih besar daripada jiwa romantisme kita. Dan kata orang, cewek itu ibarat bis. Lewat yang satu, bisa menunggu yang berikutnya. Jadi nggak usah terlalu dikejar. Apalagi pake patah hati segala. Iya nggak? Dan anehnya, kita kadang suka sekali mengejar-ngejar sesuatu yang sebetulnya tidak kita inginkan benar. Tapi nggak apa-apa kok. Namanya juga anak muda,” kata Lupus sok berfilsafat sampai teman-temannya pada ngantuk semua.

“Eh, itu bisnya datang, Ayo siap-siap!”

Mereka berempat secara serempak bangkit. Lalu mengejar-ngejar bis dengan semangat ’45, sambil berteriak-teriak ribut sekali. Kejadian yang dulu pun terulang lagi.

Dan, mereka akan terus begitu. Sampai suatu saat nanti mereka begitu lelah untuk mengepakkan sayap-sayap kecil milik mereka, dan hinggap pada sekuntum bunga. Di mana akan menemukan segalanya.

Dan, mereka pun enggan untuk terbang lagi...



2. Pinang Kenangan

“LUPUUSSS, Puuuss....!” pekik Lulu dari ruang tamu. Lupus yang lagi asyik dengerin Pain’s so Close to Pleasure-nya Queen di kamar bantal. Aduh, Lulu gimana sih. Baru juga datang dan mencoba rileks sedikit, sudah diteriaki macam Tarsan begitu. Nggak tau ya, kalau Lupus lagi capek berat?

“Saya lagi tidur. Nyenyak sekali!” balas Lupus dari kamar. Lulu yang berkoar-koar macam cucakrawa, jadi bengong. Keruan menyerbu ke kamar Lupus.

“Jangan norak! Itu ada Mas Beni. Katanya ada rapat er-te nanti malam,” makinya sambil melempar majalah yang sejak tadi dibacanya ke arah Lupus. Sempat geli juga melihat gaya Lupus yang pura-pura tidur, tapi matanya mengintip dari balik bantal.

Lupus bangkit dengan malas. Pasti mau rapatin soal perayaan 17 Agustusan. Lupus suka keki, abisan dipaksa untuk ikut setiap perlombaan. Lantaran di er-te Lupus, cowok remajanya Cuma sedikit. Sedang pertandingan yang diadakan lumayan banyak. Ada balap karung, voli, basket, bulu tangkis dan sejenisnya. Jadi untuk membikin regu, terpaksa orang-orang yang nggak bakat olah raga macam Lupus, diikutsertakan juga. Walhasil, Lupus belakangan ini jadi mendadak rajin olahraga. Lari pagi, angkat halte, push up. Kayak Rocky. Tapi besok-besoknya, badanya jadi panas dingin. Meriang.

Makanya dia jadi menggerutu terus.

Apalagi si Lulu, adiknya yang mulai gede itu, dari hari ke hari selalu nyeritain temen-temennya. Ya yang cowok, ataupun yang cewek. Kayaknya bangga banget baru jadi remaja aja. Seperti kali ini, ketika Lupus lagi kesel banget gara-gara ulangan kimia dapet angka delapan ketawa (alias tiga), Lulu dengan tanpa peduli dengan situasi, maen ngocol aja.

“Pus, ogut punya masalah nih. Rada pelik juga. Tolong dong pecahin...,” rayunya (sedikit) manja. Belum apa-apa Lupus udah suntuk duluan. Pasti soal cowok lagi, gerutu Lupus. Lulu memang baru masuk SMA, dan baru dapet temen cowok banyak banget. Maka Lupus pun berlagak nggak denger. Gayanya bak aristokrat sejati. Memandang lurus, kaku, dengan tangan didekap erat-erat.

Dasar Lulu kalau jailnya kumat, dengan sekali sentak, jari jemarinya yang mungil menekan tulang iga Lupus kuat-kuat. Kontan Lupus menjerit histeris. Wong dia paling gak tahan kalo dikelitikin.

“Topan badai, jangan begitu dong caranya!” protes Lupus sambil mundur teratur. Keki juga dia disentak seperti itu. Tapi gimana mau tega membalas kalau udah geliat Lulu nyengir-nyengir kayak kuda begitu. Lulu punterus cekikikan sampai matannya ngilang. Senang bikin Lupus knock-out. Tapi belum lagi habis tawanya, tiba-tiba ada benda aneh yang ngujubilah bin jalik baunya nekat menjejal di hidungnya. Lulu sempat terpana. Bau apa ini? Rasanya belum pernah tercium seumur-umurnya. Ketika sadar, dia langsung memberontak dan bersin gila-gilaan.

Gantian Lupus yang ngakak. “Makanya, jangan sok jagoan. Skor sekarang satu – satu. Kamu harus bersyukur, Lu, kaos kaki itu baru tiga hari yang lalu dicuci. Biasanya sampe satu minggu lho.”

Tapi Lulu jadi marah beneran. Mogok bicara sama Lupus. Satu hari, dua hari... Lupus malah tenang. Bisa tidur enak. Tapi hari ketiga, dia jadi nggak enak sendiri. Sebab kata guru agama, tiga hari nggak teguran sama saudara, bisa kualat. Tapi untunglah, hari keempat, dia mau bicara. Itu juga sesudah melunasi ‘upeti’ pada Lulu berupa cokelat toblerone empat rupa, sebagai ganti rugi Lulu yang mendadak kehilangan napsu makannya sejak dijejali kaus kaki beberapa hari silam. Sedih juga Lupus, soalnya jatah jajan dia juga ludes, lantaran harga toblerone yang mahal. Terpaksa beberapa hari ini di sekolah dia nggak bisa jajan. Nggak bisa mengulum permen karet lagi. Tapi apa boleh buat, hubungan bilateral harus berlanjut dan perang saudara harus dihentikan.

Dan sesudah baikan, Lulu mulai lagi dengan ngocol-ngocolnya. “Gini, Pus, kamu kan tau saya baru masuk SMA. Nah biasa deh para senior, seperti juga kamu, cari-cari setori buat ngegaet cewek-cewek baru. Apalagi yang kece kayak saya ini...”

“Wah, nggak salah denger nih?”

“Enggak. Tapi, tentu saja saya nggak sembarangan menerima mereka,” lanjut Lulu lagi. “Emang sih ada seorang yang perhatian saya terus-terusan. Tapi kelihatannya dia malu-malu. Atau malu-maluin, gak jelas juga deh. Sebelumnya saya cuwek aja, tapi lama-lama kok ya kece juga tuh cowok. Tingkah lakunya simpatik deh. Namun sayangnya, dia belum berani negur duluan sama saya. Padahal saya pengen kenalan sama dia.”

Lupus meluruskan kakinya.

“aduh, masak saya harus kasih nasihat terus ke kamu? Emangnya saya kakek-kakek? Tulis aja masalahmu ke mbak Retno. Nanti kan dijawab,” sahut Lupus malas.

“Wa... nunggunya kan lama. Ntar keburu cowok itu kecantol cewek lain. Kan gawat!”

“Ya udah, begini aja. Sebenernya itu tanggung jawab cowok untuk memulai. Kan nggak lucu kalo kamu mulai duluan. Nanti dikira malah cewek murahan. Coba deh, beri perhatian yang lebih dari cowok lainnya. Misalnya kalo dia lagi ngeliatin kamu, kamunya jangan cepat-cepat melengos. Kasih dia senyum. Dikit aja. Nanti tunangan. Atau mungkin juga dia takut sama temen-temen kamu. Soalnya, cowok kan suka grogi kalo deketin cewek yang bergerombol. Nah, coba deh sekali-sekali kamu jalan sendiri. Kali aja dia nekat negur kamu, atau bahkan nyulik kamu ke Blok M minum es teler. Mungkin juga dia lagi berusaha nyari alamat kamu kemudian datang, atau setidaknya ngirim surat perkenalan. Emang sih, nggak jantan, tapi bales aja. Kali aja itu bisa menancing keberanian dia. Pokoknya liatin aja sikap bersahabat kamu, langsung. Suatu saat pasti keberaniannya akan timbul... Tuh, kan saya mulai kayak kakek-kakek lagi. Udah ah!”

Lupus yang memang haus dari tadi langsung cabut ke dapur cari minum. Meninggalkan Lulu yang masih termenung. Entah mikir atau lambat daya tangkapnya alias nggak ngerti.

“Lantas kalau cara itu belum bisa memancing keberaniannya, gimana Pus?” teriak Lulu agak tertahan, takut kedengaran ibunya.

“Ada jalan yang terbaik dan termudah kalo memang nggak ada jalan lain!” balas Lupus keras dari dapur. Lulu yang tadinya lemas nggak karuan, timbul lagi semangatnya. Lari secepat speedy tikus menghambur ke dapur. Sempat mergokin Lupus yang nyolong es krim Lulu dari lemari es.

“Hayo ketauan. Tapi kamu boleh abisin kalo ngasih tau jalan yang terbaik itu!”

“Begini, kamu tulis kalimat. Isinya singkat : ‘Eh.. sebenernya lu naksir gue nggak sih? – Lulu’. Terus cari rumahnya. Kalo udah ketemu, lempar deh batu yang dibungkus kertas berisi kalimat itu ke jendelanya. Syukur-syukur dia yang baca, bukan pembantunya...”

Lupus ngeloyor pergi lagi. Lulu bengong, entah untuk yang keberapa kalinya.

***



Akhirnya acara klimaks peringatan 17 Agustus tiba. Seru juga. Apalagi acara lomba panjat pinang yang dilumuri oli sebagai penghalangnya. Sedang di pucuk pohon tersebut hadiah-hadiah menarik menunggu calon pemanjat. Baju, celana, permen karet, uang puluhan ribu, be-ha, celana dalam (awas, sensor!), kaca mata cengdem (seceng tapi adem!) dan masih banyak hadiah menarik lainnya.

Lupus yang badannya kurus (tapi seksi) itu jadi merasa seperti berada di neraka selama dua Minggu belakangan ini. Betapa tidak, selama itu acara-acara pertandingan antar er-te begitu ketat jadwalnya. Voli, basket, sepak bola, tenis meja, sofbol, bulu tangkis, dan adu kelereng. Jadi bisa dibayangkan, betapa kalang kabutnya Lupus mengikuti dari pertandingan satu ke pertandingan lainnya. Mana dia nggak hobi olah raga. Apalagi main basket. Pegang bola aja udah gemeteran. Belum lagi sepak bola, Lupus mencetak rekor sendiri. Memasukkan bola ke gawang sendiri tujuh kali, tanpa memasukkan ke gawang lawan sekalipun.

Tapi salah siapa? Lupus memang nggak bakat olahraga. Satu-satunya olahraga yang dia sukai hanya berenang. Itu juga kebanyakan ngecengnya daripada olahraganya.

Dan sekarang ini Lupus lagi mikir, gimana cara naik pohon pinang tersebut dengan empat rekannya tanpa terpeleset. Dua kelompok dari er-te lain sudah membuktikan kegagalan mereka. Bayangkan, baru tiga orang berjajar ke atas, kemudian satu rekannya naik lagi. Tak berapa lama, keempat-empatnya merosot ke bawah. Lupus Cuma bengong. Dengan badannya yang langsing itu, apalagi selama dua Minggu ini berat badannya turun dua kilo (aslinya sih, yaa... ada sih kalo cuma satu satu atau dua ons!), mana sanggup memanggul beban empat orang rekannya di bahu.

Dan saatnya pun tiba. Lupus dan empat rekannya briefing sebentar kayak pemain voli yang berhura-hura setelah briefing singkat dengan pelatihnya. Dua orang cowok yang berbadan besar, bertugas sebagai pondasi pertama dan kedua. Kemudian disusul oleh dua temannya yang lain. Agaknya dewi fortuna sedang bersama mereka, karena keempat rekan Lupus tetap kokoh berpegang pada batang pinang dalam posisi berjejer ke atas. Tinggal harapan ada pada Lupus. Apakah dia sanggup untuk memanjat pohon tersebut, yang hadiahnya tinggal beberapa sentimeter lagi? Satu orang terlewati, dua, tiga, empat. Penonton berdecak kagum. Histeria massa terjadi. Dukungan terus mengalir. Dan Lupus hampir menyentuh pucuk pohon ketika tiba-tiba terdengar teriakan yang amat dikenalnya. Lupus menoleh ke bawah. Tampak Lulu menggandeng cowok yang sepertinya membawa kamera video.

“Lupuuuuss... ini lho cowok yang ogut lemparin batu kamarnya!” teriak Lulu nyaring sekali. Lupus kaget setengah mati. Kontan pegangannya mengendur, dan dia melorot ke bawah diikuti oleh keempat rekannya yang di bawaha. Lupus pun mendarat darurat di tanah, tertimpa seorang rekannya yang berbadan besar. Lupus pingsan.

***

“Pus, Lupus... mau nonton nggak film dokumentasi yang dapat piala citra di FFI ’86? Bagus deh!” tegur Lulu lembut, ketika Lupus lagi istirahat total di kamarnya.

“Ya, bolehlah...,” jawab Lupus lemah. Terus terang, bukannya alergi sama film Indonesia, tapi dia memang lagi nggak enak badan setelah kejadian sial beberapa hari yang lalu. Terpaksa terus-terusan berbaring di atas tempat tidur selama tiga hari.

Lulu pun dengan sigap memasang kaset video tersebut. Lupus menunggu di kursi panjang. Dan dia bengong ketika membaca judul film di layar TV, Lupus, dalam film PERJUANGAN TANPA AKHIR. Dan isinya ternyata rekaman ketika Lupus jatuh merosot dari pohon pinang pada perayaan hari kemerdekaan kemarin.

Untuk kedua kalinya Lupus pingsan.



3. Pameran Foto Tunggal



EMBUN pagi belum lagi mengering. Kelas-kelas juga masih sepi, ketika Anto sudah asyik duduk di pintu gerbang sekolah. Ini sudah ketiga kalinya dia datang pagi-pagi buta begitu. Dan biasanya dia akan tetap duduk di situ sampai dari kejauhan muncul bayangan sosok Lupus. Yang berjalan seperti biasa. Cuwek. Dengan tas kanvas yang talinya di bikin panjaaaang sekali, sampai dia harus menggantungkannya di kepala, agar tidak terseret-seret di tanah. Tasnya pun dibiarkan bergelantungan di belakang. Kayaknya merepotkan, tapi Lupus suka. Sementara mulutnya tetap komat-kamit mengunyah permen karet. Tapi toh masih sempat ngingsot segala.

“Hai To. Gimana emak lu? Baek?” sapa Lupus cuwek sambil memutar kepalanya dengan susah-payah, karena keberatan tas. Lalu berjalan lagi tanpa menunggu jawaban dari Anto. Tak langsung menuju kelas, tetapi sempat mampir dulu di kantin. Melihat kemungkinan kalau-kalau ada yang bisa ditebengi jajan. Kebetulan di situ ada Aji, Boim dan Gito.

“Wah, rupanya perabotan lenong kita udah pada datang!” sapa Lupus dan langsung parkir di sebelah Aji, anak Jawa yang doyan makan dodol. Yang disapa pada menoleh berbarengan.

“Pengumuman! Pengumuman! Boim kita ini dapet julukan baru lagi, selain playboy duren tiga!” teriak Lupus sambil menepuk-nepuk bahu Boim. Boim yang lagi asyik nyeruput kopi panasnya, jadi terbatuk-batuk.

“Julukan apa?” Aji langsung tertarik. Sementara Gito berlagak cuwek, tapi kupingnya tetap ingin mendengar.

“Bapak Perek Sedunia!”

“Hus!” Aji melotot. Boim ngamuk-ngamuk, sedang Gito malah ketawa.

“Iya, iya, kamu memangnya nggak liat waktu malam kesenian tadi malam? Ceritanya si Boim kepingin gaya. Pingin ngikutin Boy George. Rambut dipakein foam, pake lipstick, eye-shadow, dan enggak lupa topi kembang-kembang ala Duran Duran. Emang sih, jadi rada kece kayak cewek. Eh, pas berangkat, dia nginjek kaki orang di bis. Langsung aja diteriaki, ‘Perek lu!’ si Boim nggak mau kalah, dia ikutan teriak, ’Eh, lu tau aje. Sia-sia dong penyamaran gue!’ Gitu katanya.”

Boim makin ngamuk.

“Sialan, tau dari mana lu! Bohong! Bohong! Jangan percaya! Kalau percaya gue jitak lu!”

“Bener kok. Silahkan percaya. Bukti-bukti kuat. Waktu itu kan saya lagi naik bis yang sama dengan Boim. Dan sempet nggak ngenalin juga waktu kamu baru naik, Im. Lagian yang heran, kok tega-teganya orang itu ngatain kamu perek. Padahal kamu jenggotan begitu.”

Dan pagi itu pun Lupus dikejar-kejar Boim. Keliling-keliling lapangan. Kepala Lupus sempat benjol juga kena sambit pisang goreng.

***

Keluar main kedua, mereka nongkrong di kantin lagi. Di situ ada meta sama Nyit-nyit lagi ngebakso. Eh, Hit-nyit itu nama orang lho! Nama aslinya sih Yunita, tapi temen-temenya manggil dia Hit-nyit. Karena setelah diselidiki ternyata anatomi tubuh dan warnanya mirip-mirip... kunyit.

“Hit, kamu kalo jalan sama Meta kayak adik-kakak aja. Emang sodara ya?” celoteh Boim sok akrab sambil mencomot pisang goreng. Kedua cewek itu malah duduk membalik, membelakangi Boim.

“Lho, mereka emang sodara kok!” Lupus tiba-tiba ikut nyeletuk. “Cuma lain ayah lain ibu, tapi satu pembantu... hehehehe”

“Saya nggak tanya sama kamu!” Boim menjawab ketus. “Eh, rumah kamu di mana sih Hit?”

“Di sini!” jawab Hit-nyit cuwek sambil menunjuk ke lobang hidungnya. Ih!

Boim sempet kaget, tapi dasar playboy, dia tak menyerah.

“Kalo gitu deket sekali dong. Boleh nggak main ke rumah?”

“Boleh aja. Tapi punya ongkos nggak buat pulangnya nanti?” Lupus nyeletuk lagi.

Aji dan Gito ketawa. Dan Anto yang juga diam-diam ada di situ, ikut tersenyum. Belakangan ini, Anto memang selalu membayangi ke mana Lupus pergi.

***

Pulang sekolah, si Boim ngajakin pulang lewat Palmerah. Cari suasana baru, katanya. Gito jelas nggak setuju, soalnya dia harus pulang ke Blok M. Maka cuma Lupus dan Aji yang setuju. Mereka pun berjalan menelusuri jalan-jalan Palmerah yang gersang. Saat itu Boim nampak gaya sekali dengan kaus barunya. Warnanya gila-gilaan . Pink. Tapi ini masih mending. Minggu kemarin, dia pake warna kuning mencolok. Sampe-sampe Lupus nggak bisa nahan diri untuk meledek,

“Eh, kalian pada kepingin liat tokai jalan nggak? Tuh, liat aja si Boim.”

Memang cuma Boim dan Ruri aja yang hobi pake kaus bebas kalau pelajaran olahraga. Mereka ogah pake kaus seragam. Gengsi, katanya. Dan biar kena tegur guru, mereka cuwek.

Di dekat lampu merah, Boim dapet kenalan. Seorang cewek yang kayaknya udah kuliah. Tapi Boim main tancep aja. Lupus dan Aji cuma nguping dari belakang.

“Kamu masih esema atau udah kuliah?” tanya cewek itu.

Boim yang sadar kalau lagi nggak pake seragam, langsung sombong, “Oto, kuliah dong. Di UI. Dan ini, dua temen saya. Lupus dan Aji. Mereka masih esema.”

“O ya? Kamu ngambil jurusan apa?

Belum sempat Boim menjawab, Lupus nyeletuk lagi, “Iya, mbak, dia memang sudah kuliah. Siang ngambil komputer, malemnya dihukum.”

Aji ngakak setengah mati. Boim ngamuk-ngamuk.

Jam dua mereka pisah. Aji sama Boim ada perlu ke Kebon Jeruk, sedang Lupus pulang sendirian ke Grogol. Dia pun mengejar-ngejar mikrolet yang baru lewat.

“Awas kepala! Awas kepala!” teriak sopirnya sambil berusaha memperlambat jalannya mikrolet. (soalnya di situ nggak boleh berhenti!) – Dan – jeduk!- betul juga, saking nafsunya Lupus ngelompat, kepalanya kejeduk pintu mikrolet yang rendah. Bunyinya seru juga, kayak kompor meledak. Semua penumpang serentak memandang ke arahnya.

“Sakit, Dik? Makanya hati-hati, kan udah dibilangi.”

Lupus cuma nyengir. Pinginnya sih ngelus-ngelus kepala yang rasanya benjol berat. Tapi gengsi. Jadi ya ditahan aja. Pura-pura cuwek, padahal... ngujubileh sakitnya.

“Kalau sakit ya elus aja, jangan pura-pura cuwek, Pus!”

Suara dari samping mengagetkannya. Lupus menoleh, eh, ternyata Anto sudah berada di sampingnya.

***

Ya, belakangan ini Anto memang hobi banget menguntit aktivitas Lupus. Bukan apa-apa, dia itu sebenernya memang lagi heran. Apa kelebihan yang dimiliki Lupus, sehingga anak itu disukai banyak temennya. Cewek dan cowok. Di samping itu, dia juga sering dipuji para guru karena ide-idenya yang kadang cemerlang, meski nampak sederhana. Seperti gagasan membikin buku tahunan sekolah yang hampir semua isinya dia kerjakan. Dari memilih foto, memberi teks yang lucu-lucu, memberi kata pengantar, pokoknya semua. Hasilnya sederhana saja. Tak begitu luar biasa. Dan rasanya orang yang paling bodoh pun bisa mengerjakan persis seperti itu. Beneran. Tapi, herannya kok buku itu ya disukai para siswa. Padahal kalau saya yang bikin, bisa lima kali lebih baik daripada itu! Pikir Anto.

Namun tak urung dia masih heran. Kok Lupus yang harus punya ide bikin buku tahunan itu, bukan saya! Beberapa kali Anto juga pernah baca puisi Lupus yang dimuat di majalah dinding. Itu juga nggak terlalu hebat. Justru cenderung norak. Coba aja baca satu puisinya ini :

Sayur Asem

Sayur asen adalah sayur kesenanganku

Eh, karena kebanyakan makan sayur asem

Semut-semut yang biasanya mengerubungi air seniku kini tidak lagi

Karena.. asem...

Nah, apa hebatnya? Boim yang cara berpikirnya paling complicated sekalipun, masih bisa bikin yang lebih bagus dari puisinya Lupus itu.

Dan setelah beberapa hari terakhir ini Anto menguntit Lupus, dia mulai mendapat kepercayaan diri. Dia pasti bisa kayak Lupus. Yang hobinya ngeledekin orang, tapi disukai teman-temannya. Yang punya pacar anak kelas satu, tapi masih suka boncengan sepeda sama Vera. Yang jelek, tapi dipikir-pikir lumayan juga daripada ketiban tangga.

Anto juga bisa seperti Lupus.

Maka besoknya, semua yang pernah Lupus kerjakan, dia coba. Waktu berangkat sekolah, tali tasnya juga dipanjangi kayak tas Lupus. Digantung di kepala dan jalannya dicuwek-cuwekin. Sampai hampir ketabrak becak. Ikut-ikutan makan permen karet, meski beberapa kali hampir ketelen.

Dan setiap malam, dia membuat puisi sebanyak-banyaknya, sebagus-bagusnya. Beberapa hari lagi anak-anak pasti pada kagum sama saya. Sama puisi-puisi saya! Pekik Anto dalam hati.

***

Pagi itu Anto sudah siap dengan puisi-puisinya. Jalannya juga jadi sedikit yakin menuju pintu gerbang. Sesaat, ketika melewati majalah dinding, dia sempat mencibir pada puisi-puisi Lupus yang nampang di situ. Lalu langsung masuk ke kelas. Ada rencana, pas keluar main nanti, dia akan menyerahkan semua puisinya pada redaktur majalah dinding sekolah.

Pelajaran pertama, kedua dan ketiga telah berlalu.

Saat istirahat.

Anak-anak di luar ramai tertawa-tawa. Anto yang sedang menyiapkan puisinya, jadi agak terlambat keluar kelas. Dan dia pun melongokkan kepalanya dari jendela, untuk melihat apa yang sedang diributkan anak-anak. Deg! Tiba-tiba jantungnya berdetak keras. Anak-anak itu sedang merubungi majalah dinding! Ada apa di sana? Dengan penasaran, Anto keluar. Ikut menerobos kerumunan anak-anak yang sedang tertawa-tawa di depan majalah dinding. Begitu berhasil, Anto tercengang memandang foto-foto yang terpampang di situ, dengan judul besar di atas : ‘PAMERAN FOTO TUNGGAL KARYA LUPUS’. Di situ digelar foto-foto kocak hasil bidikan Lupus waktu acara ‘Malam Kesenian SMA Merah Putih’, dengan teks foto yang tak kalah kocaknya. Ada foto Boim lagi jadi bencong, foto kep-sek yang lagi ketiduran, foto guru olahraga yang kepergok lagi godaiin ibu biologi, foto Gusur lagi ngerayu Fifi, atau foto Mr. Punk lagi berbalet-ria karena terpeleset kulit pisang. Pokoknya lucu-lucu deh...

***

Anto berjalan pulang. Menelusuri trotoar sepi yang tadi dilalui anak-anak. Puisi-puisi yang tadinya disiapkannya, kini masih berada di dalam tasnya. Tak jadi dipajang.

Foto-foto karya Lupus tadi juga tidak begitu bagus. Malah beberapa ada yang gak fokus dan burem. Anto, dengan kamera Nikon-nya, jelas bisa membuat foto yang mutunya jauh lebih bagus. Tapi Anto tidak akan melakukan itu. Dia kini tau, salah satu kemenangan Lupus adalah kekayaan idenya. Meniru sesuatu yang sudah ada memang mudah, tapi mencipta sesuatu yang baru, apa juga mudah? Dan entah apa lagi yang akan dibuat Lupus Minggu depan, kalau sekarang Anto ikut-ikutan bikin foto kayak gitu.

Di tempat pemberhentian bis, Anto ketemu Lupus, Boim dan teman-temannya lagi asyik menggoda cewek lewat.

Anto mendekat.

“Eeee, Anto, belum pulang?” sapa Lupus riang.

Anto Cuma mesem.

Saya denger kamu dapat ranking paling tinggi ya, waktu pembagian rapor bayangan minggu lalu? Salut berat deh!” kata Lupus sambil menjabat tangan Anto.

“Ah, gitu-gitu aja kok. Kamu sendiri gimana?”

“Jangan khawatir, masih seperti biasa kok. Tewas dengan sukses. Hahahaha...”

Anto ikut tertawa.

Dan kini dia menemukan satu hal lagi yang paling penting dan patut ditiru dari Lupus. Yang selalu menganggap hidup ini begitu indah...



4. Fifi Alone

Lupus kaget banget waktu secara mendadak sepotong tangan halus mencolek pundaknya. Tampangnya jadi bloon nggak ketulungan, dan permen karet yang sudah setengah jam dikunyahnya nyaris mencolot keluar. Di hadapannya terpampang seraut wajah sumringah milik Fifi Alone, teman sekelas Lupus yang (sok) kece. Tapi sayang, meski namanya pakai ‘alone’ di belakangnya, anak kece ini nggak pernah dipromosiin ke kamu-kamu, soalnya udah ada yang naksir. Yaitu si Gusur, seniman sableng anak bahasa. Jadi ya silakan kecewa aja.

Fifi pun melemparkan senyum legitnya, “Selamat ya, Pus, kapan kamu mau interview ogut? Calling dulu dong sebelumnya, biar entar ogut sediain waktu khusus buat you!” Interview? Setengah heran Lupus bertanya dalam hati. Tapi suara yang cenderung dimerdui-merduin dengan bahasa gado-gado dari Fifi, membuatnya tak berselera untuk meledakkan sumpah serapah.

“Dont be a fool, Pus. Kamu kan wartawan, kamu so pasti perlu artis untuk di-interview sebagai bahan tulisan di you punya majalah!?

“Ya, tapi apa hubungannya dengan kamu, Fi?”

Disodori pertanyaan kayak gitu, Fifi jadi tertawa manja.

“Wah, ke mana aja sih kamu, Pus? Belum tau ya kalo dua bulan lagi film perdana ike bakal keluar?”

“Film? Sejak kapan kamu main film? Apa nggak salah denger nih?”

“Of course not. Waktu saya pura-pura sakit, dan bolos sekolah selama tiga minggu lebih, kan lagi sibuk-sibuknya shooting tuh. Cuek aja, pelajaran ketinggalan nggak jadi soal. Yang penting bina aku punya karir dulu. Ya nggak, ya nggak?

“Eh, ike yakin deh film perdana ike bakal sukses besar, mengalahkan ibunda-nya Teguh Karya. Sebab judulnya aja asyik, Menanti Langganan di Pintu Gerbang. Memang ada unsur seks-nya dikit, tapi percaya deh, nggak terlalu murahan kok. Di film itu, kru-kru film banyak yang menilai permainanku bagus. Dan percaya nggak, katanya aku punya kans besar buat ngerontokin dominasinya Enny Beatrice. Makanya kamu interview ike deh, Pus. Mumpung ike masih punya waktu untuk itu. Kalo ditunda-tunda nanti keburu hari-hari ike habis untuk shooting. Mana bisa terima kamu lagi? Sebenarnya sekarang juga udah sibuk sih, kan ada tawaran main film lagi. Karena kita temenan, ya fifty-fifty deh. Kawan-kawan lain juga udah dibilangin, kalo pada mau minta tanda tangan, sekarang-sekarang aja. Nanti kalo udah ngetop kan repot berat!”

Panjang lebar Fifi Alone ngecap, sampai Lupus kesemutan. Perihal cewek satu ini ngidam pingin jadi artis sih udah bukan berita baru lagi. Dari dulu juga lagaknya suka sok artis. Seperti waktu anak-anak-termasuk-Fifi –lagi pada antri masuk kolam renang sampai bergerombol-gerombol dengan anak sekolah lain, atau waktu pada rebutan naik bis pulang sekolah, Fifi dengan enteng berbisik, “kamu tau nggak, Pus, kenapa mereka pada bergerombol desak-desakan begini?”

“Enggak, memang kenapa?”

“Mereka pada kepingin dekat-dekat saya. Maklum artis.”

Duile, Lupus sampai keki. Yang namanya antri di mana-mana juga saling berdesakan. Dan saking sok artisnya, Fifi akan protes keras kalo namanya ditulis sesederhana itu. Dia biasa menuliskan namanya dengan ‘Vieffy Alne’.

Memang dalam forum yang gak resmi, Lupus pernah juga berkomentar, “Sebetulnya mental untuk jadi artis sudah dimiliki Fifi, tapi kesempatannya aja yang belum ada.”

Makannya waktu Fifi dengan semangat proklamasinya menerangkan bahwa dia sudah membintangi sebuah film, Lupus setengah percaya setengah enggak. Yang membuat Lupus yakin, setahunya Fifi memang sempat ngebolos tiga minggu lebih. Tapi apa benar tindakan cuti ilegal itu dipergunakan untuk shooting film atau keperluan lain, nggak jelas juga. Lupus malah mengira dia lagi cuti hamil (hus!).

Lupus bimbang. Fifi memandang genit, sambil mendekikkan pipi gaya Marissa Haque.

“Ngomong-ngomong, apa peranan kamu di film itu, Fi?”

Ditanya begitu, Fifi yang tadinya sempat bergenit ria jadi mendadak gelagapan. Tapi karena mental artisnya sudah kental melekat, dengan cepat ia menguasai keadaan dan menjawab,

“Ah, perananku di sana sih memang nggak besar. Tapi percaya deh, tanpa aku film itu tak berarti apa-apa.”

“Semacam pemeran pembantu, begitu?”

“I think so. Cuma masalahnya kapan kamu mau interview, Pus?” Lupus belum sempat menjawab pasti, ketika bel masuk sekonyong-konyong gedombrangan.

***

Bisa diduga bak api tersiram bensin, selang waktu yang tak lama SMA Merah Putih menjadi gempar. Di kantin, di ruang praktek, perpustakaan, semua sibuk mengomentari Fifi yang mendadak jadi bintang film beneran.

“Nggak nyangka, akhirnya cita-citanya kesampaian juga!” celetuk Boim terkagum-kagum.

“Ah, paling-paling dia main sabun sama produsernya!” timpal Ruri yang suka sirik, lantaran udah lama dia sedikit keki sam tingkah laku Fifi. Dan tentunya juga ngiri, kenapa Fifi bisa jadi bintang film, sedang dia nggak. Padahal menurut kaca di rumahnya, yang barangkali kalo bisa ngomong pasti dipelototi, wajahnya jauh lebih cakep kalo dibandingi si Fifi. Juga kata neneknya, yang barangkali aja agak kurang pergaulan sampai menyangka bahwa Ruri adalah gadis terayu yang pernah dia lihat. Makanya jangan heran, bila dia belajar dari pengalaman tersebut, lantas jadi keki nggak ketulungan.

Lupus yang menangkap ada getaran nggak enak dari nada ucapan Ruri, kontan ingin coba-coba memancing di air butek.

“Main sabun gimana maksudmu, Rur? Bikin balon-balonan, gitu?”

“Goblol, kamu kan tau sendiri bagaimana situasi dunia perfilman saat ini? Banyak produser yang genit, dan banyak juga calon bintang yang nggak bermoral. Asal bisa nongol di satu film, dia rela melakukan apa saja untuk sang produser, atau sutradara. Orang yang paling memungkinkan seseorang bisa muncul di film. Termasuk buka-buka baju segala (iii...!). Nah, produsernya juga gila lagi. Tau orang butuh dan nggak berdaya, maka dipergunakan deh kesempatan itu sebaik-baiknya!” jelas Ruri sambil berlagak mengutak-atik soal matematika.

“Maksudmu Fifi terlibat kasus kayak gitu?”

“Ah, aku kan nggak bilang. Tapi setidaknya kamu bisa terka sendiri, bukan?” ada sunggingan senyum di sudut bibir Ruri ketika mengatakan itu.

***

Meski sebenernya persoalan sepele, SMA Merah Putih ternyata memang sedang rame saat ini karena ulah Fifi. Ada yang pro dan kontra. Kalau teman dekan Fifi yang mendadak jadi sering ditraktir, tentu saja setuju dan mendukung karir Fifi. Sedang sebagian siswi yang merasa tersaingi, kontan menduga yang tidak-tidak mengenai keberhasilannya. Pendeknya, semua pembicaraan yang terjadi di anak-anak jadi seperti memantau gerak-gerik Fifi.

Dan Fifi terus terang aja jadi ke-ge-er-an banget diperhatiin kayak gitu. Wol, dasar metal artisnya sudah kuat melekat, dia nggak grogi sedikit pun. Bahkan tingkahnya kian mengarti saja. Seperti kalo ada kesempatan datang ke sekolah tanpa baju seragam, dia yang paling dulu memanfaatkan. Dengan kostum yang mengarti tentu saja. Baju kegombrangan, celana panjang, lengkap dengan setangkai kaca mata hitam bak tukang pijit. Kalau sudah begitu, dai selalu berkomentar, “ I always feel like everybody’s watching me.”

Perbendaharaan bicaranya pun tak lepas dari soal perfilman, baik barat maupun Indonesia. India dia kurang suka. “Kuno!” katanya. Juga jajaran artis perfilman, hampir semua dia hapal. Disebutnyalah nama-nama beken seperti Ria Rawan, Meriem Bellina, Eva Arnaz, Marissa Haque, Ayu Azhari (kecuali Oma Irama), dan masih berderet lagi yang dia yakin bakal dilangkahinya.

Adapun yang paling merana dengan semua tabiat Fifi yang drastis adalah seniman sableng Gusur. Diam-diam dia juga memendam perasaan tertentu, meski nggak pernah kebales-dan kian nggak kebales setelah desas-desus cewek incarannya menjadi bintang film semakin meluas. Kalau dulu – meski terpaksa – Fifi masih mau menoleh kepadanya jika berpapasan, sekarang nol sama sekali. Gusur kian merana, hampir saja tercipta sebait sajak frustrasinya (tapi nggak jadi lantaran banyak pe-er yang harus dikerjakan).

Maka ketika suatu kali Gusur punya kesempatan berpapasan dengan Fifi, dengan harap cemas dicobanya untuk menegur. Tentu saja dengan gaya sastranya yang khas dan sudah menjadi cap dagangnya.

“Demi mentari pagi nan merekah di ufuk timur, Dara Fifi, kudengar dikau kini sudah mengalih diri menjadi bintang film.”

Ditegur begitu, oleh Gusur lagi, Fifi setengah nggak suka. Tapi masalahnya sudah menyangkut soal film, tak urung dijawabnya juga.

“Seperti yang you lihat, ike sekarang sudah bintang film, bukan? Kenapa tanya-tanya? Kurang yakin? Anda ketinggalan zaman sekali rupanya!” ujar Fifi komplet dengan kesombongan seorang bintang film. Gusur nginyem. Merana betul doi. Kalau kebetulan ada gitar, dia pasti sudah melampiaskan jeritan hatinya dengan kocokan gitar dang-dut ala Camelia Malik.

“....Merana aku merana,

Merana karena cinta durjana...”

Tapi dasar seniman sableng, sambil menggeraikan rambutnya yang rada gondrong, masih pula disambut ucapan Fifi secara ramah. Maklum aja, dia udah kepepet bener sih menggandrungi artis kita ini.

“Andai kutanyakan itu kepada engkau, bukalah berarti tak ada rasa kepercayaan di hatiku nan biru. Namun kepastian darimu tentu akan lebih berarti dari desau bicara teman-teman.” Fifi baru akan menimpali ucapan Gusur ketika dari belakang Lupus memekik memanggil namanya.

“Gimana, jadi nggak kamu interview ike, Pus?” serang Fifi begitu Lupus sampe.

“iya deh. Minggu depan. Dan mudah-mudahan tulisannya tepat terbit bersama beredarnya film kamu.”

“It’s a good idea! Mari ngebakso. Tapi jangan lupa, jangan salah mengeja nama saya, ya? Vieffy Alone!”

***

Tinggal beberapa hari sebelum film perdananya keluar, Fifi nampak makin royal di sekolah. Porsi jajannya jadi lebih. Gaya penampilannya makin mengarti. Banyak teman yang kecipratan rejeki, makan-makan gratis di kantin.

“Pokoknya semua ogut yang tanggung. Walau film ike baru satu, tapi buat ngejajani kalian sih nggak bakalan kedodoran,” katanya.

“Hidup Fifi Alone!” teriak teman-teman yang ditraktir. Pura-pura mendukung, Fifi makin jumawa. Gusur yang meski nggak diundang ikutan nimbrung di kantin, jadi melongo. Harapan semakin jauh. Hanya kepada Lupus, ia berani mengelupas isi kantongnya, eh, isi hatinya.

“Kamu harus sabar, Sur, kejar terus. Lama-lama dia juga bosan, dan mau menerima perasaanmu itu. Katanya kamu punya ilmu santet. Pake aja,” saran Lupus sekenanya.

“Sialan. Namun sampai kapan saya harus bersabar? Tidakkah dai tahu betapa kalbu ini dirundung sendu menanti saat-saat seperti itu? Saat-saat sang dara pujaan mau berbaring di dadaku!”

“Sabar, sabar, Sur. Sabar itu Subur. Buktinya jenggotmu makin lebat.”

“Rasa cintaku takkan pernah padam, meski hujan badai meredam. Demi mentari dan sepi malam hari, akan kucipta selaksa sajak cinta untuk sang juwita!” pekik Gusur bersemangat. Lupus kaget berat. Pinsil yang tadinya asyik digigit-gigit, hampir ketelan.

Tapi itu kemarin, sekarang semangat Gusur hampir kendor setelah menyaksikan sikap dan kemajuan Fifi di kantin. Sedikit lagi filmnya bakal keluar, dan dia tau apa yang bakal terjadi.

“Teman-teman tersayang, saya dengar besok malam film yang saya bintangi bakal masuk acara Apresiasi Film Nasional di TV. Nonton, ya? Kalian bisa lihat ike punya akting!” seru Fifi seraya mencomot sepotong pisang goreng. “ Dan jangan lupa, minggu depan tulisan tentang saya bakal terbit di majalahnya Lupus. Baca ya?” teriaknya lagi, ketika anak-anak pada mau pulang.

“Setuju!” teriak mendukung Fifi serentak. Kata setuju itu akhirnya melahirkan nota kontan Rp. 3.500,- kepada pemilik kantin. Sebelum membayar, Fifi meminta teman-temannya keluar sebentar. Takut pada kaget geliat duitnya yang bejibun, kali! (atau dia takut ketauan ngutang?)

***

Besok malamnya ketika acara Apresiasi Film Nasional dimulai, ternyata tak sedikit siswa SMA Merah Putih yang nongkrong di muka tipi, kepingin menyaksikan permainan Fifi dalam film Menanti Langganan. Yang nggak punya tipi, sampe bela-belain nebeng di rumah tetangga, atau ikut nonton di tipi kelurahan yang gambarnya goyang-goyang terus. (Nggak bayar pajak ‘kali!). tapi walhasil, ternyata film Menanti Langganan nggak jadi diputar. Entah apa sebabnya. Baru ketika besoknya pada sekolah, pertanyaan semalam terjawab. Menurut Fifi, produser filmnya kelupaan mengirimkan suntingan filmnya ke TVRI.

“Jadi kalau nggak dikirim, mana bisa TVRI memutarnya!”

Duile, anak-anak hampir pada kesel mendengar jawaban Fifi barusan. Tapi karena Fifi segera menjentikkan isyarat untuk ngebakso, ya apa boleh buat. Kemangkelan terpaksa urung. Makan sekenyang-kenyangnya, dan seperti biasa anak-anak disuruh keluar dulu sebelum Fifi membayar.

Beberapa minggu kemudian, saat yang sangat dinantikan, terutama oleh Fifi, itu pun tiba. Film Menanti Langganan beredar di pasaran. “Untuk teman-teman, mari kita barengan nonton pertunjukan perdana di Galaxy Teater. Jangan khawatir, ogut yang bayar,” teriak Fifi di tengah rasa bangganya. Anak-anak kembali berteriak setuju entah untuk yang keberapa kalinya.

“Tapi sebelumnya, saya kepingin ketemu Lupus dulu. Ke mana makhluk itu? Beberapa hari ini nggak kelihatan. Katanya tulisan tentang ogut bakal muncul bersamaan dengan keluarnya film ogut. Tapi pagi tadi ogut bela-belain beli majalah yang butut, kok nggak ada!”

Mereka rame-rame mencari Lupus. Dan anak itu diketemukan lagi ngeceng di lapangan olahraga.

“Ayo, kamu bohong ya, Pus. Katanya tulisan tentang ogut mau terbit sekarang. Kok nggak ada?” pekik Fifi sambil menepuk pundak Lupus. Sementara pendukungnya pada berbaris di belakang.

“Kira-kira dong, Fi. Bikin kaget aja!”

“Iya, tapi lu bohong!”

“Soal wawancara itu?”

“Yo-a. Mana, kok belum dimuat?”

“Wah, sori, mungkin baru minggu depan. Tapi udah turun cetak kok. Sabar aja dikit!”

“Sayang banget sebenernya. Tapi nggak apa-apa deh. Ngomong-ngomong nanti kamu ikut ngegabung ke kita punya acara ya, Pus? Buat nonton pertunjukan perdana film saya!”

Lupus sebenernya sudah diundang kondangan di tetangganya, tapi karena kepingin geliat permainan Fifi, terpaksa dia oke juga.

“Tapi jemput, ya?” kata Lupus.

***

Malamnya sekitar 20 siswa SMA Merah Putih sudah ngejogrok di dalam gedung bioskop. Rame sekali. Fifi yang malam itu jadi bintang, dan mengeluarkankan segala biaya untuk ini-itu, memang kelihatan paling kece. Lebih tepat dikece-kecein. Dan dia udah siap bawa pulpen dua biji.

“Kali-kali aja setelah pemutaran film, pada minta tanda tangan saya...” katanya.

“Jaga-jaga kalau satunya abis, sedang yang ngantri tanda tangan masih banyak.”

“Buset, jauh banget pikiranmu!”

Film itu akhirnya diputar, ketika anak-anak sudah gelisah menunggu. Judul Menanti Langganan terpampang jelas di layar. Bintangnya, produsernya, sutradaranya rapi disebutkan. Tapi yang aneh, kok nggak ada tertulis nama Fifi Alone? Anak-anak mulai gelisah. Namun Fifi dengan sok akrab beralasan, “Ah, sembrono betul sih teknisi filmnya? Sampai namaku nggak dipajang. Tapi, nggak apalah. Apa arti sebuah nama?”

Anak-anak maklum. Film berjalan adegan demi adegan. Ketika cerita film sudah berjalan setengah jam dan Fifi belum nongol, dari arah samping sekonyong-konyong Lupus nyeletuk,

“Ke mana aja sih kamu, Fi? Kok gak pernah tampil?”

“Tenang, ini belum klimaks. Sebentar lagi juga ada,” jawab Fifi singkat. Anak-anak kembali gelisah. Gusur yang secara diam-diam juga bela-belain nonton di pojokan, menanti dengan gelisah.

Dan akhirnya saat itu pun tibalah. Fifi muncul di layar. Memerankan seorang mahasiswi yang tengah menunggu bis. Sekilas, dan tak pernah muncul lagi hingga film usai.

Tanpa komentar, anak-anak pun pulang dengan wajah dongkol. Pertanyaan Fifi yang menanyakan bagus atau tidak aktingnya, tak mendapat jawaban sedikit pun. Tapi Fifi memang nggak bohong, tanpa Fifi film itu nggak ada apa-apanya. Bukankah film yang bagus akan menjadi cacat jika dibuang satu adegan saja?

Pulangnya dengan cekikikan Boim mendekati Lupus.

“Syukuri, kali ini kamu terkecoh, Pus. Saya denger tulisan besar-besaran tentang Fifi sudah siap cetak di majalah kamu. Padahal Fifi kan cuma pemeran figuran! Hihihi...”

“Lho, siapa bilang? Saya juga punya surprise buat Fifi. Karena sebetulnya tulisan tentang dia saya masukin ke rubrik jodoh. Lengkap beserta foto-fotonya. Rasain deh, sebentar bakalan berdatangan surat-surat cinta kampungan untuknya.”

Lupus tertawa.

Tapi Gusur makin merana...



5. Terang Bulan

YANG namanya remaja setiap ada kesempatan libur, pasti tak akan dilewatkan begitu saja. Selalu ada saja yang dikerjakan. Dan pada saat-saat liburan, justru kreativitas mereka lebih menonjol. Menciptakan kegiatan apa saja yang bisa menimbulkan keasyikan tersendiri. Yang kesemuanya ini akan segera dilupakan ketika mereka kembali harus menekuni buku sekolah. Memaksa diri belajar, meski pikiran tetap melayang.

Dan keasyikan kala liburan itu kadang menjadi mode, yang cepat mewabahi remaja. Sulit ditemukan siapa yang memulai, tapi sudah mewabah dengan satu orang saja yang memulai. Seperti sekarang, pas hari jumat, Irvan begitu gembiranya ketika baru menyadari bahwa besok ada tanggalan merah. Berarti ada dua hari libur: Sabtu dan minggu. Cukup bikin acara khusus. Maka dia pun menghampiri Lupus yang lagi asyik menyalin pe-er kimia dari buku Utari.

“Hei, kamu pasti kegirangan banget mendegar ide cemerlang saya kali ini!” sahutnya sambil menepuk bahu Lupus. Lupus tak bereaksi, terus mengerjakan pekerjaan rutinnya : nyalin pe-er. Dia memang nggak hobi bikin pe-er. Wong dia pernah berkata bahwa waktu yang terluang di rumah adalah saat-saat yang tepat untuk mengerjakan hobi. Dan kamu tau pelajaran kan tidak boleh mengganggu hobi... Makanya kalau ada pe-er, dia pasti rajin datang pagi-pagi. Langsung mencari Utari yang suka rajin bikin pe-er.

“Begini lho, Pus. Sabtu dan Minggu besok kan kita libur. Saya punya ide untuk mengisi hari-hari yang sangat bersejarah itu. Kamu tau nggak, pada malam itu akan ada terang bulan. Nah, kita bisa hura-hura ke Puncak. Seperti anak-anak lainnya. Wah, pasti rame sekali deh!” lanjut Irvan.

“Rame?” tanya Lupus sambil terus nyali pe-er.

“Iya. Kamu nggak tau ua, kalau anak-anak banyak yang pergi ke Puncak kalau lagi terang bulan? Wah – kuno. Asyik sekali, kan.”

“Nanti malam?”

“Iya, nanti malam. Kan besoknya libur dua hari tuh. Cukup deh buat hura-hura.”

“Ke Puncak?”

“Iya. Kita bisa ajak anak-anak lainnya seperti si Ridwan, Anto, Roni... wah-mereka pasti setuju. Gimana?”

“Kapan?”

“Nanti malam. Soalnya kendaraan gampang deh. Saya bisa usahakan pinjam Bokap.”

“Sama siapa?”

“Ya... kita ajak teman-teman kita. Seperti si Ridwan, Anto, Roni...”

“Ajak ke mana?”

“Ke Puncak. Wah nggak bisa kebayang. Bakalan rame deh. Bisa ketemu teman, cewek kece... Percaya deh sama saya. Kamu pasti suka. Di sana rame sekali...”

“Rame?”

Irvan melotot. Keterlaluan, dia baru sadar kalau baru dikerjai Lupus. Anak ini memang sialan banget, orang udah cerita serius-serius malah dipermainkan. Nggak bisa menghargai ide cemerlang orang lain, ya?

“He, lu tau dodol nggak ?” bentak Irvan kesal.

Lupus Cuma ngikik (nggak tau ngikik, ya? Sama aja dengan ngakak, tapi bunyinya seperti kuntilanak cekikikan). “Sori deh. Abis kamu juga sih nakal. Orang lagi asyik-asyik nyali pe-er diajak ngomong terus. Nanti kan nggak bisa selesai. Saya bisa disetrap. Setelah keluar main nanti deh kita omongin lagi. Oke? Nah, sana. Maen dulu. Ini ada gocap kalau kamu mau beli es atau apa gitu...”

Irvan mendengus, dan dengan dongkol dia pergi

***

Begitu keluar main pertaa, Irvan langsung mengumpulkan teman-temannya: Lupus, Ridwan, Anto, dan Roni. Dengan semangat ’45, dia menyampaikan ide cemerlangnya. “Nah, seperti yang saya bilang tadi, kita bikin acara nanti malam. Semua ngumpul di rumah saya nanti sore sekitar jam lima. Saya bisa usahai pinjam minibis Bokap. Biar udah tua, tapi tuh mobil ngirit banget. Dengan 10 liter bensin, cukup untuk Jakarta-Puncak pulang pergi. Apalagi kalau pakai bensin campur; dua liter cukup!”

“Ngaco, mana mungkin cukup dua liter?” bantah Lupus.

“Lho, kan pake bensin campur. Campur dorong, gitu. Jadi kalau udah abis bensinnya, kalian dorong rame-rame sampe Puncak. Hehehe... “ Irvan tersenyum puas. Gantian Lupus yang keki.

“Hampir lucu!” sahut Lupus dongkol.

“Oke, gimana? Setuju, kan? Saya deh yang bawa mobilnya. Kalian cukup mempersiapkan perlengkapan lainnya. Misalnya kompor, panci, beras, sleeping bag...”

“Dikata mau kemping apa?”

“Habis bawa apaan dong?”

“Ya, bawa aja makanan kecil yang murah tapi meriah...” usul Lupus.

“Misalnya?” Irvan jadi tertarik.

“Semut rang-rang...”

“Asem! Ya, gitu aja deh. Bawa sendiri apa-apa yang kita perlukan nanti. Dan inget, kita nggak usah ajak cewek kita. Nggak seru. Ntar nggak bebas. Kita nggak bisa ngeceng.”

Semua mengangguk cepat.

“Tapi yang penting semua pada bawa makanan yang banyak, ya?” sahut Lupus lagi. Dia memang paling hobi kalau diajak makan. Nggak kenal basa basi, langsung sikat. Wong dia punya prinsip sama dengan temannya Rosfita yang juga doyan makan itu. Katanya, jangan pernah mengecewakan orang yang sudah berbaik hati nawarin makanan. Dosa besar! Sampai-sampai Lulu, adik Lupus, pernah berkomentar, “Kalau kita sendiri di atas tumpukan nasi di piring Lupus, pasti seluruh pulau Jawa kelihatan.” Lupus keki juga. Tapi dia memang makannya banyak. Sering di pesta ulang tahun teman-temannya, dia nggak sadar ngambil nasi kebanyakan. Sampai teman-temannya pada berkomentar, ”Doyan atau rakus, Pus?”

“Nggak, Cuma kesurupan,” balas Lupus dongkol.

Dan anehnya biar doyan makan, Lupus tetap aja berbadan langsing. Cuma jempolnya aja yang makin gede. Mungkin semua vitamin masuk ke situ.

Dan percakapan kelima cowok itu terhenti ketika Boim masuk ke kelas.

“Set... ada Boim. Dia nggak ikutan, kan? Abis suka norak sih!” bisik Roni. Semua pada diam.

“Hayo, kok jadi pada bungkam. Abis ngegosipin saya, ya?” ujar Boim lantang.

“Kok tau? Padahal kita nggak niat jahat. Sumpah deh!” jawab Lupus polos.

“Tau dong. Pasti kalian lagi ngomongin kenapa saya kemarin bisa jalan-jalan sama Svida, ya?”

“Bukan. Kita lagi main tebak-tebakan; benda apa yang serba keriting. Ya rambutnya, ya hidungnya, ya bibirnya, ya alisnya dan bulu-bulu lainnya, tapi benda itu hidup. Terus kita semua jadi inget kamu. Padahal sungguh mati deh, kita nggak maksud begitu tadinya. Cuma iseng aja bikin teka-teki. Dan kamunya, panjang umur sekali. Lagi diteka-tekiin ee... tau-tau nongol.”

Boim langsung ngeloyor pergi.

***

Lupus memang tau kalau minibis yang akan dibawa Irvan sudah agak tua, tetapi nggak kebayang akan sebobrok ini. Lupus sempat heran ketika melihat bodi mobil yang benar-benar menyedihkan itu. “Eh, apa masih bisa jalan, nih?” tanya Lupus ragu.

“Jangan menghina! Gini-gini masih bagus mesinnya. Masih kuat dibawa ke Surabaya. Udah deh, naik aja. Kita berangkat sekarang.”

Dan benar, meski tua toh mobil itu sekarang bisa berjalan dengan mulus menelusuri jalan tol yang sepi lepas magrib. Irvan dan Roni duduk di depan. Di deretan kedua, Anto sama Ridwan. Dan Lupus paling belakang sendirian. Asyik membuka-buka makanan bawaannya. Ada cokelat, permen karet, kuaci, kacang sukro, selai pisang, keripik, dodol, dan sejenisnya. Persis orang mau mudik lebaran. Sebagian memang dikasih Rina. Tadi, sebelum pergi, dia sempat pamit sama doinya itu. Minta doa restu. Langsung aja dibekali macem-macem buat di jalan. Anto, Ridwan, Roni dan Irvan juga sempat pamitan sama doinya masing-masing. Dan sekarang mereka lagi membayangkan suasana di sana nanti. Ketemu teman-teman lain, sama-sama memandangi bulan yang bersinar penuh. Dengan udara Puncak yang dingin. Sementara di bawah terhampar indah permadani alam. Terdiri dari kelap-kelip lampu kota di kejauhan. Duh, betapa indahnya hidup di dunia ini. Belum lagi kalu di jalan bisa ketemu cewek kece. Eh, tapi apa iya bisa ngegodain cewek dengan mobil butut keluaran zaman rikiplik begiani?

Tapi Tuhan memang Maha Adil. Di dekat Puncak, tiba-tiba melintas seorang cewek manis. Irvan langsung mengerem.

“Busyet, kece banget tuh cewek. Sendirian lagi. Kita ajak , yuk?”

Secara serentak mereka langsung melongokkan kepalanya ke jendela. Di luar memang berjalan cewek manis. Berdandan rada menor, tapi justru makin asyik.

“Iya-ya. Kita ajak aja. Lumayan kan buat...”

“Hus, dosa lho. Kita kan udah janji sama cewek-cewek kita untuk nggak serong?”

“Ini bukan serong. Cuma buat iseng. Nggak apa-apa, kok. Wajar. Namanya juga cowok. Yuk, kita ajak aja.”

Lupus ragu, tapi ya setuju juga.

“Siapa yang berani ngajak? Kamu aja deh, Pus. Kamu kan suka nekat orangnya!”

“Lho kok saya?”

Tapi karena teman-temannya memaksa, Lupus turun juga. Sempat baca Bismillah sepuluh kali.

“Eh, halo. Saya mau numpang tanya. Jalan ke Puncak lewat sini, ya?” sahut Lupus setelah dekat dengan cewek itu.

“Iya. Terus aja...” suara cewek itu terdengar merdu sekali.

“Masih jauh nggak?”

“Ya, lumayan juga. Kenapa sih? Mau ke Puncak Pas?”

“Iya. Mau ikut nggak? Di sana kan lagi rame kalau malam terang bulan begini. Ikut aja yuk, dari pada sendirian. Jangan takut deh, saya orang baik-baik. Nggak niat mau nyulik kamu. Sumpah!”

Cewek itu tersenyum. Dan entah kenapa, akhirnya cewek itu nurut juga. Ridwan, Irvan, Roni, dan Anto langsung melonjak-lonjak kegirangan.

***

Minibis itu sedang melaju dengan cepatnya, ketika mendadak jaipongan gila-gilaan. Semua orang yang di dalam menjerit. Saling berpegangan. Irvan dengan refleks mengerem mobil yang tak terkontrok itu. Dan tak pelak, semua pada terjerembab ke depan. Lupus yang paling malang. Lagi asyik-asyik makan permen karet, jadi tertelan. Padahal kan anak kecil juga tau, kalau permen karet itu nggak boleh ditelan.

“Ada apa, Ir? Mau akrobat, ya?” seru mereka serempak.

“Enak aja. Tadi ada batu besar di tengah jalan. Saya nggak bisa menghindar. Dan roda mobilnya jadi pecah. Daripada memaki-maki begitu, lebih baik bantu saya ganti ban,” jawab Irvan. Semua pada turun. Termasuk cewek cakep itu. Semua pada memeriksa ban yang pecah.

“Oh, God! Saya lupa nggak bawa ban serep. Bagaimana ini?” teriak Irvan setelah memeriksa ke tempat ban. Semua anak pada berpandang-pandangan. Kecemasan menjalar di wajah-wajah mereka. Apalagi ketika tiba-tiba gemuruh terdengar di kejauhan. Langit menjadi hitam kelam. Sinar bulan purnama dan bintang-bintang secara perlahan tertutup awan gelap. Kabut malam pun mulai turun, dan menyelimuti keadaan sekitar situ. Dan semua pada berebut masuk ketika hujan turun dengan derasnya. Menghancurkan harapan mereka semua untuk bisa menikmati malam indah, bercanda di bawah terang bulan.

Tak ada yang berbicara. Semua seperti menyesali nasib. Tapi ya mau apa lagi kalau sudah begini. Tiba-tiba mereka semua sadar, bahwa gadis itu sudah tak bersama mereka lagi. Menghilang entah ke mana.

“Ke mana perginya? Apa dia ikut dengan mobil yang tadi lewat? Atau...”

Semua jadi mendadak saling mendekat.

“Atau... dia itu setan?” suara Irvan terdengar kering.

Lupus langsung meloncat. Nggak tega membayangkan, gimana kalau gadis itu beneran setan. Padahal kan dia yang ngajak.

“Ini pasti ganjaran buat kita. Cewek tadi itu pembawa sial. Hi... kita telah berdosa menyia-nyiakan kesetian cewek-cewek kita. Cowok memang egois,” ujar Irvan serius. Yang lain terdiam.

“Tadi, waktu kamu ngajak cewek itu, ada sesuatu yang aneh nggak?” tanya Roni.

“Jangan tanya! Saya nggak mau mikirin lagi. Mau setan kek, kuntilanak kek. Terserah. Ketahuilah, saya nggak percaya takhayul. Tapi jangan kira saya berani ketemu cewek itu lagi. Dan, kayaknya Irvan betul juga tuh. Kita harus minta maaf sama cewek kita. Siapa tau Tuhan mendengar niat baik kita, dan mau menolong kita.”

Semua diam. Masing-masing terbang bersama lamunannya. Sementara di luar hujan masih terus turun. Menyebabkan udara semakin dingin menggigit.

***

Hari seninnya mereka semua masuk seperti biasa. Becanda di kelas, ngegosip di kantin, godain cewek-cewek yang baru ngedaftar. Mereka sama sekali lupa peristiwa malam minggu kemarin. Juga lupa meminta maaf sama cewek-cewek mereka.

Yeah, kenangan buruk masa lalu kan lebih baik dilupakan.



6. Sepeda Balap

Lupus lagi sibuk nyariin sepatu kets-nya yang baru, ketika ada orang dengan isengnya mengetuk pintu depan.

“Tunggu sebentar, ya?” teriaknya sambil membongkar-bongkar tempat sepatu. Sial, kok cuma sebelah? Mana lagi yang sebelah? Huh, ini pasti kerjaan si Gegi, anjing peliharaan Lulu. Anjing kecil yang nakal itu memang hobi banget menggigit-gigit sepatu dan membawanya berkeliling all around the world.

Suara ketukan itu terdengar lagi.

“Duile, dibilangi tunggu sebentar kok nggak ngerti?” gerutu Lupus. Tapi tak urung, dibukanya juga pintu depan. Di situ berdiri seorang laki-laki setengah baya, dengan senyum menghias. Pasti ada maunya!

“Permisi, Dik, numpang tanya. Kalau Jalan Kepiting Rebus itu di sebelah mana?” tanya lelaki itu sopan.

“Udah dicari belum?”

“Belum.”

“Ya cari dulu dong. Kalau nggak ketemu, baru boleh tanya!” sahut Lupus sambil menutup pintu.

Lelaki setengah baya itu jadi terbengong-bengong sendiri. Lalu dengan setengah heran, dia melangkah pergi. Tetapi sebelum jauh, Lupus sudah berteriak lagi dari jendela.

“Hei, Pak. Kalau udah ketemu, bilang-bilang ke sini, ya? Barangkali aja kapan-kapan saya juga butuh alamat itu.”

Lelaki itu mendelik sewot.

Dan Lupus pun kembali sibuk nyari-nyari sepatu kets-nya. Rencananya hari itu Lupus memang mau nonton pertandingan basket di gelanggang remaja. Mulainya jam empat, tapi sekarang sudah jam empat lewat. Nggak heran kalau dia begitu panik, takut nggak kebagian tempat. Dia tadi memang sempat ketiduran, dan baru bangun jam empat kurang dikit.

Setelah sepatu yang sebelah ketemu, Lupus langsung menyambar tasnya, dan pergi mencari becak. Tapi sial, tak ada satu becak pun yang nampak. Pada kena razia kali. Ada juga sih satu becak yang sempat lewat, tapi sok jual mahal. Dipanggili nggak nengok-nengok. Sampai Lupus bela-belain lari mengejarnya.

“He, Bang, ke gelanggang berapa?” tanya Lupus.

“Tujuh ratus lima puluh!” abang becak itu berkata spontan.

“Wah, kok mahal banget? Empat ratus aja deh, Bang. Kan deket. Itu, puncak gedungnya aja kelihatan dari sini.”

“Puncak Monas juga kelihatan, Dik, dari sini!” sahut abang becak itu ketus.

Lupus keki berat. Langsung ngeloyor pergir. Mending jalan kaki deh, daripada naik becak kapitalis kayak gitu!

Tapi Lupus memang lagi keburu-buru banget. Jadi mau nggak mau dia celingukan cari becak lainnya. Sampai tiba di depan rumah tetangga yang baru. Yang kalau nggak salah Lupus pernah ada sepeda balap nongkrong di depan rumahnya. Maka ketika dia melihat Lulu lagi asyik ngocol di situ, langsung aja Lupus memanggil.

“Ada apa sih, Pus? Nggak bisa geliat orang seneng ya?” maki Lulu berbisik. Si Dodol adik Lupus itu emang lagi feeling berat sama tetangga baru itu. Dasar cewek zaman sekarang, naksir cowok malah nyamperin duluan.

“Kamu boleh aja maen sama dia di sini, tapi tolongi saya dong pinjemin sepeda balapnya. Sebentar kok. Paling enggak sampai mitnait udah dipulangi. Ayo deh, soalnya ogut mau nonton basket.”

“Kamu aja bilang sendiri,” tolak Lulu.

“Alaaa, tolongin deh, ogut mokal. Kamu kan udah deket sama dia.”

Dibilangi gitu, Lulu senyum-senyum girang. Langsung aja dia ngebilangin maksud dan tujuan Lupus pada tetangga baru itu.

“Oto, boleh kok. Pake aja!” sahut cowok itu ramah.

Dengan cengengesan Lupus pun mengambil sepeda balap yang terparkir di halaman.

“Ini kuncinya.”

“Trims. Saya nggak lama kok!”

“Lama juga nggak apa-apa!” sahut cowok tetangga itu sambil mengedipkan matanya. Lupus nyengir.

Beberapa saat kemudian, Lupus nampak asyik bersepeda ria menuju gelanggang remaja. Duile gayanya, pake ngesot segala. Sempat beberapa kali menyalip anak-anak cewek yang pulang sekolah. Dan sempat juga nambrak tukang kacang rebus ketika lagi asyik ngeliatin cewek manis nyiram bunga di depan rumahnya.

“He, Dodol, mate lu ke mana?” bentak tukang kacang sewot.

“Nggak ke mana-mana kok, jangan kuatir,” sahut Lupus langsung mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dan ketika hendak belok, dia ketemu Vera-teman sekolahnya-lagi naik becak. Dengan lagak bak setan jalanan, dai langsung nyalip.

“Halo, Ver, mau ke gelanggang ya?” sapa Lupus.

Tukang becak itu merem becaknya secara mendadak dan ngamuk-ngamuk.

Lupus cuek.

“Iya, kamu mau ke mana?”

“Samaan sama kamu. Ikut saya aja yuk, biar cepet. Kita udah telat lho!”

Vera setuju. Dan langsung melompat turun dan membayar becaknya.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik berboncengan. Lupus semakin semangat mengayuh. Dan Vera sesekali menggelitik pinggang Lupus yang ramping. Sampai dia kegelian. Kalau sudah begitu, sepeda balapnya jadi jaipongan gila-gilaan. Vera berteriak-teriak ngeri.

“Sepeda kamu bagus, Pus. Baru beri, ya?”

“Iya dong. Asli nih dari luar negeri,” Lupus nyombong.

“Wa, mahal dong harganya...”

“Ya begitulah.”

Semilir angin dan canda-canda ceria anak-anak yang berjalan beriringan sepulang sekolah, menyemarakkan suasana sore itu. Sesekali mereka bersorak-sorak menggoda Lupus dan Vera yang asyik berboncengan.

***

Sesampai di gelanggang, suasana sudah ramai. Banyak orang bersorak-sorak ribut. Pertandingan pasti lagi berjalan dengan serunya. Hari ini memang pertandingan final antara SMA Merah Putih dan SMA Adikarya.

“Buruan, Pus. Kita udah terlambat banget nih!” kata Vera.

“Iya, kamu ke sana duluan deh, nukerin kupon konsumsi. Biar saya nyimpan sepeda.”

Vera pun berlari ke arah penukaran kupon. Sementara Lupus dengan terburu-buru menyelipkan sepedanya di antara sepeda-sepeda lain yang juga malang-melintang parkir di pelataran. Tak lupa juga dia mengunci sepeda sebelum berlari menyusul Vera.

Dan ketika Lupus celingukan nyariin Vera, Vera tiba-tiba sudah nongol di belakangnya, dan langsung menepuk pundak Lupus.

“Ini konsumsi kamu. Kita masuk lewat pintu sebelah sana aja. Rada kosongkan!”

Dan dengan berlari-lari kecil, mereka pun memutar ke samping.

“Karcis! Karcis! Mana karcisnya!” teriak Boim yang kebetulan jadi penjaga karcis, ketika Lupus dan Vera langsung ngeloyor masuk.

“Sori, Im, tadi malem kecuci,” sahut Lupus nyengir. Sementara Vera langsung memberikan karcisnya.

“Wah, enggak bisa, Pus. Temen sih temen, tapi bisnis jalan terus!” kata Boim dengan belagunya.

“Kapitalis! Lu belagu amat mentang-mentang jadi orang penting!” cetus Lupus geram. Vera lansung menarik tangannya. Tinggal Boim yang dengan sewotnya marah-marah.

Di dalam ternyata belum dimulai. Biasa, ngaret. Dan anak-anak ternyata lagi ngeributin acara pembukaan. Sepuluh orang cewek dengan pakaian mini, dan bagian dada yang nyaris open-kap, asyik ber-dancing queen, diiringi laguu meriah dari Lenggang Puspita-nya Guruh. Ini memang acara pembukaan ala pertandingan besar di barat. Dan bisa ditebak, Fifi Alone, artis kita itu pasti ada di situ. Dengan hotnya, dia melenggak-lenggokkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Nggak lupa juga kakinya yang indah, piknik ke sana kemari. Tinggal Gusur, seniman sableng yang hobi fotografit itu, bela-belain sampai tiarap di lantai lapangan untuk mengabadikan objek yang menarik itu. Walhasil, dia dikejar-kejar seksi keamanan, karena melanggar kode etik jurnalistik (Iya dong, orang yang lagi hot-hotnya menari sampai angkat-angkat kaki segala bisa rikuh karena ulah fotografi sableng macam Gusur!).

Dan ketika pertandingan dimulai, Lupus sudah tenggelam di antara penonton. Ikut bersorak-sorak mendukung kelasnya. Sambil sesekali asyik ngeliatin anak-anak cewek yang mendadak kece saat itu. Atau tepatnya dikece-kecein. Biasa, pada saat setiap kesempatan acara beginian, semua pasti memanfaatkannya semaksimal mungkin. Boim apalagi. Dari tadi nampak sok sibuk sekali. Sebelum pertandingan dimulai, dia sudah sibuk mondar-mandir di tengah lapangan. Biar top kali! Ada aja yang dikerjai. Mungutin plastik yang jatuh, atau sesekali nampak memerintah temannya untuk mengangkut ini-itu. Sambil matanya piknik ke mana-mana. Kali aja ada yang naksir. Duile, lagaknya kayak yang punya hajat aja.

Tapi maklum aja. Boim emang suka banget jadi perhatian orang. Dan ini juga dalam rangka usahanya menarik perhatian Svida yang kece itu. Tapi Svida-nya nampak adem-ayem aja (emangnya sayur asem?). Nggak ada reaksi. Dan si Boim makin penasaran. Bayangkan, padahal sore itu dia nampak sophisticated sekali! Rambutnya yang mengkilap itu disisir rapi kebelakang (niru pemain Return to Eden). Dan meski tampangnya-yeah-memang gabungan improvisasi dari wajah Jaja Miharja dan Benyamin itu, tapi dengan baju ddan celana model Alibaba (itu lho, yang atasnya kegombrangan, sedang bawahnya lancip!), dia nampak kecean sedikit.

***

Jam setengah tujuh, acara selesai. Semua anak puas dengan tontonan yang mengesankan. Semua mengelu-elukan Fahrul. Tapi Lupus nggak peduli. Dia suka karena dari tadi Vera selalu ada di sampingnya. Sampai keluar gedung, mereka masih terus berduaan.

“Ver, kamu ada yang jemput, ya?” tanya Lupus.

“Ada. Tuh sopir saya, nongkrong di tempat parkir! Soalnya saya harus buru-buru pulang. Ada pe-er,” sahut Vera sambil menunjuk bapak tua yang berdiri di samping mobil. Lupus nampak kecewa. Vera bukannya tak melihat perubahan di wajah Lupus.

“Emangnya kenapa, Pus? Kamu mau boncengin saya lagi?” selidik Vera.

“Maunya sih begitu.”

“Boleh aja. Kalau gitu saya suruh sopir saya pulang duluan, ya?”

Lupus kegirangan.

“Iya deh. Nanti saya ngebut, biar kamu bisa cepat bikin pe-er. Dan kamu nanti tunggu aja di bawah pohon situ, ya? Saya yang ngambil sepeda.”

Lupus pun berlari-lari riang ke pelataran parkir. Sementara Vera nampak bercakap-cakap dengan sopirnya. Sopirnya itu pun segera pulang. Dan Vera menunggu di bawah pohon flamboyan.

Lupus celingukan mencari sepedanya. Ya, Tuhan, banyak sekali sepeda balap yang terparkir di sana. Mana yang tadi Lupus bawa? Dia mulai senewen, karena tadi bener-bener enggak inget warnanya apa, bentuknya gimana, dan disimpan di sebelah mana. Abis keburu-buru banget sih! Akhirnya di berputar-putar berkeliling pelataran parkir.

Sementara itu satu demi satu anak-anak sudah pada pulang. Sudah setengah jam lebih Lupus berputar-putar di pelataran. Vera jadi nggak sabar. Dia pergi menyusul Lupus.

“Idih, ditunggui lama banget! Ngapain aja sih kamu?”

“Ng.. anu-saya nyari-nyari sepeda saya tapi nggak ketemu!”

“Ada yang nyuri?!” Vera kaget.

“Enggak-tapi saya lupa, yang mana ya sepedanya?”

“Lho? Itu kan sepeda kamu? Kok nggak inget sih?”

Lupus gelagapan.

“Eng... ya kan masih baru. Jadi saya nggak sempet ngapalin bentuknya!” bela Lupus.

Vera menatap tak percaya.

“Jadi gimana?”

“Kamu tau tadi saya taruh di sebelah mana?”

“Enggak. Saya kan nukerin kupon waktu itu. Mana sempet ngeliatin kamu naruh sepeda?”

Walhasil mereka pun berkeliling-keliling pelataran parkir. Tapi Lupus tetap tak bisa mengenali.

Lama kemudian, Lupus baru mengaku.

“kayaknya saya harus jujur deh sama kamu, Ver. Terus terang aja, itu sepeda punya tetangga saya.”

Vera menoleh kaget.

“Dan sekarang kayaknya kita harus nunggu semua pemilik sepeda ini pulang ya, sampai ada satu sepeda yang tersisa!” sungut Vera.

“Ya, kayaknya memang begitu.”

Vera cemberut.

Dan mereka pun bener-bener harus menunggu semua pengunjung itu pulang membawa sepeda mereka masing-masing. Sampai ada satu sepeda balap yang tersisa. Dan itulah sepeda yang dibawa Lupus. Soalnya Lupus benar-benar lupa sama sepeda yang dia bawa. Sialnya lagi, pengunjung lain tak segera pulang. Mereka malah pada asyik nongkrong di taman-taman sekitar gelanggang.

Sampai jauh malam, Lupus dan Vera masih tampak terbengong-bengong nungguin sepedanya. Serasa petugas penitipan sepeda aja. Sementara Vera masih memikirkan pe-ernya yang belum dibuat. Coba tadi dia ikut sopir!

“Sori ya, Ver. Mungkin ini karunia Tuhan untuk kita agar terus berduaan sepanjang malam. Tapi saya janji deh, nanti mau bantuin kamu bikin pe-er...”

Vera masih cemberut.



7. Kebanjiran

DAERAH tempat Lupus tinggal termasuk daerah yang cukup aneh juga. Suka kebanjiran. Nggak peduli hujan lebat atau sekedar rintik-rintik, ya tetap kebanjiran. Kalau sudah begitu, daerah sekelilingnya menjadi nggak ketulungan beceknya. Kayak kandang bebek. Namun Lupus toh tak pernah sombong meski tinggal di daerah elit macam begitu. Biasa-biasa aja. Dan banjirnya nggak menentu juga. Kadang-kadang meski hujan turun dengan derasnya sehari semalam, besok paginya malah nggak banjir. Sebaliknya, seperti hari itu, hujan turun Cuma sebentar, tapi bisa membuat daerah situ menjadi danau buatan. Jadi, ya suka-suka aja banjirnya. Nggak bisa dipaksa. Kata orang sih itu banjir kiriman dari bogor. Tapi Lupus nggak percaya. Masalahnya, apa orang-orang bogor segitu kurang kerjaannya sampai sempat-sempatnya ngirim banjir segala ke rumah Lupus? Lagian, memaketkan air sebanyak itu rada sulit juga lho! Belum lagi ongkos kirimnya. Jadi jelas bo’ong.

Lantas, dari mana banjirnya?

Entahlah. Yang pasti saat itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya, ketika orang seisi rumah pada ribut-ribut kebanjiran. Soalnya tadi sore Lupus baru ikutan latihan atletik sekolah di senayan, dalam rangka memberingati Hari ABRI tanngal 5 Oktober. (Lho, apa hubungannya?) Sore itu Lupus lari-lari keliling stadion utama, lompat jauh, tolak peluru, sampai lemas total. Begitu pulang, langsung bobok. Tanpa cuci kaki, copot sepatu apalagi sikat gigi terlebih dahulu. Tapi katanya, Lupus suka ikut kegiatan atletik begitu, untuk menjaga kelangsingan tubuhnya (duile!).

Makanya sekarang dia nggak tau kalau air sudah masuk ke rumahnya. Saat itu sudah agak malam pukul 21.30. di luar kamarnya, ibunya beserta para asistennya (alias babu-babunya) dan Lulu sudah ribut-ribut mengangkat perabotan rumah. Mendengar ribut-ribut begitu, Lupus langsung terbangun. Sempat juga mikir, siapa yang malam-malam begini buka bazar? Tapi dia kaget waktu geliat sandalnya dengan cueknya piknik ke mana-mana. Sementara botol-botol bekas yang menjadi koleksinya asyik berkejar-kejar ria ke sana kemari. Lupus melompat turun, dan seketika itu juga dia baru sadar kalau rumahnya kebanjiran. Tamu nggak tau diri, makinya pada banjir, nggak diundang nekat datang. Apa ada urusan yang begitu pentingnya, sehingga nggak bisa ditunda sampai besok pagi?

“Pus, Lupus, bangun. Ada banjir nih!” seru ibunya sambil menggedor-gedor pintu.

“Ya, tunggu sebentar. Suruh duduk aja dulu, dan tawarkan minum, barangkali dia haus setelah berjalan jauh Bogor-Jakarta,” jawab Lupus sambil bergegas membuka sepatunya yang belum terbuka. Lalu dia pun langsung keluar kamar.

Keadaan kamar rumah Lupus begitu porak-poranda. Kasur-kasur yang digulung, sepatu barunya si Lulu, tivi, kaset, video, semua ngumpul jadi satu di meja makan. Belum lagi karpet bulu yang ngujubilehh bin jalik baunya, lantaran nggak sempat diangkat ketika air menyerbu masuk. Praktis rumah Lupus jadi kayak kolam renang balita. Air sebatas mata kaki menggenang di mana-mana. Belum lagi para kecoa, cacing dan binatang yang bisa membuat Lulu histeris lainnya pada transmigrasi ke situ. Tapi Lupus yang kalau geliat air bawaannya kepingin berenang melulu (kayak bebek!), cenderung jadi suka dengan situasi begitu. Dari tadi asyik mondar-mandir ke sana kemari. Ribut sekali. Dan yang bikin sial adalah dipadamkannya aliran listrik, karena memang berbahaya dalam situasi kebanjiran seperti itu.

Walhasil, semalaman mereka semua nggak ada yang bisa tidur. Pada begadang. Yang kasihan sih Lulu. Dia besok pagi ada ulangan kimia. Mana bisa ngapalin dalam situasi yang porak-poranda seperti itu? Belum lagi pe-er matematikanya yang belum dia buat. Wah, rasanya mau nangis aja.

Maka dengan ditemani lilin, dia duduk di pojokan. Ngapalin kimia. Tapi konsentrasinya tak bisa terus terpusat, karena Lupus yang hilang rasa kantuknya, terus-menerus menggoda. Dia kalau lagi senang memang ngoceh melulu. Nggak bisa kalem.

“Kamu kok pendiem amat, Lu?” godanya ketika Lulu lagi asyik memusatkan konsentrasi. “Lagi baca surat cinta, ya?”

Lulu cuek.

Mendingan kita main tebak-tebakan aja. Kucing apa yang kalau loncat dari Monas kagak mati?” cerocos Lupus.

“Kuno!”

“Oke deh, yang lainnya. Kenapa pantat orang itu cenderung keriput?”

Lulu mendelik sewot. “Kamu kok jorok gitu sih? Diem dong, jangan ngoceh melulu. Nggak tau ya saya lagi ngapalin?”

“Bilang aja kalau nggak bisa jawab!”

“Siapa bialng? Tapi buat menjawab teka-teki yang kagak ilmiah sih, buat apa?

“Lho, ini ilmiah. Dan siapa tau keluar dalam ulangan kimia kamu besok. Ya, siapa tau aja. Mau tau jawabannya? Karena pantat sering dicuci tapi nggak pernah diseterika. Makanya keriput...”

Lulu menyembunyikan senyumnya di balik buku kimia.

“Terus, ayam apa yang kalau kita masuk ke kandangnya selalu dikira kita mau ngasih makan?”

“Ayam ge-er!” sahutnya cepat, menjawab pertanyaan sendiri. Bukan takut keduluan kejawab sama Lulu, tapi dia merasa pertanyaan rada sukar dan tak mungkin bisa dijawab. Tapi seketika itu juga, dia kaget. Dia baru inget kalau letak kandang ayam peliharaannya cukup rendah. Pasti kebanjiran. Maka Lupus pun langsung berlari ke belakang. Ibunya sempat gahar, ketika lagi asyik-asyik bengong di atas tumpukan kasur, kena cipratan kaki Lupus.

“Oh, ayam-ayamku sayang!” sahutnya sedih, ketika melihat ayam-ayamnya tampak pasrah terjebak di kandangnya yang tergenang air. Beberapa di antaranya malah pingsan. (Eh, ayam itu bisa pingsan nggak sih? Bisa ja ya kalau lagi shock berat). Lupus langsung memindahkannya ke kandang yang lebih tinggi. Mengumpulkannya jadi satu. Ayam-ayam yang tadinya asyik sendirian di kadang yang di atas menatapnya dengan pandangan tak suka ke arah Lupus. Protes berat dia, karena jadi berdesakan dengan ayam-ayam lainnya. Lupus sendiri cuek aja ketika ayam-ayam itu pada kurang ajar. Nemplok di rambutnya yang kayak sarang burung, atau berkaok-kaok dengan ributnya. Tapi ya kalau ayam lagi panik memang begitu kok.

Tak lama kemudian, Lupus sudah asyik menggoda Lulu lagi.

“Sekarang, ayam apa yang selalu berkokok tepat jam satu malam?”

“Lupus, kamu nggak bisa diem ya? Bukannya nolongin saya yang lagi kebingungan!”

“Nggak usah bingung. Jawabnya mudah kok; ayam kurang kerjaan.”

“Kalau kau memang suka pada hal-hal yang berbau teka-teki begitu, kenapa nggak nolongin saya bikin pe-er matematik aja? Ayo dong, Pus. Saya nggak sempet nih!”

“Wah sori, Lu, saya lagi sibuk,” sahut Lupus sambil asyik mengejar-ngejar kodok yang nyasar masuk ke rumahnya. Kemudian dia duduk di pagar depan rumahnya. Asyik melihat-lihat orang yang pada ngungsi, karena daerah rumahnya lebih rendah dari rumah Lupus. Atau menggoda cewek-cewek yang lewat sambil menjinjing perabotan-perabotan. Suasana di depan rumah Lupus itu memang ramai sekali. Banyak anak-anak yang hilir mudik.

“Pus, rumah kamu kemasukan air nggak?” sapa Ika, tetangganya yang kebetulan lewat, sambil mendongakkan kepalanya ke dalam rumah Lupus.

“Memangnya kenapa?” tanya Lupus galak. “Mau numpang berenang, ya? Boleh aja kok. Cuma, boleh diintip nggak?”

Ika keki. Langsung ngeloyor pergi.

Lulu juga keki. Dia sebel setengah mati geliat tingkah Lupus yang sama sekali nggak mau menolongnya. Tapi dia kini mencoba konsentrasi lagi pada pelajaran. Lulu menyesal juga, kenapa nggak dari tadi siang atau kemarin-kemarin aja menghapalnya. Jadi kan nggak kerepotan seperti ini. Anak sekolah memang rata-rata begitu. Meski pengalaman bersekolah sudah sejak kecil, tapi mereka cenderung hobi numpuk-numpukin pelajaran. Walhasil, kalau mau ulangan jadi kerepotan sendiri. Semua catatan, buku teks, numplek jadi satu di meja belajar. Wah, geliatnya aja udah pesimis duluan. Tapi, salah sendiri, kan? Saat seperti inilah Lulu baru merasa, betapa enaknya jadi si Lupus yang besok nggak ada ulangan, nggak ada pe-er matematik. Bisa ikutan begadang semalaman.

Dan karena kelelahan, Lulu akhirnya tertidur di kursi panjang. Dia tak memikirkan lagi pe-er matematiknya yang baru dikerjai satu nomor. Matanya sudah begitu capek. Sepet banget.

***

Besok paginya Lulu terjaga. Sempat kaget juga. Tapi begitu melirik ke jam dinding, dia jadi lega. Baru jam enam pagi. Sementara banjir udah surut. Tapi lantainya jadi kotor sekali. Banyak tanah dan cacing-cacing. Ih. Kebayang deh, nanti siang bakalan repot membersihkan rumah. Tapi pagi ini Lulu harus sekolah dulu, soalnya ada ulangan kimia. Dan hatinya rada kecut ketika mengingat pelajaran pertama adalah matematik yang gurunya galak. Soalnya dia belum bikin pe-er. Mau bikin sekarang, mana keburu? Wah, pasti kena damprat habis-habisan. Guru itu memang benar-benar nggak kenal kompromi.

Tapi Lulu pasrah. Memang salah sendiri kok.

Dengan lesu dia memberesi buku-bukunya yang berserakan di meja. Dikumpulkannya jadi satu. Tapi begitu melihat buku matematiknya, dia sempat terkejut. Semua pe-ernya sudah selesai dikerjakan. Mukjizat apa pula ini? Lulu hampir tak percaya. Kembali meneliti hasil pekerjaan itu dengan yang di buku cetak. Semua sesuai. Malaikat mana yang telah berbaik hati menolongnya? Tapi sebentar saja dia sudah bisa menebak tulisan siapa yang ada di bukunya itu. Siapa lagi yang punya tulisan sejelek ini selain Lupus?

Lulu langsung mencari Lupus ke kamarnya. Tapi nggak ada. Di kolong tempat tidur, di bawah taplak meja, di lemari baru, juga nggak ada. Akhirnya lewat jendela, di bisa melihat Lupus yang masih asyik duduk di pagar depannya. Lulu langsung berlari ke sana.

“Wah, makasih ya, Pus. Kamu ternyata baik juga!”

Lupus menoleh.

“Makasih apanya? Soal tebak-tebakan itu? Kalau kamu masih mau, saya punya satu tebak-tebakan lagi. Makhluk apa yang ribut sekali kalau banjir, hobi berenang, berkaki panjang, kece, tapi bukan kodok!”

Lulu berlagak mikir.

“Apa ya? Nggak tau tuh?”

“Saya!” sahut Lupus cepat sambil tertawa terkekeh-kekeh. Girang banget doi karena tebakannya nggak ketebak terus. Tapi Lulu nggak keki. Dia malah tertawa....



8. Ngutang

LUPUS lagi bingung. Kerjaannya mondar-mandir terus dari tadi. Sambil kakinya iseng menendang-nendang apa saja yang bisa ditendang. Kelereng, kaset kusut, bola bekel, pokoknya semua, kecuali kulkas. Mukanya kalau lagi bingung begitu tampak lucu sekali. Dahinya berkerut-kerut, mulutnya dimonyong-monyongkan, saingan sama idungnya. Sementara rambutnya nampak berantakan. Kayak semak belukar di afrika.

“Kalau bingung, pegangan saja!” nasihat Lulu, adiknya.

Lupus berkacak pinggang dan menjawab dengan galak, “Orang bingung kok malah disuruh pegangan? Kalau mau jatuh, baru boleh pegangan!”

Ya, Lupus memang tidak mau jatuh. Dia lagi bingung beneran. Soalnya dia lagi butuh duit lumayan banyak. Sedang tadi pagi, waktu bongkar-bongkar laci di kamarnya, ternyata Cuma terkumpul lima ribu rupiah. Wah, nggak nangka. Saya kok miskin begini sih? Pikirnya. Padahal dia sering merasa dirinya kaya lho. Bukan apa-apa, soalnya dia kan sering juga dapat uang kalau habis nulis-nulis berita atau cerpen atau karikatur di majalah. Tapi sekarang kok?

“Lu, kamu punya duit, nggak? Saya pinjam dong,” sahut Lupus kepada Lulu.

“Ya ampun. Saya aja baru mau minjem duit sama kamu. Buat beli kado temen yang ulang tahun. Ada nggak?”

“Dasar miskin. Orang mau ngutang kok malah balik ngutang!”

Tapi apa iya duit Lupus sudah habis-habisan? Padahal dia terima duit belum lama juga. Jadi berarti, terlalu malu untuk minta duit lagi ke majalahnya. Tapi, eh, tunggu. Perasaan minggu kemarin pernah ada yang pinjam duit sama Lupus. Tapi siapa, ya? Wah Lupus memang pelupa. Minggu kemarin tak kurang dari tiga orang datang padanya. Semua pada pinjam duit. Gila nggak tuh! Mau ngutang kok bisa kompakan kayak gitu! Eh, tapi enggak semua ding. Ada yang Cuma nodong minta traktir, ada yang berulang tahun, dan dalam kartu undangannya tercantum enbe : ‘Tiada kesan tanpa kehadiran kado Anda’. Nah, yang begini-begini kan tidak bisa dianggap utang. Iya dong, bayangkan saja jika semua itu dianggap utang, betapa banyaknya utang orang-orang yang berulang tahun. Makanya Lupus sukarela kalau ngasih kado ke orang yang ulang tahun. Nggak usah dipikirin. Apalagi sampai nggak bisa tidur. Tapi ada jeleknya, Lupus tak pernah mau membelikan barang-barang yang belum dia punya kepada orang lain sebagai kado ulang tahun. Soalnya dia suka tiba-tiba kepingin memiliki barang itu. Kalau sudah begitu, maka rencana pemberian kadonya jadi gagal. Makanya, jika kamu merasa pernah diberi kado oleh Lupus pada hari ulang tahunmu, berarti Lupus telah memiliki barang tersebut di kamarnya. Dan tak usah heran kalau yang punya Lupus itu jauh lebih bagus dari yang dia berikan kepadamu. Tapi tak apa. Orang kan kadang punya kecenderungan untuk lebih membahagiakan dirinya sendiri daripada orang lain. He he he...

Tapi yang penting sekarang, siapa yang ngutang minggu lalu itu? Nggak tanggung-tanggung lagi, ngutangnya dua puluh lima ribu. Wah! Lupus Cuma ingat orang itu datang ke rumahnya dengan wajah kebingungan. Katanya dia lagi butuh duit, “Tolonglah, Pus. Saya janji, tiga hari lagi saya balikin!”

Dan kenyataannya sampai hari ini, tak satu makhluk pun muncul dengan membawa uang dipinjamnya. Apa Lupus harus membuat iklan baris di koran dengan isi : ‘Barang siapa yang dengan sengaja atau tidak merasa pernah ngutang sama saya, harap jangan pura-pura lupa untuk membayarnya. Karena saya lagi butuh uang. Ingatlah, janji adalah utang. Jadi kamu punya utang dua kali lipat sama saya. Soalnya waktu itu kamu janji mau ngebalikin dan sekaligus ngutang. Tapi supaya kamu tidak begitu berat membayarnya kamu dibebaskan dari pungutan bunga yang 10% itu.’

Ya, tentu saja Lupus bisa membuat iklan macam begitu. Tapi apa tidak kepanjangan? Ongkosnya bisa jadi mahal lho. Jadi harus dipersingkat. Dan Lupus pun mulai mengetik-ngetik lagi untuk menulis iklan yang lebih singkat. Tapi lima menit kemudian, dia merobek kertas itu menjadi bagian yang kecil-kecil. “Nggak praktis!” makinya dalam hati. “Kenapa tidak mencoba-coba saja langsung menemui teman-teman dan menanyakan, apakah dia merasa punya utang?”

Maka Lupus pun mulai berjalan keluar. Yang pertama dikunjungi adalah Boim.

“Bagaimana kamu bisa menuduh kalau saya yang ngutang?” ujar Boim sewot.

“Jadi bener kamu yang ngutang sama saya?”

“Enak aja! Saya heran, kok kamu bisa sampai pada kesimpulan semacam itu. Kamu tau, pus. Seseorang itu dalam menarik kesimpulan harus punya fakta dan data yang jelas. Jadi mana mungkin wajah sekeren saya ini ngutang? Apa saya punya tampang suka ngutang?”

“Justru tidak,” sahut Lupus sambil menggeleng beberapa kali. “Malah sebaliknya. Kamu lebih cocok jadi tukang kredit. Memang itu ya cita-cita kamu?”

Boim marah-marah. Lupus langsung pergi.

Tapi belum jauh berjalan, dia sudah balik lagi. “Sori, Im, ada yang kelupaan. Kalau kamu memang serius nanti mau jadi tukang kredit, gimana kalau saya pesan barang sekarang aja? Nggak apa-apa, kan, sama teman ini kok. Soalnya saya lagi butuh sesuatu nih. Makanya lagi bingung nyari duit saya yang ngilang dipinjam orang...”

Boim makin marah. Dia pun langsung mencopot sandalnya. Untung Lupus sudah berlari jauh.

Kini Lupus sudah capek. Dia baru saja keliling-keliling dari rumah teman-temannya, tapi tak ada yang merasa pernah ngutang. Lupus jadi curiga, jangan-jangan memang tak ada yang pinjam uang darinya. Akhirnya, dia pun mampir di rumah Rina.

“Halo, Pus, dari mana aja? Tampangmu kok aneh begitu? Lagi mikir apa sih?” tegur Rina sambil memesankan segelas air jeruk pada pembantunya.

“Ah, enggak...”

“Atau... kamu sakit?” ujar Rina lagi seraya menarik bangkunya.

“Jangan nuduh sembarangan dong!” jawab Lupus galak.

“Galak amat. Habs kenapa dong?”

Lupus tak menjawab, hanya sibuk mengipas-ngipas tubuhnya yang kepanasan. Sementara lidahnya terjulur-julur kehausan. Buset, sopan sekali kelakuannya di depan cewek.

“Ada apa, Pus? Bilang sajalah, jangan ragu-ragu. Tampangmu kayak orang nggak punya duit aja...”

“Yak! Tebakan yang jitu sekali. Jadi memudahkan saya untuk langsung ke pokok persoalan!” seru Lupus sambil melompat dari bangkunya. Oto, rupanya tadi itu dia lagi bingung mikirin gimana memulainya, ya? Rina jadi tersenyum geli.

“Kalau mau pinjam uang, bilang dong.”

“Jadi boleh nih?”

“Tentu saja. Buat orang yang suka nolong orang lain macam kamu, jelas boleh dong. Minggu kemarin kan kamu menolong teman saya yang perlu uang itu. Apa dia sudah ngembaliin?”

“Ya ampun, sekarang baru inget. Jadi temen kamu toh yang pinjam uang sama saya?Iya-ya, saya lupa. Siapa namanya? Oiya, si Eko temen sekelas kamu ya?” Wajah Lupus nampak berseri-seri.

“Lho, emangnya kamu lupa? Apa dia belum bayar?”

“Belum. Itulah, tadi saya sampai keliling-keliling ke rumah temen-temen saya untuk nanyain apa mereka pernah ngutang sama saya. Tapi nggak ada yang ngaku. Jadi saya bingung. Sekarang baru ingat. Waktu itu kamu kan yang nganterin dia ke rumah?”

“Tidak. Eko kan ketemu kamu di sekolah. Waktu kita pulang bareng. Jadi dia belum bayar, ya?”

“Ah, sudahlah biar aja. Mungkin belum punya uang. Saya pinjem kamu dulu, ya?”

Rina pun langsung ke kamar. Mengambil uang yang diperlukan Lupus.

***

Besoknya pagi-pagi sekali Rina menemui Eko yang duduk di pojok.

“Kamu ini gimana sih? Kok pinjam uang nggak dibaliki? Kasihan kan Lupus sampe kebingungan begitu. Padahal waktu kamu pinjem, janjinya dua hari mau dibalikin. Tapi sampai sekarang? Ternyata belum juga. Makanya, jadi orang itu jangan suka ngutang. Karena pasti segen kalau disuruh bayar, meskipun sudah dapat uang. Padahal waktu mau pinjem, wu... sampe bersumpah bakal dibalikin. Tapi ternyata?

“Saya yakin, pasti kamu sekarang sudah punya uang lagi. Tapi kamu terus menunda-nunda. Padahal kamu nggak tau, siapa tau orang yang kamu utangi itu lagi butuh duit. Misalnya, belum bayar uang sekolah, uang les, uang berenang. Dan lain-lainnya. Seperti Lupus itu. Belum pernah ia begitu nampak kebingungan jika nggak punya uang. Mungkin uang itu untuk bayaran sekolahnya. Untuk bayar praktikum sekolah. Atau hal-hal yang penting lainnya. Sedang kamu, pinjam duit enak-enakan untuk traktir pacar kamu. Iya, kan? Emangnya saya nggak tau? Kamu pinjam duit waktu itu cuma untuk membelikan kado pacar kamu yang ulang tahun. Hebat sekali. Sementara Lupus bela-belain meminjami uang hanya untuk itu. Hu.”

Eko diam. Dia tak berani mengangkat mukanya.

Setelah beberapa saat hening, dia berkata. Pelan, “ Kamu kok jadi sinis sekali sama saya, Rin? Lupus itu pacar kamu, ya?”

“Bukan soal itu! Ini soal tanggung jawab juga. Soal janji. Adalah perbuatan yang banget buat orang-orang yang tak menghargai orang lain yang telah berbaik hati padanya. Yang telah menolongnya kala susah. Seperti Lupus. Meski dia sekarang lagi butuh uang untuk bayaran sekolah atau apa, tapi dia tak tega menagih utang padamu. Soalnya, katanya, mungkin kamu belum punya uang. Padahal, ngapain kamu kemarin itu ikut anak-anak ke Puncak? Berfoya-foya.”

Eko menunduk makin dalam.

“Hargailah pengorbanan orang lain, Ko. Kamu harus berjanji lagi untuk itu. Untuk ngebalikin semua uang yang kamu pinjam. Memang berat, tapi paksakan saja. Kamu pikir, apa orang yang meminjami kamu uang itu tidak merasa berat juga?”

Dengan susah payah, Eko mengangkat wajahnya.

“Sori banget deh, Rin. Saya sekarang janji. Bilangin ke Lupus ya, saya minta maaf.”

“Ya, tentu saja Lupus mau maapin kamu. Tapi kali ini kamu harus konsekuen, ya? Kasihan lho Lupus. Padahal dia sudah berbaik hati sama kamu.”

Eko mengangguk mantap.

***

Hari Minggu, pagi-pagi sekali, Lupus sudah muncul di rumah Rina. Wajahnya nampak berseri-seri. Sambil sesekali membuat balon-balonan dari permen karet yang dikunyahnya. Poninya yang hampir menutup mata, kerap mencolok-colok mata Lupus yang bulat, karena tertiup angin. Sehingga menyebabkan Lupus mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.

Sementara kemejanya yang berukuran all-size itu melambai-lambai tertiup angin. Kayak bendera merah putih. Betapa sejuknya udara pagi itu. Dan Rina pun lagi asyik membaca novel di beranda depan rumahnya.

“Baca apa, Rin? Boleh liat dong!”

“Maksud kalimat itu apa sih? Bertanya atau memohon? Kalau ngomong yang bener dong.”

“Lho? Emangnya grammar-nya salah?”

“Enggak sih. Kalau mau ngomong, pilih aja salah satu satu. Jangan mencampur-campur begitu. ‘Boleh lihat , nggak?’ atau ‘Lihat dong!’ Begitu.”

Lupus ketawa sambil bermain-main dengan anjing kecil milik Rina. Anjing yang lucu, dengan bulunya yang panjang dan ikal. Sementara poninya juga seperti Lupus. Menutupi mata. Dari jauh, mereka berdua kayak adik-kakak. Maksudnya Lupus dengan anjing itu, bukan dengan Rina. He he he..

“Kamu kok tampak gembira sekali, Pus? Ada apa sih?”

“Ah, apa kamu nggak melihat sesuatu yang lain pada saya?” Lupus berdiri tegak tepat di depan Rina.

“Apaan sih?” Rina meneliti Lupus dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yak, di ujung kaki dia melihat sepasang sepatu pantofel model baru. Yang sering dipakai dengan menginjak bagian belakangnya.

“Naaa... pake sepatu baru, ya?” seru Rina langsung menginjak sepatu Lupus. “Buset deh. Jadi kamu bela-belain pagi-pagi ke sini cuma mau mamerin sepatu baru, ya? Lupus, Lupus... kamu kok lucu sekali sih?”

“Enak aja! Saya ke sini Cuma mau bilang terima kasih atas pinjaman uangnya. Sekarang pikiran saya jadi tenang.”

“Ah, pake terima kasih segala. Jadi gimana? Semua beres? Eh, uangnya untuk bayar uang sekolah, ya? Atau uang praktikum kimia?”

“Siapa bilang? Kamu kok hobi banget nuduh sembarangan?”

“Lho, habis buat apa?”

“Ya buat beli sepatu ini. Aduh, saya padahal udah takut lho keburu dibeli orang. Akhirnya jatuh ke tangan saya juga. Kece nggak?” sahut Lupus sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi.

“Ha? Buat beli sepatu?”

“Kok heran? Apa kamu belum pernah denger ada orang yang membeli sepatu?”

“Bukan begitu. Tapi kan sepatu kamu yang kemarin itu masih bagus?”

“Lho, memangnya kenapa? Apa di negara ini ada larangan buat orang punya sepatu dua? Ah, kamu jangan mengada-ada dong!”

Rina mencibir. Tapi Lupus kini asyik mengagumi sepatu barunya. Berjalan mondar-mandir keliling-keliling taman. Sambil sesekali mengangkat kakinya tinggi-tinggi.

“Oya, terima kasih atas pinjaman uangnya, ya?” seru Lupus di tengah kesibukannya,

“Ah, lupakan saja!” sahut Rina sewot.



9. Kepentok Gadis Desa

SAAT itu memang bukan musimnya liburan sekolah, tapi toh Lupus dan beberapa kawan-kawannya tiba-tiba saja sudah berada di bis full-ac jurusan Bandung. Ceritanya mau pada kemping di lereng gunung. Ide gila-gilaan ini muncul begitu saja ketika Lupus lagi suntuk banget dengan berbagai pelajaran yang disodorkan guru setiap hari.

“Kita nggak bisa begini terus dong. Dijejelin berbagai ilmu setiap hari. Bayangin aja, hari ini kita mendapat sejumlah teori fisika. Belum lagi mengerti bener, besoknya sudah dijejelin teori yang lain. Betapa mengerikannya sekolah itu!” Lupus mulai dengan ngocol-ngocolnya.

Teman-temannya Cuma manggut-manggut aja.

“Kita butuh refreshing. Jalan-jalan atau kembali ke lereng gunung. Setelah pikiran kita seger, baru kita siap menerima pelajaran...”

Dan di luar dugaan, ternyata teman-temannya pada setuju. Lupus jadi kaget sendiri.

Jadilah mereka berangkat hari itu. Berhubung lagi pada punya duit, jadi mereka bisa agak santai-santai dengan bis Patas full-ac. Biar nggak desak-desakan sama ayam, kambing, sayur-mayur, dan sejenisnya. Anak cewek nggak ada yang ikut. Bukannya pada nggak mau, tapi emang nggak boleh ikut. Repot ngurusnya! Tadinya Fifi Alone-artis kita itu-maksa pingin ngikut. “Saya sebetulnya ada shooting, tapi demi kekompakan, saya bela-belain deh ikut kalian!”

Tapi anak-anak cowok tetap menolak. Soalnya dia kalau kemping bawaannya ngujubileh banyaknya. Kayak orang mau transmigrasi. Segala alat-alat kecantikan, baju tidur, baju santai, dan atribut-atribut lainnya dibawa. Udah gitu hak sepatunya tinggi banget. Gimana bisa ikut hiking?”

Maka mereka pun sepakat pergi tanpa cewek.

Di Cililitan, waktu lagi nyari bis, Boim sempet malu-maluin juga. Di situ kan kebetulan banyak cewek kece yang pada mau pergi ke Bandung. Boim sibuk mondar-mandir ke sana kemari. Mejeng, ceritanya. Dan karena kebanyakan nonton film Return to Sen, gayanya jadi kayak Jake Sandera. Nyebelin banget. “Kalau bukan temen sendiri, wis ta’ slepet!” maki Lupus.

Apalagi ketika para kondektur dengan semangat ’45 berebutan memaksa mereka naik ke bis, dengan norak Boim bertanya, “Eh, mas, ada bis yang full-cewek kece, nggak?”

Kondektur jelas bengong.

Tapi Boim cuek. Dan akhirnya mereka sepakat naik bis yang satu ini.

Di dalam bis, seperti biasa, makhluk-makhluk SMA Merah Putih ini resah banget. Becanda, saling geledek, atau main tebak-tebakan. Seperti teka-teki yang di kasih Boim. “Ayo... ‘pelit’ bahasa Indianya apa?”

“nggak ada yang bisa jawab. Kecuali Lupus, yang kebetulan pernah pacaran sama Popi yang ibunya orang Bandung. “Saya tau, mere ge hese!”

Boim kecele.

Sementara bis melaju pesat meninggalkan pusat kota. Lupus yang pergi bersama lima temannya, Boim, Aji, Joko, Nanang dan Gusur, tetap asyik becanda. Tak peduli dengan video yang diputar, atau protes keras nenek-nenek yang mencoba ingin tidur nyenyak, tapi nggak bisa-bisa.

Di dekat Puncak, ketika anak-anak sudah mulai duduk dengan manisnya, sang kondektur mulai membagi-bagikan makanan kecil dan teh kotak. Melihat hal itu, anak-anak kontan berteriak-teriak ribut sambil menyalami sang kondektur. “Sore...hore... selamat ya, Mas, Mas ulang tahun, ya?”

Kondekturnya jadi terheran-heran, dasar anak-anak ini memang pada norak. Nggak tau ya kalau naik bis Patas memang dapet konsumsi!

“Yaaa... kok nggak ada permen karetnya, Mas?” keluh Lupus ketika membuka bungkusan makanan kecil. “Lain kali kalau mau ulang tahun yang meriah dong makanannya. Tapi ya nggak apa-apa deh. Ini juga udah lumayan. Coba bilang-bilang dari kemarin kalau Mas ulang tahun, kita kan bisa bawa kado...”

Kondekturnya cuma nyengir.

Bis pun terus melaju tanpa hambatan. Dan anak-anak pun asyik memandangi pemandangan indah yang terhampar di kanan kiri. Perkebunan teh yang berbaris rapi, lembah-lembah hijau yang nampak samar, juga vila-vila indah yang bagai istana peri di cerita-cerita klasik. Sampai ketika mata Lupus tertumbuk pada segerombolan polisi yang sedang asyik menyetop truk-truk dan kendaraan lain yang lewat. Lupus panik dan langsung menarik kepala Boim yang melongok ke jendela. “Tiarap, Im! Tiarap!” serunya ribut sekali. Teman-teman yang lain jadi pada heran.

“Kenapa sih, Pus?” Boim bertanya heran bercampur kesal, karena gigi-giginya yang rada mancung itu sempet kepentok pinggiran jendela kaca bis. Sementara Lupus tetep menyembunyikan kepala Boim di balik jaketnya, sampai-sampai Boim sesak napas (Bayangin aja, jaket Lupus kan dicuci sebulan sekali. Itu juga kalau inget!)

“Kalem, Im, kalem!”

“Iya, tapi ada apa?”

“Itu lho, ada razia orang jelek. Jadi kamu ngumpet aja di sini, nanti kalau ikut ketangkep kan gawat. Saya sih kasian aja sama kamu, Im!” sahut Lupus kalem.

Boim ngamuk-ngamuk. Anak-anak yang lain pada ketawa.

***

Ceritanya mereka sudah sampai ke lereng gunung. Anak-anak juga sudah mendirikan tenda. Tapi dasar nggak berpengalaman, sampai di sana baru sadar kalau banyak banget barang-barang yang kelupaan dibawa. Misalnya panci dan sejenisnya. Tapi yang paling gawat adalah Boim. Dia panik sekali begitu sadar kalau obat gantengnya kelupaan dibawa. (nggak tau obat ganteng? Itu lho, sisir!). padahal udah jadi merek dagang kalau dia mau ke mana-mana sisirnya, yang gigi-giginya udah pada ompong, selalu nongol di kantong belakang celana.

Sedang Gusur sudah langsung asyik duduk di pinggir sungai dengan secarik kertas di tangannya. Ceritanya seniman ini mau bikin puisi lagi. Sementara Nanang yang hobinya nyanyi, dan kebetulan suaranya memang mendingan dari pada suara kaleng dipukul-pukul, menemani dengan gitarnya di samping Gusur asyik ber-Sabda Alam-nya Ismail Marzuki. Dia ini memang nasionalis sekali, meski nyanyinya ngaco-ngaco:

“...wanita dijajah pria sejak dulu

Sejak dulu wanita dijajah priaaaa...”

Walhasil satu jam penuh nyanyinya nggak selesai-selesai. Bolak-balik di situ-situ terus. Tapi Boim yang kentut aja fales, ikutan nyumbang suara dua. Lumayan buat ngusir nyamuk.

Sorenya, Lupus mendapat tugas disuruh meminjam panci pada rumah penduduk di atas bukit sana mereka memang memasang tenda tak jauh dari perkampungan. Maklum, pada penakut semua. Jadi nggak berani jauh-jauh.

Dan sore itu pun Lupus nampak sedang asyik mendaki bukit. Sementara Joko, cowok Tegal yang punya prinsip ‘biar miskin asal sombong’, dan Aji yang doyan makan dodol, dapat tugas melapor pada er-te setempat.

Di dekat pemandian umum, Lupus berbelok masuk ke sebuah rumah yang nampaknya lumayan bagus, meski sederhana. Lalu mengetuk-ngetuk pintu.

“Assalamualaikum!” sapa Lupus. “Aniybody home?”

Tak ada jawaban. Namun sesaat kemudian muncul seraut wajah penuh curiga dari balik jendela kaca.

“Siapa?”

“Saya Lupus.”

“Ada perlu apa?” Matanya tetap menatap curiga pada Lupus.

“Anu lho, saya sama teman-teman lagi kemping di lembah sana, dekat kali. Tapi kami kelupaan bawa panci buat masak air dan supermie. Boleh pinjam nggak?”

Gadis itu diam sesaat. Seperti ragu-ragu. Tatapi kemudian menghilang dari pandangan. Beberapa saat, dia muncul lagi dengan panci di tangannya. Lupus baru sadar kalau gadis itu ternyata kece juga.

“Terima kasih, nanti kalau udah selesai saya kembalian.”

Gadis itu mengangguk.

“ngomong-ngomong pada ke mana nih? Kok sepi?”

Gadis itu tak menjawab. Hanya matanya menatap tajam ke arah Lupus. Lupus jadi kikuk.

“Eh, iya deh. Saya balik dulu. Oiya, kalau kamu mau liat-liat tenda kami, ada tuh di dekat sungai. Mampir aja...”

Gadis itu cuma tersenyum kaku.

“Sudah ya, sampai ketemu lagi. Yuk!”

Lupus pun berlari menuruni bukit. Lebih riang dari waktu berangkatnya.

***

Tapi sialnya, keesokan harinya ketika Lupus bangun kesiangan, tau-tau anak-anak udah pada ngomongin cewek itu. Padahal Lupus baru mau merahasiakannya dan mau bikin surprise.

“Kamu bego sih, Pus, tidur melulu. Tadi pagi ada cewek kece banget lewat sini. Terus kita ikutin, nggak taunya rumahnya deket. Di atas bukit sana. Cewek itu anak Pak Haji. Wah, rugi kamu, Pus,” cerocos Boim semangat.

“Saya udah tau!” sungut Lupus kesal.

“Kok?”

“Iya, yang rambutnya panjang, kan? Matanya bagus? Saya kan kemarin pinjem panci sama dia!”

“Oya? Terima kasih, Tuhan. Engkau memang Mahabesar. Akhirnya Kau tunjukkan juga jalan bagi hambamu untuk kenalan dengannya!”

“Ngoceh apa kamu, Im?” Lupus heran.

“Mana pancinya? Biar saya aja yang balikin sekalian mau kenalan!” Boim girang setengah koit.

“Enak aja! Saya kan yang minjem!”

Dan mereka pun jadi pada rebutan pingin ngebalikin panci. Gusur, Aji, Nanang, dan Joko nggak ketinggalan. Akhirnya diputuskan untuk ngembaliin bareng-bareng nanti kalau mau pulang.

***

Sampai sorenya, mereka belum berhasil berkenalan dengan cewek itu. Padahal udah ngebela-belain kenalan dengan bapaknya yang hobi banget menceritakan masa lalunya saat revolusi fisik. Sampai seharian mereka betah mendengarkan bapaknya ngoceh sambil matanya melirik-lirik ke dalam rumah. Tapi anaknya yang kece itu nggak kelar-keluar juga. Bapaknya juga keterlaluan. Berlagak nggak tau. Asyik cerita terus.

Tapi anak-anak belum juga kapok.

Seperti pagi itu, anak-anak pada terjaga dari tidurnya ketika mendengar azan subuh dari jauh.

“Eh, suara azannya kok rada aneh, ya?” kata Lupus sambil mengucek-ngucek matanya.

“Iya tuh, nggak kayak biasanya. Kayaknya fales, gitu. Eh, Nanang, bangun! Kamu kan hobi banget nyanyi? Coba kalau bisa ikutan suara duanya!” Aji mengguncang-guncangkan bada Nanang. Nanang Cuma cemberut, wong orang azan kok malah disuruh ikutan suara duanya? Kualat baru tau rasa!

Sementara Gusur langsung asyik bersenam pagi dengan iringan lagu karangannya sendiri. Melenggak-lenggok ke sana kemari.

“Eh, ngomong-ngomong si Boim ke mana nih?”

“Enggak tau. Hei, Sur, mau ikutan ke langgar nggak?”

“Mau.”

Mereka pun berjalan beriringan menuju langgar. Ceritanya mau pada sembahyang subuh. Udara masih dingin menggigit. Lupus asyik menyelimuti tubuhnya dengan sarung, sambil terus berjalan mengikuti teman-temannya.

Sesampai di langgar, mereka berlima sempat melongo ketika melihat Boim yang asyi ber-azan-ria. Buset, pantesan aja suara azannya fales banget! Dan mereka berlima langsung maklum, kenapa Boim mendadak hobi bangun pagi-pagi untuk azan di langgar. Biasa, supaya dilihat cewek desa itu, dan supaya dikira dia itu orang alim. Soalnya cewek desa itu suka ikut bapaknya sembahyang di langgar. Coba aja, sampai bela-belain ikut azan segala.

Hari-hari selanjutnya, Boim mendadak jadi alim sekali. Subuh-subuh udah nongkrong di langgar.

“Pokoknya usaha saya hampir berhasil, Pus. Saya udah kenalan sama dia kemarin. Namanya kamu mau tau? Megasari. Bagus ya namanya? Cocok banget dengan nama saya, Boim le Bon,” cerocos Boim. Lupus cuma bersungut-sungut kesal. Soalnya dia juga suka sama cewek itu.

***

Tapi meski cerita Boim sudah setinggi langit, sebetulnya dia itu belum pernah ngomong-ngomong langsung dengan Megasari. Soalnya cewek desa itu memang pendiam dan dingin sekali. Inilah yang makin memancing penasaran teman-teman Boim lainnya. Padahal sudah hari ke tiga mereka kemping di sana. Dan rencananya besok pagi mereka harus balik. Karena nggak enak ninggalin pelajaran lama-lama.

Malam itu, ketika yang lain pada tidur, Lupus nampak asyik sendirian di dekat api unggun yang baru dia buat sendiri. Nggak tau kenapa, dia nampak sentimentil banget malam itu. Wajah lembut Megasari selalu membayang di pelupuk mata. Senyumnya yang kaku, matanya yang bulat, rambutnya yang panjang, alisnya yang tebal. Wah, benar-benar kecantikan yang alami. Perwujudan dari keindahan yang ada di sekeliling desa kecil ini.

Tiba-tiba saja Lupus menyesal karena besok harus kembali ke kota. Kembali menekuni buku pelajaran. Padahal alangkah menyenangkan bila dia akan tetap tinggal di situ. Yang meskipun sulit, tapi masih bisa berharap untuk dapat bertemu dengannya. Bisa dekat dengannya.

Ah, Mega, kenapa harus dipisahkan oleh waktu?

Tapi meski tanpa kehadiran mega malam itu, Lupus tetap merasa senang bisa bermain-main dengan angan-angannya. Doa yang terucap malam itu tak lebih dari satu baris, ”Ya, Tuhan, tundalah terbitnya mentari di esok pagi.”

Dan mungkin, itulah doa terakhir yang pernah diucapkan dari mulut anak nakal macam Lupus. Doa tentang bunga desa.

***

Namun pagi hari toh tetap akan datang. Lupus beserta teman-temannya mulai membenahi barang-barang sebelum berpamitan pada penduduk setempat.

“Wah, sayang sekali kalian harus pergi sekarang!” sahut Pak er-te ketika mereka pada mau pamitan.

“Oya? Memangnya kenapa, Pak?”

“Besok malam kan Pak Haji mau bikin pesta besar-besaran. Beliau kan mau mantu.”

“Mau mantu? Siapa yang mu dinikahkan?”

“Siapa lagi kalau bukan Neng Megasari, anak gadisnya semata wayang. Wah, calonnya hebat lho, Dik, insinyur lulusan i-te-be. Makanya Pak Haji benar-benar bangga. Beruntung sekali nasib beliau!”

Sejenak Lupus termangu. Lalu berpandangan dengan Boim, Gusur, Aji, Nanang, dan Joko. Lalu tertawa kera berbarengan. Sampai Pak Er-te-nya heran.

“Im, katanya kamu mau banget kalau disuruh ngembaliin pancinya Pak Haji. Sana gih, kembalian,” ledek Lupus. Boim malah berjalan cuek meninggalkan mereka. Anak-anak ketawa lagi.

Di bis, mereka becanda seperti biasa. Tertawa lepas sambil saling meledek satu sama lain. Tiga hari kemping di lereng gunung benar-benar membuat pikiran mereka menjadi segar. Siap menerima pelajaran lagi.

Dan orang-orang macam mereka memang tak pernah merasa punya beban. Segala mudah datang dan pergi



10. Mr. Punk Tersayang

MR. PUNK sakit. Kontan kelas Lupus jadi rame. Boim si playboy duren tiga yang paling benci pelajaran fisika, lantara kalau udah belajar fisika ia merasa menjadi manusia paling bego di dunia, jejingkrakan girang persis monyet sarap. Mulutnya yang rada mancung itu sibut komat-kamit dengan tangan menadah ke atas.

“Ya, Tuhan. Akhirnya...akhirnya kebahagiaan ini datang juga. Pertahankanlah ini buat saya, sebab semakin si Punk jelek itu sakit, maka semakin bahagialah saya!” katanya sendu mirip dukun minta hujan.

Gila juga tu anak. Guru sakit kok malah disyukuri. Meta, Ita dan Utari yang paling pinter fisika dan murid kesayangan Mr. Punk sekaligus, tentu saja protes berat melihat ulah Boim.

“Im, kamu gimana sih? Kira-kira dong jadi orang! Masak guru sakit malah seneng? Harusnya kasihan dong, beliau kan membagi ilmunya buat kita!” sergah Meta kepada Boim yang masih sibuk komat-kamit.

Boim berlagak nggak denger. Atau memang budi (budek dikit)! Ya mungkin juga. Soalnya dia nggak hobi beli korek kuping. Duit gocapnya lebih suka dia beliin kerupuk, daripada korek kuping. Tapi waktu Meta nekat colak-colek pundaknya, Boim itu langsung melompat sambil pasang kuda-kuda.

“Ngapain ente colak-colek? Naksir, ya?”

“Enak aja. Saya cuma mau ngebilangin. Kamu kok girang amat kalau Mr. Punk, eh, Pak Pangaribuan sakit? Dia kan guru. Prihatin dikit kek!”

“Hanya orang gila yang nggak senang terhindar dari kesulitan!”

“Kamu memang gila kok!” timpal Utari ngebantuin Meta.

“Siapa? Kamu gila?” tukas Boim balik menyerang.

“Kamu itu lho yang gila. Kok nggak gila, masak guru sakit malah kesenangan?” balas Ita yang sejak tadi diam. Maksudnya memperjelas ucapan Utari. Charlie’s Angels ini memang kompak banget.

“Ah, udah-kalian memang sirikan. Nggak boleh liat orang laen senang. Kalian tau apa jadinya kalau hari ini Mr. Punk nggak sakit dan ngajar kita? Saya bisa gawat berat. Dia kan punya rencana mau ngadain ulangan. Sedang pe-er yang dikasih minggu lalu, harus dikumpuli sekarang juga. Saya belon bikin pe-er dan belon siap ulangan. Jadi apa ganjil kalau saya jadi seneng kalau Mr. Punk sakit? Rasain, guru galak begitu udah mestinya sekali-sekali sakit. Sejak hampir dua taun kita di sini, kan baru sekarang doi ngalamin sakit. Kedot banget tu orang. Jadi, sori aja kalau hari ini saya begitu bahagia!”

Meta, Utari dan Ita merengut. Muka mereka merah menahan sebal.

“Uh, soal nunggak bikin pe-er dan belon siap ulangan emang udah langganan kamu. Kapan kamu bisa siap ulangan kalau kerjanya cuma nampang melulu di depan cewek-cewek. Mending kece kali. Ngaca dong, Im, ngaca... !” omel tiga serangkai itu akhirnya.

“Kalian memang makhluk paling sirik. Saya kira cuma Andi yang suka sirik, tapi ternyata kamu-kamu juga. Kecil orangnya, tapi niat sirik kok gede banget kayak gunung. Udah, saya mau ke kantin. Persetanlah dengan semua kesirikan kalian!” ujar Boim dalam kemarahan yang memuncak. Itu memang kebiasaannya kalau lagi kepepet betul. Soalnya dia punya prinsip: ‘Anjing pun menggonggong kalau sudah terdesak’. (Bego bener sih tu anak. Secara sadar, dengan prinsip macam gitu kan sama saja menyejajarkan diri dengan anjing).

Meta, Utari, dan Ita ngikik. Boim ngeloyor pergi dengan menaikkan sedikit pundaknya yang begeng. Biar begitu, dia toh masih sempet ngingsot. Maka monyonglah bibirnya, yang dasarnya emang udah kayak bemper truk itu. Lagunya jenis lagu nostalgiaan, jangan ditanya ke mana aku pergi...

Dengan keminggaran Boim ke kantin (biasa, mau ngutang!), keadaan kelas ternyata tak berkurang gaduhnya. Maklum aja, anak-anak cenderung punya prinsip: mumpung-mumpung guru galak nggak ada, maka manfaatkanlah kesempatan ini sebaik mungkin.

Ada yang mulai bikin tebakan.

“Kecil, item, tapi kalau dijentil njitak. Ayo apaan?” pancing Andang kepada teman-temannya. Gito, Anto, Aji, -dan artis kita Fifi Alone, karena merasa ditantang, jadi terperanjat dan emosi.

“Kereta api diliat dari jauh!” tebak Gito sekenanya. Artinya, syukur kalau ketebak. Kalau enggak, ya minta ampun deh.

“Salah!” tangkis Andang bangga, lantaran teka-tekinya nggak ketebak.

“Nyamuk kejebur aspal!” Anto mengira-ngira.

“Saya tau! Saya tau! Idi Amin nongkrong di menara Eiffel!” ujar Fifi nggak mau ketinggalan.

“Ngaco-ngaco! Semua salah. Payah ah, masa tebakan segitu gampang pada nggak tau?” cerocos Andang tambah bangga. Fifi yang meski penampilannya sok ngartis, tapi daya pikirnya cekak itu mulai merajuk.

“Ini salah, itu salah, abis apa dong yang bener Ndang?” rajuknya manja sambil gelayutan di pundak Andang (emang tarsan?).

“Tai laler hansip! Item, kecil... tapi coba jentil kalau berani!” jawab Andang akhirnya, tak tahan rayuan Fifi.

Anak-anak pada keki.

Akhirnya kelas tambah gaduh dan tak bisa ditolerir lagi. Beginilah akibatnya kalau jam pelajaran kosong. Ada yang mulai sambit-sambitan kapur. Boim yang baru datang dari kantin, begitu masuk ke pintu, langsung disambut hangat dengan sepotong kapur. Puji Tuhan, tepat kena jidatnya. Yang sempet geliat adegan langka itu langsung pada cekikikan gila-gilaan. Kelanjutannya bisa ditebak, Boim ngomel abis-abisan persis nenek-nenek kehilangan konde.

“Siapa yang nimpuk gue barusan! Cepat ngaku. Apa nggak tau ada orang ganteng kayak gini? Jangan sembarangan dong, engkong gue aje belon pernah nyambit gue di jidat!” makinya sembari bertolak pinggang. Badannya melengkung persis koboi ngadepin bandit.

Gito yang merasa kapur timpukannya yang mampir ke jidat Boim, cuma nginyem. Untung temen-temen lain pada kompakan bikin aksi tutup mulut. Ita, Utari dan Meta, yang dasarnya lagi sebel sama Boim, malah bersyukur.

“Sayang ya, It,” kata Utari.

“Sayang apanya?” tanya Ita kurang paham maksud Utari.

“Sayang yang ngebentur jidat Boim cuma kapur. Coba penghapus, pasti jidatnya yang kayak jalan tol itu jadi ada polisi tidurnya! Kan asyik tuh!”

Ita cekikikan. Boim tambah marah. Karena nggak nemuin siapa yang nyambit. Tapi sebentar kemudian, dia malah ikut-ikutan perang kapur. Dan sempat kaget juga ketika ada sebuah celana kolor mendarat mulus di mukanya. Kolor siapa ini? Makinya dalam hati, dan pas diangkat, di situ ada tulisan pemilik kolor tersebut : Boim le Bon. Itu memang kolor kepunyaannya, buat jaga-jaga, karena dia hobi banget ngompol di kelas kalau ada ulangan fisika.

Boim pun ngamuk-ngamuk lagi. Siapa yang berani nyolong dari tasnya?

Di sisi lain, Fifi yang merasa penasaran sama Andang karena nggak bisa menerka tebakannya, mulai bikin seteru lagi.

“Gua juga punya tebakan, Ndang, emang lu doang?” katanya sambil mengais-ngais rambutnya yang model Farah Fawcet. “Tebakan ini rada susah makannya yang lain boleh ikutan ngebantu. Kalo perlu seisi kelas ini. Tapi pasti nggak bakalan ketebak, lantaran ike punya tebakan terlampau sulit buat rasio kalian. So pasti itu!” ngocolnya begitu yakin.

“Boleh, coba apa tebakannya?” serodot Andang mulai penasaran. Yang lain pun ikut ngedengerin apa yang bakal Fifi katakan.

“Coba tebak ya, kueh-kueh apa yang bungkusnya di dalem!” ujarnya keras.

“Kueh salah bikin!” jawab anak-anak hampir seisi kelas serentak, dan betul. Fifi jadi kemaluan sendiri.

“Kalian curang! Kalau udah tau bilang-bilang dong. Kan ike jadi nggak repot-repot bikin tebakan!” umpatnya di tengah rasa malu. Anak-anak cekakakan. Akhirnya kena batunya juga tu artis!

Kini keadaan kelas tanpa guru mutlak kacau. Tapi ternyata ada sesosok makhluk langsing yang nggak berminat ikut-ikutan ngegabung bikin keributan. Cowok yang rambutnya kayak John Taylor itu duduk sendirian di pojok, asyik dengan permen karetnya.

Seisi kelas baru sadar kalau sejak tadi Lupus nggak ikut gila-gilaan. Aneh. Biasanya anak itu yang paling aktif. Apalagi kalau lagi pas pelajaran kosong, Lupus yang biasanya jadi pelopor. Melempar tebak-tebakan sableng, ngeduran-duran dengan menggebuk-gebuk meja atau nggodain cewek-cewek yang lalu-lalang di depan kelas karena kebelet kencing.

Tapi lucunya hari ini ia memang lain dari biasanya. Malaikat mana yang tega membuat Lupus jadi suntuk seperti itu>

Ita, Utari, Gito, Fifi, Meta dan Aji yang menduga ada something wrong dengan Lupus, coba-coba mendekati.

“Kok tumben kalem, Pus?” tegur Utari.

“Kena santet jin irit, ya?” tebak ifi sekenanya.

Lupus cuek. Mereka makin penasaran.

”Mungkin ribut lagi sama Rina? Atau, oiya, Boim dan Joko pernah cerita, kamu lagi patah hati sama gadis desa yang dilamar insinyur itu, ya? Atau, inget lagi sama Popi? Kalau enggak, kok ngelamun sih?” cecar Ita.

“Saya lagi sedih. Saya sendiri juga heran. Soalnya sakit Mr. Punk itu lho. Biar kejam dan jelek, dia kan guru kita juga. Kita harus ikut prihatin. Apa kamu pada nggak tau malapetaka yang dialami Mr. Punk?” ucap Lupus pelan.

“Enggak. Kenapa sih dia?” tanya anak-anak yang merubungi Lupus hampir berbarengan.

“Tadi pagi saya kebetulan lewat kantor guru. Saya liat guru-guru di sana lagi pada tegang. Mereka berembuk. Saya sempet nguping bahwa ternyata Mr. Punk diopname karena ketabrak mobil. Menurut mereka sih, keadaannya cukup gawat juga. Saya jadi sedih, karena waktu ulang tahun dulu Mr. Punk sempet berbaik hati pada saya.”

Mendengar cerita Lupus, anak-anak spontan kaget. Wajah mereka menampakkan kecemasan.

“Saya kira Cuma sakit biasa. Jadi gimana kita ini, Pus?” tanya Meta yang paling disayang Mr. Punk.

“Itulah yang lagi saya pikirin. Atau gini aja, besok pulang sekolah kita bezuk ramai-ramai. Kita tunjukkan pada Mr. Punk bahwa kita adalah murid-murid yang baik, biar kadang-kadang suka nyebelin. Bagaiman, setuju, ya-ya-ya-?” tawar Lupus maksa.

“Setuju!” jawab anak-anak serentak. Rencana itu pun disebarluaskan ke teman-teman sekelas yang lain. Keributan terhenti sejenak. Boim yang lagi ngegodain Wiwi jadi sewot. Ruri yang lagi seru-serunya nggosip, jadi kecewa berat. Lupus tampil di muka kelas mengemukakan rencananya untuk menjenguk Mr. Punk. Kebanyakan anak-anak, kecuali Boim dan Ruri yang memang anti Mr. Punk, menanggapi hangat. Mereka setuju. Akhirnya diputuskanlah, besok seusai pelajaran sekolah mereka akan membezuk Mr. Punk di rumah sakit.

Uang pun dikumpulkan secara kolektif untuk membeli buah-buahan. Meta yang ditunjuk sebagai bendahara. Boim dengan sangat terpaksa menyumbangkan ratusannya yang lumayan lecek.

“Ya, ini sekedar rasa solidaritas sesama teman!” katanya acuh. Meta sebenernya menolak pemberian Boim, tapi dicegah Lupus.

“Setidak-tidaknya sebagai tumbal. Jadi terima aja pemberian Boim!” katanya menghibur Meta. Boim malah gusar.

Rencana mereka memang sudah matang benar.

***

Esoknya sesuai rencana, anak-anak kelas II pun berkumpul di kelas seusai pelajaran. Semua dengan kostum putih abu-abu, kecuali Fifi. Ternyata dia bawa baju ekstra dari rumah. Pantesan, waktu bel usai sekolah gedombrangan, Fifi tergopoh-gopoh lari ke belakang. Rupanya mau ganti baju dulu. Wah, pakaiannya seronok betul, celana panjang hitam garis-garis kuning, rompi jaket, lengkap dengan kaca mata itemnya. Tampangnya begitu dikece-kecein.

“Ah, ini kan Cuma menjaga penampilan. Saya tidak mau penggemar saya kecewa kalau lihat saya pake baju seragam sekolah. Jadi itulah tuntutan seorang artis, harus tampil secanggih mungkin di hadapan masyarakat!” katanya menjawab pertanyaan Lupus yang sempat kesel melihat dandanannya.

Ternyata tidak hanya Lupus yang kesel. Semua juga. Masak mau menjenguk orang sakit aja dandanannya kaya peragawati begitu sih? Tapi dasar mental artisnya sudah ada, Fifi cuek aja. Persetan dengan pendapat umum, yang penting penggemar saya jangan kecewa, begitu kira-kira pikiran yang ngendon di benaknya. Jadi ya perlu di maklumi.

Lupus lalu membagi tugas kilat. Gito ditugaskan membeli buah-buahan. Meta, Ita, Utari dan Yunita membeli kembang. Sedang Lupus sendiri sibuk menulis sesuatu di secarik kertas. Setelah semuanya beres, berangkatlah mereka ke rumah sakit.

Di sana mereka menjumpai Mr. Punk yang dibalut kepalanya. Kedua kakinya digantung. Mr. Punk terbaring tak berdaya, tapi masih menyempatkan melirik dengan ekor matanya. Pertama yang dilihatnya Lupus membawa seikat kembang. Lalu menyusul belerot-lerot Meta, Utari, Aji dan seterusnya. Fifi hampir ketinggalan lantaran sempat ngeceng dokter muda yang kece. Kaca matanya belum dicopot juga. Dalam rombongan itu, ternyata ada Boim juga. Gusur yang bukan satu kelas, dan enggak diajar Mr. Punk kelihatan ikut-ikutan. Waktu ditanya, alasannya, ”Kan ada Fifi, inilah kesempatan saya untuk mendekatkan diri!”

Lupus lalu menyerahkan kembang kepada Mr. Punk yang lansung diterima dengan senyum lepas. Mata Mr. Punk yang tersembunyi di bawah jidat yang menonjol, langsung membaca tulisan Lupus :

Pak Pangaribuan tercinta, lekaslah sembuh. Kami tau, tanpa Bapak, kami tidak berarti apa-apa sebagai murid. Hadirlah di tengah-tengah kami seperti sediakala. Dengan kegalakan Bapak, dengan kedisiplinan Bapak. Karena, ternyata itulah yang membuat kami jadi lebih disiplin. Jangan lupa, lekaslah sembuh, Pak. Apa pun alasannya, murid tak bisa lepas dari gurunya.

Wassalam,

Siswa-siswi kelas IIa2



Mata Mr. Punk berkaca-kaca.

“Ternyata kalian memang anak-anak baik, walau kalian zuka bikin marah Bapak. Dengan reztu kalian, Bapak bertekad untuk cepat-cepat zembuh. Karena setidaknya, Bapak masih diperlukan di tengah-tengah kalian. Terima kazih bunganya ya, Puz. Akan Bapak pajang di gizi pembaringan zebagai dorongan semangat untuk zembuh!” ujar Mr. Punk dalam logatnya yang khas (enggak bisa ngomong ‘s’), sambil mendekap erat bunga pemberian anak-anak.

Mr. Punk terharu.

Lupus terpana.

Ruri dan Boim tersadar.

Meta, Utari, dan Ita menitikkan air mata.

Mereka trenyuh. Mereka semua memang anak-anak baik. Mesti nakal, mereka ternyata bisa juga menghormati gurunya.