Skip to main content

Kamis, 31 Maret 2011

Drakuli Kuper



BAB 1 GADIS MISTERIUS

Lupus dengan sembunyi-sembunyi ngeluarin sepeda balapnya lewat pintu samping rumahnya. Ya, dia ngeri ketauan Lulu. Soalnya di ruang tengah, ketika Lupus tadi mengintip, Lulu lagi kayak spy mengawasi supaya Lupus gak pergi.

Kenapa sih Lulu ngelarang Lupus pergi?

Ya, sebab sore ini katanya Lulu pengen bicara penting empat mata sama Lupus. Soal gawat, menyangkut Mami. Soal apa? Nah, Lulu gak mau ngomongin dulu sampai sore ini, sampai saat Lulu pulang sekolah. Sedang Lupus sore ini udah janjian sama Gusur dan Boim mo beli undangan lomba nge-rap di radio. Jadi bukan salah Lupus kalo dia berusaha melarikan diri dari Lulu.

"Puuus? Lupuuus?" Lulu curiga denger ada suara jari-jari sepeda yang gemerincing.

Lupus buru-buru merapatkan tubuhnya ke tembok. Sepedanya ia biarkan jalan duluan (hihihi...).

"Puuus? Kamu di mana?" Lulu masih kebingungan nyariin.

Lupus diem. Tapi kemudian dia iseng mencet bel sepedanya yang pake remote control. "Tet tot, tet tot...!"

Lulu nebak ada tukang es podeng lewat samping rumah. Lho, di samping rumah kan gak ada jalan?

"Tukang es podeng, ya?" tanya Lulu ragu-ragu.

"Tet tot, tet tot...!" Lupus memencet kembali.

Tapi Lulu akhirnya kuatir kalo itu Lupus yang mo siap kabur pake sepeda. Lagi mana ada tukang es podeng mangkal di samping rumah orang? Ntar kalo dibolehin, lama-lama bakal banyak tukang-tukang lain yang ikutan mangkal di situ, dong. Bisa-bisa samping rumah Lulu itu jadi pasar kaget. Dan pastinya banyak yang ngeceng juga. Ah, tapi nggak mungkin.

"Berarti itu Lupus," tebak batin Lulu.

"Pus, kamu gak bakalan ngabur, kan? Ini soal penting, lho. Menyangkut masa depan kita berdua. Dan sangat rahasia. Jadi orang lain gak boleh tau," teriak Lulu lagi, ke arah samping rumah.

Lupus makin merapatkan diri ke tembok Dia nggak mau mainan bel lagi, takut ntar ketauan.

“Kita harus bicara empat mata Pus. Jangan sampai Mami tau. Kamu kan tau, belakangan ini Mami sering Jalan-jalan sama oom-oom yang tampangnya nyebelin itu...."

Hihihi, Lupus ketawa dalam hati. Tu anak ngomong hal rahasia kok teriak-teriak, sih!

Tapi Lupus udah keburu gak peduli. Yang dipikirkan saat ini hanyalah gimana agar ia bisa melarikan diri dari rumah. Bagi Lupus pergi sama Boim dan Gusur itu lebih asyik daripada nggak pergi. Apalagi perginya ke radio, mau beli undangan lomba nge-rap! .

Diliatnya sepedanya kini udah tersandar di pagar. Nah, ini saat yang tepat. Lupus harus buru-buru melompat ke sepeda Itu, dan mengayuhnya cepat-cepat. Satu, dua, ti...

"Hiyaaaa!" Lupus berlari menuju sepedanya. Sayang loncatan Lupus belon seratus persen sukses. Buktinya kini dia nyangsang di jemuran anduk punya Mami. Tapi Lupus buru-buru bangun dan berusaha loncat lagi. . .

"Hiyaaaa lagiii!" teriak Lupus sambil berusaha locat ke sadel sepeda. Gayanya mirip koboi yang mau loncat ke kuda. Tapi kali ini pantatnya mendarat mulus di kotak surat.

Sekelebatan Lulu melihat bayangan Lupus yang lagi loncat-loncatan di pekarangan samping. Lupus emang udah tiga kali gagal loncat ke sadel sepedanya. Lulu terperanjat, lalu berteriak, "Lupuuuuuss!" .'

Lupus yang udah beberapa kali gagal itu buru-buru ambil ancang-ancang lagi. "Tu... wa... ga..., hiyaaaa!"

Kali ini sukses! Lupus selamat duduk di sadel sepedanya, dan dengan sekuat tenaga, ia mengayuh pedal sepedanya kuat-kuat. Cihuuuui, ia pun meluncur mulus di jalanan.

Lulu memburu ke depan. Ia sempet ngeliat jemuran anduk Mami, beberapa pot anggrek, dan kotak surat ancur berantakan seperti abis diterjang banteng.

"Lupuuus, kamu mo ke manaaa? Kita kan belum ngomongin soal Mamiiiii! Yang jalan sama oom-oom ituuuu!" Lulu menjerit-jerit.

Tapi suara Lulu hilang kebawa angin. Lupus sudah jauh di ujung jalan. Lupus emang ngebut, meski pantatnya itu pada benjut-benjut!

***

Sekitar jam lima sore, Lupus baru nyampe di pelataran Radio Ga Ga, sebuah radio yang saat itu lagi ngetop di kalangan remaja. Suasananya lumayan rame, karena banyak anak-anak yang pengen dapet undangan atau ikut ngedaptar Lomba Rap. Kayaknya yang dateng ke situ itu rata-rata anak-anak yang punya hobi atau kemampuan tarik suara. Ketauan dari penampilan mereka yang rambutnya pada cepak ala seorang rapper!

Lupus, Gusur, dan Boim juga udah ada di situ, ikut ngantre. Mereka takut keabisan undangan.

Sementara acara lomba nge-rap-nya sendiri denger-denger bakal digelar gila-gilaan. Malah ada demonstrasi sinar laser segala. So pasti peminatnya bejibun.

Konon kabarnya panitia juga mengundang rapper-rapper tingkat kelurahan yang biasa muncul di pasar-pasar dalam rangka menjajakan dagangan (hihihi). Dan juga ada nama-nama yang aneh-aneh, antara lain Kelapa Muda Ice, Emsi Catut, Dung-dung Pret, dan rapper lainnya yang akan memeriahkan aksi acara ini.

Agaknya radio itu memang cukup pintar memanfaatkan peluang dalam menjaring massa untuk datang ke acara Lomba Rap. Karena selain diumumin tiap hari lewat udara, darat, laut, dan kepolisian eh, maksudnya disebar lewat mana-mana dan dibantu pak polisi gitu, para penjual undangannya terdiri dari cewek-cewek yang berbusana seksi. Penampilan mereka jadinya oke punya. Apalagi selain rok mini dan kaus putih ketat, mereka juga menyebar bonus senyum untuk tiap pembeli undangan lomba nge-rap itu! Akibatnya Gusur dan Boim yang emang sejak kecil jarang-jarang banget ngeliat barang bagus, langsung kumat gokilnya.

"Eh, Mbak ini cakep-cakep kok jualan undangan, sih? Mending jadi cewek saya aja, Mbak, ditanggung sejahtera lahir-batin," komentar Boim pada seorang cewek di situ, sambil coba-coba mencoel bahu si cewek.

"Oh, jangan mau jadi ceweknya dia, Mbak. Lebih baik jadi ceweknya daku. Hidup Mbak akan kuisi dengan puisi-puisi indah serta sajak-sajak yang bermanfaat bagi batin. Sementara lahirnya kuisi dengan yang lain...," timpal Gusur gak mau kalah.

Lupus sendiri saat itu mulai sibuk milih-milih kursi untuk di acara nanti. Ya, pada Lomba Rap kali ini, panitia menjual kursinya seperti menjual karcis di bioskop cineplex. Dan Lupus milih kursi paling belakang.

"Kok, nggak milih yang di depan, sih?" tawar petugas cewek yang melayani Lupus. "Di depan masih banyak yang kosong, lho. Dan biasanya banyak cewek-ceweknya yang duduk di situ."

"Ah, saya nggak perlu cewek, kok. Saya mau nyambitin peserta yang ikut Lomba Rap, mungkin temen-temen saya mau tuh dikasih kursi bagian depan," ujar Lupus sambil menunjuk ke Gusur dan Boim yang masih cekakak-cekikik-cekukuk-cekekek sama cewek-cewek penjual karcis lomba rap.

Sedang Gusur dan Boim yang ditunjuk Lupus cuek bebek aja, karena mereka masih sibuk dan keliatan betah ngegoda-godain. Tapi ketika tiba-tiba muncul seorang cewek manis ke situ yang kayaknya mau beli undangan, Gusur dan Boim gak bisa cuek lagi. Juga Lupus. Tiga pasang mata cowok yang item-itemnya udah lihai bergerak ke sono kemari itu, langsung saja tertumbuk ke arah cewek yang berpenampilan luar biasa itu. Cuek tapi nyentrik, dan sedang mesen tiket undangan. Para penjaga karcis undangan yang tadi begitu menarik minat, tiba-tiba saja jadi terasa gak ada apa-apanya di mata Gusur dan Boim, apalagi Lupus! Cewek nyentrik itu memang manis banget. Tapi meskipun tampangnya manis, sebetulnya rada aneh juga kalo diamati lama-lama. Sepertinya penuh misteri. Senyumnya juga menyeringai sekali. Pun ketika ia melempar satu senyum ke Lupus, Gusur, dan Boim yang dari tadi emang ngarep-ngarep. (Ngarep-ngarep itu masih sodara ama nge-rap-nge-rap).

Tapi meski keliatan penuh misteri, tiga sekawan itu jelas gak peduli. Mereka seperti langsung terpesona sama wajah manisnya. Karena cewek itu juga punya rambut panjang dan betis yang bagus. Sayangnya tu cewek gak banyak lagak, ia langsung mesen tiket, dan cabut!

"Eh, Mbak, dia mesen kursi sebelah mana?" tanya Lupus menggebu, walo si nyentrik baru melangkah beberapa injekan aja. "Karcis saya bisa dituker, kan? Bisa tuker ama yang di sampingnya dia? Bisa? Lho, kok diem, sih?"

"Yang udah dibeli nggak bisa dituker lagi!" teriak si penjaga karcis kesel. Kesel karena tadi digoda-godain, tapi kok sekarang nggak lagi. "Tadi aja kamu ngerayu-rayu gue, minta kursi di belakang. Sekarang minta dituker. Tak u-uk, ya!"

"Kalo gitu saya beli satu lagi, deh!" sungut Lupus. "Jelas yang sederet dengan dia, ya."

Setelah dapet, Lupus langsung cepat melesat ke luar diikuti Boim dan Gusur yang sebelumnya juga ikut-ikutan beli karcis lagi yang sederet dengan cewek manis penuh misteri itu.

Di luar si cewek tampak menyetop bajaj. Dan bak Hunter lagi nguber penjahat, Boim dan Gusur juga langsung ikutan mencarter sebuah bajaj yang terparkir gak jauh dari situ, untuk disuruh mengikuti ke mana bajaj tu cewek pergi.

"Cepet, Bang, jangan sampe bajaj di depan itu ilang!" pinta Boim.

"Ilang? Ilang ke mana? Emangnya yang naik tukang sulap, ya?" jawab sopir bajaj lugu.

Sedang Lupus langsung melompat ke sepedanya, dan ikut membuntuti ke mana bajaj itu pergi.

Entah kenapa, Lupus, Gusur, dan Boim rasanya pengen banget kenalan ama tu cewek. Padahal saat itu udah lewat magrib. Dan awan pekat menggelayut di langit. Artinya ketiga cowok kapiran ini kudunya udah ada di rumah, ngerjain pe-er, atau ngopi catetan-catetan. Lagian Boim kan tiap sore punya tugas khusus masukin ayam ama nyuci motor bututnya. Gusur juga punya tugas ngisi bak mandi buat ngerendem engkongnya. Lupus biasanya, kalo sore-sore ngebantuin Mami ngisi-ngisi nasi ke kardus katering. Tapi ketiga cowok itu yakin, senyuman yang diberikan oleh gadis itu seolah undangan kepada mereka bertiga untuk main ke rumah atau kenalan. Ya, kalo gadis itu gak suka, ngapain dong dia tersenyum? Kan kenal juga enggak. Jadinya, cueklah dengan aktivitas sore-sore!

Dan kayaknya bajaj si cewek itu tau kalo diikutin, buktinya sopirnya dengan inisiatif menambah kecepatan.

"Neng, kayaknya kita diikutin, deh," tukas sopir bajaj sambil ngegas bajajnya abis-abisan. "Saya kuatir mereka itu rampok!"

Tapi si cewek nyante-nyante aja. Gak ada rasa takut sedikit pun di mukanya.

"Abang ini manggilnya kok Neng, Neng, sih. Emangnya kita bel SD Inpres! Hihihi...." Si nyentrik ini malah ngajak bercanda sopir bajaj.

Bener-bener misterius ni anak!

"Neng, kok, gak keliatan takut? Apa Neng berani ngadepin perampok-perampok itu?" sergah sopir bajaj lagi.

Si cewek nyentrik itu gak ngejawab. Ia cuma tersenyum dikit aja.

"Neng, gak apa-apa kan kalo saya bawa ngebut, demi keselamatan Neng dan keselamatan saya?"

"Terserah Abang aja, deh," ujar si cewek pendek.

Dan sopir bajaj itu bener-bener ngebut. Kayaknya yang merasa takut justru dia. Karena lari tu bajaj jadi gila-gilaan. Orang Lupus yang naik sepeda aja kelewat!

Sementara bajajnya Boim dan Gusur juga gak mo kalah. Sopirnya disuruh ngebut juga. Lupus yang ngos-ngosan setengah mati mengayuh pedal sepedanya, berusaha pegangan ke spion bajaj.

"Emangnya tukang sulap itu siapa, sih? Kok pake diuber-uber segala?" tanya sopir bajaj Boim.

"Tukang sulapnya kece, Bang!" jawab Boim sekenanya.

"Kecenya seape?"

"Selangit!" timpal Gusur.

"Ayo, Bang, jangan banyak omong, uber terus, dong!" tukas Boim gak sabar. "Ngetril deh, ntar saya tambahin gocap!"

"Ya... bajaj Abang nggak bisa ngetril tuh, gimana kalo ngesot?"

"Terserah deh, yang penting keuber!" ngotot Boim.

Ternyata tu bajaj bener-bener ngesot, walhasil Lupus yang tadi udah pegangan kaca spion jadi ketinggalan.

Dan setelah berputar-putar, semua penumpang bajaj itu terkocok-kocok, akhirnya mereka melihat bajaj yang ditumpangi cewek itu berhenti di sebuah pintu gerbang besi yang dikelilingi tembok tinggi. Bajaj Boim berhenti gak jauh dari situ. Bak detektif, mereka berdua melompat turun. Tapi langsung diteriaki tukang bajaj, karena mereka belon bayar ongkosnya.

"Ssst, jangan kenceng-kenceng, Bang. Emangnya berapa?"

"Tiga ribu!"

"Ha? Mahal amat?"

"Kan pake ngesot segala!"

Mereka berdua pun langsung lempar tanggung jawab, "Lo yang bayar, Sur!"

"Enak aja, dikau, dong!"

"Elo!"

Untungnya mereka sepakat patungan. Dan tak lama kemudian Lupus pun datang ngos-ngosan dengan sepeda balapnya. Mereka pun ngendap-ngendap, supaya gak ketauan ama tu cewek bahwa dia diikutin. Tapi percuma aja, karena si cewek nyentrik itu dari balik pintu gerbang besi tertawa ngikik ke arah Lupus dan kawan-kawan.

Ketiga cowok ini emang gak sadar kalo barusan dia dikerjain sama gadis nyentrik yang sengaja muter-muter dulu dengan bajajnya tadi, biar pada bingung. Padahal sebetulnya jarak dari kantor radio tadi ke rumah tu cewek gak terlalu jauh.

Dan setelah urusan bajaj beres, mereka mulai celingukan nyari gadis manis itu. Hei, kok tau-tau ngilang, sih? Ke mana dia? Sewaktu Gusur dan Boim sibuk soal urusan bajaj tadi, diam-diam tu cewek langsung menyelinap. Menghilang di balik pintu gerbang besi yang warnanya udah keitem-iteman dan ditumbuhi lumut pada bagian bawahnya. Dan Boim dan Gusur yang ngerasa asing banget ama daerah sekitar situ, makin celingukan.

"Kayaknya gue pernah ke daerah sini, deh!" ujar Lupus sambil mengingat-ingat. "Tapi kapan, ya?"

Sementara gelap sudah membungkus daerah itu. Di situ lampu penerang jalannya emang cuma make bohlam yang lima watt. Jadi wajar juga kalo, Lupus cs bingung banget ngebayangin ke mana ngilangnya cewek penuh misteri itu.

"Mungkin masuk ke pintu situ, Pus!" tunjuk Boim.

Ya, memang ada sebuah pintu gerbang besi di balik tembok yang membentang di situ. Tembok itu cukup tinggi untuk sebuah pagar halaman dan terlalu kokoh. Dan lagi terlalu banyak ditumbuhi semak-semak. Apa tu cewek anak orang kaya yang bokap-nyokapnya juga nyentrik, hingga ia tinggal di rumah besar seperti ini?

"Ya, mungkin tembok tinggi ini mengelilingi rumahnya. Gila, besar betul rumahnya?"

Kemudian Lupus cs dengan berjingkat-jingkat menuju pintu gerbang yang tertutup rapat itu. Lalu nekat mengetuk, dan berteriak, "Assalamualaikum...!"

Gak ada sautan.

Mereka kemudian mendorong sedikit pintu itu. Agak berat, tapi dengan tenaga tiga orang, pintu besar itu berhasil terkuak agak lebar. Dan mereka terkejut setengah mati, ketika ternyata di balik pintu itu terhampar luas pekuburan nan angker yang banyak ditumbuhi pohon kemboja. Ditambah bau kemenyan yang menyengat.

Mereka pun langsung berbalik dan berlari tunggang-langgang.

"Hii... ternyata dia kuntilanak!!!" jerit Lupus sambil melompat ke sepedanya. Kali ini langsung pas ke atas sadel! Sedang Boim dan Gusur ketakutan sambil berusaha mencari-cari baJaJ sendiri-sendiri.

BAB 2 ANAK METAL

HEI!

Ada seorang bapak celingak-celinguk di depan rumah Lupus. Dia menengok ke kiri, ke kanan, ke samping, bahkan ke atas. Maling? Atau orang yang mau numpang senam di depan rumah Lupus? Mending amati dulu orang itu lekat-lekat. Jangan punya prasangka buruk dulu. Kali aja dia punya niat jelek!

Penampilan bapak itu cukup perlente kalo dibandingin sama engkongnya Gusur. Pake jas item, celana panjang item, dasi kupu-kupu malem, dan menjinjing tas ekolak item! Lho, kenapa orang sekeren itu pake celingak-celinguk segala kalo dia memang mau bertamu? Oo, dia lagi bingung nyari-nyari bel! Kayaknya bapak ini tipe-tipe tamu yang males ngetok pintu atau memberi salam lekum. Karena buktinya dia masih terus aja nyari-nyari bel rumah Lupus. Bel rumah Lupus memang sengaja ditaro tersembunyi. Maksudnya biar nggak dimainin anak-anak iseng. Jadinya meskipun di situ ada tulisan bel dan tanda panah yang menunjuk ke samping pintu, belnya belum tentu ada di situ. Tanda panah itu hanya untuk menunjukkan sebuah kertas bergambar peta yang isinya menunjukkan tempat bel itu berada. Ya, kini bapak itu tak lagi menggeleng-geleng ke kiri atau ke kanan, melainkan tengah sibuk mempelajari peta buta bikinan Lupus yang isinya menunjukkan tempat bel berada. Ternyata peta buta itu bener-bener buta. Nggak ada keterangan lain sedikit pun, kecuali garis-garis yang berbentuk jalan tol kecil memanjang. Untungnya bapak perlente itu gak putus asaan. Dia terus mempelajarinya dengan tekun. Meskipun Lulu udah dua kali bolak-balik lewat situ sambil membuka pintu, mo ngembaliin piring rujak.

"Garis ini berwarna merah, artinya pasti tak usah diikuti...," gumam bapak itu masih serius. "Hmm, ini garis hijau melengkung pasti penunjuk peta itu berada. Kalo ditilik-tilik, yang satu ini pasti gambar pintu. Trus garis hijau ini melewati pintu menuju ke atas. O, berarti bel itu ada di atas genteng! Ya, pasti bel itu ada di atas genteng. Baik, harus saya temukan sekarang juga. Kalo nggak, saya bisa kemaleman di sini," gumam orang perlente itu.

Dan, bapak itu pun segera naik ke atas genteng untuk menemukan bel yang dia cari-cari. Ternyata dugaan bapak itu tepat seratus persen! Bel itu bener-bener ada di atas genteng. Dan dengan rasa yang girang-gemirang, ia langsung memencetnya penuh sukacita.

"Ting tong! Ting tong! Ting tong!"

Hari itu hari Minggu. Lulu yang lagi asyik baca-baca komik sambil tiduran di sofa dan nonton RCTI, jadi ngerasa terganggu. Huh, siapa sih siang-siang begini bertamu? dengus batin Lulu sambil beranjak males-malesan. Dilemparnya komik itu ke dalam keranjang majalah, kemudian Lulu berjalan malas menuju pintu. Tapi ketika dia membuka pintu depan, sama sekali nggak ada siapa-siapa. Sial, pasti ada anak-anak iseng yang mainin bel! Lulu buru-buru hendak menutup pintu lagi.

"Hei, jangan ditutup dulu pintunya...," tiba-tiba terdengar teriakan dari atas genteng. Kepala bapak perlente itu muncul dari balik eternit. "Tamunya ada di sini!"

Lulu ke teras dan mendongak ke atas.

Busyet, seorang bapak perlente lagi nangkring di situ.

"O, Bapak yang tadi? Bapak pasti mau ketemu Mami lagi, ya? Mami nggak ada, dia lagi di dapur!" ujar Lulu judes.

Lulu emang gak suka sama bapak perlente yang suka dateng ke rumah ini. Bapak itu yang sering ngajak jalan Mami. Bapak yang sengaja ngedeketin Mami itu yang mo Lulu ceritain ke Lupus. Udah lebih lima kali dia datang kemari.

"Ee, jangan begitu, dong. Bapak ingin ketemu mami kamu sebentar saja. Ada urusan penting, nih."

"Urusan apaan, sih? Ama saya kan bisa.”

"Wah, sama sekali nggak bisa. Ini urusan orang tua, urusan bisnis."

"Aah alasan!"

"Sunguh, saya ada urusan sedikit dengan mami kamu. Ada urusan penting yang mesti dibicarakan secepatnya. Bener. Kalo bo'ong saya berani sumpah nggak lari di atas air. Boleh, ya?"

"Tapi jangan lama-lama, ya?"

"Iya. Eh, eh, tolong ambilin kursi dulu, dong. Bagaimana Bapak bisa turun klo nggak pake kursi?"

"Lho, Bapak kok tadi bisa naik meski nggak pake kursi?"

"Tadi kan dalam proses pencarian. Jadinya penuh semangat gitu."

"Alaa, kalo naik bisa nggak pake kursi, turun juga bisa dong nggak pake kursi. Udah, saya mau masuk dulu!"

"Yaaa, jangan tinggalin saya, dong!"

Dan Lulu akhirnya berbaik hati ngebawain kursi. Tapi kursi yang mungil banget, yang biasa dipake anak Taman Kanak-kanak, hingga Oom Agus harus berjuang keras gelantungan agar ujung jempol kakinya bisa menyentuh kursi.

Pas ngobrol sama Mami di ruang tamu juga, Lulu setia nungguin sambil pegang stop-watch. Lulu gak ragu-ragu ngusir kalo Oom Agus kelamaan bertamu.

Ya, sebenarnya Lulu bukan cuma sebel gara-gara keasyikannya baca komik dan nonton RCTI terganggu, tapi juga karena bapak itu makin sering datang berkunjung kemari. Ya, akhir ini Mami jadi sering pergi ke luar, karena dijemput sama bapak-bapak menyebalkan itu. Dan itu yang bikin Lulu sebel. Keliatannya di antara Mami dan bapak perlente yang sering disebut-sebut sebagai Oom Agus oleh Mami, memang ada hubungan bisnis. Tapi bisnis apaan, Lulu nggak pernah tau. Itulah salah satunya yang bikin Lulu empet ama tu bapak. Juga kesel ama Mami.

Mami? Ya, karena pernah di suatu hari Lulu mergoki Mami dan Oom Agus lagi janjian untuk pergi ke suatu tempat. Dan kayaknya tempat yang mau dituju itu bukan tempat bisnis. Lulu jelas protes. Tapi Mami berkelit, katanya tempat itu memang bukan tempat bisnis, tapi di situ bakal terjadi transaksi bisnis. Maksud Mami, Mami di situ bakal ketemu dengan bos perusahaan besar yang bakal mengajak kerja sama di bidang bisnis katering. Lulu tetap nggak percaya.

Kemudian Lulu berusaha minta tanggepan ke Lupus. Ternyata Lupus-nya juga cuek bebek. Malah kemaren sore sempat melarikan diri.

Dan sekarang pikiran Lupus masih ke cewek misterius yang ia jumpai kemaren. Lupus rasanya pernah datang ke daerah pekuburan situ. Tapi kapan, ya?

"Pus, kamu kok diem aja?" tegur Lulu membuyarkan lamunan Lupus.

Lupus kaget. "A-apa? Kamu nanya apa?"

"Itu. Soal Mami."

"Kamu nyante aja, Lu. Nggak apa apa-apa kok, antara Mami dan si... siapa? Oom siapa namanya?"

"Agus!"

"Angus?"

"Agus, Oom Agus!"

"Iya, antara Mami dan Oom Angus itu nggak ada apa-apa."

"Oom Agus!"

"Ya, ya. Oom Angus itu kan bisa jadi temen bisnis Mami. Masakan kamu nggak tau kalo usaha katering Mami mulai maju. Pesenan banyak datang dari pabrik-pabrik. Ada dari kantor-kantor, dari orang yang ulang tahun, atau ada juga dari Gusur dan Boim yang meskipun cuma mesen tempe sebiji, tapi itu udah membuat Mami repot, Lu. Nah, barangkali aja Mami butuh partner buat mengembangkan usahanya itu," jelas Lupus kalem.

"Partner masa pake janji-janjian segala?" Lulu berkelit.

"Ya jelas pake janji-janjian, dong. Kamu ini gimana, sih? Apa iya antara Mami dan Oom Angus itu tiba-tiba bisa ketemu di pasar, dan langsung ngomongin soal bisnisnya gitu?"

"Bisa aja kalo kebetulan," Lulu ngeyel.

"Ya orang bisnis kan gak bisa ngarepin kebetulan doang, Lu."

"Ah, bilang aja kamu gak mau tau urusan ini," ujar Lulu seperti mo nangis. "Kamu emang mau enaknya aja."

Lulu pun berlari dan langsung masuk kamarnya. Dia jadi sebel sama Lupus juga. Uh, udah sebel sama Mami, sama Oom Agus, sekarang sama Lupus juga. Lulu jadi makin sedih aja. Dia nggak tau mesti cerita pada siapa lagi. Lupus biasanya satu-satunya orang yang bisa diajak mengerti. Tapi sekarang Lupus bukanlah Lupus yang dulu lagi. Batin Lulu terus mencaci maki Lupus!

Kesebelan Lulu itu sebenernya ada benernya juga. Karena dia sebagai cewek bisa ngerasa kalo Oom Agus itu seneng sama Mami. Dan Lulu jelas-jelas nggak bisa nerima kalo Mami bener-bener lengket sama Oom Agus itu. Lulu kuatir Mami sampe berpacaran sama bapak-bapak yang keliatan perlente tapi bego itu. Kuatir kalo kasih sayang Mami terbagi.

Akibatnya untuk mengantisipasi keadaan, sejak itu Lulu mulai bertingkah laku aneh-aneh.

Contohnya pulang sekolah, Lulu mulai telat. Telatnya gak tanggung-tanggung, kadang sampe dua hari. Misalnya ditanya Mami atau Lupus, Lulu cuek aja ngejawab, "Jalanan macet total!"

Lulu juga suka nginep-nginep di rumah temannya. Atau ngajak balik nginep temennya di rumah. Mending yang diajak nginep satu-dua biji, tapi ini sih gak jarang sekelas disuruh nginep. Mana pas pagi harinya semua anak dibagiin kotak katering lagi. Mami jelas sewot berat. Tapi Lulu gak peduli.

Lulu juga mulai akrab dengan cowok, meski gak berani terang-terangan sama Mami. Beberapa kali Mami memergoki Lulu diantar ama seorang cowok yang punya penampilan anen bin bokir, eh, aneh bin ajaib.

Kalo dulu-dulu Lulu gak pernah ikutan nongkrong di plaza, kini ampir tiap hari dia mampir di situ. Temen-temennya cowok, dan mulai aneh-aneh lagi modelnya. Ada yang pake anting di idung, ada yang pake gelang di kuping, malah ada yang pake cincin di leher. Rata-rata rambutnya gondrong metal. Ya, semua anak itu jadi akrab sama Lulu.

Semisal kamu jalan-jalan ke terminal bis, jangan heran kalo ngeliat Lulu lagi ngobrol akrab sama kondektur atau sama anak STM yang lagi ngatur strategi perang. Lulu emang gila-gilaan sekarang ini.

Dan sepulang sekolah Lulu yang biasanya suka bantu-bantuin Mami ngabisin telur katering, eh sori, maksudnya suka bantu-bantuin ngisiin telur-telur ke kardus katering, kini nggak lagi. Kebiasaan baca komik sambil nonton RCTI juga udah diganti dengan kebiasaannya nyetel kaset trash-metal kenceng-kenceng. Koleksinya dari Anthrax, Megadeth, Kreator, dan sejenisnya. Lebih-lebih kalo lagi ada Oom Agus berkunjung, Lulu langsung tereak-tereak ngikutin lirik lagu yang ada di kertas kaset sambil bergaya mengangguk-anggukkan kepala ala Metallica.

"Hiyaa,

Darkness imprisoning me

all that I see absolute horror

I can not live, I can not die

Trapped in myself, body my holding cell!!!"

Lulu cuek banget teriak-teriak begitu sambil gak lupa ngacung-ngacungin tiga jari ke congor Oom Agus atau ke Mami.

Oom Agus tentu shock berat, dan Mami belingsatan.

"Pernah sih ditegor Mami, tapi alasannya, Mau ikutan festival band, Mi. Kali aja bisa ngetop dan nyaingin Anggun C. Sasmi!"

Selain suka bergaya metal, Lulu belakangan juga hobi banget lari-lari kecil di dalam rumah. Kadang-kadang dengan cueknya ngiter-ngiter di tengah Oom Agus dan Mami yang lagi asyik ngbrol. Tapi sayangnya Mami nggak sadar kalo itu merupakan protes anak bontotnya akibat dia terlalu akrab dengan Oom Agus.

Bahkan Lulu pernah dengan terang-terangan protes ke Mami. Eh, Mami-nya malah balik memarahi Lulu. Memarahinya nggak tanggung-tanggung lagi. Idung Lulu ditunjuk-tunjuk segala. Lulu jadi sakit hati. Sebab waktu belon kenal ama tu bapak-bapak, Mami gak pernah marahin Lulu sampe begitu rupa. Lulu bener-bener keki beraaaat!

BAB 3 LOMBA RAP

UDARA cerah Sabtu pagi itu membuat suasana Lomba Rap yang diadakan Radio Ga Ga itu berlangsung meriah. Cewek-cowok berdandan khas remaja, memadati arena terbuka yang terletak di belakang pelataran parkir Radio Ga Ga yang disulap jadi arena ngeceng.

Cewek-cowok model sampul majalah sampe sampul rapot bertebaran di mana-mana. Dan sedan-sedan mungil berdesakan parkir di depan kantor radio. Angin sejuk pelan-pelan menyusup masup bersama si Ucup ke arena yang dikelilingi pepohonan rindang itu. Acara yang harusnya dimulai pukul sembilan, jadi molor beberapa jam dari waktu yang udah ditentukan, dikarenakan em-si-nya konon kabarnya masih terkunci di WC studio.

Lupus yang udah datang sama Boim dan Gusur, sibuk nyari-nyari kursi yang udah dipesan Tapi sekitar seratus pengunjung yang memadati pelataran taman itu udah gak peduli sama nomor kursi lagi. Mereka main serobot. Ya, untuk acara kayak gini, disiplin emang susah banget dipelihara. Malah sebagian anak ada yang lebih rela berdiri di dekat panggung, biar lebih bisa ngeliat jelas.

Ya konon ada artis-artis kondang yang ikut memeriahkan acara seru ini. Sebagian pengunjung yang anak sekolahan itu masih memakai seragam karena acara ini digelar Sabtu pagi, dan anak-anak belum waktunya pulang. Lupus, Boim, dan Gusur juga tadi minggat dari sekolah. Ya, untuk sekarang-sekarang ini sekolah kan baru pada masuk. Jadi mata pelajarannya masih banyak kosong. Untung tadi Lupus udah nyiapin kaus, buat menggantikan baju putihnya yang ada bet SMA Merah-Putih.

"Aduh, tempat gue didudukin orang!” maki Lupus kesel sama Boim dan Gusur.

Ya, ada seorang gadis pake rok jins yang mini duduk di bangkunya Lupus.

"Eh, Mbak, ini tempat saya," ujar Lupus.

"Enak aja. Kan gue duluan yang duduk di sini," cewek itu ngotot.

"Tapi ini kan nomor bangku gue!" Lupus memperlihatkan karcis undangannya.

"Alaaah, undangan itu kan buat door prize aja. Duduknya terserah...”

"Tapi, Mbak, Mbak harus pindah!"

"Gak mau!" .

"Kalo gitu kita duduk berdua aja!"

"Sini, deh. Gue pangku!" tantang cewek itu.

Temen-temen tu cewek pada ketawa. Lupus jadi malu. Ia pun dengan bersungut-sungut berlalu dari situ. Nyari duduk di tempat yang lain. Sementara Boim dan Gusur sudah menemukan tempat duduk yang strategis.

Nampak panitia mulai asyik membagikan minuman, snack, dan kaus dari sponsor. Dan Lupus masih kebingungan di dekat sebuah VW Combi yang terparkir di arena, yang berfungsi sebagai alat siar radio. Ya, rencananya acara ini akan disiarkan langsung ke radio-radio tetangga.

"Hei, Lupus!" teriakan riang terdengar bikin kaget Lupus. Lupus menoleh. Seorang cewek manis dikuncir, bersepatu roda, dan masih mengenakan seragam sekolah, tersenyum lebar ke arahnya.

"Eh, Olga, ya?" Lupus surprais banget.

Dua anak gokil itu langsung bersalaman, saling ber-toast ribut banget. Boim yang ngeliatin dari jauh, rada sirik juga. "Eh, Sur. Tu, si Lupus dapet sosotan keren banget!"

"Oya, kenalin, Pus. Ini si Wina, temen gue!" Olga memperkenalkan sobatnya yang dari tadi nguntit di belakang.

Wina dan Lupus bersalaman.

"Lo ikut gue aja, Pus. Duduk di deket panitia situ!" ajak Olga sambil menarik tangan Lupus.

"Di situ kita bisa lebih enak ngegodain peserta! Eh, Win, lo minggat dulu, deh. Cari pasangan lain."

Wina bersungut diusir begitu.

"Atau lo sama temen gue aja, Win. Si Boim. Tu, yang item keriting!" ujar Lupus sambil menunjuk ke arah Boim. Boim udah ge-er aja ditunjuk-tunjuk.

"Enak aja!" Wina mencibir.

Olga menarik Lupus ke samping panggung. Tapi pas ngelewatin VW Combi, ia dipanggil sama Mbak Vera.

"Eh, Olga. Kebetulan. Kamu aja ya yang bawain acara?"

Olga terkejut.

"Kok saya, Mbak?" .

"Tolong deh, Ol. Sekali ini aja. Abis em-si-nya gak muncul-muncul. Penonton udah gelisah, tuh. Acara kan udah mo dimulai!" ujar Mbak Vera.

Setelah dipaksa-paksa, akhirnya Olga mau juga. Olga langsung dikasih tau daftar acara yang harus dibawakan.

"Sori ya, Pus," Olga menatap Lupus.

Lupus tersenyum. "Gak apa-apa, kok."

"Tapi kamu temenin saya ya, Pus?"

Lupus mengangguk.

Akhirnya, dengan masih berseragam ria, Olga memegang kendali acara dari atas kap VW Combi. Lupus nemenin di sampingnya.

"Halo, halo, ya, jumpa lagi bersama Olga, di JaJahan 106,1 FM! Lewat sebuah acara yang maha menarik yang diselenggarakan pas dalam rangka ulang tahun Radio Ga Ga. Inilah... Lomba Rap!!!!"

Olga langsung menjerit-jerit. Dan penonton yang dari tadi udah gelisah nungguin, bersorak menggemuruh.

Lupus yang duduk di samping Olga, ngerasa keberisikan. Ya, abis Olga kalo udah siaran suka lupa daratan. Teriak-teriak, lupa tetangga yang duduk di sebelah.

"Ya, ya, sebelum acara Lomba Rap yang diikuti peserta dari tingkat lokal maupun interlokal, sebagai pembuka sudah bersiap-siap para model beken Jakarta, memperagakan baju-baju karya desainer beken!"

Di atas panggung memang sudah nampak beberapa peserta yang langsung berjalan lenggang-lenggok, memamerkan kepiawaian mereka dalam hal ngeceng. Acaranya dibikin kocak.

Seperti rombongan pertama, cewek-cowok yang berbusana kaus kutang doang, dengan membawa spanduk kecil bertuliskan: Ngeceng dengan Busana Musim Panas!

Ada juga yang menampilkan busana ronda. Pake kain sarung, bawa senter dan kentongan.

Olga makin asyik mengomentari orang-orang yang ada di panggung. Sedang Lupus bengong aja kayak sapi ompong. Tapi lagi bengong-bengong begitu, tiba-tiba matanya tertumbuk pada seorang cewek yang duduk agak jauh. Lupus menajamkan penglihatannya. Ya, Allah! Itu kan gadis cantik yang misterius itu? Yang rumahnya ada di kuburan? Ternyata dia datang juga!

Lupus penasaran. Pasti tu cewek bukan setan. Abis, kok siang-siang begini, lagi rame-rame begini, dia berani muncul. Tanpa setau Olga, Lupus pun melompat turun dari belakang. Mo nyamperin tu cewek.

"Eh, para hadirin," ujar Olga lagi, "gimana kalo pada kesempatan ini saya wawancarain seorang penonton yang rela ngebela-belain bolos sekolah demi acara ini?"

Olga menoleh ke sampingnya. "Lho, ke mana tu anak?"

Olga mencari-cari Lupus. Tapi gak nampak juga batang hidung tu anak.

"Karena penonton yang mau diwawancara tak ketauan di mana rimbanya, maka acara wawancara, dengan tidak menyesal, saya batalkan!"

Lupus cekikikan sambil diem-diem ngiterin bangku penonton, mau menghampiri si gadis misterius. Tapi Lupus tiba-tiba pengen pipis. Lupus ngeliat ke sekeliling, nyari WC umum. Kebetulan di ujung lapangan, dekat studio, ada tulisan Ladies dan Gents. Lupus pun lari ke situ. Daerahnya rada sepi.

Setelah pipis, ia buru-buru keluar. Takut kehilangan jejak si gadis misterius. Tapi Lupus jadi kaget sendiri begitu melihat cewek yang mau didekati justru udah berdiri di depannya.

Lupus gelagapan.

Cewek itu memberikan senyum manisnya. Lupus membalas kaku.

"Hai!" sapa si cewek.

"Hai!" balas Lupus.

Si cewek kembali tersenyum manis.

"Masih inget saya, kan?" tanya si cewek tertuju pada Lupus.

Lupus nggak langsung menjawab, soalnya masih ngeri, jangan-jangan cewek ini sejenis siluman. Kalo nggak kenapa tau-tau muncul di sini? Ya, setan kan bisa aja keluar siang-siang....

"Kok pertanyaan saya nggak dijawab, sih?" tukas cewek itu lagi.

Lupus tersadar, dan jadi nggak enak ati.

"Eh, m-maaf. Ma-maaf. Tapi situ bukan kuntilanak, kan?" ujar Lupus nekat.

"Hihihi...," cewek itu ngikik.

Lupus jadi bergidik. Ketawanya itu!

"Hihihi... kamu ini lucu deh, mana ada sih setan nongol siang-siang begini? Lagian, mana ada setan demen nonton rap?"

"Ja-jadi, kamu siapa?" tanya Lupus masih agak ketakutan.

"Sekalian aja kita kenalan. Nama saya Kunti. Lha, kamu, siapa?" Si cewek yang mengaku bernama Kunti itu menyodorkan tangannya. Lupus balas menyodorkan tangannya. Ragu-ragu.

"K-kunti?" Lupus terkejut.

"Iya, emang kenapa?"

"Kok mirip-mirip..."

"Tuh kan, nuduh lagi."

"Iya, deh. Enggak. Sa-saya Lupus."

"Lupus? Hihihi, lucu ya, nama kamu." Kunti ketawa lagi.

"Lha nama kamu sendiri apa ada panjangannya, Kun?" tanya Lupus tiba-tiba, sekaligus membuat Kunti menghentikan tawa cerianya.

"Ada!" jawab Kunti mantap.

"Apa panjangannya?" Lupus penasaran.

"Kun... Kun... ya, Kuntilanak dong panjangannya."

"Apa? Kuntilanak?" Lupus kaget setengah mati!

Kunti ketawa lagi. Hihihi, penakut amat, nih anak!

"Bercanda, kok. Jantung kamu lemah banget, ya?"

Lupus tersipu. Lalu mengajak Kunti bergabung sama peserta. Selama berjalan dari kamar kecil ke arena perlombaan, Lupus berusaha berjalan di belakang Kunti, dan sibuk mengamati punggung Kunti. Ada bolongnya apa enggak. Tapi rambut Kunti yang panjang menyulitkan penyelidikan Lupus.

Tapi di arena, sebentar aja mereka berdua udah keliatan akrab.

"Ya, penonton dan pendengar sekalian, arena Lomba Rap ini ditata sedemikian rupa, dan kini dipadati oleh tak kurang dari sekitar... wah, gak keitung berapa jumlahnya. Jadi kira-kira sendiri aja, deh. Apalagi untuk cowok item keriting bernama Boim yang lagi bengong kayak sapi ompong itu, pasti dia tau jumlah penonton yang tepat. Nah, tanya aja sama tu cowok!" suara Olga terdengar lagi dari loud speaker. Sementara Boim, yang namanya kesebut-sebut, kini lagi ke-ge-er-an.

"Tak usah heran. Karena tu cowok emang keturunan dukun. Jadi pasti tau!"

Boim kaget.

Lupus ketawa. Kunti juga.

"Boim yang keriting item itu kan temen kamu, ya?" tanya Kunti.

Lupus mengangguk. Lalu karena penasaran sama soal kuburan, Lupus lalu nanya-nanya rumah Kunti yang menyeramkan.

"Oo, itu bukan rumah saya. Saya lagi ziarah aja ke kuburan keluarga."

"Ziarah? Malem-malem begitu?"

"Kenapa emang? Saya gak takut. Lagi pula saya punya sodara sepupu yang tinggal di dekat-dekat situ. Saya sering main ke sana, kok."

"Main di kuburan?"

"Iya."

"Kamu kok aneh?"

"Ah, biasa aja, tuh." Cewek itu tersenyum.

Lalu kembali memusatkan perhatian ke panggung.

"Kun, tapi rasa-rasanya saya pernah deh, ke daerah pekuburan situ...," ujar Lupus lagi.

Kunti menoleh. "Ya, setiap orang kan pernah ke kuburan. Setiap orang nantinya juga jadi penghuni kuburan. Apa yang aneh?"

Lupus terdiam.

Acara utama sudah berlangsung. "Yaaaaa, inilah peserta yang ke... wah, keberapa, ya? Eh, tak usah dipusingin, deh. Yang jelas orangnya kece banget. Bener-bener keren! Tinggi, tegap, berwajah lancip ala Vanilla Ice, dan... oho! Dia melihat ke arah saya!”

Para penonton sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Tapi kemudian yang muncul di panggung adalah seorang rapper yang menamai dirinya Kelapa Muda Ice, yang tampangnya gak jauh beda sama Boim.

"Huuuuu, turuuuuun!" seru penonton.

Kelapa Muda Ice, yang berdandan mati-matian, rambutnya dicukur abis di bagian sisi kanan kiri dan bagian belakang, mengira penonton senang. Ia pun menari-nari dengan cueknya, sambil nge-rap lagu Abang Tukang Bakso.

"Ya, laporan pandangan mata, Sodara-sodara. Cowok ini demikian simpatiknya. Busana yang dipake begitu serasinya. Ah, gayanya santai sekali. Dia seakan tak merasa kalo dirinya kini tengah jadi pusat perhatian. Sungguh!"

Mbak Vera yang memantau siaran Olga lewat radio di dalam VW Combi, agak heran mendengar ulasan Olga yang amat bertolak belakang. Begitu juga Wina. Dia ngerasa ada yang gak beres pada Olga. Wina segera mendatangi Olga.

"Cowok keren ini diduga amat pendiam, karena hanya matanya saja yang berbicara. Ah, dia kembali melirik saya. Sungguh! Dia melirik saya!" Olga makin histeris.

Wina naik ke atas VW, lalu memperhatikan kelakuan sobatnya itu. Wah, ternyata Olga lagi terpesona memandang seorang cowok keren yang duduk di deretan depan penonton.

"Apakah dia akan datang ke sin... oh!"

Wina menepuk pundak Olga. Olga memandang kesal ke arah Wina. "Wina, kamu apaan, sih? Ganggu orang kerja aja!"

"Kerja apa? Kamu kan disuruh ngomentarin acara Lomba Rap, bukannya ngomentarin cowok itu. Kemaruk, luh!" bentak Wina.

Olga menepuk jidatnya. Ia benar-benar khiJaf.

"Ya, masih bersama Olga di jajahan 106,1 FM. Para pendengar sekalian, kini kita kembali ke acara lomba nge-rap yang sebenarnya.... "

Dan acara itu memang makin seru dengan menampilkan jago-jago nge-rap, dan bintang tamu. Ada yang bergrup model NKOTB, ada yang berdua, dan ada yang solo karier.

Lupus dan penonton lain pada ikut bergoyang pinggul mengikuti gaya para rapper, yang membawakan lagu-lagu kondang model Ice Ice

Baby, Pray, U Can't Touch This, This Beat is Hot, dan yang lainnya.

Dan ketika Lupus sadar, ia tak menemukan Kunti lagi di sisinya. Dicari ke mana-mana, ternyata anak itu menghilang. Ke mana?

Ah, Kunti, kamu memang penuh misteri.

BAB4 ANAK KUBURAN

JANGAN heran kalo ngeliat belakangan ini akhirnya Lulu jadi lengket sama Drakuli. Masih inget DrakuJi? Drakuli itu temen Lulu yang dandanannya suka aneh (baca deh buku Lupus: Ih, Syereeem!). Anak semata wayangnya Pak Gali, yang punya usaha kuburan, yang tinggalnya di daerah pekuburan luas. Aneh, karena dandanan Drakuli suka kayak anak Drakula.

Rambutnya acak-acakan, sorat matanya tajam, bajunya lusuh, dan hobi baca buku pake lilin mungil di atas kuburan. .

Aneh, karena ia berbeda dengan anak remaja kebanyakan. Tampangnya sih sebetulnya keren juga. "Mirip Christian Slater!" ujar Lulu.

Keren tapi penuh misteri.

Drakuli itu temen sekolah Lulu yang pernah dianterin surat, waktu Drakuli dapat teguran dari sekolahnya. Dan kenapa Lulu tiba-tiba deket ama Drakuli (maksudnya kok nggak deket-deketan ama temen-temen lainnya), itu disebabkan karena Lulu emang lagi pengen bikin ulah aneh-aneh dalam rangka protes ama Mami.

Mami aja sampe menjerit kaget, ketika pertama ngeliat Drakuli. Dikira makhluk apa, gitu.

"Astagfirullah, Lulu! Apa yang kamu bawa itu?"

Tapi Lulu cuek. Drakuli juga cuek.

Ya, Lulu emang pernah cerita kalo ia paling suka sama cowok yang berpenampilan nyentrik. Dan menurut Lulu penampilan Drakuli spesifik banget. Nggak kayak cowok-cowok lainnya yang umumnya bertingkah laku norak dan "apa adanya". Bagi Lulu Drakuli ini berani tampil beda. Drakuli yang penampilannya aneh bin ajaib itu bisa bikin orang tercengang-cengang.

Untuk fisik Lulu memang tertarik bukan buatan. Hanya kalo ngomongin soal materi, Drakuli termasuk orang nggak masuk itungan. Maklum aja, tadi kan udah dibilangin, bokapnya cuma penunggu kuburan. Berapa sih pendapatan per kapita seorang penunggu kuburan? Paling abis buat beli beras doang! Tapi Lulu nggak peduli. Dia sudah telanjur suka pada Drakuli. Cinta emang bisa bikin buta. Dan gokilnya, Lulu juga rela ngorbanin uang jajannya demi bisa jalan atau nonton bareng Drakuli.

Mami sendiri sempat heran tadinya ngeliat Lulu akrab sama Drakuli yang kumel. Tapi karena dia juga lagi sibuk sama Oom Agus, Mami nggak sempet menyalurkan keheranannya dengan menanyakan langsung ke Lulu. Kalo Lupus sih biasa-biasa aja. Soalnya belakangan ini dia lagi sering sibuk. Jadi gak pernah liat adiknya akrab sama cowok yang kata Mami "ajaib". Ya, Lupus cuma menganggap temen Lulu itu sama seperti anak-anak sekarang yang demen bergaya. Paling-paling dia anak metal! tebak Lupus. Anak metal kan di mata para ibu tampak aneh.

Padahal hampir tiap hari Drakuli dateng nganterin Lulu, atau kadang-kadang Lulu yang nganterin Drakuli pulang. Tapi Lupus gak pernah ketemu.

Pernah emang satu kali Mami nanya perihal kepulangan Lulu yang telat melulu itu.

"Kamu kalo pulang sekolah ke mana dulu, sih? Masa tiap hari macet total.?" tanya Mami waktu itu.

"Nganterin Drakuli pulang, Mi."

"Siapa itu Drakuli? Kok serem banget namanya," ujar Mami kaget, sambil memegang jantungnya yang berdegup kencang.

"Itu, cowok yang sering Lulu ajak kemari," ujar Lulu kalem.

"Ondel-ondel itu?" pekik Mami.

"Kok ondel-ondel?" Lulu protes.

"I-iya, yang tampangnya aneh itu?" Mami bergidik.

"Menurut Lulu gak aneh."

"Iya, tapi ngapain anak cewek nganterin anak cowok pulang?" suara Mami meninggi.

"Ya, sekali-sekali kan nggak apa, Mi. Kasihan, masa dia terus yang nganterin Lulu, sih."

Selebihnya Mami nggak pernah nanya-nanya lagi. Padahal pergaulan antara Lulu dan Drakuli udah semakin lengket. Kalo kita ngeliat Lulu, pasti ada Drakuli. Dan kalo ngeliat Drakuli, pasti juga ada Lulu.

Mereka jadi sering pergi dua-duaan. Seperti nonton bioskop goyang di Blok M Plaza, nonton komidi puter di Dufan, nonton film Minggu siang, nonton kebanjiran, pokoknya ke mana-mana Lulu dan Drakuli selalu bersama-sama.

Di sekolahnya apalagi. Anak-anak sampe ngiri kalo ngeliat Lulu dan Drakuli dua-duaan. Kayaknya dua anak-beranak ini udah lupa daratan. Bayangin aja, ke perpustakaan berdua, ke kantin berdua, olahraga berdua, sampe upacara bendera juga berdua!

Makanya temen-temen Lulu jadi pada tau, kalo Lulu itu lengket banget sama Drakuli. Bahkan gak cuma lengket, tapi udah kayak wasit ama periwitan aja, gak bisa dipisahkan! Ke mana Drakuli berjalan, di situ Lulu ngintilin. Ke mana Lulu ngintil, di situ Drakuli berjalan. Pokoknya antara Drakuli dan Lulu selalu berdua-duaan di mana dan kapan saja mereka berada. Gak peduli siang atau malem. Sebodo di tempat rame atau di tempat sepi. Peduli orang iri atau amit-amit. Mereka tetap stick together....

So pasti melihat kenyataan ini Mami makin keki. Karena selain Mami kuatir Lulu jadi badung, ia gak setuju banget kalo ngeliat anak bontotnya itu main-main sama anak aneh itu. Karena semenjak bergaul sama Drakuli, Lulu emang jadi ikut-ikutan berlaku aneh. Bayangin aja, yang dulu-dulunya Lulu gak pernah make gelang-gelang akar bahar, sekarang seluruh lengannya diisi penuh dengan gelang-gelang besar yang warnanya gak karu-karuan. Ada item, ada abu-abu busik, ada kelabu, ada yang belang... Lulu juga jarang pake rok lagi kalo mau pergi-pergian. Ia lebih seneng nyolong jins robek-robeknya Lupus buat dipake gaya-gayaan sama Drakuli, kalo mau ngelancong ke pusat pertokoan. Abis mandi, Lulu juga jadi males pake bedak, apalagi lipstik. Padahal dulu-dulunya jangankan bedak, alis mata bengkok aja dia urus mati-matian. Mami kuatir kalo anak cewek satu-satunya ini jadi gak bener. Karena selain suka make yang aneh-aneh gitu, Lulu juga jadi hobi pulang malem. Atau nongkrong di pinggir jalan berduaan sama Drakuli ngitungin bajaj lewat!

Mami jelas-jelas kuatir kalo Lulu kenapa-napa. Makanya ia coba memperingatkan. Mami mengancem Lulu dengan tidak memberi uang jajan. Tapi Lulu-nya malah ngambek.

"Makanya jangan suka pulang malem-malem, dong," tukas Mami pada Lulu ketika ia melihat anaknya pulang malem lagi. "Mami kan gak enak sama tetangga. Masa anak sekolah siang pulangnya malem. Mau ditaro di mana muka Mami?"

"Ditaro di mana aja asal pantes," timpal Lulu cuek.

"Lulu!"

"Hmm, kalo gak boleh pulang malem, gimana kalo pulang pagi?"

"Hei, gila kamu, ya? Kamu ini lagi puber atau lagi apa, sih?"

"Puber sih udah dari dulu-dulu, Mi."

"Jadi apa dong eh, atau ini ya, kamu pacaran sama si... siapa nama temanmu yang dandannya gak karu-karuan itu?"

"Drakuli."

"Ya, ngapain sih, kamu kok lengket banget sama dia? Kan banyak temen kamu yang rada mendingan. Si Boim, misalnya. Kenapa main-main sama dia?"

"Dia orangnya asyik, Mi. Nyentrik, gak suka lirak-lirik, simpatik, dan jago ngetik!"

"Kamu ini kalo dibilangin, bercanda mulu. Mami serius, nih."

"Lho, Lulu juga serius, kok. Malah serius banget sama dia," Lulu menjawab sambil membuka kulkas, dan meneguk air es langsung dari botolnya. Maminya terperanjat. Tapi berusaha nahan diri.

"Main sih boleh-boleh aja, tapi jangan terlalu akrab gitu, apalagi sama si Drakula, hiii... eh, maksud Mami Drakuli! Pokoknya Mami gak mau 'ngeliat kamu main-main sama dia lagi. Dan kamu jangan meneguk air es langsung dari botolnya lagi! Kalo masih ngebandel, Mami gak mau ngasih uang jajan kamu selama setahun, tau!"

Seperti udah diduga, Lulu ngambek lagi. Dia langsung aja nyelonong masuk kamar dan nyetel kaset metal terbaru kenceng-kenceng. Lulu kalo lagi kesel emang suka gitu. Suka bertingkah yang nggak-nggak. Kemaren aja dia lari-larian di atas genteng, saking ngambeknya!

Akibatnya Mami yang udah keabisan akal ngadepin Lulu, mohon bala bantuan ke Lupus. Tapi Lupus nanggepinnya cuek-cuekan aja.

"Dibilangin dong adikmu itu, Pus. Masa kamu nggak ngerasa sih kalo dia mulai angot-angotan."

"Ah, tapi itu kan biasa, Mi. Namanya aja anak muda. Sekali-sekali pulang malem kan nggak apa-apa."

"Nyetel kaset metal kenceng-kenceng juga nggak apa-apa?"

"Ya, apa-apa juga, sih."

"Nah, makanya dibilangin, kamu kan kakaknya. Kali aja jadi nurut kalo kamu yang bilangin," ujar maminya putus asa.

Lupus demi menyenangkan hati maminya, masup ke dalam kamar Lulu dan ngebilangin. Ternyata di dalam Lupus cuma menasihati Lulu dengan petuah-petuah konyol.

"Lu, inget dong peribahasa tong kosong berbunyi nyaring...."

"Lho, apa maksudnya?"

"Ya, maksudnya jangan teriak nyaring-nyaring kalo lagi ngambek, ntar lama-lama kamu mirip tong, lho."

"Biarin."

"Oke deh, kalo kamu mau mirip tong, yang penting saya mau ngebilangin ke kamu supaya kamu nggak sering-sering pulang telat lagi. Kalo kamu sering pulang telat, saya juga jadi telat makan. Kamu kan tau tradisi di rumah kita, selalu ada acara makan bareng. Nah, kalo selalu pulang telat, berarti acara makan barengnya juga telat. Akibatnya perut saya jadi nggak beres. Bagi saya sih, apakah kamu mau pulang telat atau nggak, terserah. Yang penting kamu jangan ngeganggu acara makan bersama. Titik!"

"Lho, lo juga sering pulang telat."

"Eh, berani elo-eloan ama gue, ya? Sejak kapan lo berani elo-eloan, hah?!" Lupus tiba-tiba jadi sebel.

"Emangnya gak boleh ngomong elo-eloan. Ayo, siapa yang ngelarang orang ngomong elo-eloan, hah?"

"Nggak ada yang ngelarang, tapi elo jangan manggil diri gue elo gitu, dong."

"Oke, kalo gak mau dipanggil elo, elo gue panggil gue aja."

"Masa elo manggil diri gue, gue juga, sih. Nggak bisa begitu."

"Alaa, udahlah, yang penting kalo sekarang saya mau ngapa-ngapain, itu urusan saya. Mau pulang telat kek, mau ngomong elo-gue kek, itu urusan saya. Titik!"

"Yaa, nggak bisa gitu dong, Lu. Masalahnya saya dapat amanat dari Mami untuk ngebilangin kamu yang udah mulai bertingkah aneh-aneh. Eh, emangnya kamu selama ini suka aneh-aneh, ya? Kok saya nggak tau. Anehnya kenapa sih, Lu. Kasih tau dong biar saya enak ngebilanginnya."

"Keanehan saya itu, ya ngomong gue-elo itu. Dan saya sekarang mulai akrab sama Drakuli."

"Drakuli?"

"Iya, cowok yang suka nganter Lulu pulang."

"O, cowok gembel yang kata Mami aneh itu?"

"Iya."

"Ya, kalo gitu sih gak gitu aneh. Saya pikir kamu kalo pulang sekolah jalannya loncat-loncatan kayak kanguru, gitu. Itu kan baru aneh namanya. Oke deh, saya mau belajar dulu. Besok ada mid-test. Nanti-nanti kalo ada yang aneh lagi kabarin ke saya, ya?"

Sebenernya Lupus tau kalo Lulu mulai bertingkah belakangan-belakangan ini. Tapi kenapa dia pura-pura nggak tau? Ya, karena dia lagi asyik nyelidikin diri cewek unik tapi manis bernama Kunti yang kayaknya hampir terbongkar rahasianya itu. Makanya Lupus jadi gak interes sama problemnya Lulu.

Tapi pas melangkah keluar kamar Lulu, Lupus tiba-tiba terperanjat. Ia ingat sesuatu.

"D-DRAKULI???" Lupus membalik badan dan berteriak, sambil matanya terbelalak ke arah Lulu.

"Iya. Kamu kan udah kenal, waktu dulu nganterin Lulu ngasih surat kepala sekolah ke rumah dia yang di tengah kuburan itu."

"Y-yang rumahnya angker itu? Yang d-dikelilingi kuburan luas? Y-yang bokapnya kayak hantu itu?"

"Iya," kalem jawaban Lulu.

"Astaga! K-kamu pacaran sama dia?" Lupus mengguncang-guncang tubuh adiknya.

Lulu jadi sebel.

"Apa-apaan, sih?"

"I-itu, kan? Y-yang di rumahnya kain gordennya bekas kain kafan orang mati? Y-yang hobinya ngoleksi gigi orang mati? Y-yang b-bonekanya kuntilanak, yang... oh, my God! Kamu pacaran sama anak setan itu?"

"Iya! Emang kenapa?"

"L-lu, k-kamu gak takut, kalo ternyata tu anak emang keturunan setan? K-kamu kan tau sendiri rumahnya..."

"Enggak. Lulu gak takut!"

"Hiiii, jadi anak mengerikan itu sering kamu bawa kemari?" Lupus bergidik.

Sementara itu Lulu sendiri udah makin nekat aja. Dia udah mulai berani terang-terangan pacaran sama Drakuli. Lulu mulai berani dua-duaan di bawah lampu neon yang terang banget.

Dulu kan jalan sama Drakuli ngumpet-ngumpet, takut ketauan Mami. Tapi sekarang nggak. Malah pernah kok Lulu ngobrol berduaan di ruang makan di samping Mami yang sedang mengendarai kuda eh, maksudnya di samping Mami yang lagi asyik nonton tipi. Lulu dengan cueknya nyubit-nyubit Drakuli. Senggol-senggolan. Dan kalo ditegor, nggak cuma Lulu yang ngambek tapi Drakuli juga diajak ngambek. Diajak ke beranda belakang dan nangis bareng-bareng. Mami bener-bener nggak berkutik melihat tingkah polah Lulu yang ugal-ugalan itu. Kadang-kadang Lulu mengajak Drakuli nonton sinetron sampe malem. Drakuli disuruh duduk di kursi goyang yang biasa Mami dudukin.

"Nggak' apa-apa, Drak, Mami udah ngizinin kok kamu main-main di sini. Pokoknya kamu tuh, udah dianggap sebagai anak orang lain, deh."

Mami yang sering pulang malem, suka pusing juga kalo pas pulang mendapatkan rumahnya diisi makhluk aneh macam Drakuli.

Lulu berbuat begitu itu karena dia masih empet ngeliat Mami yang tambah akrab sama Oom Agus. Jadinya dia juga mau nunjukin ke Mami kalo anaknya juga bisa berakrab-akrab.

Tapi lama-lama tingkah laku Lulu membuat Lupus terusik juga. Lama-lama Lupus kesel juga ngeliat adiknya dua-duaan mulu. Dan Lupus juga kasihan sama Mami yang makin bingung ngeliat tingkah Lulu. Lupus jelas gak bisa membiarkan perang dingin ini berlanjut. Jangan mentang-mentang keasyikan dengan Kunti, Lupus jadi tak memperhatikan adiknya itu.

Suatu sore, kala Drakuli gak ada, Lupus menegur Lulu.

"Lu, sebentar saya mau ngomong sama kamu," ujar Lupus pada akhirnya.

"Ada apa sih, pake bilang mau ngomong sebentar segala?"

"Gini, saya minta supaya kamu jangan terlalu akrab sama Drakuli."

"Lho, namanya temen kan wajar aja akrab. Kali aja di antara saya sama dia bakal terikat bisnis. Apa kamu nggak tau kalo usaha saya jual-beli sendal Jepang udah meningkat. Nah, kali aja saya perlu partner," Lulu berkilah sambil ngelirik ke Mami.

"Tapi bisnis sendal Jepang nggak perlu pake cubit-cubitan, kan?"

"Kata siapa nggak perlu? Itu kan salah satu teknik negosiasi."

"Apa iya, negosiasi perlu cubit-cubitan, senggol-senggolan segala?"

"Bagi saya perlu."

"Bagi saya tidak."

"Lho, yang bisnis saya apa kamu?"

"Oh, iya ya. Eh, tapi kan saya kakak kamu. Jadi berhak dong, ngebilangin ke kamu supaya kalo bisnis jangan terlalu akrab-akrab. Misalnya nanti ada apa-apa, kan yang nggak enak saya juga."

"Saya udah bisa jaga diri."

"Ah, waktu di kamar mandi ada kecoa, kamu kok teriak-teriak minta tolong sama saya. Kalo emang udah bisa menjaga diri nggak teriak-teriak kayak gitu, dong."

"Itu kan kecoa."

"Apa temen kamu itu bukan kecoa? Suatu kali dia bisa aja jadi kecoa, jadi makhluk yang menjijikkan. Orangnya aneh gitu, kok! Kamu perlu ati-ati, dan jangan semau udel aja. Pokoknya sejak saat ini saya nggak mau liat kamu dua-duaan lagi sama si gembel itu. Lagi, bisnis sendal Jepang kok berduaan doang...."

Lupus emang kudu tega ngebilangin adiknya itu. Ya, karena meski gimana, Lulu adalah adiknya semata wayang, cewek lagi. Dan Lupus lama-lama emang nggak suka sama keanehan tingkah Drakuli. Ia takut Lulu yang masih kecil dan mudah terpengaruh itu, jadi ikut-ikutan bertingkah laku aneh. Lupus takut kalo Drakuli itu bener-bener turunan drakula!

Sebagai kakak, Lupus merasa perlu mengawasi Lulu. Suatu hari, dengan sembunyi-sembunyi, Lupus ngebuntutin Lulu yang mau main ke rumahnya Drakuli.

Dasar Lulu anak bandel, di jalan dia masih aja cubit-cubitan sama Drakuli. Lupus jadi gemes. Tapi dia pengen tau sampe sejauh mana mereka cubit-cubitan. Kalo sampe tonjok-tonjokan baru digetok!

Tapi ternyata Lupus masih aja takut pas harus masuk. ke daerah kuburan itu. Ya, Lupus masih ingat, rumahnya Drakuli itu kan seremnya minta ampun. Interiornya mirip-mirip rumah dukun tenung. Hiasannya pun aneh-aneh. Ada hiasan tengkorak pala ikan, ada rentetan gigi-gigi manusia yang udah nggak kepake, ada peti mati yang dijadiin bufet. Lupus jadi merinding kalo inget itu semua. Semua bulu-bulunya pada bangun. Bulu roma, bulu idung, bulu ketek semuanya pada berdiri. Jadinya selain ketakutan, idung dan ketek Lupus pada kesakitan ketusuk bulu-bulu yang pada bangun.

Lupus terjebak, karena ketika dia mau balik ke rumah, dia ketakutan melihat jalan yang sepi banget. Lagi, mana ada kuburan yang nggak sepi. Ya, waktu ngikutin tadi Lupus emang nggak takut, tapi sekarang, ih....

Akhirnya Lupus ngendon aja di balik tembok besar, yang ada pintu gerbangnya buat masuk ke pekuburan. Sejenak di balik tembok tinggi itu Lupus termenung. Eh, eh, ini kan kuburan tempat Kunti dulu turun, waktu diikutin sama Boim dan Gusur? Wah, pantes aja saya ngerasa pernah ke sini, Lupus menepuk jidatnya. Ya, dulu kan ia pernah sekali diajak Lulu ke sini, dan ketakutan setengah mati.

Tapi suasana makin gelap. Lupus ketakutan sambil nahan pipis. Eh, taunya penderitaan Lupus nggak sampe di situ. Karena Drakuli tiba-tiba aja muncul mengagetkan sambil menyeringai dari atas pohon kemboja yang terjulur ke luar tembok berlumut. "Hiyaaaa!" Lupus kaget dan ketakutan setengah mati.

Dan langsung ngacir sambil terus menahan pipisnya.

Sedang Drakuli sama Lulu cekikikan dari atas tembok kuburan, ngeliat Lupus yang lari terkencing-kencing itu. Dan cekikikannya so pasti sambil cubit-cubitan lagi!

BAB 5 RENCANA PENGGUSURAN

LULU udah tau kalo Lupus tu tergolong makhluk penakut. Ngomongnya doang suka gede, suka sesumbar berani ngelawan setan, tapi se betulnya nyalinya seupil. Bayangin, di rumah selagi seisi rumah enak-enakan menikmati acara RCTI, Lupus tiba-tiba menjerit tanpa malu-malu cuma lantaran liat tikus merayap-rayap di karpet. Padahal itu tikus merayap-rayapnya di karpet tetangga, dan Lupus lagi asyik tidur-tiduran di kamarnya.

Jadi Lulu gak heran ngeliat begitu kencangnya Lupus berlari, saat ditakut-takuti Drakuli. Lulu yang semula nggak tahu kalo lagi dibuntuti Lupus, jadi tau dan tertawa terpingkal-pingkal.

Kalo Drakuli udah ngerasa banget dimata-matai. Soalnya indera keenam makhluk itu tajam. Dan dia sengaja mau ngerjain Lupus, setelah Lupus nyampe di dekat kuburan.

Tapi sebagai adik, Lulu jadi kasian juga ngeliat kakaknya lari tunggang-langgang ketakutan setengah mati.

"Kita harus tolong dia, Drak. Biar gitu-gitu, dia orangnya baik banget."

Drakuli cuma mengangkat bahu. Lalu ditemani Drakuli, Lulu berlari ke luar pekarangan dan berteriak-teriak berusaha memanggil Lupus. Tapi Lupus udah jauh pergi, sehingga teriakan Lulu nggak terdengar lagi.

"Mungkin dia udah jauh, Lu?" ujar Drakuli yang kasian ngeliat Lulu masih kerepotan memanggil.

"Mungkin juga!" jawab Lulu setelah menghentikan teriakannya karena tenggorokannya udah terasa pegel.

Lulu kemudian berusaha menghampiri Drakuli yang berdiri di depannya, di dekat segundukan tanah merah. Kaki Lulu tersaruk-saruk di antara rumput-rumput pekuburan yang lebat. Sesekali Lulu terpekik akibat semak-semak berduri yang melukai kakinya. Lulu memang nyaris nggak bisa ngeliat apa-apa. Maklum, suasana begitu gelap. Penerangan yang ada hanyalah bulan yang malam itu kebetulan bersinar amat redup, karena bentuknya yang seperti celurit.

Udah gitu masih ada pula segumpal awan yang menutupi sebagian sinarnya. Otomatis malam itu suaana pekuburan tempat Drakuli tinggal terasa begitu gelap, dingin, dan menyeramkan.

Untung Drakuli cepat tanggap. Sadar kalo Lulu lagi kesusahan, Drakuli buru-buru meraih lentera yang tergantung dekat pintu gerbang tua. Dengan setengah berlari, Drakuli lalu menghampiri Lulu. Lari Drakuli begitu lincah seolah nggak peduli dengan semak-semak yang menghadang.

Ini karena Drakuli memang udah terbiasa meski dalam keadaan yang gelap sekali.

"Pakai lentera ini, Lu!" tawar Drakuli.

Lulu segera menjemba lentera yang disodorkan Drakuli dan dengan lentera itu Lulu kemudian meneliti wajah Drakuli sebentar.

Hiii... ! Lulu agak bergidik ngeliat sorot mata Drakuli yang tajam. Penampilan Drakuli malam ini memang lebih seram dari biasanya. Apalagi Drakuli sengaja membiarkan rambutnya meriap-riap. Sehingga penampilan Drakuli betul-betul mirip drakula.

Lulu yang udah lama berteman sama Drakuli, dan sedikit banyak tau watak Drakuli, segera paham kalo roman Drakuli seperti itu, berarti Drakuli pasti lagi dilanda kesusahan. Dugaan Lulu memang nggak salah. Saat itu Drakuli memang tengah menghadapi problem besar yang membuat perasaannya sedih. Dan problem itulah yang mo Drakuli ceritain ke Lulu. Makanya dia ngajak Lulu kemari.

Ya, kedatangan Lulu ke rumah Drakuh sebetulnya juga dengan maksud ngomongin problem besarnya Drakuli. Lulu nggak suka ngeliat Drakuli selalu sedih dan murung hari-hari belakangan ini. Lulu juga ingin Drakuli ceria seperti hari-hari kemarin. Drakuli yang penuh dengan canda-ria dan segala kocolannya, hingga bikin Lulu selalu gembira.

Drakuli bilang kalo rencana penggusuran tanah milik dia, seperti yang telah Drakuli cemaskan beberapa bulan yang lalu itu, bakal bener-bener terjadi. Ya, areal tanah pekuburan yang dimiliki keluarga Drakuli secara turun-temurun, bakal digusur oleh pihak tertentu yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi. Itulah sepotong cerita yang disampaikan Drakuli pada Lulu di kantin kemarin siang. Dan itulah penyebab yang membuat Drakuli jadi sedih. Ya, gimana nggak sedih kalo harta satu-satunya yang menjadi sumber kehidupan keluarga bakal dirampas orang?

Kesedihan itu tentu aja nggak cuma milik Drakuli. Tapi juga milik bapaknya yang telah bertahun-tahun mengolah tanah warisan kakek moyangnya itu menjadi sesuatu yang menghasilkan, yaitu disewakan sebagai tanah pekuburan. Dan Pak Gali, ayah Drakuli, sering dapat uang tambahan, dengan merawat kuburan, dari orang-orang yang berziarah. Dengan membacakan doa, misalnya. Dan panjang atau pendeknya doa yang dibacakan, tergantung berapa besar bayaran yang diberikan.

Dengan usaha itu, Drakuli yang tak memiliki ibu lagi itu, bisa tinggal tenang dengan Pak Gali. Itu juga sesuatu yang membuat Pak Gali, yang mantan jawara kampung dengan kumis tebal melintang itu, bisa bertahan hidup dan bisa menyekolahkan Drakuli hingga kini. Itu janji yang pernah ia ucapkan kepada istrinya yang tercinta, yang amat cantik, yang mengembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan Drakuli.

Coba siapa sih yang nggak uring-uringan kalo tanah warisannya yang penuh dengan sejarah mengharukan, karena istri Pak Gali dikuburkan tepat di belakang rumah mereka itu, akan diambil oleh orang-orang yang mau cari untung sendiri?

Dan sebagai ternan akrab, Lulu juga ikut-ikutan sedih dengan masalah yang tengah dihadapi Drakuli.

Angin malam berkesiur keras menampar daun-daun pohon beringin besar yang tumbuh menaungi rumah Drakuli. Suaranya menderu-deru menambah seramnya suasana malam di pekuburan itu. Lulu merapatkan jaketnya menahan rasa dingin. Tubuhnya gemetaran.

Sorot mata Drakuli liar menembus kegelapan. Beberapa ekor kelelawar hinggap di pohon beringin dan menggantungkan kakinya di dahan-dahan.

Lulu hati-hati meletakkan lentera di gundukan tanah yang mengeras, lalu duduk di sampingnya, yang segera disusul oleh Drakuli.

Angin malam kembali bertiup menusuk tulang sumsum. Rambut Drakuli yang berantakan bergerak-gerak. Matanya yang tajam menatap sedih ke seantero pekuburan. Ya, dulu ayahnya anak orang kaya yang punya warisan tanah luas. Karena ayahnya bandel, dan tak tau mengelola tanah, tanah warisan ini pun cuma dijadikan kuburan luas.

Drakuli sedih, karena harta satu-satunya itu pun kini akan segera digusur.

"Ah, kalau penggusuran itu terjadi, ke mana kami harus mengungsi. Ke laut? Mana mungkin, di sana kan banyak ikan hiu dan bokap saya suka alergi kalo kesiram air asin," tanya Drakuli sedih seolah pada dirinya sendiri.

Nadanya begitu bingung.

Lulu menatap Drakuli masygul. Lulu mau usul gimana kalo Drakuli dan bokapnya tinggal di pos hansip aja, tapi takut nggak etis. Makanya Lulu diam aja.

Sementara nggak jauh dari situ, di antara semak-semak yang rimbun, Lulu nggak sadar kalo ada sepasang mata lagi memperhatikan gerak-geriknya. Sorot matanya terkesan sangat garang seperti mata kucing garong belon makan dua hari. Warnanya merah menyala dan menyimpan kecurigaan.

"Kamu nggak usah sedih, Drak. Sedih nggak akan menyelesaikan persoalan. Ngisi TTS aja kalo kita lagi sedih suka jadi susah," nasihat Lulu tiba-tiba menyelinap di antara suara-suara binatang malam, setelah ia dan Drakuli tenggelam dalam kebisuan.

Drakuli menatap Lulu tajam. Begitu tajamnya sampai-sampai bisa buat motong ayam.

"Maksud kamu apa Lu? Masa saya gak boleh sedih kehilangan harta yang saya sayangi. Harta yang menghidupi kami sekeluarga," bantah Drakuli.

Lulu tersenyum lembut, selembut es dong-dong, ke arah Drakuli.

"Mending kamu berpikir bagaimana supaya tanah ini urung digusur. Berusaha berbuat sesuatu agar para penggusur itu mengurungkan niatnya!" saran Lulu.

Drakuli tercekat. Tapi akhirnya tersenyum setelah menangkap maksud Lulu.

"Saya mengerti maksud kamu, Lu. Tapi gimana ya, para penggusur itu udah keburu memasang patok-patok pembatas areal yang bakal digusur? Rencana mereka kayaknya udah mateng banget."

Lulu menjentikkan ujung jarinya. Tik! Lalu tersenyum lebar sekali.

"Nah, di situ pemecahannya, Drak. Kenapa kamu nggak cabut aja patak-patok pembatas itu, biar mereka, tim penggusur itu, pada bingung. Yah, setidaknya dengan begitu kan kamu udah mengadakan perlawanan. Daripada kalah tanpa syarat?" Lulu berkata keras.

Drakuli langsung terlonjak dari duduknya. Lalu melompat tinggi sekali, hingga palanya kejeduk dahan pohon sawo. Tapi Drakuli nggak kesakitan, walau palanya rada benjol akibat kejeduk itu. Drakuli malah tersenyum senang.

"Lulu, kamu hebat. Saya tau maksud kamu. Ternyata kau nggak cuma kece, Lu, tapi juga pinter. Mulai besok malem akan saya jalanin ide kamu itu, Lu!" Drakuli berteriak histeris sambil mengguncang-guncang pundak Lulu. Sampe Lu terbauk-batuk. Tapi hatinya bahagia dapat pujian dari Drakuli.

Sepasang mata yang sejak tadi mengamati, berbinar-binar ditimpa cahaya bulan, seolah nampak senang dengan ide yang dilontarkan Lulu.

***

Malam itu bulan bersembunyi di balik awan tebal. Sinarnya yang malu-malu tak mampu menerangi areal pekuburan, hingga suasana sekitar pekuburan terasa begitu mencekam. Apalagi angin dingin bertiup menyusup di antara daun-daun pohon beringin.

Dan suara orong-orong berdering di balik tanah yang lembap, ditingkahi suara anjing kampung melolong memilukan dari kejauhan.

Drakuli bangkit dari tidurnya. Lalu bergegas ke lemari untuk mengeluarkan jubah hitamnya. Pukul dua belas malam. "Waktu yang tepat untuk beroperasi," desis Drakuli seraya mengenakan jubah hitamnya. Seekor kecoa lompat lari dari jubah Drakuli yang dekil dan apek.

Lalu dari dalam sebuah kotak kecil yang ditaruh di tempat tidurnya, Drakuli menjumput lipstik yang segera dibalurkan ke bibirnya. Seketika bibir Drakuli jadi merah menyala, seperti habis minum darah segar. Kemudian dengan bantuan jeli, rambutnya yang rada panjang disisir rapi seperti umumnya drakula yang rambutnya selalu disisir rapi.

Setelah merasa cukup berkemas-kemas di kamar, Drakuli kemudian melesat menuju dapur.

Sesampai di dapur, Drakuli segera mengambil penggorengan yang masih bertengger di kompor. Penggorengan itu ditebalikin, lalu dengan ujung sendok, sedikit demi sedikit Drakuli mengerok jelaga yang nempel di pantat penggorengan itu, dan ditampung pada sebuah piring kecil. Drakuli masih mencampur jelaga itu dengan minyak kelapa hingga kental, sebelum akhirnya membalur jelaga itu di seputar matanya.

Nggak lama kemudian terdengarlah siulan dari bibir Drakuli. "Nah, beres deh!" tukas Drakuli sambil berkaca dengan pinggang. Mengecek apakah penampilannya malam itu udah betul-betul bikin jantung orang copot.

Sementara itu dari balik pintu, Pak Gali memperhatikan Drakuli dengan sorot mata terharu. Terharu, karena Pak Gali sadar apa yang akan dilakukan anaknya malam ini. Drakuli mencoba mempertahankan tanah miliknya dari jarahan orang yang cuma mau cari untung sendiri. Ya, semalam mata yang mengintai itu milik Pak Gali. Pak Gali memang sempat mencuri dengar ide yang dilontarkan Lulu untuk mencabut patok-patok sialan itu. Dan malam ini Drakuli akan melaksanakan rencananya.

Pak Gali buru-buru cabut dari balik pintu ketika sadar Drakuli akan bergegas ke luar. Kemudian duduk di batu nisan yang ditaro dekat pintu, sambil pura-pura nggak tau apa yang tengah dilakukan Drakuli.

"Eh, Be, ngapain di situ?" sapa Drakuli begitu ngeliat Pak Gali ngejogrok di dekat pintu. "Drak berangkat dulu ye, Be?" pinta Drakuli tanpa menunggu jawaban Pak Gali atas pertanyaan yang tadi.

Dan tanpa menunggu reaksi Pak Gali, Drakuli langsung melesat ke luar. Tapi Pak Gali buru-buru menahan.

"Wah, Drak, tunggu Babe, dong!" teriak Pak Gali.

Drakuli mengerem langkahnya. Langsung stop motion.

"Ada apa, Be?" tanya Drakuli curiga.

"Masa lo nggak ngajak-ngajak Babe!"

"Ngajak ke mane, Be?" Drakuli pura-pura bego.

"Alaaah, Babe tahu rencana lo. Babe kan kemarin malam nguping obrolan lo ama temen lo itu. Masa Babe mau lo tinggalin?" jelas Pak Gali. "Eh, tapi ngomong-ngomong temen lo kece juga, ya?"

"Ah, Babe."

"Babe boleh ikutan rencana lo, kan?"

Drakuli manggut-manggut. "Tapi, Be..."

"Nggak ada tapi-tapian, Babe harus ikut," sergah Pak Gali.

"Yuk, deh!" Akhirnya Drakuli menyerah.

"Tapi, tunggu. Babe ambil pacul dulu, ya?" tahan Pak Gali, dan segera ngeloyor ke belakang.

Drakuli baru aja mau menghadang ketika diliatnya Pak Gali udah ngilang dan nongol lagi dengan menenteng sebuah pacul.

"Buat apaan pacul itu, Be?" tanya Drakuli ngilangin rasa penasarannya.

"Buat nyabut singkong."

"Ha, kok singkong, Be?" Drakuli keheranan.

"Yuk deh, cepetan dikit, ntar keburu terang, lagi!" kata Pak Gali sambil menyeret Drakuli melewati jalan yang penuh semak.

Dan di pagi buta itu, sekitar pukul setengah dua, nampak dua bayangan hitam tengah sibuk mencabuti patok-patok yang bertebaran di sekitar perkuburan. Mereka bekerja seolah tak mengenal lelah. Keringat bercucuran membasahi sekujur badan mereka pertanda mereka tengah bekerja keras. Padahal udara sangat dingin. Drakuli akhirnya sadar kalo mencabut patok-patok tersebut nggak gampang, sebab patok tersebut ditanam sangat dalam ke tanah.

"Wah, untung tadi Babe ikut, kalo nggak repot juga nih, Be," tukas Drakuli sadar.

"Mangkanye...," sambut Pak Gali bangga, tapi tangannya tetap sibuk mencangkul tanah di sekitar patok agar lebih gampang mencabutnya.

Dan tenaga Pak Gali memang kuat sekali. Soalnya, zaman muda dulu Pak Gali jawara kampung yang amat ditakuti di situ. Makanya patok-patok itu bisa dicabut oleh Pak Gali dengan sekali entakan, setelah sisi-sisinya dicangkul.

Drakuli juga sibuk mencabut patok-patok yang lain. Sampai napasnya ngos-ngosan. Tapi Drakuli yang biasa hidup di alam lepas, ternyata juga menyimpan tenaga yang kuat.

Menjelang fajar menyingsing, akhirnya pekerjaan mencabut patok-patok itu selesai.

"Alhamdulillah...!" desah Drakuli menarik napas lega. Sedang Pak Gali cuma bisa ngedeprok dekat sebuah kuburan, karena kehabisan tenaga. Tapi wajahnya keliatan puas dan bangga. Puas karena Pak Gali merasa yakin bakal mengecoh para tim penggusur itu.

"Biar dia tau rasa!" dengus Pak Gali.

"Iya, Be, orang-orang itu memang mesti dikasih pelajaran biar kapok. Seenaknya saja ngerampas tanah orang!" timpal Drakuli.

Dan Pak Gali terduduk lemas, ketika fajar telah menyingsing di kejauhan. Embun menetes di ujung daun. Sinar mentari yang kemerahan menyemburat dari balik pohon waru.

Burung hantu pun sudah terlelap dengan mimpinya, digantikan dengan burung prenjak yang berkicau merdu sambil menangkapi belalang yang terbang dari rumput. Pagi yang damai. Setidaknya bagi Drakuli dan Pak Gali, yang menghiasi pagi itu dengan rebutan singkong rebus kiriman seorang gadis manis, sodara sepupu Drakuli yang datang berkunjung.

***

Siang itu terjadi kegaduhan di areal pekuburan. Seorang lelaki perlente tapi blo'on, uring-uringan di hadapan sekelompok anak buahnya yang melongo ketakutan.

"Masa kalian pada nggak tau siapa yang mencabuti patok-patok itu, he? Jadi pada ngapain aja kalian selama ini?" semprot lelaki itu.

Dan sekelompok anak buahnya makin melongo ketakutan.

"Jadi kalian betul-betul pada nggak tau siapa yang mencabuti patok itu, he?!" semprot lelaki perlente itu lagi, ngeyel.

"Betul, Tuan, kami nggak tahu. Padahal kemarin patok-patok itu masih ada, lho!" jawab Kodir, salah seorang anak buah yang rada berani, yang palanya rada botak tapi jenggot, kumis, dan cambangnya tumbuh lebat sekali. Mungkin bulu-bulu si Kodir sirik, nggak mau tumbuh di kepala.

"Tapi kenapa kalian sampai nggak tau, heh?" Wah, rupanya lelaki perlente itu memang doyan marah-marah. Buktinya walau si Kodir udah ngejawab nggak tau, dia masih marah-marah juga. Dan jawaban si Kodir cukup tepat.

"Soalnya saya nggak ngeliat, Pak!" kata Kodir rada gemeteran.

"0, jadi karena kamu nggak ngeliat jadi nggak tau, tapi kalo kamu ngeliat kamu tau?"

"Betul, Pak. Bapak pinter juga kalo gitu," jawab Kodir nekat.

"Kodiiir..., pus-ap seratus kali!"

"Ha...?"

"Keberatan?"

"Jelas keberatan dong, Pak!"

"Kodiiir..., pus-ap dua ratus kali!"

"Tapi, Pak..."

"Nggak pake tapi. Pus-ap atau saya pecat. Silakan pilih!" teriak si lelaki perlente memberi pilihan kurang bermutu. Sebab dua-duanya sama-sama nggak enak.

"Wah, kalo gitu mending pus-ap dong, Pak!" Kodir akhirnya pasrah.

"Bagus," si lelaki perlente manggut-manggut.

Kodir bengong mikirin nasibnya yang apes.

"He, kunyuk, cepet pus-ap. Kok malah bengong, sih?"

"Iya, Pak... Iya, Pak...."

Kodir lalu buru-buru nyari tempat yang dirasa enak buat pus-ap. Sementara si lelaki perlente kembali uring-uringan. Mondar-mandir ke

sana-sini. Ngelayap ke situ, ngelayap ke sini. Memeriksa patok-patok yang udah tercabut dari sarangnya. Hati si lelaki perlente itu keki banget jadinya. Menyumpah-nyumpah nggak karuan.

Ya, lelaki perlente itu yang ternyata adalah si pemborong tanah pekuburan buat dijadiin pusat pertokoan memang pantas keki. Sebab waktu memasang patok-patok pembatas, ia sempat mengeluarkan biaya besar untuk mengupah orang. Sekarang biaya besar itu terbuang sia-sia karena patok-patok pembatasnya dicabut orang. Nah, siapa yang nggak keki, coba. Makanya siang itu si lelaki perlente uring-uringan banget. Dan yang kena tulahnya malah si Kodir, yang anaknya tujuh tapi masih kecil-kecil, yang saat itu lagi sibuk pus-ap sampe napasnya ngos-ngosan.

Nggak jauh dari situ Pak Gali dan Drakuli mengintai dari balik semak sambil menahan tawa geli. Terutama waktu si Kodir pingsan dengan sukses karena kecapekan, dan si lelaki perlente nangis sesenggukan di samping kuburan saking keselnya.

"Udah, kalo gitu kita pasang patok yang baru," putus si lelaki perlente akhirnya, masih dalam keadaan terisak-isak.

"Beres, Pak, tapi soal biaya gimana?" sambut anak buahnya semangat, karena merasa bakal dapat objekan lagi.

"Soal biaya gampang, yang penting patok-patok baru itu harus cepat-cepat kamu pasang. Kamu kan tau, tanah ini mau buru-buru digarap."

"Betul, Pak. Tapi biayanya harus duluan, dong!"

"Dasar mata duitan kalian pada. Nih!" rutuk lelaki perlente itu sambil menyerahkan segepok duit.

Seorang anak buahnya segera maju dan merebut duit itu dengan mata berbinar-binar. Anak buah yang lain menarik napas lega. Sedang Kodir yang tadi lagi asyik-asyik pingsan, langsung sadar begitu denger kata duit.

Drakuli ngikik. Pak Gali juga ngikik. Seneng nanti malam bakal ada kerjaan mencabuti patok-patok lagi, setelah anak buah si lelaki perlente memasang patok-patak yang baru.

***

Patok-patak baru memang akhirnya jadi dipasang siang itu juga oleh para anak buah si lelaki perlente. Dan malamnya Drakuli dengan Pak Gali kembali beraksi mencabuti patak-patok baru. Besok siangnya kegaduhan terjadi lagi. Si lelaki perlente kembali uring-uringan. Malah uring-uringannya lebih hebat dari yang kemarin.

"Keparaaat..., siapa yang berani main-main sama saya?" rutuk lelaki itu seraya menatap sedih patok-patok pembatasnya yang berserakan nggak karuan.

Anak buahnya pada nginyem. Takut nyeletuk, sebab takut disuruh pus-ap kayak si Kodir. Akhirnya lelaki perlente itu terus-terusan nyap-nyap Sumpah sana, sumpah sini.

"Pokoknya siapa aja yang telah mencabut patok-patok pembatas itu saya kutuk jadi ember!" sumpah si lelaki perlente kesel.

Drakuli cuma bisa tertawa geli dari tempat persembunyiannya. Drakuli betul-betul merasa senang bisa mengecoh lelaki perlente itu.

"Rasain sekarang, siapa suruh ngerampas tanah saya!" tukas Drakuli seraya memijit seekor semut merah yang menggigit jempol kakinya. Sampai jempol kakinya senut-senut kesakitan. Tapi senut-senutnya jempol kaki Drakuli tentu nggak sehebat senut-senutnya pala si lelaki perlente. Dia pusing mikirin kerugian yang dideritanya, dan proyek penggusuran yang terpaksa nggak bisa cepat-cepat dilaksanakan karena tercabutnya patok-patok pembatas.

Si lelaki perlente betul-betul udah kehabisan akal dan kesabaran. Maka yang jadi sasaran tentu para anak buahnya buat numpahin semua kekesalan. Kodir kena semprot lagi, dituduh kerjanya nggak becus.

"Kalian kan saya gaji, masa pada bego gitu, sih!" umpat si lelaki perlente. Kodir dan kawan-kawannya cuma bisa tersenyum pahit.

"Atau jangan-jangan ini ulah kalian sendiri! Mau memeras saya!"

"Ti-tidak, Pak!!" ujar anak buahnya serempak.

"Sungguh, bukan kami. Apa untungnya sih, bagi kami?"

"Ya, sudah. Pokoknya saya minta kalian menyelidiki kasus ini sampai tuntas. Pasti yang mencabut patok-patok itu penduduk sekitar sini juga. Coba kalian cari dan tangkap orangnya."

Saking putus asanya akhirnya si lelaki perlente menuduh penduduk sekitar areal yang mencabuti patok-patok itu.

"Tapi patok-patok yang ilang hanya di sekitar kuburan aja. Di tanah penduduk lainnya yang akan kita gusur, gak ada yang ilang. Kami jadi takut, Pak!" ujar salah satu anak buahnya ngasih pendapat.

"Daerah pekuburan sini kalo malam hari memang terkenal angker, Pak. Kita sering liat kalo malem suka ada bayangan hitam menari-nari di atas pohon. Bayangan hitam yang mengenakan jubah. Rasanya sih itu drakula," tukas penduduk yang lain.

"Ah, omong kosong!"

"Sungguh, Pak!"

Besoknya anak buah lelaki perlente itu, didukung Pak RT, mengadakan penyelidikan. Menanyai penduduk setempat. Kira-kira siapa yang berani berulah begitu. Tapi penyelidikan itu tentu aja jadi buntu karena alasan-alasan mistik. Dan diam-diam Kodir dan kawan-kawannya ngeri juga ngedenger cerita tentang kejadian di kuburan itu, yang menurut penduduk setempat, sering muncul makhluk ganjil.

Si lelaki perlente yang dilapori hasil penyelidikan yang buntu itu cuma bisa mengangguk-angguk keki, tapi matanya liar menatap anak buahnya satu per satu.

Kodir merasa dengkulnya gemeteran.

"Jadi para penduduk pun nggak ada yang ngaku mencabuti patok-patok di kuburan dengan alasan ada drakulanya? Ah, yang bener? Kalian jangan mengada-ada cuma untuk menutupi kerja kalian yang nggak becus, ya? Kalo gitu sekarang kalian pasang lagi patok-patok yang baru, dan nanti malam kalian selidiki langsung di kuburan ini untuk menangkap pencabutnya. Mengerti?" putus si lelaki perlente kemudian.

"Ha?" Para anak buahnya pada merinding ketakutan.

Kodir langsung pingsan dengan sukses.

Dari balik persembunyiannya Pak Gali dan Drakuli tersenyum penuh arti.

"O, mereka sudah siap mengacungkan kampak perang, ya?” desis Drakuli.

BAB 6 KEJADIAN ANEH DIKUBURAN

SEPERTI biasanya malam itu suasana pekuburan hening dan mencekam. Angin bertiup keras menimbulkan suara yang mengerikan. Nyanyian burung hantu dari dahan pohon waru menambah seramnya suasana. Apalagi bulan masih bersinar malu-malu seperti hari kemarin. Saat ini memang musim penghujan. Dan malam itu pas cuaca lagi mendung. Suara geledek menggelegar bertalu-talu. Dan sinar bulan yang tinggal sedikit akhirnya surut ditelan awan hitam. Kemudian turunlah gerimis. Suasana malam semakin dingin dan menakutkan.

Dari balik semak-semak Kodir dan kawan-kawan menunggu dengan penuh ketakutan. Mata mereka tak lepas memperhatikan patok-patok yang tadi siang baru dipasang. Betul-betul pekerjaan yang menjemukan. Kalo nggak ingat anak-istri yang harus makan, mungkin Kodir dan kawan-kawan udah buru-buru ngacir dari situ. Tapi tugas dari Bos harus dilaksanakan. Ya, itu kalo mereka nggak mau dipecat.

Menit demi menit berlalu membuat Kodir dan kawan-kawan cemas. Tapi orang yang ditunggu-tunggu bakal mencabuti patok-patok belum juga muncul. Kodir dan kawan-kawan makin gelisah.

"Jangan-jangan yang mencabuti patak itu bukan orang, tapi betul-betul drakula seperti para penduduk bilang," tukas Sabri, teman Kodir yang memang terkenal paling penakut. Nadanya penuh kekuatiran.

Bobong, teman Kodir yang lain, menggigil kedinginan. Giginya beradu menimbulkan bunyi yang menambah seram suasana.

"Setan atau bukan, yang jelas kita harus menangkap si pencabut patok-patok itu," tukas Kodir berusaha menenangkan.

"Ya, lagian mana ada setan, sih. Itu kan cuma perasaan kita aja," seru Dudung, teman Kodir yang lain lagi. Tapi suaranya penuh keraguan. Siapa tau ternyata yang mencabut patok-patok itu betul-betul sejenis makhluk alus. Hiii... kan gawat.

Waktu terus merangkak. Angin bertiup keras meniup pohon-pohon besar menimbulkan bunyi berkesiur yang menyeramkan. Kodir merapatkan sarungnya. Matanya terkantuk-kantuk. Begitu juga rekan-rekan yang lainnya. Mereka mulai jemu. Pukul setengah satu. Tapi orang yang ditunggu, yang bakal mencabuti patok-patok pembatas belum juga muncul.

"Hoaaam...!" terdengar suara Kodir menguap. "Sekiranya sampai jam satu belum juga nongol, mending kita pulang aja, yuk!" usul Dudung.

"Hus, enak aja lo. Bisa aja kan dia dateng jam dua, terus nyabutin patok-patok itu. Jangan cari perkara deh lo. Lo kan tau bos kita galak banget," tukas Bobong menengahi.

Dudung manggut-manggut. Lalu mereka hening kembali. Hanya terdengar suara letikan tembakau dari rokok yang dibakar. Kodir masih setia memaku tatapan matanya ke arah patok-patok.

Pada saat itulah samar-samar Kodir melihat dua sosok bayangan hitam muncul dari semak-semak.

Krosak! Kodir terkesiap.

"Sssst... liat, tuh!" tunjuk Kodir pada rekan-rekannya yang langsung terkesiap begitu melihat apa yang dimaksud Kodir.

"Orang apa setan tuh, tapi kayaknya sih...?" tanya Sabri cemas. Tapi belum lagi pertanyaan Sabri terjawab, tiba-tiba dua bayangan hitam itu, yang satu tinggi-besar dan satunya lagi mengenakan jubah, tertawa terkekeh-kekeh.

"HUAHAHAHA...!" Tawanya nyaring sekali menggema ke seantero kuburan.

"Setaaaaaan! Tulung, ada setaaan!" teriak Sabri ketakutan, dan langsung ngacir sambil terkencing-kencing. Teman-teman Kodir yang lain yang dasarnya emang udah ngeri kemudian menyusul Sabri. Ikut-ikutan ngibrit.

***

Esok paginya lelaki perlente yang dilapori Kodir tentang hal yang dialaminya cuma bisa merengut, manggut-manggut tapi nggak marah seperti biasanya. Barangkali dia udah capek marah-marah. Abis dari pertama nongol adegannya marah-marah terus. Bosen. Makanya si lelaki perlente mau cari adegan yang lain. Yaitu, dia mulai percaya kalo omongan Kodir bisa dipercaya, bahwa di kuburan ini ada drakulanya. Dan drakula itulah yang suka mencabuti patok-patok.

"Eh, tapi yang tinggal di daerah pekuburan itu siapa, sih? Siapa tau ini ulah dia!" ujar si Bos tiba-tiba.

"Wah, kata penduduk setempat, orangnya emang misterius. Jarang bergaul. Jarang ada yang tau. Mungkin dia itu drakulanya!"

"Gak ada yang b'rani nyamperin tu orang?"

"Enggaak!!!" jawab anak buahnya serempak.

"Wah, emang kalo lawan kita drakula repot juga, ya!" Si lelaki perlente kepusingan.

Anak buahnya, termasuk Kodir, pada bengong. Mereka tau kalo bosnya lagi kebingungan. Tapi mau ngasih bala bantuan mereka juga bingung.

"Ada, yang punya ide nggak, gimana caranya ngusir drakula itu!"

Tuh kan, si Bos akhirnya minta pendapat. Kodir gelagapan, mengingat otaknya belum bisa berpikir dengan baik.

"Gimana kalo drakula itu dikasih jabatan di perusahaan Bapak, biar dia nggak ngeganggu lagi!" usul Kodir sembarangan.

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kodir. Kodir mengusap-usap pipinya yang merona merah.

"Ayo, apa masih ada yang punya ide sebagus Kodir? Tenang aja, persediaan imbalannya masih banyak, kok," cetus si Bos sambil tersenyum penuh arti.

Kodir masih mengusap-usap pipinya. Sedang yang lain cuma melongo. Nggak berani ngomong apa-apa.

"Kalian belon pada gagu, kan?" tanya si lelaki perlente kedengaran sinis.

Akhirnya Dudung memberanikan diri.

"Gimana kalo kita panggil dukun sakti aja buat ngusir drakula itu, Pak. Kebetulan saya ada kenal seorang dukun yang sakti," usul Dudung semangat.

Si lelaki perlente manggut-manggut tanda setuju.

"Ini baru ide yang bagus," tukasnya seraya menyerahkan selembar lima ribuan buat Dudung. Ternyata si lelaki perlente ini biar galak tapi royal juga kalo hatinya lagi senang.

Dudung dengan wajah berseri menerima lembaran lima ribuan pemberian lelaki perlente itu. Buntut-buntutnya Dudung lalu disuruh memanggil si dukun sakti.

"Malam ini juga dia boleh bekerja mengusir drakula itu. Bilang honornya memuaskan," kata si lelaki perlente.

"Baik, Bos!" seru Dudung. Dan Dudung segera lari meninggalkan teman-temannya menuju rumah si dukun sakti begitu bosnya pergi.

***

Orang yang disebut dukun oleh Dudung ternyata penampilannya sungguh menyeramkan. Nggak enak diliat. Mukanya mirip tumpukan serbet. Orangnya lusuh, kotor, dan tua. Rambutnya yang udah memutih dibiarkan panjang nggak keurus, begitu juga kumis, cambang, dan jenggotnya, dibiarkan tumbuh liar memenuhi wajahnya. Sedang wajahnya sendiri penuh dengan kerut-merut ketuaan. Giginya banyak yang ompong.

Menurut Dudung, dukun yang seneng dipanggil Mbah Jagal itu-soalnya sebelum jadi dukun dia pernah kerja sebagai tukang jagal sapi-umurnya udah lebih dari seratus taon.

Tepatnya seratus taon lebih dua hari. Tapi walau umurnya udah setua itu, Mbah Jagal masih keliatan gagah dan energik. Malah pada ulang taonnya yang keseratus kemarin, Mbah Jagal sengaja memperingatinya dengan lari dingkring keliling lapangan. Penduduk kampung yang menyaksikan ulah Mbah Jagal sempat bersorak-sorak bergembira, bergembira semua. Memang begitulah kebiasaan Mbah Jagal dalam memperingati ulang tahunnya. Suka bertingkah laku yang aneh-aneh. Yah, namanya aja dukun. Kalo nggak gitu, mungkin bukan dukun namanya.

Jadi maklum aja. Apalagi Mbah Jagal ini terkenal sakti. Bisa ngilang kalo lagi ngumpet. Dan yang penting, bisa ngusir setan. Begitulah yang sering dipromosikan ke orang-orang oleh Mbah Jagal sebagai dukun.

Mbah Jagal ini suka betul berpakaian seragam item-item dengan ikat kepala. Celananya model pangsi, dan berbaju lengan panjang yang longgar. Tapi seragam Mbah Jagal ini baunya udah nggak karuan. Segala macam bau ada di situ. Makanya kalo deket-deket Mbah Jagal, kita suka pusing karena kebauan. Tapi biar gitu kenyataannya nggak sedikit orang yang rela deket-deket Mbah Jagal. Terutama yang butuh pertolongan Mbah Jagal. Misalnya, supaya naik pangkat atau dagangannya laris. Seperti pagi itu, Dudung terpaksa merayu-rayu Mbah Jagal supaya mau mengusir drakula yang selalu mencabuti patak-patok.

"Pokoknya bayarannya menggiurkan, deh," bujuk Dudung sambil sujud di hadapan Mbah Jagal.

Mbah Jagal yang kebetulan lagi bokek, dan selalu diomelin sama bini mudanya yang kelima, kerena selama seminggu ini nggak pernah ngasih uang belanja, langsung mengiyakan permintaan Dudung tanpa diminta sampai dua kali.

"Tugas Mbah cuma mengusir drakula itu. Dan ini duit sebagai uang muka. Sisanya saya kasih kalo Mbah udah bisa mengusir drakula itu," kata Dudung.

Mbah Jagal manggut-manggut, lalu secepat kilat nyamber segepok uang ribuan di tangan Dudung.

Dan malam itu Mbah Jagal dengan segala perlengkapannya berupa sapu lidi, kemenyan, anglo, dan jimatnya, yang konon didapat dari berpuasa empat puluh hari empat puluh malam sambil makan nasi goreng, nampak berdiri dengan gagahnya di areal pekuburan yang dianggap angker itu. Angin bertiup sepoi-sepoi menerpa rambut Mbah Jagal yang panjang dan memutih. Pukul setengah satu, beberapa bunga kemboja berguguran di bumi karena diempas embusan angin.

Mbah Jagal menggerak-gerakan kumisnya. Lalu segera menyiapkan anglonya. Mengisinya dengan beberapa potong arang, dan membakarnya. Ketika api padam dan arang menjadi bara, Mbah Jagal lalu menaburi bara itu dengan menyan dan bunga setanggi. Suara berkeletekan terdengar dari menyan yang terbakar. Asapnya menyebar ke mana-mana. Dan bau kemenyan yang menusuk hidung juga menyebar terbawa udara malam. Mbah Jagal lalu berkomat-kamit membaca mantera.

Jimat kesayangannya digenggam di tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam sapu lidi, dan sapu lidi itu diputar-putar di atas kepala Mbah Jagal.

"Hai, Drakula yang suka mengganggu, pergilah kau dari sini, sebelum saya membuat tindakan yang merugikan Anda," desis Mbah Jagal kemudian. Matanya terpejam, dan tangannya masih sibuk memutar-mutar sapu lidi di atas kepala. Mbah Jagal nampak khusyuk sekali. Tapi khusyuknya Mbah Jagal sebetulnya karena membayangkan upah yang bakal diterima dari si Dudung kalau pekerjaannya bisa diselesaikan dengan baik, mengusir drakula.

Beberapa saat hening. Kini Mbah Jagal kembali komat-kamit membaca mantera. Sejenak terdengar lagi suara Mbah Jagal yang berat dan bergetar.

"Hai, Drakula, saya peringatkan, pergilah dari sini. Jangan mengganggu tempat ini. Jangan suka mencabuti patok-patok. Mulai malam ini kembalilah ke asalmu. Saya, Mbah Jagal, meminta secara baik-baik. Tapi jangan bandel, ya!" teriak Mbah Jagal seraya mengeluarkan sebilah keris berlekuk tujuh dari balik bajunya. Sapu lidinya diletakkan di samping anglo yang masih mengepulkan asap berbau kemenyan.

Tapi tiba-tiba muncul suara menyeramkan begitu Mbah Jagal selesai berbicara.

"Hihihi... mana ada sih orang yang diusir secara baik-baik dari rumahnya sendiri," tukas suara itu yang selalu diselingi dengan tawa cekikikan.

Mbah Jagal celingukan. Bulu romanya meremang. Mbah Jagal buru-buru menyalakan rokok lisongnya, tanda hatinya lagi tegang. Setelah itu ia berkomat-kamit lagi sambil memutar-mutar keris di atas kepalanya.

"Hihihi... Mbah Jagal, kok situ lucu, deh!" tukas suara misterius itu lagi.

Mbah Jagal kehilangan konsentrasi. Matanya kembali celingukan, mencari-cari dari mana asalnya suara misterius itu. Tapi yang dilihatnya cuma rimbunan semak yang gelap dan membisu.

Mbah Jagal mengisap lisongnya dalam-dalam, lalu berteriak keras, "Yaaa..., wahai jin dari segala jin yang biasa membantuku, yang biasa meminta sesajen berupa sebaskom semur jengkol, bantulah aku. Bantulah aku mengusir roh jahat bernama Drakula ini!"

Dari balik semak-semak tebal, dua pasang mata memperhatikan tingkah Mbah Jagal dengan perasaan geli. Ya, pemilik dua pasang mata itu siapa lagi kalo bukan Drakuli dan Lulu.

Lulu memang sengaja kabur dari rumah untuk membantu Drakuli mengusir Mbah Jagal, setelah tadi sore Drakuli cerita ke Lulu kalo tim penggusur menyewa seorang dukun sakti buat ngusir Drakuli dan keluarganya. Drakuli terpaksa menghubungi Lulu, karena dianggapnya Lulu mempunyai banyak ide dan taktik segar untuk mengusir Mbah Jagal. Lulu sendiri kebetulan lagi sebel sama suasana rumah, dan lagi getol-getolnya melakukan aksi protes sama Mami, makanya Lulu langsung oke begitu Drakuli mengajaknya.

Dan malam itu Drakuli dan Lulu memang keliatan siap perang banget. Selain dandanan mereka yang aneh-aneh, hingga menyerupai setan betulan, Drakuli juga membawa senjata berupa sebuah katepel dengan butir-butir kelereng sebagai pelurunya. Pokoknya kalo kelereng itu sampai mampir di jidat, ditanggung benjol.

Selain itu, sejak beberapa jam lalu sebelum kedatangan Mbah Jagal, Lulu dan Drakuli juga sudah menyiapkan beberapa jebakan di tempat-tempat tertentu.

Lalu Lulu tertawa cekikikan. Hihihi... suaranya yang cempreng membahana ke seluruh areal pekuburan.

Mbah Jagal celingukan. Keringat nampak mengalir dari keningnya yang keriput. Tapi sia-sia Mbah Jagal berusaha menemukan dari mana datangnya arah suara itu. Rasa takut mulai menjalari hati Mbah Jagal.

Drakuli dengan hati-hati sekali menyiapkan katepelnya. Sebutir kelereng diselipkan pada karet pelontar. Kemudian dengan cermat Drakuli membidik kepala Mbah Jagal yang rada panjul.

Hening sejenak. Drakuli menahan napas. Sedang Mbah Jagal keliatan mulai gelisah. Lalu swiing... tak! Yak, tepat sekali bidikan Drakuli.

Lulu cekikikan. Hihihi....

"Aduh, mati aku!" teriak Mbah Jagal sambil mengusap-usap kepalanya yang benjol.

Lulu terus-terusan cekikikan, membuat Mbah Jagal makin panik.

Drakuli kembali membidik pipi Mbah Jagal.

"Hai, Drakula gila, jangan main-main sama saya ya, belum tau siapa saya, kali!" teriak Mbah Jagal sombong.

Swiiing... pletak! Kembali sebuah bersarang di pipi Mbah Jagal.

"Aduh, Drakula, jangan bercanda, dong!" teriakan serak Mbah Jagal mulai putus asa. Pipinya yang keriput segera menggelembung bengkak.

Lulu masih cekikikan, tapi kali ini tangannya dengan sigap menggamit telur mentah yang tadi ia colong dari katering maminya, yang ia siapkan di dekat kakinya. Lalu dengan mantap Lulu menyambitkan telur-telur itu ke Mbah Jagal. Dan...

"Kena!" Lulu berteriak kegirangan.

Sedang Mbah Jagal yang sudah gak tahan lagi disambitin kanan-kiri, langsung ngibrit ketakutan begitu kena telur mentah. Tapi baru beberapa tindak Mbah Jagal ngabur, kakinya sudah terantuk tambang yang sengaja dibentangkan di antara semak-semak. Tentu saja ini ulah Drakuli dan Lulu. Mbah Jagal sendiri langsung keserimpet, dan jatuh bergulingan. Kepalanya terantuk-antuk batu nisan.

"Ya ampun, Drakula, saya nyerah, deh. Kamu boleh tetap tinggal di sini. Tapi jangan siksa saya, dong!" ratap Mbah Jagal sambil berusaha bangkit dari kuburan.

Tapi jawaban yang terdengar cuma suara cekikikan yang panjang sekali.

Mbah Jagal gemeteran. Rasa sakit menggigiti tubuhnya yang benjol-benjol. Lalu dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya, Mbah Jagal berusaha bangkit dan kabur sekencang-kencangnya. Cuma aja begitu ia mau keluar dari pintu gerbang kuburan, kakinya terperosok pada sebuah lubang kecil yang berisi kotoran kebo.

"Aduh, biyuuuuung!" teriak Mbah Jagal keras sekali menggedor-gedor seisi pekuburan.

Lulu dan Drakuli ketawa cekikikan sampai perutnya kaku. Sementara dari kejauhan Pak Gali dan seorang cewek manis memandang dengan sesungging senyuman menghiasi bibirnya.

Seorang cewek? Ya, cewek seusia Lulu itu sodara sepupunya Drakuli, yang tinggal sama ibunya di kampung sebrang. Cewek itu kadang-kadang menginap di rumah Drakuli. Dan Pak Gali amat sayang sama cewek itu. Malah sering dianggap anak sendiri. Ya, karena di rumah Drakuli kan cowok semua. Jadi gadis mungil itu suka datang buat bantuin masak, atau ngeberes-beresin rumah. Ibu cewek mungil itu adiknya almarhum ibu Drakuli. Ayah si cewek udah meninggal.

Dan pagi pun hampir menjelang. Suara kokok ayam bersahut-sahutan.

***

Yang namanya gosip memang cepat sekali menyebarnya. Kayak api kena bensin. Berita Mbah Jagal mau mengusir penghuni kuburan, tapi akhirnya malah Mbah Jagal yang diusir drakula itu, segera menjalar ke pelosok kampung. Semua orang, gak peduli bapak-bapak atau mpok-mpok asyik membicarakan tentang drakula penghuni kuburan yang kesaktiannya melebihi Mbah Jagal. Dan namanya gosip, tentu saja ceritanya dilebih-lebihkan, jadi jauh lebih syerem dari kenyataan sebetulnya. Sebab setiap orang yang udah terlibat gosip itu, merasa punya hak ngasih bumbu tambahan biar kedengarannya jadi lebih sip.

Seperti Mpok Salamah, yang pagi itu asyik ngegosip dengan tetangganya yang kerja jadi pegawai negeri. Padahal si tetangga udah buru-buru mau masuk kerja. Tapi Mpok Salamah dengan cueknya menyetop si tetangga buat ngajakin ngegosip soal drakula. Mula-mula si tetangga gelisah takut ketelatan masuk kerja, tapi lama-kelamaan malah keasyikan.

"Eh, Mpok, apa udah dengar soal drakula kemarin malam?" tegur Mpok Salamah.

Si tetangga celingukan nyari-nyari Mpok Salamah. Soalnya Mpok Salamah negurnya dari balik pagar sih. Jadi gak keliatan.

"Drakula apaan, Mpok. Drakula cinta yang suka mengganggu istri-istri kesepian? Wah, belum tuh!" jawab si tetangga setelah Mpok Salamah menampakkan diri sambil senyum-senyum.

"Bukan, bukan drakula cinta. Kalau drakula cinta saya juga suka. Malah dia udah punya jadwal tetap datang ke rumah saya tiap malam Jumat. Yang ini drakula syerem. Drakula jahat, yang suka ngegigit tenggorokan orang buat diisap darahnya," kocol Mpok Salamah lalu menggeret si tetangga duduk di teras rumahnya.

"Ah, si Mpok bisa saja. Emangnya di kampung kita ada drakula jahat?"

"Ada. Itu lho, yang suka nongol di kuburan."

"Ah, setau saya itu bukan drakula jahat. Emang sih saya pernah dengar ada drakula nongol di kuburan. Tapi kan sekadar nongol.Sebab selama ini dia belon mengganggu kita. Paling-paling ayam kita doang yang suka ilang. Itu juga bukan diambil oleh drakula, tapi sama si Ntong, tetangga kita yang emang punya profesi maling ayam." Mpok Salamah mesem.

"Wah kalo gitu Mpok betul-betul ketinggalan zaman. Kemarin malem katanya ada dukun yang mau ngusir drakula itu malah mati dicekik!"

"Mati dicekik?"

"Ya, Mpok. Bayangin aja, apa nggak jahat tuh drakula."

Mpok Salamah lalu pura-pura bergidik, biar ceritanya berkesan tambah serem. Lama-lama si tetangga terpengaruh juga, dan terus menggosip sampai bibirnya item. Sampai telat masuk kerja.

Itu cuma salah satu contoh saja, kalo masalah drakula memang lagi anget di kampung sekitar kuburan tempat Drakuli tinggal. Akibatnya ada sekelompok orang yang memanfaatkan berita itu untuk hal yang lain. Mereka adalah masyarakat penggemar SDSB. Mereka nggak cuma ngegosip, tapi memanfaatkan kehadiran drakula untuk minta kode SDSB.

Mereka percaya kalo drakula penghuni kuburan itu bisa memberikan nomor SDSB yang jitu. Makanya tiap malam Jumat para penggemar SDSB berduyun-duyun dateng ke pekuburan. Mereka yang datang umumnya bawa sesajen lengkap, berupa kembang tujuh rupa, lisong, dan sebutir telur ayam. Mereka ada yang rela tidur seharian di pekuburan cuma untuk mendapatkan kode SDSB yang dimaksud.

Mereka, para pemburu SDSB itu, memang kebanyakan pengangguran. Tapi nggak sedikit yang statusnya karyawan perusahaan swasta atau pegawai negeri. Cuma rata-rata mereka datang dari kalangan ekonomi lemah, yang coba menggantungkan mimpi dengan SDSB. Yang mau kaya, tapi ogah bekerja keras. Makanya mereka lebih rela tidur di pekuburan di malam yang dingin cuma untuk kode. Siapa tau kena. Kan lumayan.

Dan pada malam Jumat setelah peristiwa Mbah Jagal, areal pekuburan tempat Drakuli tinggal udah dipenuhi orang. Mereka umumnya datang sejak sore tadi.

Tepat pukul dua belas malam, Bang Jalil yang jadi ketua rombongan mulai memimpin upacara permohonan. Semua sesajen yang dibawa dikumpulkan di suatu tempat yang dipercayai sebagai tempat tinggal drakula. Dan kebetulan tempat yang dimaksud itu di sebuah pohon besar yang biasa dipanjat Drakuli. Drakuli yang udah mencium gelagat kurang beres itu jadi senyum-senyum sendiri.

“Wahai, Tuan Drakula yang baik hati, saya Bang Jalil, atas nama rekan-rekan malam ini menghadap kepada Tuan Drakula, nggak lain dan nggak bukan kedatangan saya beserta rombongan adalah untuk minta kode SDSB. Untuk itu kami udah menyiapkan imbalan buat Tuan, yaitu berupa kembang tujuh rupa, telur ayam, dan lisong," teriak Bang Jalil yang udah memimpin upacara.

Drakuli cekikikan. Dan segera timbul isengnya.

“Wahai, Bang Jalil, kedatengan ente dengan temen-temen saya terima. Sya juga udah tau maksud ente dateng kemari. Tapi saya kurang doyan tuh, ama sesajen yang ente persembahkan buat saya," jawab Drakuli yang suaranya diberat-beratin, pura-pura jadi drakula.

Bang Jalil terperangah. Tapi hatinya girang. Drakula udah mau menerima kedatengannya.

“Tenma kaslh, Tuan Drakula mau menerima kedatangan saya beserta rombongan. Tapi apa mksud Tuan Drakula nggak doyan dengan sesajen yang kami persembahkan ini?" tanya Bang Jalil penuh harap.

"Nggak doyan, ya, nggak doyan. Abis sesajen yang kamu persembahkan nggak enak, sih. Saya udah bosen makan telur ayam melulu. Nah, kamu boleh pergi sekarang," usir Drakuli.

"Wah, jangan gitu dong, Tuan Drakula. Baru aja Tuan Drakula menerima kedatangan kami, kenapa sekarang tiba-tiba ngusir begitu saja."

"Sesajen kamu nggak cocok. Kamu boleh pergi sekarang."

"Soal kode itu gimana, Tuan Drakula?" tanya Bang Jalil masih penasaran.

"Sesajen yang kamu berikan nggak cocok. Jadi ya nggak ada kode dong," jawab Drakuli ketus.

"Wah, apa nggak bisa kompromi?"

"Bisa.. Kamu boleh pergi dari sini sekarang. Dan balik lagi dengan sesajen yang cocok, yang sesuai dengan selera saya."

"Wah, apa tuh sesajen yang cocok?" tanya Bang Jalil.

"Banyak!"

"Ya, banyak, tapi apa?"

"Coklat, ayam panggang, es krim, atau yang sebangsanya, gitu deh. Paham?"

"Paham. Tapi...?"

"Kalo kamu paham, boleh pergi sekarang. Besok kembali lagi. Saya mau tidur dulu."

"Tapi soal kode itu, gimana?"

"Kode baru bisa dikasih nanti kalau kamu udah bawa sesajen seperti yang saya minta. Udah, sekarang saya mau tidur dulu."

Dengan lesu Bang Jalil membubarkan rombongannya, dan memberi kabar pada para pengikutnya untuk membawa sesajen seperti yang diminta drakula. Mereka sebetulnya heran, kok ada drakula yang doyan coklai, es krim, dan ayam panggang? Tapi karena pikiran mereka udah buntu dan yang diingat cuma kode SDSB, mereka ya terima aja kenyataan itu.

Esok malamnya, Drakuli baru aja pulang dari keliling kuburan, ketika didengarnya teriakan Bang Jalil dari pelataran kuburan.

"Wahai, Tuan Drakula, ini saya Bang Jalil dateng lagi bersama rombongan dengan membawa sesajen seperti yang Tuan Drakula minta. Coklat, es krim, ayam panggang."

Drakuli langsung berlari ke luar rumahnya dan mengintip dari pohon besar, tempat ia biasa mangkal. Betul, di sebuah batu besar Bang Jalil nampak udah siap dengan makanan pesanan Drakuli.

Drakuli tersenyum dan manggut-manggut.

"Wah, pesta besar nih," jerit batinnya.

"Sesajen saya terima, sekarang kalian mau apa?" jerit Drakuli kemudian. Kali ini bukan dalam batinnya.

"Ya mau kode SDSB dong, Tuan Drakula."

"Itu sih gampang."

"Gampang? Wah, asyik dong."

"Memang asyik. Tapi kalian harus pasang kuping lebar-lebar. Dan catat apa yang saya bilang."

"Siap, Tuan Drakula. Lalu kodenya berapa?"

"Sabar dulu kek sedikit. Saya mau ambil napas dulu, ya?"

Lalu hening sejenak. Bang Jalil juga ikut-ikutan menarik napas panjang. Hatinya berdebar-debar. Begitu juga anggota rombongan lainnya. Mereka harap-harap cemas. Nggak sabar dengan apa yang akan dikatakan Drakuli.

"Nah, sekarang siap, ya? Dengerin nih kata-kata saya dengan cermat!"

"Siap, Tuan Drakula," sambut Bang Jalil dan anggota rombongannya serentak.

"Nomor yang akan keluar adalah 125250375. Jelas?" ujar Drakuli cepat.

"Berapa?"

"Wah, kalian pada budek, ya? Dengar ya, nomor yang akan keluar adalah 125250375. Jelas?"

Bang JaIiI menyuruh anak buahnya cepat mencatat.

"Jelas, Tuan Drakula."

"Nah, gitu dong," sambut Drakuli kegirangan.

Tapi, tiba-tiba ada yang nyeletuk.

"Tuan Drakula, nomor yang Tuan Drakula unjukin udah kami catat. Tapi, apa betul ini nomor yang bakal keluar?" tanya suara nekat itu.

"Nah, itulah masalahnya. Kamu tanya aja ke dukun yang jago. Apa betul nomor ang saya berikan itu bakal keluar di SDSB mmggu ini. Kalau dia bilang betul, kamu datang lagi ke sini , ya? Saya mau nitip pasang.”

"Ha?" Bang Jalil dan rombongannya melongo.

BAB 7 KEJADIAN KONYOL DIKUBURAN

Lupus dengan tergopoh-gopoh mengayuh sepedanya melewati gang-gang kecil. Dan saking buru-burunya, dia sampe lupa pake sendal. Sementara rem sepedanya itu udah abis sama sekali. Alhasil kalo di depannya banyak anak-anak kecil yang lari atau nyebrang tiba-tiba, Lupus terpaksa ngerem pake kaki. Kakinya diserosotin ke aspal. Alhamdulillah, baru tiga kali ngerem, kakinya udah belah-belah kayak kaki tukang minyak!

Saat itu Lupus emang napsu banget pengen ketemu Gusur dan Boim buat nyeritain perihal kelakuan adiknya yang pacaran ama anak kuburan. Juga soal perkembangan penyelidikannya terhadap gadis manis misterius bernama Kunti. Makanya Lupus kudu buru-buru ketemu Gusur, karena kalo terlambat dikit aja, si seniman sableng itu bakalan lenyap.

Ya, entah kenapa belakangan ini Gusur jadi teramat sok sibuk bikin penelitian ini-itu. Tentang anak-anak yang berjualan di perempatan jalanlah, tentang ibu-ibu yang masih aja masak pake air kali, tentang pengangguran-pengangguran yang kian hari kian membengkak jumlahnya, tentang tanah di Jakarta yang selalu jadi rebutan, atau juga tentang dirinya yang dari dulu belon juga dilirik cewek yang khiJaf! Pernah Gusur ditegor Lupus kalo baru di SMA itu nggak perlu repot-repot bikin penelitian segala macem. Karena kesibukan-kesibukan seperti itu kan patutnya dikerjakan sama anak-anak kuliahan. Tapi Gusur bersikeras, "Karena daku kurang yakin, apakah daku bisa meneruskan sekolah sampe ke bangku kuliah. Dikau tahu sendiri kan, kalo engkongku membiayai sekolah dari sawah yang dijual di kampungnya. Nah, sawah itu kalo tidak salah, sekarang ini, tinggal dua meter persegi saja. Paling-paling kalo dijual hanya cukup untuk mondar-mandir ngurus pendaftaran aja, Pus. Maka dari itu mumpung daku kini masih bersekolah, kulakukanlah berbagai penelitian!"

Dan ketika Lupus sampe di depan rumah Gusur, setelah menabrak tong sampah dan tiga tiang jemuran karena nggak sempet mengerem sepedanya, dia melihat Gusur sibuk memasukkan kertas-kertas kerja ke tasnya. Sepertinya Gusur mau berangkat meneliti lagi.

"Suur...! Tunggu, jangan pergi dulu. Ada kabar penting, bahkan lebih penting dibanding hasil penelitian-penelitian kamu!" jerit Lupus dari gang depan.

Gusur yang udah siap-siap mo berangkat, jadi kaget mendengar namanya disebut.

"Siapaaa ituuu?"

"Gue, Lupus. Gue bawa kabar penting banget. Gue harap lo mau ngedenger."

"Aduh, daku tengah sibuk, nih. Nanti sajalah."

"Sur, ini kabar lebih penting. Adik gue si Lulu dipacarin anak kuburan!" Lupus meletakkan sepedanya, dan menghampiri Gusur.

"Hah, dipacarn anak kuburan?" Gusur terperanjat.

"Bener."

"Gila itu, anak kuntilanak atau anak genderuwo?"

"Maksud gue bukan itu, bukan anaknya setan. Dia anak manusia, tapi misterius banget. Karena tu anak tinggalnya di kuburan. Dan gue rasa ini akan jadi menarik kalo lo mau menelitinya."

"Iya, itu jelas menarik sekali. Sekarang di mana dia?"

"Tenang, kita mesti atur strategi dulu. Boim mana ?"

"Tadinya daku mau ke rumahnya. Kami sudah janjian. Tapi bila daku tak kunjung muncul di rumahnya, pastilah dia yang akan muncul di rumahnya."

"Heh?"

"O, maksudku dia yang akan muncul di rumah daku, Pus."

"Baik, kalo gitu kita tunggu aja."

Lupus kemudian diajak ke atas loteng tempat Gusur sehari-hari bersarang. Loteng tempat tinggal Gusur bener-bener mirip sarang. Berantakan dan acak-acakan. Di mana-mana tertempel poster dan lukisan-lukisan yang dilukisnya sendiri.

"Sur, lo tiap hari tidur di sini?" tanya Lupus heran demi melihat kamar temannya yang dia rasa lebih cocok buat sarang tikus.

"Ya, emangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa, cuma gue kasian ama tikus-tikusnya, mereka pasti nggak kebagian tempat lagi."

Gusur mengeluarkan isi tasnya dan meletakkannya begitu saja di sisinya. Dia mengambil kertas baru dan ditulisnya: Penelitian terhadap Anak Kuburan Sehubungan dengan Berakhirnya Visit Indonesia Year 1991!

"Gusurr, Gusurr...!" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari bawah loteng. Gusur langsung apal suaranya.

"Hei, itu Boim. Sebentar Pus, kutengok dulu dia," ujar Gusur sambil langsung turun lewat tali yang dipasang dari jendela sam ping sarangnya.

"Boim langsung naik saja, di atas ada Lupus. Dan itulah yang menyebabkan daku tak muncul ke rumahmu, karena dia lebih dulu muncul ke rumahku. Bukan salahku, kan?"

"Jadi salah siapa, dong?" tanya Boim bego.

"Salah rumahmu, kenapa ia jauh-jauh dari rumahku." .

"Iya, ya."

Pas sampe di atas Boim dan Gusur langsung aja disambut oleh cerita-cerita seru versi Lupus tentang Lulu dan anak kuburan, Drakuli.

Boim yang paling kaget denger cerita Lupus. Karena diketahui atau tidak, sejak dulu kan playboy duren tiga itu naksir banget sama Lulu.

"Wah, sejak kapan mereka bisa akrab begitu?" selidik Gusur sambil terus mencatat-catat di atas kertasnya.

"Ya, udah cukupan juga."

"Jadi Lulu pacaran, Pus?" tanya Boim cemburu buta.

"Belon jelas, tapi mereka udah keliatan akrab. Ke mana-mana berdua. Dan yang jadi masalah bagi gue, kenapa Lulu bisa akrab sama anak kuburan ?"

"Iya, kenapa dia nggak akrab sama saya aja, ya?" timpal Boim.

"Wah, kalo Lulu akrab sama kamu bakalan tambah masalah. Yang bikin empet, gue pernah dikerjain segala lagi ama tu anak."

"Dikerjain ?"

"Iya, waktu gue ngintilin Lulu sampe rumahnya. Mentang-mentang tinggal di kuburan gue langsung ditakut-takutin. Ya, jelas aja gue takut. Coba kalo dia tinggal di pasar atau di tengah lapangan, gue nggak bakal kabur meski ditakut-takutin kayak apa pun juga," ujar Lupus sok.

"Wah, itu gak bisa dibiarkan. Anak kuburan itu harus kita hajar, biar tau rasa," ujar Boim geram. "Trus sekarang gimana dong, Pus. Saya nggak pengen kalo Lulu terperosok lebih jauh."

"Kita selidiki dia!" cetus Lupus.

"Setuju! Gue setuju banget. Kalo perlu sekarang juga kita langsung ke rumahnya." Boim mengepalkan tinjunya.

"K-kalo daku bukannya tak setuju, Pus. Mendengar masalah ini aja daku sudah tertarik bukan main, tapi pas dikau bilang rumahnya di kuburan, lebih baik daku mengundurkan diri aja, ah...."

"Yaaa, jangan gitu, Sur, pan kasus ini bisa sekalian lo bikin buat penelitian. Ah, masa sama setan aja takut."

"Iya, Sur, bantu saya dong. Nanti kalo ada apa-apa dengan Fifi Alone, misalnya Fifi dipacarin sama anak drakula, pasti saya juga ikutan nolong... nolong orang kebanjiran, maksudnya," ujar Boim.

"Sial kau, Im, dikau selalu mau enak aja. Dulu pernah daku punya masalah kau tak mau tau, tapi sekarang giliran Lulu disabet orang, kaupaksa-paksa aku," sungut Gusur.

"Ya, jelas aja dulu saya ogah nolongin kamu, orang masalah yang kamu derita soal kekurangan makan mulu."

"Dan satu lagi," ujar Lupus tiba-tiba.

"Apa?" Gusur dan Boim bertanya berbarengan.

"Lo masih pada inget cewek yang dulu pernah kita kuntit sampe kuburan? Yang pas Lomba Rap sempat jalan sama gue?"

"Iya, iya, kenapa?" Boim dan Gusur tak sabar.

"Ya, ternyata gue baru inget kalo pekuburan milik si Drakuli itu..."

"DRAKULI?" Boim dan Gusur terbelalak.

"Eh, eng, i-iya. Drakuli itu nama anak kuburan itu..."

"Astaga! Ngeri betul namanya?" Boim bergidik.

"Mengingatkan daku pada drakula!" Gusur langsung merinding.

"Iya, iya. Simpen dulu kaget kalian. Gue lanjutin, ya?" ujar Lupus menenangkan kedua rekannya yang panik. "Ya, ternyata pintu gerbang seram yang membatasi kuburan, tempat si Kunti itu masuk, adalah pintu gerbang pekuburan milik Drakuli. Pantesan waktu ke sana gue ngerasa pernah kenal tempat itu. Ternyata sekitar beberapa bulan yang lalu, gue pernah nganterin si Lulu ngasih surat tegoran kepala sekolah ke anak kuburan itu. Ya, waktu itu gue ketakutan setengah mati. Lo bayangin aja, rumahnya nyempil, dikelilingi tanah pekuburan yang luas dan angker. Di dalemnya, lebih mirip interior tempat pengawetan mayat ketimbang rumah manusia...”

"Hiiiii...." Keduanya bergidik.

"Nah, gue rasa, pasti kemisteriusan si Kunti itu masih ada hubungannya dengan Drakuli. Tampangnya aja sama-sama aneh."

"Oya? Jadi gadis manis itu ada di sana?" Boim jadi bersemangat.

"Itu baru dugaan. Gimana, kamu mau bantu gue nyelidikin anak kuburan itu, kan?"

"Iya. Gue mau, Pus." Boim mengangguk sambil ketakutan.

"Dan Gusur, gimana, Sur? Mau ikut nyelidik?"

"Bolehlah, tapi ada syaratnya, Pus."

"Apaan?"

"Kalian berdua harus mau ngebantu saya nyolong jimat engkongku, berupa patug kodok yang selalu beliau taro di dalam peti bareng kolor-kolor keramatnya."

"Jimat kodok?"

"Ya, jimat kodok itu mampu mengusir roh-roh jahat!"

Akhirnya Lupus dan Boim kudu mau nemenin Gusur ngebongkar-bongkar isi peti yang sepertinya sengaja ditaro oleh engkongnya Gusur di atas loteng. Tu peti bener-bener keramat banget. Maksudnya isinya bener-bener mengan-dung nilai yang bersejarah sekali. Selain kolor-kolor tua peninggalan leluhur keluarga Gusur, juga ada kain-kain pembungkus bantal guling yang sebagian sudah membatu. Sebetulnya keluarga Gusur ini bisa ditangkap pemerintah karena mereka tidak menyetorkan benda-benda berharga itu ke museum terdekat.

Setelah berjam-jam membongkar-pasang di loteng, serta berjuang melawan maut, yaitu berupa gangguan dari tikus-tikus dan kecoa yang mengerikan, hingga terdengar jeritan si Lupus dan si Boim, akhirnya Gusur sukses ngedapetin jimat berupa patung kodok itu.

"Sur, kayaknya keluarga kamu punya cukup banyak barang-barang peninggalan, ya?" tanya Lupus.

"Ya, begitulah. Ada barang peninggalan engkongku, ada peninggalan tetanggaku, dan juga ada barang peninggalan daku berupa sepatu-sepatu butut yang sudah kutukar dengan abu gosok," jelas Gusur.

"Eh, bener nggak kalo patung kodok ini bisa mengusir roh-roh jahat? Kalo kagak bisa berabe kita. Pan kita-kita menyelidiki seseorang di sarang setan," tukas Boim.

"Sarang setan?" Gusur tercekat.

"Jelas sarang setan, orang rumahnya di kuburan!"

"O, iya ya... berarti jimat kodok ini bener-bener berharga sekali buat kita.

"Kalian jangan kuatir dan jangan was was. Jimat kodok ini sudah terbukti hebat, pernah ketika engkongku kesurupan setan belang langsung kutimpuk saja kepalanya," jelas Gusur.

"Pala siapa?"

"Pala engkongku."

"Trus setannya kabur?"

"Belum, karena saat itu pala engkongku langsung benjol. Dia merintih-rintih menahan sakit en so pasti... daku rasa setan belangnya langsung mabur. Ya, ya, jadi setan belangnya memang langsung kabur."

"Jadi untuk mengusir setan yang mengganggu kita, mesti ditimpukkan ke kepala kita, gitu?"

"Ya, begitulah."

"Aneh, ya?"

***

Dan pas malam yang ditentukan, akhirnya Lupus, Gusur, dan Boim mendatangi pekuburan seram yang ada rumah Drakuli-nya itu. Suasana sangat gelap. Bulan sabit nampak tak mampu mengusir kepekatan malam. Mereka mendorong pintu gerbang yang berat dan berlumut.

"Hiii, bener, Pus. Ini kuburan waktu kita ngebuntuti si Kunti," ujar Boim.

"Iya, kan? Nah, pasti antara mereka berdua ada hubungannya! Ya, itung-itung, sambil menyelam kita minum Coca-Cola!"

Dan mereka pun mengendap-endap. Lagaknya bak trio detektip saja. Tapi trio detektip yang ini begonya setengah mati. Karena di antara ketiganya, nggak satu pun yang mau berada di belakang. Jadi masing-masing pengen di tengah.

"Pus, tolong daku, dong. Daku di tengah, dong...," rengek Gusur.

"Alaa, kamu kan punya jimat kodok. Kamu di belakang aja, nanti kalo ada setan yang mencolek-colek pipi kamu langsung timpuk aja pake jimat kodok itu," ujar Lupus sambil menendang tulang kering Gusur yang maunya nempel terus di dekatnya.

"Hiii... bagaimana kalo jimat kodok ini kamu yang pegang, Pus. Asal daku berada di tengah," ujar Gusur lagi.

Selanjutnya Lupus cs,udah nggak mempedulikan lolongan-lolongan Gusur yang pengen ada di tengah, karena dia sendiri trauma banget dengan tempat itu. Lupus memang pernah ngacir terbirit-birit ditakut-takutin Drakuli di tempat itu. Untungnya Boim rada berani jalan di depanan. Eh, tapi nggak juga, ding. Dia berani karena matanya ditutup pake kain putih, tuh!

"Pus, i-ini masuk terus apa belengkok?" tanya Boim, jalannya menurut instruksi Lupus.

"Terus aja, ikutin jalan setapak. Saya rada-rada lupa, sih. Tapi terus aja dulu."

Crosak! Tiba-tiba Boim jatuh tersungkur, terkait akar pohon kemboja yang menonjol. Akibatnya Lupus dan Gusur yang berimpit-impit di belakang, ikut tabrakan beruntun. Mereka tumpuk-tumpukan.

"Aduuuuh," rintih Boim yang ketiban paling bawah.

Mereka buru-buru bangkit. "Ati-ati dong jalannya, Im!"

Mereka pun melanjutkan perjalanan.

"Pus. R-rasanya saya kok nyium bau nggak enak, deh," Boim tiba-tiba ngomong lagi.

"Alaa, lo jangan punya pikiran macem-macem."

"Eh, daku juga, Pus," timpal Gusur.

"Bau apa, sih?"

"Bau kentut!" jawab Boim dan Gusur serempak.

"Sial, di tempat kayak gini masih bercanda juga. T-tapi saya nggak kentut, Iho," ujar Lupus.

"Saya juga," ujar Boim.

"Apalagi daku," sahut Gusur.

"J-jadi siapa dong yang kentut?"

"Wuaaa...!" Tiga cowok itu pun pada ngacrit ketika sadar kalo yang barusan kentut adalah... setan!

Untungnya mereka berlari ke arah yang benar. Yaitu arah rumah Drakuli yang terletak menyempil di tengah kuburan. Terlindung pohon beringin besar. Jadinya mereka bisa langsung menyelinap ke balik dinding rumah Drakuli yang bentuknya kayak gudang tempat mayat-mayat busuk. Di situ, meski ngeri, rasanya mereka bisa aman bersembunyi.

Dan pada saat itu, ketika mereka mengintip ke dalam rumah Drakuli yang seremnya minta ampun, mereka melihat ada Lulu dan Drakuli sedang mengobrol beserta seorang cewek berambut panjang yang lagi sibuk nyediain minum.

"Tuh liat, Im. Si Lulu!" bisik Lupus.

"Keparat!" Boim mengepalkan tangannya.

"Tapi siapa cewek satu itu?" tanya Lupus lagi.

Dan ternyata, setelah wajah gadis itu tertimpa cahaya lilin, Lupus cs baru ngeh kalo yang menyuguhi minumnya adalah... Kunti! Lupus cs terkejut. Soalnya tadinya mereka rada gak mengenali, karena gelap.

"E-eh, itu kan si Kunti!" des is Lupus pada Boim.

"I-iya. Jadi ternyata dia anak sini juga?" ujar Boim.

"Wah, pucuk dicinta ulam tiba, nih. Kalo tau begini daku sendiri,saja ke sini, toh daku punya jimat kodok?" kata Gusur.

"Hm, pala lo bau menyan. Disuruh jalan di belakang nggak mau, belagu mau ke sini sendiri. Dasar lo seniman bego!"

Lupus cs terus saja mengintip dari celah-celah dinding bilik mengamati wajah Kunti yang manisnya minta ampun malam itu. Padahal Kunti tidak dandan sedikit pun. Wajahnya bener-bener alamiah. Sampe-sampe Lupus, Gusur, dan Boim terpana-pana dan lupa pada tujuan semula memata-matai Lulu dan Drakuli.

Tapi beberapa detik kemudian muncul sosok tinggi-besar dan berewokan sambil mengasah-asah golok. Lupus, Gusur, dan Boim segera terkesiap!

"Hah, s-siapa tuh?" tanya Boim langsung deg-degan.

"B-bapaknya," pekik Lupus tertahan. "Ya, orangnya emang ngeri banget. Dulu waktu gue ke sini dimintain uang buat beli rokok!"

"B-ba... bakpau eh, bapaknya, Pus?" ujar Gusur terbata-bata. "Kita pulang, yuk. K-ka... karena jimat kodok ini takkan mempan meski kita timpukkan berkali-kali ke kepalanya."

"I-iya, Pus, mending kita pulang dan lupakan aja soal si manis itu," Boim langsung setuju.

"Pala lo kotak! Gimana dengan adik gue?"

"Saya ngerti, t-tapi bapaknya itu..."

Saat itu bapaknya Drakuli yang juga berpenampilan serem, kayaknya baru mau berangkat tugas mengawasi kuburan-kuburan. Bapaknya Drakuli yang tinggi-gede gayanya emang nyeremin banget. Selain berewoknya yang seluruh muka, matanya merah, dan selalu mengasah-asah golok, bicaranya pun selalu pake nada-nada tinggi. Kira-kira ngomongnya di A minor!

Sementara itu kira-kira 314 meteran dari tempat Lupus, Gusur, dan Boim ngintip, tampak rombongan lain ikut mengendap-endap juga.

Yang jelas rombongan ini bukan ngendap-endap pengen ngintip, tapi datang ke situ buat menyelidiki misteri hilangnya patok-patok. Ya, mereka adalah rombongan tim penggusur dengan beberapa centeng dan dukun pilihan yang penasaran, pengen datang lagi ke kuburan. Pemimpin rombongan yang perlente itu tampak makin kesel sekali dengan kekalahan dukun sakti yang udah diutusnya untuk mengusir drakula. Nampaknya dia sedang memberi instruksi singkat, kayaknya agar berani menindak kalo ketauan siapa yang mencabuti patok-patok itu. Yang diberi instruksi, ajudan-ajudannya langsung aja bilang, "Siap, siapa, Pak!"

Ya, ternyata Bos yang perlente itu kini tak percaya lagi kalo yang mengganggu mencabuti patok-patok itu adalah drakula atau sejenisnya.

Tapi ini pasti ulah manusia yang mengadakan teror. Makanya ia balik lagi ke kuburan itu, sambil bawa centeng dan dukun buat persiapan, untuk menyelidiki langsung keadaan yang sebenarnya.

Sedang centengnya dengan wajah yang diserem-seremin, jalan di sam ping sang pemimpin rombongan dengan tatapan tajam dan penuh waspada. Seakan-akan orang yang dikawalnya itu adalah satu-satunya turunan yang bakal menyejahterakan keluarganya. Ya, ini bakal jadi lawan yang berat bagi Drakuli dan keluarganya.

Dukun-dukun pilihan yang disewa juga nggak kalah tekun menjalankan tugasnya. Dengan menggenggam obor, para dukun itu terus saja berkomat-kamit sambil sesekali menyembur-nyemburkan ludah mirip air ujan. Paling tidak, sikap para dukun dan para centeng itu bisa membuat tenang sang pemimpin yang punya rencana memborong tanah pekuburan itu untuk dijadikan pusat pertokoan dan kepentingan umum. Ya, pusat pertokoan itu sekarang ini sudah dianggap sebagai kepentingan umum dan penunjang pembangunan.

Sementara Drakuli, Kunti, Lulu, dan sang bokap sudah denger kalo malam ini bakal datang serombongan orang-orang yang mau menyelidiki soaI patol-patok. Ya, si Kunti, sodara sepupunya Drakuli itu yang jadi mata-mata, nyari info di sekitar kampung. Karena Kunti memang bebas berkeliaran.

Dan saat itu mereka telah mengatur siasat untuk menjebak orang-orang itu. Ya, mereka bakal membuat jebakan-jebakan serem untuk mengusir tim penggusur itu.

Gusur tercekat ketika Pak Gali yang serem itu seolah memandang ke arah dinding bilik, di mana mereka bertiga mengintip.

"W-wah, k-kita ketauan, Pus!" Cigi Gusur gemeletuk.

Lupus dan Boim ketakutan, dan langsung menyekap mulut Gusur. "Lo jangan teriak, dong!"

Pak Gali seperti memicingkan mata, dan menajamkan telinga. Lupus cs makin ketakutan setengah mati. Pak Gali lalu bangkit, dan sepertinya membisikkan sesuatu pada Drakuli. Lalu keduanya berdiri. Gusur dan Boim nyaris pingsan.

Tapi ternyata Drakuli, Kunti, Lulu, dan Pak Gali bergegas ke luar. Mereka bukan melihat Lupus cs, tapi mendengar suara gaduh di tengah kuburan.

"Para jahanam itu sudah datang!" ujar Pak Gali garang. "Mari kita sambut!"

Lupus cs yang udah ketakutan setengah mati, sebab mengira mereka yang bakal diapa-apain, menarik napas lega.

"Heh, mau ke mana mereka itu, kita ikutin, yuk?" ajak Lupus mengagetkan Gusur dan Boim yang dari tadi menundukkan kepala saking takutnya.

"I-kut ke mana, Pus?"

"Ikutin mereka, kayaknya mereka gak ngeliat kita. Tapi mau ngapa-ngapain, gitu. Ayo, jangan takut. Percuma, dong, kita bawa jimat kodok!"

Akhirnya Gusur dan Boim mau juga ngikutin ajakannya Lupus untuk membuntuti Drakuli cs yang sepertinya ingin melakukan sesuatu yang cukup menarik.

Tujuan Drakuli cs jelas ingin mengerjain tim rombongan dengan jebakan-jebakan. Mereka memang memasang aneka jebakan di setiap jalan yang bakal dilalui oleh tim rombongan. Misalnya memasang patung tengkorak yang digantung di pohon kemboja atau nyaru jadi setan-setanan dan ngumpet di balik batu nisan besar.

Juga nyiapin jebakan lubang berisi tai kebo, tali yang merentang jalan setapak, peluru kelereng, dan jebakan-jebakan yang mengerikan lainnya, seperti hantu-hantuan dan setan-setanan.

Dan jebakan-jebakan itu ternyata nggak jarang malah membuat Lupus, Gusur, atau Boim ketakutan setengah mati. Jadinya suasana di kuburan itu rame oleh suara-suara teriakan tertahan. Waktu CU5ur dan Boim teriak ngeliat patung tengkorak, rombongan tim penggusur terperanjat banget karena mereka mengira yang teriak itu setan kuburan. Sedang ketika tim penggusur yang teriak-teriak ketakutan melihat Drakuli yang nyaru jadi setan, giliran Lupus cs merinding bulu kuduknya, karena mengira ada serombongan setan yang teriak-teriak.

Suasana kuburan itu bener-bener jadi seru. Apalagi semua yang merasa takut, pada lari tunggang-langgang. Jebakan-jebakan yang dirancang dengan susah payah oleh Drakuli cs, cukup berhasil mengusir musuh.

Malah ada kejadian kocak. Pas Lupus cs dan rombongan penggusur itu pada amprokan, mereka saling teriak ketakutan. Ya, waktu Gusur amprokan sama salah seorang dukun yang komat-kamit, keduanya pun kontan histeris. Gusur mengira itu setan tua, sedang si dukun mengira itu tuyul bongsor.

Pada saat yang seru itu Lulu ngeliat Oom Agus, bapak yang suka main ke rumahnya, ada di antara tim penggusur. Ya, rupanya Oom Agus-lah kepala pemborong tanah pekuburan yang mau dia bikin jadi pusat pertokoan.

"Keparat! Ternyata Oom Agus yang jadi bos penggusuran ini! Oom Agus, Drak, Oom Agus!" teriak Lulu tertahan demi melihat orang yang sangat dibencinya itu.

Drakuli jelas bengong. "Oom Agus siapa?"

"Itu, oom-oom yang sering saya ceritain ke kamu. Yang nyebelin banget, karena suka ngajak jalan Mami. Ooo, ternyata dia, ya?!" Lulu berujar sengit.

"Jad-jadi?"

"Ya, musuh kita ternyata sama. Oom sialan itu memang jadi perusuh di mana-mana. Tenang, Drak, saya pasti bantu kamu terus, sampai si Oom sialan itu kapok! Dasar penjahat!" ujar Lulu berapi-api.

"Sst, tenang, Lu. Tahan dulu emosi kamu. Nanti rencana kita malah berantakan. Ayo kita masuk ke rencana penjebakan tahap dua!" Drakuli menenangkan Lulu.

Ya, tentu aja kebencian Lulu makin menjadi. Sedang Lupus sama sekali gak ngerti, kenapa ada Oom Agus di situ. Tapi yang Lupus tangkap, Drakuli cs pasti bermaksud nakut-nakutin rombongan dukun dan orang-orang itu. Apa pun alasannya.

Ya, berhubung Lupus emang rada sebel sama Oom Agus, karena secara gak langsung oom itu yang merusak keharmonisan di rumah Lupus, Lupus akhirnya memutuskan akan membantu Drakuli cs menjebak tim penggusur itu dengan ikut-ikutan nyaru jadi setan.

Niat spontannya itu langsung disampein ke Boim dan Gusur.

"Eh, lebih baik Boim aja yang nakut-nakutin, kan dia nggak perlu nyamar jadi setan-setanan lagi," usul Gusur.

"Alaa, lo juga nggak perlu nyaru juga udah mirip setan gendut!" balas Boim.

"Udah, jangan pada berantem. Sesama setan dilarang saling menghina, tau! Sekarang gini aja, kita bahu-membahu untuk mengusir orang-orang itu. Kita bantuin si Lulu dan Drakuli!"

Ya, akhirnya tanpa diketahui Drakuli cs, geng Lupus membantu memorak-porandakan tim penggusur itu. Mereka mulai bahu-membahu mengusir tim penggusur itu.

Dan karena jebakan-jebakan yang dibikin Drakuli cukup mengganggu, rombongan penggusur itu yang merasa belum siap mental, akhirnya kocar-kacir. Mereka mundur dulu. Mau mengatur strategi.

"Tunggu pembalasannya, ya!!!" terdengar gema suara Oom Agus, ketika satu per satu anak buahnya ada yang kejeblos liang yang berisi kotoran kebo, ada yang ujung jempolnya tertusuk duri-duri tajam, dan jebakan lainnya.

Drakuli cs bersorak-sorai.

Lupus cs juga.

Akhirnya mereka saling berpandangan kaget.

"Lho, kamu kok di sini, Pus?" tanya Lulu kaget.

Lupus cuma tersenyum. "Yang pasti, mereka gak bakal kabur tanpa bantuan kita-kita!"

"Oya?"

BAB 8 KISAH DRAKULI

SEJAK kejadian di kuburan kemaren itu, sikap Lulu jadi berubah sama Lupus. Ia mulai merasa menemukan Lupus yang dulu lagi. Yang selalu berpihak sama adiknya. Yang mau ngertiin kesulitan adiknya.

Lulu mulai sadar kalo Lupus adalah kakak yang emang patut disayangi. Yang bisa dipercaya. Makanya Lulu pun berminat mengajak Lupus pergi ke rumah Drakuli sore ini, untuk ngejelasin problem besar yang dihadapi Drakuli. Soal penggusuran yang dilakukan oleh orang yang ternyata adalah Oom Agus! Orang yang paling dibenci Lulu. Nah, siapa tau Lupus juga punya ide-ide cemerlang untuk memerangi musuh.

"Yuk, Pus, kamu ikut saya," bujuk Lulu dengan senyum manisnya.

Lupus mikir bentar. Ya, meski udah beberapa kali ke sana, hati Lupus masih juga kecut kalo disuruh ke kuburan.

"Ke rumah yang di tengah kuburan itu? Ih, ngeri, ah!" Lupus bergidik.

"Alaaaa, sebentar, Pus."

"Ogah, gue kapok."

"Kapok kenapa?"

"Ya, siapa tau kali ini kita ketemu setan betulan! Ini kan udah mau magrib!"

"Pus, masa kamu tega ngebiarin Lulu sendirian ke sana?"

"Lagian kamu, ngapain sih, ke sana melulu?"

"Penting, Pus. Drakuli mau nyeritain ke kamu soal problemnya. Soal penggusuran."

"Penggusuran?"

"Iya. Oom Agus yang kita benci itu ternyata si bos pemborong yang akan menggusur tanah keluarga Drakuli."

"Oya?"

Lulu lalu menjelaskan, itulah sebabnya kenapa ia sering banget berkunjung ke kuburan Drakuli. Semata-mata untuk membantu Drakuli mengatur rencana menggagalkan proyek penggusuran yang dilakukan semena-mena. "Makanya, kamu ikut aja biar jelas. Sekalian kita cari akal buat ngebantuin dia. Kasian lho, Drakuli! Kan dengan menolong dia, kamu udah jadi pahlawan, Pus."

"Bisa aja, lo."

"Bener."

"Tapi ada ongkos jalannya, dong!”

"Oke, gimana kalo tiga ratus perak!"

"Enak aja, kok makin kurang. Dulu aja, waktu nganterin lo ngasih surat, honornya lima ratus.”

"Ya, maunya berapa?"

"Seribu!"

Lulu mikir barang sedetik. "Iya, deh."

Mereka pun bersiap-siap. Lalu Lupus teringat sesuatu. Inget cewek itu.

"Eh, si Kunti ada nggak?"

"Kalo ada?"

"Ya, saya bisa semangat nganterin kamu ke sana, Lu. Kalo nggak ada yang bisa diliat, saya kan jadi males."

"Kalo gitu ada, kok!"

"Bener?"

"Bener. Jangankan Kunti, temennya aja ada yang kece, kok."

"Temennya dia?"

"Iya."

"Yang mana, sih?" Lupus jadi semangat.

"Ya, saya ini. Saya kan temennya dia.”

"Huu...."

Lupus dan Lulu pun berboncengan nai sepeda ke rumah Drakuli. Sampe di sana, lagi-lagi Lupus ketakutan. Masih nyesel lagi, kenapa mau diajakin ke sini.

"Mana Kunti-nya, Lu?" Lupus berusaha menekan rasa takutnya.

"Kiti temuin Drakuli dulu, dong. Ntar baru tanya ama dia."

Tapi begitu Lupus ketemu Drakuli, dia masih rada-rada ngeri. Apalagi kali ini Drakuli pake jubah hitam yang lusuh dan... dan... baunya begitu apek! Siapa tau tu orang emang udah berubah jadi drakula!

Ketika Drakuli mengulurkan tangan kepada Lupus, Lupus nggak berani nerima.

"Kenapa?" tanya Drakuli.

"A-anu tangan saya lagi gatel-gatel, takut nular ke kamu."

"Nggak apa-apa, baru gatel..."

Tapi Lupus tetep nggak mau. Lupus bukan cuma takut ama Drakuli yang hari itu berpenampilan seperti drakula, tapi juga dengan suasana di sekitar situ yang nampak makin angker.

Rumahnya Drakuli yang bentuknya kayak rumah hantu, terus pekarangannya yang banyak bergeletakan peti mati tua. Belum lagi cara Drakuli menyeringai, hiii... Lupus bener-bener bergidik. Itu semua menghantui pikirannya. Selalu mengganggu mimpi-mimpinya.

Dan Lupus baru ngeh juga kalo Lulu itu bisa akrab dengan Drakuli yang mahaserem itu. Dari jauh rambutnya Drakuli yang gondrong itu memang mirip anak metal, tapi dari deket, Drakuli jadi mirip anak setan! Lupus meraih tangan Lulu dan berbisik, "Eh, Lu, kenapa kamu mau main-main sama anak setan?"

"Siapa yang anak setan?"

"Ssst, jangan keras-keras. Itu kan anak setan, liat aja penampilannya kayak drakula."

"Dia itu memang begitu, Pus. Kan kamu udah tau. Gayanya nyentrik, lain daripada yang lain. Udah kalo kamu takut kamu pulang duluan," ujar Lulu kesel karena kepenakutan kakakya gak ilang-ilang.

"Enak aja. Kamu kira nggak serem jalan ke depan sendirian. Katanya Drakuli mo nyeritain problemnya."

"Makanya, yang tenang, dong.”

"Eh, Drak, K-kunti mana?" Lupus akhirnya berani membuka percakapan dengan Drakuli.

Drakuli tersenyum. "Udah pulang."

"Pulang?"

"Iya, Kunti kan sodara sepupu saya. Dia gak tinggal di sini. Kadang-kadang aja dia nginep di sini."

"Alhamdulillah...." Lupus lega.

"Lho, kok alhamdulillah?" Lulu bengong.

Lupus tersenyum penuh arti. "Ntar bisa minta alamatnya, kan?"

Ya, pikir Lupus kalo ngapel ke kuburan sini kan mengerikan sekali. Syukurlah Kunti gak tinggal di sini.

"Boleh," ujar Drakuli tersenyum menggoda. "Alamatnya, di kuburan Tanah Kusir. Pas di tengah-tengahnya. Mau main ke sana?"

"Ha?" Lupus terbengong. Astaga, apa semua keluarga Drakuli gak ada yang bener kalo nyari lokasi perumahan?

Lulu, dan Drakuli yang asyik duduk di atas nisan, jadi cekikikan, membuat Lupus tambah mengkeret aja nyalinya.

Tapi kemudian Drakuli ngerasa ia udah keterlaluan sama Lupus. Anak itu pada dasarnya baik, pikir Drakuli. Sama baiknya dengan Lulu. Dan bisa dipercaya. Maka Drakuli pun mendekati Lupus. Merangkul pundaknya, dan mengajak bergabung duduk di atas nisan. Lupus agak ragu.

"Maapin saya, ya, Pus, kalo selama ini suka nakut-nakutin kamu. Saya gak bermaksud jahat, kok. Cuma jaga-jaga aja, siapa tau kamu seperti anak lain yang suka memusuhi saya. Tapi ternyata kamu enggak. Kamu mau main ke sini. Dan mau nolongin saya ngusir para penggusur kemaren malem," ujar Drakuli sungguh-sungguh.

Lalu Drakuli cerita tentang masa lalunya. Ya, masa kanak-kanak Drakuli dilalui dengan penuh keprihatinan dan kesederhanaan. Ibu Drakuli yang cantik meninggal setelah melahirkan Drakuli. Jadi Drakuli sama sekali belum pernah melihat wajah ibunya.

Lulu, meski udah sering mendengar cerita Drakuli, masih saja menitikkan air mata setiap kali mendengarnya. Ya, dia gak kebayang, hidup tanpa ibu gimana rasanya.

"Kamu jangan nangis dong, Lu, soalnya saya masih mau ngelanjutin cerita ini ke Lupus. Nangisnya ntar aja ya, Lu!" kata Drakuli mengingatkan.

"Nggak, saya nggak nangis, kok, Drak, saya cuma kelilipan," jawab Lulu.

Dan Drakuli kembali melanjutkan ceritanya.

"Iya, Pus, masa kecil saya emang susah banget, deh. Kerjaan bapak saya nggak jelas. Kadang jadi centeng orang-orang kaya, kadang jadi kuli bangunan, malah kadang nggak pulang sampe beberapa hari."

"Wah, ke mana tuh, Drak, minggat?" Lupus terkesiap.

Jawaban Drakuli kalem, "Nginep di rumah sodaranya!"

"Sendiri?" Lupus masih terkesiap.

"Nggak, saya juga diajak."

"Terus sedihnya di mana tuh, Drak?" Lupus jadi mesem.

"Wah, jadi ceritanya yang tadi kurang tragis ya, Pus?" tanya Drakuli.

Lupus menggeleng. "Kurang banget deh, Drak. Mestinya kan kamu cerita, kamu ditinggal pergi sama bokap kamu di saat hujan deras. Sementara kamu hampir mati kelaperan. Petir menggelegar. Sedang genting rumah kamu pada bocor. Akhirnya rumah kamu kebanjiran. Dan kamu hanyut dibawa banjir. Dan... dan..."

"Dan saya mati?" sungut Drakuli dengan muka masam.

"Hihihi, ya...."

"Kalo gitu sekarang saya setan, dong!"

Lupus bergidik lagi. Hiiii!

Drakuli kemudian melanjutkan ceritanya lagi. Cerita yang sedih-sedih. Kata Drakuli sejak kecil ia nggak pernah diajak ke Dufan,. PRJ, nonton di cineplex, nginep di Puncak, atau jalan-jalan ke Bali, dan jarang banget punya baju bagus, karena Pak Gali memang jarang ngebeliin Drakuli baju baru berhubung keuangan yng menjepit.

"Dan jubah ini ada sejarahnya Juga, lho,” kata Drakuli nyombong seraya mengibas-ngibaskan ujung jubahnya. Lupus cepat-cepat memalingkan mukanya karena tercium bau-bau kurang enak. Bau seperti kaus kaki yang udah tiga bulan nggak dicuci. Tapi ini lebih sengak lagi.

"Sejarah? Kayak perang Diponegoro gitu?” tanya Lupus setelah bersin beberaa kali.

"Begini..." Drakuli lalu bercerita kalo Jubah hitamnya itu sebetulnya terbuat dan poster bioskop. Poster itu dicolong oleh Pak Gali dari bioskop dekat pasar. Saat itu poster itu lagi dipasang. Dan Pak Gali nyolongnya malem-malem saat bioskop udah lama bubaran. Untungnya penjaga-penjaga bioskop lagi tertidur pulas. Dengan segala keahliannya akhirnya Pak Gali berhasil nyolong poster itu dari tempatya. Walhasil, keesokan paginya pemilik bioskop jadi kalang-kabut dengan ilangnya poster itu. Mana filmnya masih mau diputar beberapa hari lagi.

Nah, poster bioskop itulah yang lalu di-wan-tek item sama Pak Gali, kemudian dibikin jadi jubah. Sebab mau dibikin jadi blaser, Pak Gali nggak bisa ngejaitnya. Sedang kalo mau dijait ke garmen, ongkosnya pasti mahal. Jadi biar praktis, ya. dibikin jubah aja. Untungnya Drakuli girang banget menerima jubah itu. Dan jubah itulah yang kemudian jadi pakaian kegemaran Drakuli.

Dan selain jubah itu, boleh dibilang Drakuli hampir nggak punya pakaian lain lagi. Ada juga seragam sekolah. Tapi kan nggak bisa dipake sembarang waktu. Soalnya bisa cepat rusak. Nanti repot belinya lagi.

Itulah sebabnya Drakuli kerap memakai jubah kalo keabisan baju. Padahal Drakuli orangnya ganteng dan hatinya baek, tapi tetap aja dengan jubah itu Drakuli jadi terkesan aneh dan nggak sedikit orang yang menganggap Drakuli gila. Orang sekarang kan memang lebih suka menilai orang lain dari penampilannya, bukan dari hatinya. Itu makanya Drakuli jadi sulit bergaul. Drakuli jadi kuper karena memang nggak aqa anak-anak yang mau bergaul dengan Drakuli. Anak-anak itu takut. Takut ketularan aneh dan gila.

"Akhirnya saya jadi terkucil, Pus," kata Drakuli pada Lupus dengan mimik sedih.

Dan Drakuli ngomong lagi kalo dia sebetulnya juga mau idup normal kayak anak-anak yang lainnya. Tapi keadaan memaksa begitu. Orang-orang udah telanjur nggak percaya sama Drakuli. Segala tindak-tanduk Drakuli dicurigai.

"Untung ada kamu berdua. Lupus dan Lulu yang mau ngertiin saya, dan mau bergaul dengan saya dengan hati yang tulus." Drakuli mengakhiri ceritanya sambil mengusap air mata.

Lupus jadi terharu.

"Dan sekarang tanah warisan kamu ini akan digusur?" tanya Lupus makin iba.

"Ya, begitulah, kenyataannya beginL" Drakuli lalu bercerita banyak tentang niat orang yang berusaha merebut tanahnya. Dan juga tentang usaha Drakuli mencabuti patok-patok yang ditanam.

Dan Oom Agus yang kebetulan jadi anemer proyek yang konon buat kepentingan pemerintah itu. Alasannya, demi kemajuan pembangunan. Karena itu semua masyarakat diminta berkorban. Karena tanpa pengorbanan dari masyarakat, yang namanya pembangunan nasional itu nggak akan tercapai. Ah, masyarakat kecil memang selalu dijadikan dalih, ya? Maka wajarlah jika masyarakat di sekitar situ, yang tanahnya bakal dibongkar, protes keras. Termasuk Pak Gali yang punya tanah paling luas. Tapi Oom Agus dengan segala kelicikannya terus-terusan menghasut dengan dalih pembangunan. Katanya, masyarakat yang membangkang kebijaksanaan pemerintah, sama artinya dengan ingin memacetkan roda pembangunan nasional. Dan masyarakat yang ingin memacetkan pembangunan bisa digolongkan subversif.

"Lagi pula, tanah ini adalah milik pemerintah yang kalian huni secara liar. Dan kini letaknya nggak sesuai lagi dengan tata kota yang terus mengalami perkembangan. Jadi kalian nggak punya hak mempertahankannya. Kalian harus menyerahkan tanah ini pada pemerintah dengan ganti rugi yang sudah ditentukan. Kalian jangan memaksa pemerintah melakukan kekerasan, ya!" begitulah kalimat Dom Agus yang ditirukan Drakuli dengan pas sekali. Soalnya Drakuli nyeritainnya dengan suara diberat-beratkan dan bergaya mirip Oom Agus.

Tapi waktu itu, kata Drakuli melanjutkan, Pak Gali nggak peduli. Dia tetap mempertahankan tanahnya. Padahal banyak penduduk sekitar yang udah pasrah, dan rela tanahnya digusur. Padahal lagi, Pak Gali nggak punya sertifikat sebagai tanda bukti pemilikan tanah itu, karena tanah yang sekarang didiami Pak Gali adalah warisan turun-temurun. Tapi Pak Gali nggak peduli. Pak Gali sadar betul kalo oom Agus cuma mau menipu. Dan dalih penggusuran tanah itu untuk kepentingan pemerintah, sebetulnya ditujukan buat proyek pusat perbelanjaan. Maklum, meski cuma areal pekuburan, tanah milik Pak Gali termasuk dalam kawasan segitiga emas. Jadi banyak investor yang ngiler mau memanfaatkan tanah itu. Apalagi tanah Pak Gali amat luas.

Banyak sebab yang membuat Pak Gali mempertahankan tanahnya. Pertama, karena tanah itu tanah warisan dan harta kekayaan satu-satunya yang menghidupi keluarga. Tapi yang bikin Pak Gali keki, anemer yang akan menggusur tanah itu memberikan ganti rugi di bawah standar, sehingga nggak sesuai sama luas tanahnya. Padahal menurut sas-sus yang diketahui Pak Gali, investor yang mengincar tanah itu udah memberikan ganti rugi yang cukup besar. Tapi disunat gila-gilaan oleh si anemer, yang dalam hal ini adalah Oom Agus. Itu kan namanya mau cari untung sendiri dengan mengorbankan penderitaan orang lain. Maka wajarlah jika Pak Gali dan Drakuli jadi uring-uringan, dan berusaha mengusir oom Agus sebisa mungkin agar mengurungkan niatnya. Kalaupun akhirnya digusur, ya, berilah ganti rugi yang sesuai. Pak Gali kan juga mau hidup.

"Begitulah ceritanya, Pus. Dan sekarang kami masih dalam usaha mengusir Oom Agus dan antek-anteknya," kata Drakuli mengakhiri ceritanya.

Lupus termenung setelah mendengar cerita Drakuli. Berpikir sejenak, dan akhirnya berujar perlahan, "Kalo gitu kita harus sama-sama mengusir orang-orang jahat itu!"

Drakuli tercenung. Lalu memeluk Lupus erat-erat Lupus tentu aja gelagapan mencium bau apek jubah Drakuli. Uhuk, uhuk, uhuk!

BAB 9 MAMI IS BACK!

SORE pukul lima, cericit serombongan burung gereja meramaikan genting rumah Lupus. Udah sejak lama pohon nangka yang tumbuh di halaman belakang rumah Lupus dijadikan sarang oleh burung-burung gereja itu. Dan tiap sore sebelum pulang ke sarangnya setelah seharian mencari makan, burung-burung gereja itu hinggap dulu di genting untuk bersenda-gurau. Saling patuk, dan saling kejar-kejaran, hingga suasananya ramai sekali.

Keceriaan sore itu mewarnai tiga orang anak yang asyik bermain halma di teras belakang rumah. Lupus, Lulu, dan Drakuli.

Mereka duduk bertiga mengelilingi meja.

Lupus tersenyum penuh arti sambil ngedorong biji halmanya ke dalam bidang segitiga merah yang ada di seberang. Slup! Biji halma yang berbentuk topi badut berwarna merah itu pun langsung bertengger di ujung kiri bidang segitiga merah yang hampir seluruhnya terisi oleh biji-biji halma Lupus. Tinggal beberapa langkah lagi, dan tinggal tiga biji halma lagi yang harus masuk ke bidang segitiga merah itu, maka Lupus akan keluar sebagai pemenang. Dan Lupus pun berhak menikmati tiga batang Toblerone yang tergeletak pasrah di meja. Makanya Lupus senyum-senyum saja sejak tadi, dan melupakan cericit burung-burung gereja, sambil membayangkan manisnya batang-batang Toblerone itu.

"Udah deh, pada nyerah aja deh!" tukas Lupus bernada mengejek.

Lulu dan Drakuli yang menjadi lawan mainnya cuma bisa memasang tampang tegang campur kesel. Terutama Lulu. Kalo Drakuli sih masih sedikit rada cuek. Lulu kesel sama Lupus yang dari tadi ngoceh melulu. Ada aja yang diomongin. Nggak tau, ya, kalo bibirnya udah biru? Sebentar lagi juga item, sungut Lulu dalam ati.

Dan Lulu jadi gelisah. Lupus masih cengengesan. Drakuli bengong mikirin biji-biji halmanya. Lalu terdengar suara keresek-keresek di kolong meja. Ternyata kaki Lulu yang dibungkus sndal jepit warna pink lagi sibuk ngegiles-giles kulit kacang yang berserakan di kolong meja.

"Sekarang kamu kan yang jalan?" tanya Lupus.

Pertanyaan Lupus nggak dijawab. Lulu langsung ngedorong biji halma birunya. Ah, cuma bisa dua langkah. Berarti nggak bisa masuk ke segitiga biru yang ada di seberang. Padahal masih banyak lagi biji halma yang harus dimasukin Lulu ke dalam segitiga biru itu, alias bidang segitiga biru yang ada di seberang masih banyak yang kosong.

"Wah cuma dua langkah aja, Lu. Kok irit amat, sih?" Lupus kembali mengejek. Tapi Lulu berusaha cuek dengan mencomot kacang kulit yang ada di piring. Lulu membuka kacang kulit itu, dan membuang isinya ke udara sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Pluk! Akhirnya kacang itu jatuh ke mulut Lulu.

"Sekarang kamu yang jalan, Drak! Jangan bengong melulu, dong!" Drakuli yang lagi bengong kaget dengan teguran Lupus barusan.

"I-iya, saya jalan!" kata Drakuli tergagap sambil buru-buru ngedorong biji halmanya. Wah, cuma bisa satu langkah. Padahal Drakuli mikir jalannya udah dari tadi. Tapi cuma bisa satu langkah. Terus terang Drakuli emang nggak bisa main halma. Drakuli bisanya cuma main selepetan dan tarzan-tarzanan dengan gelayutan di pohon sawo dekat rumahnya. Dan ternyata baru sekali ini Drakuli main halma. Itu pun karena dipaksa-paksa Lulu dan Lupus. Sementara Lupus emang jagonya main halma. Pantes aja kalo Drakuli kalah, dan baru tiga biji halma yang berhasil dimasukkan Drakuli ke dalam bidang segitiga kuning di depannya. Maka wajarlah jika akhirnya Lupus keluar sebagai pemenang dalam pertandingan itu. Dan berhak ngeborong semua Toblerone yang berserakan di meja. Sedang Lulu hanya bisa nginyem ngeliat Toblerone kesayangannya disikat Lupus. Mana tadi Lulu sempat nalangin Drakuli sebatang Toblerone dalam pertandingan itu. Jadi Lulu sekali kalah dua Toblerone. Apa nggak nyesek?

Tapi lepas dari kemenangan itu, sebetulnya inilah awal Lupus membuka diri terhadap Drakuli. Ya, sejak Drakuli blak-blakan nyeritain tentang dirinya kemaren sore, Lupus sedikit-sedikit mulai mengerti keadaan Drakuli. Lupus mulai memaklumi kenapa Drakuli berdandan aneh kayak gitu, dan udah bisa nerima kalau Drakuli main ke rumah Lupus lalu bersenda-gurau dengan Lulu. Malah sekali waktu ikutan nimbrung, seperti hari ini dengan main halma bersama.

Cuma Mami, yang mengintip dari balik gorden, keliatan sedih. Ia seperti dimusuhi, karena Lupus ternyata udah bisa akrab sama Drakuli.

Ah, Mami. Kenapa situasi gak enak ini bisa terjadi?

"Dan saya nanti mau bilangin ke temen-temen buat ngelaksanain rencana lusa malam ngebantuin kamu, Drak," ujar Lupus sambil menggeser biji-biji halmanya.

"Oh, trims, Pus." Drakuli mengangguk.

Mami tercekat lagi. Lupus ngebantuin Drakuli? Ngebantuin apa?

Dan sore itu ketika Drakuli pamitan pulang, Mami melihat Lupus buru-buru mengemasi halmanya.

"Halma ini boleh kamu bawa pulang, Drak. Kamu latihan deh, di rumah, nanti kalo udah jago boleh ngelawan saya," tawar Lupus sambil menyodorkan halmanya.

"Makasih, Pus!" sambut Drakuli antusias. Tapi ketika Drakuh mau beranjak, Lupus buru-buru menyetopnya.

"0 iya, saya nitip Toblerone, ya? Yang satu buat kamu, yang satunya lagi buat Kunti kalo kebetulan nginep lagi di rumah. Bilang dari saya, Jangan dari Boim," kicau Lupus seraya menyerahkan dua batang Toblerone.

Drauli tersenyum, sambil mengucapkan terima kasih.

Pas Drakuli sampe di pekarangan depan, Lupus berteriak lagi, "Jangan lupa bilang juga saya kangen sama dia. Boleh, kan?" '

Drakuli mengangguk. Tersenyum. Lalu pergi.

Seperginya Drakuli, Mami di kamar masih merenung. Siapa lagi cewek yang bernama Kunti itu? Mami bener-bener merasa sendirian.

***

Boim lagi sibuk membetulkan kandang ayamnya yang diterobos musang sehingga beberapa ayam kesayangannya ilang, ketika sekonyong-konyong Lupus ngejedul di depannya.

"Eei, Im, tumben lo rajin!" sapa Lupus keras seraya menggedor pundak Boim.

Boim kaget setengah mati, membuat martil yang ada di tangan terpental dan jatuh tepat di jempol kakinya.

"Aduh!" teriak Boim kesakitan. "Lupus lain kali kalo negor orang ati-ati, dong!" maki Boim sambil mengusap-usap jempolnya yang gepeng kayak bet pingpong.

Tapi Lupus malah cekikikan. Sedang Boim masih bersungut-sungut.

"Alaah, udah lupain aja peristiwa barusan, Im. Gue punya keperluan penting, nih!"

"Keperluan apa?"

"Ya, lo kan tau, kalo nggak penting-penting banget, gue nggak bakalan ke sini. Eh, iya, mana tuh pembantu lo yang centil?" cerocos Lupus, yang walaupun katanya ada persoalan penting, tapi masih sempet-sempetnya nanyain pembantu Boim.

Tapi Lupus lantas membeberkan soal rencananya ngebantuin Drakuli mengusir orang-orang yang ingin merampas tanahnya.

"Gimana, tertarik?" tawar Lupus pada Boim.

Boim menanggapi males-malesan.

"Ya, bolehlah!" jawab Boim.

"Kalo gitu, lo cepet ganti baju. Sekarang kita ke rumah seniman sableng."

"Ntar-ntaran dulu kek, Pus, gue kan masih capek seharian ngebetulin kandang ayam."

"Alaaaah, udah deh, sono cepet!" paksa Lupus seraya mengusir Boim dengan mendorong-dorongnya. Boim terpaksa mengalah, dan buru-buru mengganti kolornya dengan celana jins.

Mereka lalu berangkat ke rumah Gusur dengan mengendaral motor bututnya Boim.

Nggak lama perjalanan ke rumah Gusur, akhirnya Lupus dan Boim sampe. Lupus langsung mengutarakan maksudnya, yang langsung dapat sambutan antusias dari Gusur.

"Oke, Pus, oke. Daku setuju sekali, tuh. Tapi tolong bayarin somai ini dulu, ya!" pinta Gusur yang emang lagi makan somai, tapi belum dibayar.

"Ha?" Lupus langsung kaget.

"Ayolah, Pus. Sekali-sekali," pinta Gusur maksa.

"Sekali pala lo peyang. Tiap gue ke sini pasti ada aja yang lo suruh gue bayarin. Bukannya lo sebagai tuan rumah nyuguhin gue. Eh malah gue yang nyuguhin elo," kata Lupus keki, tapi nggak urung menyodorkan selembar ribuan kepada Gusur. Dan Gusur baru aja mau beranjak, ketika dari ambang jendela tiba-tiba muncul seraut wajah yang jarang disetrika, sehingga nampak begitu keriput. Dan itulah wajah engkongnya Gusur.

"Eh iya, Pus, sekalian bayarin punya Engkong, ya?" teriak si Engkong sambil mengacung-acungkan piring bekas somai. Rupanya si Engkong juga baru aja makan somai.

"Ha?" Lupus kembali kaget. "Cucu sama engkong kok nggak ada bedanya!" maki Lupus.

Boim langsung cekikikan. Kik..kik..kik.

"Rasain deh lo, Pus, sekarang kena deh lo dikerjain," sembur Boim kegirangan.

Tapi jauh di dasar hati, sebetulnya Lupus sangat girang, Gusur mau membantu rencananya membela perjuangan Drakuli. Dan sekali-sekali beramal sama engkongnya Gusur kan nggak apa-apa.

"Terus terang, Pus, daku punya trauma dengan soal gusur-menggusur ini. Karena itu daku benci dan ingin menentang penggusuran, kalau itu hanya menyengsarakan masyarakat," cetus Gusur sekembali dari ngembaliin piring somai.

Gusur lalu bercerita panjang-lebar kalau kelahirannya bertepatan dengan penggusuran. Saat itu ibunya tengah hamil tua. Tiba-tiba datang serombongan tim penertib yang tanpa permisi lagi langsung memorak-porandakan rumah Gusur yang memang tinggal di daerah kumuh. Bapak Gusur kebetulan nggak ada di rumah, karena lagi sibuk nyari beling. Saat itulah Gusur lahir menatap dunia. Gusur menjerit keras sekali, tapi tim penertib nggak peduli. Bahkan Gusur yang masih berupa bayi merah bersama ibunya dibawa ke tempat penampungan. Dan itulah yang membuat Gusur terpisah dari bapaknya, karena begitu bapaknya pulang sehabis mencari beling, dijumpainya rumahnya telah rata dengan tanah. Bapak Gusur mencari-cari ke mana keluarganya pergi. Tetapi tidak pernah ketemu, sampai kini, sampai Gusur menjelang dewasa dan tumbuh menjadi remaja yang rada sarap. Ya, gimana mau ketemu kalo sejak bayi Gusur dibuang ibunya ke tong sampah, dan dipungut oleh seorang bapak tua yang nggak jelas identitasnya. Bapak itu baru aja pulang dari kerjanya sebagai pegawai negeri di Departemen Kehakiman, ketika tiba-tiba dilihatnya seorang bayi yang menjerit-jerit di tong sampah. Kebetulan bapak tua itu seorang duda tanpa anak. Akhirnya Gusur kedl diambil dan dipelihara hingga dewasa. Bapak itulah yang kemudian jadi engkongnya Gusur. Hingga kini.

"Begitulah kisahnya, Pus, kenapa daku akhirnya bernama Gusur. Sekarang daku ingin sekali melihat wajah orangtuaku!" kata Gusur sambil terisak.

Boim dan Lupus melongo. Ya, setelah berkawan sekian lama, ia baru tau kisah tragis sobatnya ini. Karena dari dulu Gusur selalu menutup-nutupi, dan gak mau cerita kejadian yang sebenarnya. Di samping Gusur sendiri baru tau setelah umur enam belas tahun, diceritain engkongnya. Karena Gusur dianggap udah cukup dewasa, cukup kuat nerima kenyataan pahit seperti itu.

Lupus dan Boim juga ikut-ikutan terisak.

"Kisah hidup kamu tragis ya, Sur. Tapi kalo kamu pengen banget ngeliat tampang ibu kamu, coba aja kamu pake rok. Rasanya nggak jauh beda!" saran Boim. Dan Gusur mengangguk-angguk.

"Ah, udah deh, Sur. Jangan nangis. Kita toh gak bisa mengubah takdir. Dan untunglah kamu ternyata cukup tegar menerima kenyataan pahit ini. Kamu hebat. Tapi daripada mengingat-ingat peristiwa sedih, mending kila merencanakan persiapan buat besok malem!" saran Lupus. Ketiganya lalu berkemas-kemas, mempersiapkan segala sesuatu yang dibuluhkan untuk membantu Drakuli.

***

Kini masalah membantu Drakuli udah selesai. Dan Lupus ngerasa punya tugas satu lagi, yaitu memperingatkan Mami soal Oom Agus.

Ya, sore ini, sepulang dari rumah Gusur dan Boim, Lupus dan Lulu sepakat mau menegur Mami. Mau menjelaskan siapa Oom Agus itu. Dan menyarankan sebaiknya Mami gak usah berhubungan sama orang yang walaknya culas seperti itu.

Tapi jelas, negur orangtua itu gak semudah negur si Boim. Lupus dan Lulu kudu atur strategi. Kudu nyari waktu dan tempat yang pas, biar gak terjadi salah paham.

"Kamu aja, Lu, yang ngomong ke Mami. Kamu kan cewek. Biasanya sesama cewek lebih enak kalo bicara," ujar Lupus berbisik.

Saat itu mereka liat Mami lagi bengong aja sambil nonton tipi.

"Aaah, Lupus aja, deh. Kamu kan yang tuaan."

"Aduh, saya gak tega, Lu. Takut Mami tersinggung," ujar Lupus lagi sambil mendorong Lulu, ketika dua anak itu sedang mengendap-endap di balik tembok.

Lulu jadi terperosok kena tumpukan kardus katering.

Mami kaget, lalu menoleh.

Diliatnya Lulu udah cengar-cengir, sambil ngeberesin kolak katering yang tadi udah disusun rapi sama Mami. Mami mengernyitkan alis.

"Eh, M-mi, i-itu Lupus t-tadi yang ngejorokin."

Mami cuma diam. Dan Lulu dan Lupus baru tau kalo saat itu tampang Mami kayaknya lagi kusut banget. Mikirin sesuatu.

"E-eh, Mi, s-ssebetulnya Lupus m-mau ngomong s-sesuatu...," ujar Lulu merasa udah telanjur kepergok ngintip Mami.

"Enggak, Mi. Lulu yang mo ngomong!" kata Lupus sewot sambil keluar dari persembunyiannya.

"Ngomong apa?" lanya maminya dengan suara dalar.

Selesai membereskan kardus, Lulu duduk menyelonjor di dekat kaki Mami.

"A-anu, Mi, Lulu mau cerita tentang problem temen Lulu yang namanya Drakuli itu." Lalu Lulu pun mulai bercerita dari awal, tentang penggusuran tanah pemakaman milik keluarga Drakuli yang uang gantinya tak sesuai. Dan Lupus menambahkan soal Oom Agus.

"Mami harus hati-hati sama Oom Agus," Lupus berkata hati-hati. "Lupus sebetulnya sih nggak mau mengganggu hubungan Mami sama Oom Agus, walo Lupus jelas-jelas nggak suka Mami punya hubungan khusus sama Oom Agus. Kalo Mami suka sama Oom Agus, itu adalah hak Mami. Lupus juga bisa mengerti perasaan dan kebutuhan Mami. Tapi sebagai anak kan boleh Lupus mengingatkan. Sebab Lupus liat Oom Agus itu bukan orang yang baik!"

Mami yang tangannya memegang kapas, bekas membersihkan muka pakai susu pembersih, tak bereaksi. Kapas di tangan Mami diremas-remas oleh Mami hingga berbentuk seperti muka nenek-nenek yang keriput. Lupus jadi cemas juga. Takut Mami tersinggung. Sebab selama jadi anak Mami, rasanya Lupus belon pernah ngeliat sikap Mami yang seperti itu. Lulu memandang ke arah Lupus dan ke arah Mami berganti-gantian. Pita warna-warni yang hari itu menghiasi rambut Lulu jadi bergoyang-goyang seperli kupu-kupu.

"Ng... Mami marah, ya?" tanya Lulu kemudian.

"Iya... Mami marah ya, Lupus ngomong kayak tadi?" timpal Lupus.

Mami masih tetap diam. Lulu lalu berdiri, hingga Mami terkejut, dan kapas di tangannya terjatuh. Kemudian terdengar isak Lulu yang memilukan.

"Mi..., Lulu sayang Mami. Betul, Mi. Lulu tau, Lulu nggak berhak melarang-larang Mami. Lulu tau, Lulu nggak berhak memiliki Mami sepenuhnya. Mami juga perlu sesuatu untuk membahagiakan diri Mami. Tapi kenapa harus Oom Agus sih yang Mami pilih? Apakah nggak ada oom-oom lain yang lebih baik dari Oom Agus?"

Lupus memeluk pundak Lulu, dan membimbingnya ke kamar. Lulu menangis di pundak kakaknya.

"Kita harus memberi waktu Mami untuk berpikir," bisik Lupus lembut.

***

Sinar mentari pagi menerobos memasuki jendela kamar Lupus seiring dengan cericit burung gereja yang meninggalkan sarangnya. Sinar mentari yang hangat-hangat kuku itu langsung jatuh menimpa muka Lupus. Lupus tergeragap. Dikucek-kuceknya matanya. Dan Lupus ampir bobo lagi, kalo nggak sebuah sapaan lembut keburu memanggilnya.

"Lupus..., bangun, ini udah siang, lho!"

Lupus membuka matanya pelan-pelan. Di depannya diliatnya Mami berdiri dengan senyum yang manis sekali. Eh, tumben sepagi ini Mami udah dandan. Mami keliatan cantik sekali. Memang akhir-akhir ini, sejak kenal Oom Agus, Mami kembali kayak anak puber. Suka berdandan rapi. Tapi biar gitu Mami juga nggak pernah dandan sepagi ini. Biasanya Oom Agus kalo datang ke rumah kan pas menjelang malam, atau siang hari. Nggak pernah pagi-pagi, karena Mami masih sibuk ngurusin katering.

Tapi pagi ini Mami udah berdandan rapi sekali. Walau baju yang dikenakannya adalah baju-baju lama, tapi tetap terkesan Mami berusaha untuk tampil beda. Lagi pula nggak biasa-biasanya Mami menghadiahkan satu senyum manis buat Lupus sepagi ini. Ada apa?

Lupus pelan-pelan bangkit dari tidurnya. Memandang Mami sebentar. Kemudian duduk di tepi ranjang, sebelum akhirnya berkukuruyuk panjang sekali di ambang jendela sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Ih, emangnya Lupus ayam? Tapi pagi itu Lupus emang lagi berpura-pura jadi ayam. Mami aja sampe ketawa cekikikan.

"Lupus, apa-apaan sih kamu!" teriak Mami sambil masih menyisakan senyum di bibirnya. Lupus nggak ngejawab, tapi malah berkukuruyuk sekali lagi. Suaranya panjang dan melengking, "Kukuruyuuuuuk...."

Mami masih mengguncang-guncang pundak Lupus, ketika akhirnya Lupus menarik tangan Mami. Dan menyeretnya hingga mendekati ambang jendela.

"Lupus, apa-apaan sih kamu!" pekik Mami terseret-seret.

"Mami suka nggak kalo Lupus berkukuruyuk terus!" tukas Lupus sambil melepaskan tangan Mami.

Mami lalu menepuk-nepuk kepala Lupus sebelum akhirnya ngejawab, "Ya nggak dong, emangnya anak Mami ayam apa?"

"Nah, Lupus masih akan berkukuruyuk terus kalo Mami nggak jawab pertanyaan Lupus."

"Pertanyaan apa?" Mami jadi kebingungan.

"Kenapa pagi-pagi begini Mami udah dandan secakep ini. Mau pergi sama Oom Agus lagi, ya?" tanya Lupus bernada merajuk, lalu langsung berkukuruyuk lagi sebagai tanda protes.

Tapi Mami malah cekikikan geli.

"Kukuruyuuuk...!" kokok Lupus lagi.

"Lupus, udah ah. Kamu kok sekarang cemburuan banget, sih?" tukas Mami sambil mengguncang-guncang bahu Lupus.

"Terserah Mami mau bilang apa. Tapl kalo pagi ini Mami mau pergi sama Oom Agus lagi, Lupus mau berkukuruyuk terus. Dan ntar malam Lupus nggak mau tidur di sini, tapi tidur di kandang ayam. Biarin, pokoknya Lupus mau jadi ayam. Lupus emang udah lama janji kalo frustrasi mau jadi ayam. Nah, sekarang lagi frustrasi gara-gara Mami, jadi Lupus mau jadi ayam!" rajuk Lupus.

"Lupus..., Lupus..., jangan suka berprasangka buruk dulu, dong. Belon diselidiki, belon ditanya, kok udah ngambek gitu, sih. Percayalah, hari ini Mami nggak dandan buat Oom Agus. Mami udah nggak punya hubungan lagi sama Oom Agus. Kan kamu dan Lulu yang memintanya kemarin," ucap Mami panjang-lebar.

"Ah, yang bener, Mi?" Lupus terpekik kegirangan.

Mami tersenyum.

"Terus kalo bukan buat Oom Agus, lalu sekarang Mami dandan buat siapa?"

"Buat Oom Irwan."

"Ha...!" Lupus kaget.

Mami cekikikan. Lupus udah siap-siap me rajuk lagi. Untung Mami buru-buru mengusap-usap kepala Lupus.

"Lupus, denger ya, kamu nggak usah ngambek lagi. Percayalah, Pus, hari ini Mami dandan buat kamu dan Lulu. Sekarang Mami baru sadar, kalo milik Mami yang paling berharga adalah kalian berdua. Maafkan Mami yang selama ini khilaf. Menganggap Oom Agus bisa melindungi Mami, tapi ternyata Oom Agus meminta pengorbanan yang teramat besar. Oom Agus telah menjauhkan Mami dari kalian," kata Mami sambil membelai-belai kepala Lupus.

Lupus memandang Mami dengan takjub. Dan memeluknya erat-erat.

Mami mencium kepala Lupus.

"Bener nih, Mi?" Hati Lupus berbunga-bunga.

"Mami nggak ingin membohongi kamu, dan juga nggak ingin membohongi hati Mami sendiri. Nah, sekarang cud muka cepet. Mami tunggu di meja makan. Mami iJdah siapin makanan yang paling kamu doyan, gado-gado! Mungkin Lulu udah rapi mandi, dan udah nunggu di meja makan."

Mami langsung mengusir Lupus dengan mendorong-dorong pundaknya.

"Oke, Mi, nggak usah diusir kayak gini Lupus juga mau, kok," sambut Lupus. Dan Lupus segera ngacir ke kamar mandi dengan melompat-lompat seperti kanguru.

Mami kembali tersenyum manis, mengalahkan manisnya senyum mentari yang bersinar lembut di pagi itu.

***

Dan pagi itu nggak seperti pagi-pagi yang lain. Pagi itu sesuatu yang indah telah mengisi rumah Lupus. Pagi yang penuh aroma bunga, sehingga seluruh sudut-sudut rumah Lupus seperti mengeluarkan wangi yang semerbak.

Lulu, Lupus, dan Mami duduk di meja makan menghadapi makanannya masing-masing. Pagi ini Mami telah memasak sesuatu yang istimewa buat anak-anaknya. Lupus dengan lahapnya menyantap gado-gado yang disediakan Mami. Hari ini memang hari istimewa.

Tentu yang mendapat perlakuan istimewa nggak cuma Lupus. Tapi juga Lulu. Mami yang biasa suka sirik kalo ngeliat Lulu makan sambil ongkang-ongkang kaki dan bersenandung kecil, kali ii membiarkan Lulu melakukan kebiasaannya itu. Mami juga membuat masakan kesukaan Lulu, yaitu bistik daging sapi yang diberi banyak bawang goreng. Dan Lulu kayaknya menikmati betul semua itu.

Sedang Mami memandangi Lupus dan Lulu dengan senyum penuh kedamaian. Senyum yang sejak beberapa waktu lalu sempat hilang dari Mami. Ya, bukankah di hari-hari yang lewat Mami sempat direbut oleh Oom Agus. Sehingga Mami begitu jauh dengan Lulu dan Lupus. Mami jadi sentimentil dan mementingkan dirinya sendiri. Mami juga gampang marah. Pokoknya Mami seolah-olah sudah melupakan anaknya, Lupus dan Lulu.

Tapi hari ini adalah hari yang lain. Hari yang istimewa. Mami telah kembali menjadi Mami yang manis. Mami yang memperhatikan kepentingan anak-anaknya. Wajah kusutnya yang sering ditampakkan di hari-hari kemarin, kini diganti dengan senyum lembut. Ya, pagi ini mendung tebal yang menyelimuti rumah Lupus, tiba-tiba sirna dengan perubahan sikap Mami yang drastis.

Mami mengusap-usap kepala Lulu yang kini terkagum-kagum menemukan maminya kembali.

"Lupus dan Lulu, Mami juga nggak tau kenapa Mami jadi begini. Mungkin semua ini memang keinginan Mami. Tapi mungkin juga semua ini bukan keinginan Mami. Udah sejak lama Mami merasakan banyak yang berubah di rumah ini sejak Mami dekat sama Oom Agus. Yah, Mami akui sekarang, hubungan Mami dengan Oom Agus memang bukan sekadar hubungan bisnis. Entah mengapa akhir-akhir ini Mami begitu butuh seseorang yang dapat melindungi Mami. Tentu juga yang dapt melindungi kalian, anak-anak Mami. Mami seperti nggak kuat jalan sendiri, Mami merinduka papimu. Tapi makin Mami rindu, makin Mami sadar kalau papimu tak akan pernah kembali lagi kemari. Juga tak akan pernah kembali lagi pada kalian.

"Mami sayang kalian, bahkan Mami sangat sayang kalian...," Mami berkata panjang tapi dengan nada yang lirih. Sebutir air mata Mami jatuh membasahi pipi yang putih bersih.

Lupus membetulkan posisi duduknya.

"Lulu juga minta maaf, Mi," ujar Lulu sambil memotong bistiknya yang rada alot, "kalo selama ini Lulu udah menyusahkan Mami dengan tingkah laku Lulu yang aneh-aneh, sehingga Mami merasa tersiksa. Tapi semua itu sebetulnya cuma protes Lulu aja, supaya Mami sadar. Supaya Mami nggak menjauhkan Lulu dari Mami. Terus terang Lulu betul-betul nggak rela kalo Mami sampai direbut orang lain. Apalagi sama Oom Wedus itu, Mi...."

"Lu, Oom Agus, Lu, bukan Wedus...," Lupus memperingatkan.

"Apalah, Wedus kek, Angus kek, yang penting artinya sama aja. Sama-sama bikin kuping gue alergi kalo denger namanya disebut," jawab Lulu cuek.

Mami tersenyum kecut.

"Oom Wedus itu orang jahat, Mi," lanjut Lulu bersemangat. "Penindas rakyat kecil. Orang yang cuma mau cari untungnya sendiri tanpa menghiraukan penderitaan orang lain!"

Tapi kemudian Lupus penasaran juga, ingin tau sebabnya, kenapa kok Mami tiba-tiba jadi berubah begini.

"Kenapa memangnya, Pus?" tanya Mami tersenyum menggoda.

"Karena begini, Mi," ujar Lupus sok bijak. "Berkali-kali Lupus bilang, Lupus dan Lulu emang nggak suka Mami berhubungan dengan Oom Agus. Tapi sebetulnya kita-kita kan juga nggak berhak merusak kebahagiaan Mami sendiri. Itu memang hak Mami. Kalo keputusan kita-kita ini berarti merusak kebahagiaan Mami, lebih baik Mami nggak usah memutuskan hubungan Mami dengan Oom Agus. Mami udah cukup berkorban untuk Lupus dan Lulu.

"Mami udah cukup memberikan kasih sayang dan kerja keras untuk Lupus dan Lulu sejak kepergian Papi. Kini biarlah Lupus dan Lulu yang berkorban untuk kebahagiaan Mami. Mami tak usah memutuskan hubungan Mami dengan Oom Agus kalau itu cuma bikin Mami menderita. Bukan begitu, Lu?"

Lupus minta pendapat Lulu.

Lulu menggeleng kuat-kuat. Ia sebel ngeliat Lupus yang sok bijak. Padahal dia kan tau siapa si Wedus itu! Ih, ngerusak suasana aja, rutuk Lulu dalam hati.

Tapi Mami lagi-lagi tersenyum.

"Lupus..., Lulu..., keputusan Mami boleh jadi karena cerita tentang ulah kurang baik Oom Agus, seperti cerita kalian kemarin. Tapi jauh sebelum itu sebetulnya Mami udah menimbang, mengamati, dan sampai akhirnya Mami berani memutuskan, kalau Oom Agus memang nggak cocok buat Mami.

"Mami kan udah bilang, kalau Mami sampai dekat sama Oom Agus, atau siapa pun, itu semua semata untuk kebahagiaan kalian berdua, selain Mami juga butuh perlindungan dari seseorang seperti yang pernah diberikan almarhum papimu pada Mami.

"Waktu itu kebetulan Mami berkenalan dengan Oom Agus. Melihat potongannya yang simpatik, dan tingkah lakunya yang lembut, Mami pikir, dialah orangnya yang akan memberikan perlindungan pada Mami. Hingga akhirnya Mami tertarik pada Oom Agus...."

"Ah, kesimpatikan dan kelembutannya cuma di depan Mami aja, Mi," tiba-tiba Lulu memotong ucapan Mami dengan ketus.

Lupus langsung menjitak Lulu.

"Lulu denger dulu kek omongan Mami sampai abis!" bentak Lupus.

Lulu nginyem.

"Ayo deh, Mi, terusin omongannya!" pinta Lupus.

"Begitulah, semula Mami tertarik pada Oom Agus dengan harapan Oom Agus bisa memberikan apa yang menjadi keinginan Mami. Kasih sayang, perlindungan, dan perhatian pada kalian. Tapi nyatanya tingkah laku Oom Agus makin hari makin nggak jelas terhadap Mami. Mami bukannya mendapatkan apa yang Mami inginkan, tapi Oom Agus malah banyak minta yang nggak-nggak dari Mami. Udah usaha katering Mami masih begitu-begitu aja, dan Oom Agus cuma bisa janji-janji surga, ditambah Oom Agus bHang terus terang ke Mami kalau dia tak suka sama kalian berdua. Oom Agus mau mengawini Mami hanya kalau Mami rela meninggalkan kalian...."

"Dia bilang gitu, Mi?" teriak Lulu kesel.

"I-iya...," Mami menjawab gugup.

"Oom Agus keparaaaat!" maki Lupus.

"Eh, boleh kan Mami ngelanjutin omongan Mami...?"

"Oh boleh, Mi, boleh...," tukas Lupus.

"Ya, sejak itulah Mami mulai ragu dengan Oom Agus. Mami memang butuh kasih sayang, butuh perlindungan, tapi apa gunanya kasih sayang dan perlindungan kalau Mami harus berpisah dengan kalian.

"Akhir-akhir ini Mami sudah terasa jauh dari kalian. Lulu sering bertingkah laku aneh, Lupus nggak pernah menegur Mami, itu aja udah bikin Mami sedih. Apalagi harus berpisah dengan kalian. Kini Mami mengerti kalian adalah segalanya bagi Mami. Kalianlah kasih sayang Mami, perlindungan Mami, dan harapan-harapan Mami...

"Maafkan Mami ya, Lupus dan Lulu, Mami telah khilaf selama ini...." Akhirnya Mami nggak tahan lagi membendung air matanya.

Lulu juga ikut-ikutan nangis, dan memeluk Mami erat-erat. Lupus tersenyum bahagia, dan melanjutkan melahap gado-gadonya.

Tapi di tengah suasana haru itu, tiba-tiba Lulu nyeletuk.

"Mi, seandainya ada orang lain lagi yang naksir Mami, dan orang itu baik, apa Mami mau? Kebetulan Lulu ada kenalan orang seperti itu."

"Wah, apa masih ada orang yang naksir Mami?" tanya Mami antusias.

"Ada. Pak Gali," jawab Lulu singkat.

Lupus terperanjat, lalu teriak-teriak sebel "Luluuuu, jangan bercanda kamu, ya! Gak sudi gue punya bapak tampangnya kayak drakula gitu. Jangan, Mi, jangan mau sama tawaran Lulu!"

Lulu cekikikan. Mami juga cekikikan setelah dikasih tau kalo Pak Gali itu adalah bapaknya Drakuli, dan tampangnya serem banget persis drakula.

BAB 10 PERTEMPURAN AKHIR

SEBUAH buldoser cukup besar tampak diparkir pelan-pelan di depan dinding tembok yang memagari areal tanah pekuburan nan luas milik keluarga Drakuli. Mesinnya dipakein peredam suara biar nggak nimbulin rasa curiga keluarga Pak GaIi yang tanahnya mau digusur itu.

Dan dengan dipimpin Oom Agus langsung, akhirnya tim penggusur itu emang kembali lagi ke kuburan. Dengan gaya kayak tentara gerilya, orang-orang itu kemudian turun berloncatan juga tanpa menimbulkan suara. Rombongan kali ini formasinya lebih kuat. Lebih lengkap. Lebih fit. Lebih menggigit. (Sebagian besar yang ikutan itu emang pada langsung ngegigit-gigitin rumput kuburan! Pada laper kali.)

Meski Oom Agus dan anak buahnya mulai sadar, bahwa penghuni pekuburan itu bukan sejenis setan, melainkan manusia biasa, tapi Oom Agus tetap menyertakan beberapa dukun yang kesaktiannya dianggap melebihi Mbah Jagal. Bahkan beberapa dukun yang ikut itu sempat di-training dulu di kuburan-kuburan keramat yang terkenal angker. Malam ini Oom Agus betul-betul bertekad mengusir Pak Gali yang dirasanya udah terlalu membandel. Selain itu Oom Agus udah didesak oleh pihak investor agar lekas-lekas mengosongkan areal itu, karena proyek pembangunan pusat pertokoan akan segera dilaksanakan.

Kodir yang ternyata belum dipecat dari jabatannya, malam itu membawa senjata andalannya, berupa golok tajam buatan Cibatu. Konon golok itu mengandung tuah mampu mengusir roh-roh jahat. Golok yang menurut Kodir warisan dari buyutnya itu cuma boleh dipergunakan sekali setahun. Itu sebabnya kenapa di hari-hari kemarin Kodir nggak mempergunakan golok itu buat mengusir Drakuli dan Pak Gali yang dianggapnya setan gentayangan. Tapi sekarang saatnya Kodir boleh mempergunakan golok itu. Dan malam ini Kodir betul-betul ingin menebus dendam kesumatnya terhadap Drakuli yang telah sering mengecohnya. Apalagi sekarang Kodir tau Drakuli bukan setan yang sulit dikalahkan. Drakuli cuma seorang remaja yang nggak punya kepandaian silat. Dan Kodir yakin banget bisa mengalahkan Drakuli. Karena sebagai centeng, Kodir memiliki kepandaian silat. Dan selama itu pula Kodir jarang dipecundangi siapa pun, kecuali oleh orang yang telah mempecundanginya. Pendeknya Kodir sakti mandrabokir eh, sori, maksudnya sakti mandraguna. Karena sejak muda Kodir gemar mengembara dari satu kampung ke kampung lain untuk berguru kepada orang-orang yang dianggapnya sakti.

"Dan sekarang adalah saatnya gue ngebuktiin i1mu-iImu yang udah gue pelajari," desis Kodir yakin.

Anak-anak buah Kodir yang rata-rata punya kepandaian silat, nampaknya juga ingin menebus dendam kesumatnya terhadap Drakuli. Mereka betul-betul keki sama Drakuli yang selalu mengecoh mereka, sehingga membuat mereka sering dimaki-maki Oom Agus.

"Dan sekarang jangan arep lo bisa ngeledekin gue lagi, deh. Sekarang saatnya lo mampus, hei setan kuburan," sergah Dudung seraya membetulkan goloknya yang terselip di pinggang.

Sebagaimana halnya Kodir, Dudung dan rekan lainnya juga membawa senjata yang menjadi andalan mereka. Langkah mereka mantap sekali karena yakin bakal menang.

Malam ini bakal terjadi perang besar. Perang yang bakal menghancurkan kuburan tempat Drakuli tinggal. Bumi gonjang-ganjing. Karena itu malam ini agaknya bakal jadi ujian terberat bagi Drakuli. Apalagi bila ngeliat persenjataan yang dibawa para dukun sewaan Oom Agus. Nampaknya tipis harapan Drakuli mampu menghadapi mereka. Para dukun itu nggak lagi menghadapi, Drakuli dengan kemenyan, sapu lidi, atau lisong. Itu sih kuno. Yang dibawa para dukun itu sekarang adalah bom molotov, meriam, rudal scud, atau senjata sejenisnya yang bisa menghancurkan segala sesuatu yang disentuhnya. Resep ini mereka dapatkan waktu mengikuti training di kuburan-kuburan angker di luar negeri. Nampaknya malam ini Oom Agus betul-betul ingin mengusir Drakuli dari sarangnya.

"Kesabaran saya betul-betul sudah habis, jadi kalian kerja yang becus, ya!" sungut Oom Agus memberikan ultimatum pada anak buahnya.

"Iya, Pak!" jawab anak buahny serentak.

"Nah, sekarang kalian bisa mulai bekerja!" Oom Agus langsung memberi perintah.

Bulan menggantung di awan. Angin berkesiur dingin. Lalu bagaimana nasib Drakuli? Betulkah malam ini ia akan terusir dari tanah kelahirannya? Tanah yang begitu disayanginya, karena merupakan harta satu-satunya yang paling berharga. Ah, jangan pesimis dulu, dong! Karena dengan dibantu Lulu, Lupus, Boim, dan Gusur, Drakuli nampaknya udah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi yang dilancarkan oleh Oom Agus dan antek-anteknya. Drakuli udah mempersiapkan segala sesuatunya demi menghadapi Oom Agus atas saran Lupus dan Lulu. Jauh-jauh hari, karena yakin Oom Agus bakal datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar, anak-anak telah memasang jebakan-jebakan di sekitar pekuburan. Jebakan yang dirancang demikian sempurna. Dan karena Drakuli amat menguasai medan, sebab sejak kecil ia akrab di lingkungan tanah pekuburan itu, tak sulit bagi Drakuli mencari celah yang bisa dimanfatkan buat jebakan. Apalagi anak-anak juga dilengkapi persenjataan yang nggak kalah canggih dengan yang dimiliki anak buah Oom Agus. Artinya, mereka udah siap perang!

Betul juga. Begitu melewati pintu gerbang utama, anak buah Oom Agus langsung melihat bayangan-bayangan hitam melintas di antara semak-semak. Bayangan-bayangan hitam itu saling lompat demikian lincahnya. Seperti monyet sirkus. Tapi juga langsung lenyap di semak-semak begitu cepatnya. Besarnya rata-rata sama. Cuma ada satu yang besarnya dua kali lipat bayangan hitam lainnya. Itulah bayangan Pak Gali, yang tentunya ikutan dalam pertempuran malam ini. Dan bayangan-bayangan lainnya adalah anak-anak. Nggak seperti biasanya, malam ini baik Lupus, Boim, Lulu, Kunti, maupun Gusur semua mengenakan jubah hitam. Begitu juga Pak Gali. Jadi nggak cuma Drakuli doang. Makanya, demi melihat bayangan-bayangan hitam yang ujudnya seperti drakula itu, anak buah Oom Agus jadi keder juga.

"Wah, drakulanya sekarang nggak cuma satu. Tapi banyak!" keluh Kodir. "Jangan-jangan semua drakula yang ada di seantero kuburan Jakarta di-calling semua, nih!”

"Ah, mereka bukan drakula. Mereka manusia biasa seperti kita juga!" jelas Dudung dengan menekan perasaan takutnya.

"Orang kok bisa lompat-lompatan seperti bajing?" Kodir masih ngeyel. "Gue kan udah sering banget ngeliat drakula, Dung."

"Di mana lo sering ngeliat drakula, Dir?” sungut Dudung kesel sambil ketakutan.

"Di komik silat!" tukas Kodir cuek.

Sementara itu seorang dukun yang mengenakan celana jins robek-robek dengan potongan rambut ala metal, sibuk memasang bom molotov-nya. Dan sambil menjamp-jampi, "Ang, ngeng eng, ngok... Mi goreng mi godok, mata lo jereng gue colok! Brreett...!" Dukun itu lalu menyembur molotov-nya pake uap idungnya.

"Dukun sial, kalo mo nyembur liat-liat dong, kuping gue kena, nih!" temen di sebelahnya protes.

"Sori, Brur, gak sengaja."

"Lagi, pake nyembur-nyembur segala mo ngapain, sih?”

"Pake nanya-nanya lagi. Ya jelas mau nyerang, goblok!"

“Bilang-bilang dong, kalo mau nyerang.”

"Udah jangan banyak cingcau, eh, maksud gue jangan ban yak cincong, deh!” bentak si dukun. "Korek, mana korek?" jeritnya kemudian.

"Korek apa, korek kuping?" sambut temannya yang barusan kena sembur, yang rambut metalnya dihiasi headband, hingga mirip roker betulan. Hihihi... dukun-dukun sekarang nggak mau ketinggalan mode juga rupanya.

"Korek api, goblok!" jawab si dukun pertama kesel.

"O, korek api. Bilang, dong! Nih," tukas si dukun kedua seraya menyerahkan korek api Zippo cap duren tiga. Si dukun pertama langsung menyamber. Lalu menyalakan bom molotov-nya yang terbuat dari botol Coca-Cola.

"Nah, sekarang kalian boleh ngerasain gimana enaknya botol Coca-Cola ini, hei para drakula jelek!" tukas si dukun pertama sambil ingin melempar born molotov-nya dan menjampi-jampi lagi biar lemparannya gak meleset.

"Awas, kalo semburannya kena kuping gue lagi gue timpuk sendal pala lo!" ancam temennya.

"Kalo gak mau kena lo-nya sonoan, dong!" tukas yang ingin melempar molotov-nya. "Ang ing ung... ung eng ong, kucing belang berdengung-dengung, nyolong ikan di dalam tong. Hiyaaat...!" ..

Botol Coca-Cola itu melayang-layang di kepekatan malam. Lalu jatuh di antara semak-semak tempat anak-anak bersembunyi. Oom Agus dan anak buahnya buru-buru menutup telinga dan tiarap.

"Sebentar lagi mereka akan hancur!" desis si dukun girang. "Bom itu selain saya isi mesiu, juga saya campur daun kentut-kentutan! Pasti pada semaput."

Tapi setelah ditunggu beberapa lama, ternyata bom molotov yang tadi dilemparnya belum juga meledak.

"Lho, kok bomnya bisu?" tanya Oom Agus.

"Sebentar lagi juga meledak, tenang aja!" jawab si dukun.

"Berapa lama lagi?"

"Kira-kira lima hari lagi!"

Sebuah tamparan lalu mendarat di kepala si dukun.

"Jangan bercanda lo, ya!" bentak Oom Agus. "Orang lagi perang masih bercanda aja!"

Setelah ditunggu sekian lama lagi, bom molotov itu memang akhirnya nggak meledak. Karena begitu bom molotov itu jatuh tadi, Drakuli dengan berani langsung mengejarnya dan mencabut sumbunya.

"Sekarang giliran kita ngebales!" saran Drakuli pada kawan-kawannya kemudian. Anak-anak pun segera mencabut sumpitan yang terselip di pinggang mereka. Lupus memasukkan sebatang jarum yang di belakangnya diberi bulu ayam ke dalam lubang sumpitan. Gusur, Boim, Lulu, dan Kunti yang udah selesai melakukan itu, segera mengendap-endap di antara gerumbulan daun kaca piring. Mereka berusaha mendekati gerombolan Oom Agus dengan merayap-rayap. Disusul Pak Gali, Lupus, dan Drakuli yang menyebar ke arah yang berlainan.

"Tenang dong, Sur. Kok lo gelisah amat, sih!" tegur Boim pada Gusur yang wajahnya keliatan tegang. Keringat mengucur diseputar wajahnya menahan takut. Keringetnya gede-gede banget, Jadinya selain nahan takut, Gusur juga keberatan nahan keringet. Lagi mentang-mentang gendut, keringetnya ikut-ikutan gendut, sih. Hihihi. Gusur memang dikenal paling pengecut dalam rombongan itu.

"Gimana kalo orang-orang itu melihat kita, Im. Habislah kita," rengek Gusur sambil memunguti terus keringetnya atu-atu.

"Ah, gue jamin dia nggak bisa ngeliat kita, deh. Yang penting lo tenang. Soalnya gue juga takut, nih."

"Ah, jadi dikau juga takut, Im?"

"Iya."

Lulu dan Kunti cekikikan.

"Hus!” sergah Boim.

Tawa cekikikan Lulu dan Kunti justru membuat rombongan Oom Agus was was.

"Wah, suara apa itu?" tanya Njum, salah satu aggota rombongan Oom Agus yang sengaja dipasang di baris depan.

"Kuntilanak, kali," jawab yang lainnya, yang namanya Ajo.

"Jangan sembarangan lo, Jo," ujar temennya sok tau. "Mana ada setan, sih? Kan lo udah tau kalo yang sering berkeliaran di sini, tuh, bukan setan atau drakula, melainkan manusia biasa.

Tapi... siapa tau?" Temennya itu langsung bergidik.

Hihihi... Lulu dan Kunti cekikikan lagi.

Seiring dengan itu, Lulu dan Kunti lalu membidikkan sumpitnya ke leher Ajo. Slup! Lulu dan Kunti meniup sekuat tenaga sumpitnya. Peluru jarum melesat. Dan tepat kena di leher Ajo.

"Aduh!" pekik Ajo tertahan. Belum sempat Ajo sadar apa yang telah terjadi, lagi-lagi pantatnya terasa sakit seperti disengat kalajengking.

"Aduh! Aduh!" Ajo terpekik beruntun. Gusur dan Boim cekikikan, lalu melakukan toast. Buah-buah peluru jarum yang mereka tiup kuat-kuat tepat mengenai pantat Ajo. Tapinya toast yang dilakukan Gusur dan Boim itu nggak tepat. Artinya tangan Gusur melayang ke muka Boim, begitu tangan Boim melayang ke muka Gusur.

Jadinya muka mereka saling kena tabok.

"Im, dikau ini gimana, sih. Kalo mau toast tuh antara tangan dan tangan. Masa tanganmu kau lemparkan ke mukaku, sih!" protes Gusur.

"Lo juga gimana, sih. Kalo mau toast liat ke sini, jangan meleng begitu. Apa lo kira tangan lo itu mendarat di tangan gue, hah? Tangan lo mendarat di muka gue juga, tau!"

"Hah, mendarat di muka kau, Im? Jadi kita sama, dong. Hahaha, kalo gitu mari kita toast lagi, yuk."

"Ogah!"

Sementara Ajo masih kesakitan, dari arah lain juga terdengar jerit kesakitan yang datangnya dari Kodir, Dudung, dan Oom Agus. Mereka mengusap-usap leher, sambil berusaha mencabut jarum yang menusuk ke daging sekitar berapa mili. Nggak jauh dari persembunyian mereka, Pak Gali, Lupus, dan Drakuli juga melakukan toast sukses. Jarum-jarum yang menusuk perut Kodir, Dudung, dan Oom Agus memang milik mereka.

Kini tinggal para dukun yang belum tersentuh apa-apa.

"Ini kan berkat ilmu yang kita miliki, jadi setan-setan itu tak mampu melukai kita," sesumbar seorang dukun. Tapi baru aja gema kata-katanya lenyap, tiba-tiba dukun itu menjerit histeris sambil memegang jidatnya yang benzol.

"Hehehe... rasain sekarang dukun sombong!" dengus Drakuli dari tempat persembunyiannya sambil kembali sibuk memasang sebutir kelereng di katepelnya. Lupus dan Pak Gali juga melakukan kegiatan serupa. Lalu... "Aduh! Aduh!" terdengar jerit kesakitan dan para dukun yang lain.

Rombongan Oom Agus akhirnya lari tunggang-langgang dari tempat semula. Mereka kocar-kadr berusaha menyelamatkan diri masing-masing.

Kunti, Lulu, Gusur, dan Boim tertawa terpingkal-pingkal dari tempat persembunyian mereka. Begitu juga Pak Gali, Lupus, dan Drakuli. Dan tawa mereka makin menjadi-jadi waktu lagi-lagi terdengar jerit kesakitan dari para anak buah Oom Agus.

"Hahaha... rupanya karung pasir yang kita pasang di pohon tepat mengenai sasarannya," tutur Drakuli kegirangan. Tadi dalam upaya mereka memasang jebakan-jebakan, anak-anak memang sempat memasang karung pasir di pohon. Pasir itu diikat dengan seutas tali yang direntangkan di antara rumput-rumput. Nah, apabila rumput itu tersandung kaki, otomatis, orang yang ada di bawahnya ketiban karung pasir yang diikat tali itu. Dan jebakan-jebakan itu sengaja dipasang di daerah-daerah yang pasti dilalui orang-orang itu kalo mau menyelamatkan diri ke luar pekuburan.

"Padahal, masih ada beberapa karung pasir lagi yang bakal mereka nikmati, ya?" tukas Lupus berseri-seri.

Pak Gali juga ikut-ikutan tersenyum.

"Yuk, sekarang kita bergabung dengan Lulu cs!" ajak Drakuli. Lupus langsung menyetujui. Mereka lalu mengendap-endap ke tempat persembunyian Lulu cs.

Sementara itu tim penggusur masih kepuyengan karena ketiban karung pasir. Begitu mendingan, mereka bermaksud bangkit dan pergi dari situ. Tapi baru beberapa tindak mereka melangkah, tiba-tiba mereka melihat beberapa bayangan hitam bergelantungan di pohon. Bayangan itu seolah-olah terbang dan hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain. Lalu terdengar suara cekikikan yang keras sekali.

"Wah, ternyata mereka betul-betul setan!" desis Ajo sambil pasang ancang-ancang untuk ngibrit.

Begitu Ajo lari, yang lainnya segera menyusul. Termasuk para dukun yang berdandan ala metal.

Lupus kembali ketawa cekikikan.

"Hehehe... berhasil lagi. Baju-baju yang kita gantung itu telah menunaikan tugasnya dengan baik," seru Lupus. Rupanya hantu yang diliat oleh tim penggusur beterbangan di antara pohon, adalah baju-baju yang digantung pada seutas tali. Lalu tali-tali itu digoyang-goyang dan ditarik-tarik oleh anak-anak, jelas aja baju itu jadi seperti setan yang beterbangan di pohon. Hasilnya cukup efektif, tim penggusur itu jadi ketakutan setengah mati.

"Waduh, Pak, saya menyerah, deh. Kalo gini saya nyerah, deh. Saya mau kabur aja," keluh seorang dukun yang segera diikuti rekan-rekan lainnya. "Mending saya jadi dukun beranak aja, deh!"

Mereka lalu kabur. Tinggal anak buah Oom Agus yang pada melongo.

"Wah, kita gimana nih?" tanya Kodir.

"Kabur juga deh. Daripada kita mati ketakutan di sini," usul Dudung.

"Tapi kita bisa dipecat sama Pak Agus kalo gitu."

"Ah, biar aja."

"Jadi kita kabur? Oke, deh. Siap... satu, dua, tiga...." Pas itungan ketiga Kodir dan anak buahnya langsung ambil langkah seribu. Mereka lari begitu cepat saking takutnya.

"Hai, tunggu... Anak-anak, tunggu. Saya,gimana, nih. Tolong jangan tinggal saya, dooong...! Saya tuakuut....!" teriak Oom Agus yang ditinggal send irian.

"Sebodo amat, urus aja diri lo sendiri!" teriak Kodir dari kejauhan sambil terus lari.

"Kodir..., saya pecat kamu, ya!" ancam Oom Agus sambil merengek-rengek ketakutan.

"Terserah...! Mau dipecat, ya, pecaaat. Saya udah sebel kerja sama situuu!" teriak Kodir lagi.

Oom Agus yang ditinggal sendirian akhirnya betul menangis tersedu-sedu, ketakutan. Anak-anak kontan cekikikan. Suara mereka tentu membuat Oom Agus tambah ketakutan. Tapi anak-anak nggak peduli. Dengan senjatanya masing-masing, anak-anak lalu menghujani Oom Agus dengan kelereng-kelereng yang dilontarkan lewat katepel. Ada juga yang memakai sumpitan. Keadaan Oom Agus betul-betul memprihatinkan saat itu. Oom Agus menangis tersedu-sedu, dan sempat juga, kayaknya, pipis di celana. Tapi dengan sisa-sisa ketenangannya Oom Agus berusaha bangkit dan ambil langkah seribu.

Anak-anak tertawa terpingkal-pingkal dan melakukan toast satu sama lain. Oom Agus terus kabur tanpa memperhatikan sekelilingnya lagi. Itulah salahnya Oom Agus. Karena baru beberapa tindak berlari, kaki Oom Agus langsung keserimpet seutas tambang yang terentang di antara semak-semak. Oom Agus terjungkal dan mukanya berlumuran tai kebo.

"Hahaha...," tawa anak-anak serentak. Lalu Pak Gali melompat dari persembunyiannya menuju Oom Agus. Krosak! Wajah serem Pak Gali berhadapan dengan Oom Agus. Oom Agus ketakutan.

"S-siapa kamu...?" tanya Oom Agus terbata-bata.

"Aku setan penunggu kuburan ini," jawab Pak Gali mantap.

"Hah! A-ampun... ampun... tolooong!" Oom Agus menjerit-jerit ketakutan. "Jangan apa-apain saya, setan, jangan apa-apain sayaaa!"

Pak Gali tersenyum menyeringai.

"Kamu masih nekat mau menggusur tanah ini?" tanya Pak Gali kemudian.

"Nggak! Bener-bener nggak, deh!" jawab Oom Agus. Seiring dengan itu anak-anak lalu keluar dari tempat persembunyian masing-masing menghampiri Pak Gali. Anak-anak berhamburan dan mengelilingi Oom Agus dengan wajah dicorat-coret dan jubah bau apek, hingga mirip anak-anak drakula. Oom Agus makin ketakutan, kemudian menyembah-nyembah memohon ampun. "Ampun, para setaaan, s-saya nggak bakalan ngebongkar tanah ini. A-asal saya nggak diapa-apaiiin...." Anak-anak tertawa berderai-derai.

Berkat kerja sama yang kompak antara mereka, pada akhirnya tim penggusur berhasil diusir. Oom Agus dibiarin lari tunggang-Ianggang tanpa ngeliat kiri-kanan hingga nabrak sini nabrak sono.

Lupus cs dan Drakuli cs berteriak girang.

"Hidup Lupus! Hidup Lupus!" teriak Boim dan Gusur membanggakan Lupus yang jadi ketua rombongannya.

"Hidup Drakuli! Hidup Drakuli!" teriak Lulu dan Kunti nggak mau kalah membanggakan Drakuli yang jadi ketua rombongannya.

Pak Gali yang sejak tadi berdiri di situ tersenyum manis.

"Anak-anak Babe yang manis," sapa Pak Gali dengan suara bergetar. Anak-anak yang barusan masih pada sibuk jejingkrakan dan dorong-dorongan sambil teriak-teriak kontan menghentikan kegiatannya. Gusur dan Boim yang lagi siap-siap membopong Lupus, sejenak mengurungkan niatnya. Tapi Lulu dan Kunti terpaksa melayang-layang di udara, karena waktu Pak Gali ngornong tadi Lulu dan Kunti pas lagi melompat-lompat.

Anak-anak memandang takjub ke arah Pak Gali, yang nampak mau melanjutkan omongannya. Lulu dan Kunti menarik napas dalam-dalam. Dan keduanya jatuh berbarengan. Pluk!

"Babe girang betul, orang-orang jahat itu udah pade ngacir. Tapi tentu aje kemenangan itu bukan cuma berkat Drakuli doang atau Lupus doang, tapi berkat usahe kite bersame. Jadi siape aje yang udah turut serte ngebantu Babe ngusir orang-orang jahat itu dari sini, Babe anggap pahlawan. Nah, kalo gitu idup semuanya, termasuk Babe! Biar mereka kapok. Biar mereka mikir dua kali dulu kalo mo menindas rakyat kecil," tukas Pak Gali.

Anak-anak berteriak-teriak kegirangan.

"Ya, hidup semuanya... hidup Lupus, Drakuli, Babe, Lulu, Kunti!" teriak anak-anak semangat.

"Gusur dan Boim juga dong, hidup!" protes Gusur dan Boim.

"Oh, iya lupa. Abis situ orang emang paling enak dilupain, sih!" balas Drakuli.

Gusur dan Boim kesel. Untung Kunti segera teriak.

"Boim dan Gusur hidup juga, deeeh!"

Kekecewaan Gusur dan Boim langsung lenyap demi mendengar teriakan Kunti yang lembut itu. Lalu Boim dan Gusur melakukan toast lagi dan lagi-lagi meleset. "Plak!" Yang lain pada ketawa ngeliat Gusur dan Boim kesakitan memegangin mukanya masing-masing. Tapi sedetik kemudian keduanya sudah turut larut dalam teriakan kemenangan itu. Suara mereka membahana menyusup ke lekuk liku seantero pekuburan. Dua ekor burung hantu yang sedang asyik bercengkerama di lebatnya pohon sawo kecik, kaget. Kemudian terbang menembus malam.

Sejenak kemudian Drakuli lari menyusul bokapnya di sentiong, lalu merentangkan kedua tangannya sebatas kepala.

"Kawan-kawan yang baik, bagaimana kalo kita rayakan kemenangan ini dengan berpesta-pora!" usul Drakuli kemudian.

Anak-anak menghentikan teriakannya, lalu memandang Drakuli dengan ekspresi melongo.

"Gimana, setuju? Kok pada diam aja, 'sih. Setuju, dong!" pinta Drakuli semangat.

Anak-anak langsung berteriak serentak.

"Setuju! Setuju! Setuju!"

Suara mereka yang keras berputar-putar di langit kuburan. Riuh dan rendah.

"Oke deh, kalo setuju. Sekarang kita pindah ke depan lokasi di depan rumah saya!" perintah Drakuli yang segera disusul dengan lompatan selincah kijang menuju rumahnya yang berjarak sekitar lima puluh meter dari sentiong itu. Pak Gali mengikuti gerakan Drakuli. Dan anak-anak yang lain juga mengikuti gerakan Drakuli dan Pak Gali. Mereka berlari-lari menuju depan rumah Pak Gali. Gusur yang kemampuan larinya
amat kurang karena kegendutan, tentu aja berada pada urutan paling buncit.

"Lulu, Kunti, tunggu daku dong, daku tak kuat lari, nih!" rengek Gusur pada Kunti dan Lulu yang posisi larinya berada paling deket.

Tanggapan Lulu dan Kunti cuma tolehan kurang simpatik. Padahal mata Gusur udah mendelik, dan napasnya mendengus-dengus seperti kebo ngamuk. Sebentar lagi juga habis.

"Lulu... aduh, Lulu... matilah daku!" rengek Gusur lagi.

Lulu menoleh lalu mengomentari gaya lari Gusur yang mirip celeng. Sradak-sruduk.

"Makanya jangan rakus, Sur. Sekarang rasain sendiri deh akibatnya!"

Lulu bukannya menolong malah mendamprat Gusur abis-abisan. Sementara Lupus! Boim, Drakuli, dan Pak Gali udah sampe di tempat tujuan. Kemudian Kunti menyusul. Kemudian Lulu. Kemudian... byur! Gusur nyebur ke got yang berada gak jauh dari depan rumah Drakuli.

"Tolooong! Tolooong! Glk, glk, glk...," teriak Gusur memelas mohon pertolongan. Anak-anak malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Gusur belagu, mentang-mentang waktu SD pernah jadi juara loncat indah, sekarang mau nunjukin kebolehannya di depan Kunti. Biar ditepokin, tuh," ujar Lupus mengejek.

"Lupus..., tega kau ya, tegaaa...!" Gusur mengumpat-umpat.

Anak-anak kembali terpingkal-pingkaL Pak Gali paling keras tawanya, "Hohoho... hoho ho..'!"

Baru ketika puas ketawa, anak-anak akhirnya kasihan ngeliat Gusur yang ampir mati lemes, secara berarnai-ramai anak-anak kemudian menarik Gusur dan langsung menyeretnya ke kamar mandi. Gusur diguyur abis-abisan. Dan anak-anak nggak peduli walau Gusur teriak-teriak kedinginan.

"Alaa, ribut amat sih, sekali-sekali mandi kan nggak apa-apa, Sur!" cetus Boim.

"Iya, lo kan jarang banget mandi, Sur!" timpal Lupus.

"Im, Pus, udah dong, daku kedinginan, nih!" rintih Gusur, anak-anak meledak ketawanya.

Untung nggak lama kemudian acara mandi itu selesai. Gusur dikasih pinjem jubah Drakuli yang lain yang berbau apek. Kemudian pesta unik made in Drakuli pun dimulai. Lulu dan Kunti sibuk melayani anak-anak. Ya, karena mereka cewek, anak-anak lalu mendaulat Lulu dan Kunti untuk bertugas jadi seksi repot. Walaupun sedikit protes, keduanya akhirnya menurut juga mengemban tugas mulia itu.

Drakuli menggelar tikar di pelataran rumah. Lupus dan Boim sibuk membuat api unggun. Sedang Gusur masih kedinginan di pojokan. Di langit bulan purnama bersinar dengan indahnya. Pak Gali matanya nampak was was mengawasi sekeliling, berjaga-jaga, siapa tau tim penggusur itu datang lagi.

Selesai menggelar tikar, Drakuli lalu tergopoh-gopoh rnasuk ke dalam rumah. Nggak lama kernudian Drakuli lalu tergopoh-gopoh keluar dengan menggotong sebuah radio kuno berukuran besar. Radio itu dimiliki Drakuli sejak turun-temurun. Sejak lagu-lagu yang diputer cuma pake satu nada aja. (Sekarang kan tujuh nada!) Dan malam ini radio itu dipergunakan Drakuli untuk memeriahkan pesta.

"Pus, Im, bantu saya dong menggotong radio ini!" teriak Drakuli. Lupus dan Boim yang masih sibuk membuat api unggun menoleh ke Drakuli. Mereka sempat kaget melihat barang yang dibawa Drakuli.

"Wah, Drakuli bawa apa tu, Pus!" tanya Boim.

"Bufet, kali," jawab Lupus asal-asalan.

"Bufet kok kayak radio, tapi... radio kok kayak gardu hansip," tukas Boim lagi.

"Iya, radio kok kayaknya berat betul"

Tapi selagi Lupus dan Boim berpikir, Drakuli udah berteriak memanggil mereka.

"Pus, Im...!" teriak Drakuli. Nggak urung akhirnya Lupus dan Boim tergopoh-gopoh menghampiri Drakuli, meskipun mereka masih rada bingung menebak benda yang dibawa Drakuli.

"Apaan nih, Drak?" tanya Lupus nggak sabar begitu sampai dekat Drakuli.

"Radio," jawab Drakuli sambil minta bantuan Lupus dan Boim mengangkat radio itu.

"Ha, radio?" Lupus dan Boim keheranan.

"Iya, radio, emangnya kamu kira apaan? Yuk, kita gotong ke sana!" jawab Drakuli seraya menunjuk ke arah tikar yang digelar.

"Radio kok kayak kandang ayam, Drak?" tanya Lupus sok.

"Ya, namanya juga radio udah kuno, ini peninggalan kakeknya kakek saya, Pus. Zamannya buyut saya, radio emang modelnya begini. Gede-gede. Dan kalo kamu mau tau, di dalam radio ini nggak ada mesinnya," Drakuli berkisah.

"Nggak ada mesinnya? Lalu gimana cara bunyinya?" tanya Lupus.

"Penyanyinya langsung disuruh masuk ke radio dan dipersilakan nyanyi di situ," jawab Drakuli.

Lupus dan Boim langsung ketawa cekikikan.

"Bisa aja kamu, Drak!" tegas Lupus. "Gimana kalo kita pengen dengerin paduan suara, bisa nggak muat, dong. Kan penyanyinya banyak."

"Lagi lo percaya aja," tukas Drakuli.

"Sebenernya sih gak percaya, cuma gak enak," jawab Lupus. "Lo kan tuan rumah, dan..."

Tapi Drakuli udah keburu nyuruh Lupus ngegotong radio ke samping tikar yang digelar. Jadinya "dan" yang dilontarin Lupus itu gak kerasa apa-apa di kuping Drakuli. Padahal...

Saat itu Lulu dan Kunti juga keluar dengan membawa senampan singkong rebus, dan seteko kopi dengan beberapa gelas.

"Kita pesta sekarang!" teriak Drakuli girang.

Sementara Boim sibuk memutar-mutar gelombang radio mencari-cari lagu dangdut kesukaannya. Sedang Gusur pengennya lagu jazz. Akhirnya mereka sepakat untuk memutar semenit dangdut trus menit berikutnya jazz!

Dan malam itu anak-anak betul-betul merayakan kemenangannya dengan caranya sendiri. Bulan menggantung indah di langit. Angin bertiup sejuk menampar pepohonan, menciptakan simfoni alami. Pak Gali selesai menyalakan api unggun yang tadi gagal dinyalakan Lupus dan Boim. Lagu dangdut campur jazz mengalun merdu di tengah malam buta itu. Anak-anak lalu berjoget so pasti diseling dengan dansa slow juga, sambil sesekali menghirup kopi hangat dan mengunyah singkong rebus hasil cabutan Pak Gali tadi siang. Saat itu selesai menyalakan api unggun, Pak Gali menyuruh Drakuli mengeluarkan perbekalannya. .

"Mana panggang ayam, dan kue-kue, serta coklat yang kausimpan, Drak? Bawa keluar semuanya."

"Coklat? Kue? Panggang ayam?" Anak-anak kayaknya surprais banget. "Dapet dari mana?"

"Biasa. Itu hasil kerjaan si Drakuli yang ngibulin para pecandu SDSB yang pada dateng ke kuburan minta nomor!" jelas Pak Gali.

Sedang Drakuli langsung lari mengambil makanan-makanan simpanannya.

Mulailah mereka membuat panggang ayam.

Anak-anak jelas makin kegirangan.

Lupus terus mendekati Kunti untuk ngajak joget bareng. Untung Kunti menanggapi dengan suka hati. Gusur udah nggak kedinginan lagi. Malah tu anak keliatan girang banget. Meski celana dan bajunya masih kuyup dan bau air comberan. Sambil joget, Gusur terus-terusan menyumpel mulutnya dengan singkong rebus. Dia berpasangan joget dengan Boim. Tapi Boim menutup idungnya dan keliatan banget Boim udah kesel berpasangan joget dengan Gusur, yang jogetnya sradak-sruduk, lompat sana lompat sini persis kuda ngamuk. Gusur bagai kesetanan. Tapi biar kesetanan konsentrasinya ke nampan singkong rebus dan ke penganan lainnya nggak pernah putus. Begitu singkong rebus di tangannya abis, Gusur langsung mencomot lagi coklat yang berserakan di nampan. Sedang Boim nampak berusaha mendekati Lulu, mau mengajak Lulu joget. Tapi Lulu berusaha mati-matian menghindari Boim. Sejak tadi keliatan Lulu akrab banget sama Drakuli. Jogetnya juga duaan di tempat yang agak terpisah. Tinggal Boim keki setengah mati.

Pak Gali masih sibuk dengan ayam panggangnya. Wangi ayam panggang yang hampir matang menyebar ke mana-mana, dan menusuk hidung anak-anak. Idung anak-anak sampe terasa geli ditusuk wangi ayam panggang. Meski begitu anak-anak masih seperti orang kesetanan dengan asyik berjoget.

Lagu dangdut-jazz tadi kini diganti ke lagu metal. Joget anak-anak jadi makin hot. Boim udah nggak mau pusing lagi soal Lulu. Boim akhirnya bisa menikmati joget sama Gusur yang mulutnya masih terus disumpel singkong rebus. Sambil mengacungkan tiga jari, dan kepalanya terangguk-angguk. Beberapa kali Boim dan Gusur kejeduk, karena mengangguk-angguk dengan jarak pala keduanya deket banget, tapi mereka udah trance. Saat itu Lupus mulai menggiring Kunti ke arah yang agak terpisah dan gelap. Pak Gali malah tersenyum. Nggak tau apa yang dirasakan Pak Gali. Tapi saat itu perasaan Lupus betul-betul bahagia. Bahagia karena bisa joget dengan Kunti yang udah lama dikejar-kejarnya. Kunti yang punya sorot mata tajam dan berwajah manis. Kunti yang misterius, tapi penuh daya tarik. Dan malam ini Lupus ingin mengatakan sesuatu yang terpendam di hatinya kepada Kunti.

"K-kunti," tukas Lupus gugup.

Kunti memandang Lupus dengan lembut. Tangan Lupus menggenggam jemari Kunti. Kunti menerimanya dengan pasrah.

"Ada apa, Pus..., kok jadi gugup gitu, sih?" tanya Kunti perlahan.

Lupus nggak segera ngejawab, tapi malah tersenyum-senyum sendiri.

"Ada apa,. Pus? Nggak biasa-biasanya, deh, kamu gugup begini?" tanya Kunti lagi.

Lupus akhirnya berani juga ngomong.

"Saya suka kamu, Kun. Saya pengen Kunti mau... eng... jadi pacar saya. Kunti mau, kan? Mau dong, ya?"

Kunti lagi-lagi menatap Lupus dengan tatapan tajam. Lalu tersenyum lembut. Lupus jadi sedikit grogi. Kelopak mata Lupus berkejap-kejap.

Ah, Kunti emang gak berkata sepatah kata pun sampai Lupus jadi grogi. Lalu Kunti menjelaskan bahwa ia seneng Lupus menyukainya. Tapi kalo kemudian Kunti menolak, itu bukan karena Kunti nggak ingin menghargai Lupus. Kunti bahkan nyaris nggak percaya kalo Lupus yang dianggapnya keren, menyukainya. Kunti menolak hanya karena Kunti merasa masih kecil, masih ingin sekolah. Kunti emang nggak seperti anak gadis lainnya yang udah bisa punya pacar pada seusia itu. Kunti sadar Kunti lahir dari orangtua yang kurang mampu. Jadi alangkah naif jika dalam kondisi seperti itu Kunti malah asyik pacar-pacaran seperti anak lainnya. Hingga kadang melupakan segala-galanya. Kalo sampe terjadi apa-apa pada Kunti, ah, orang hanya bisa mencemooh. Nggak tau diri, dan lain sebagainya. "Keadaan Kunti berbeda dengan gadis lain, Pus. Kamu mau mengerti keadaan Kunti, kan?" tukas Kunti sendu.

Lupus mengangguk lembut. Ah, rasanya inilah kali pertama Lupus ditolak cewek. Tapi Lupus bahagia. Bahagia, karena Lupus akhirnya bisa merasakan betapa enggak enaknya ditolak cewek. Dan siapa sangka, jika Lupus yang selama ini begitu gampang menggaet perhatian cewek-cewek, dan umumnya kalangan orang berduit, justru ditolak cintanya oleh Kunti yang amat sederhana?

Lupus membelai rambut Kunti, lalu tersenyum manis sekali.

"Terima kasih, Kunti, kamu telah mengajarkan sesuatu yang berarti buat saya. Bahwa orang enggak selamanya keluar sebagai pemenang!" tukas Lupus.

Angin beriup lembut menampar dedaunan. Awan tipis berarak dan menutupi sebagian wajah bulan. Saat itu tawa anak-anak makin keras mernbahana di sekitar areal pekuburan. Pesta berjalan meriah. Pak Gali sibuk memutar-mutar ayamnya di atas api yang berkobar-kobar. Wangi ayam panggang menyebar ke mana-mana.

Saat usai sebuah lagu, Drakuli langsung menghampiri Lupus yang saat itu. masih asyik bertatap-tatapan dengan Kunti. Di sudut lain Gusur dan Boim masih asyik jogetan. Padahal radio udah dimatikan Drakuli. Rupanya anak dua itu udah mulai kesurupan sampe gak sadar kalo radionya udah dimatiin dari tadi.

"Lupus...! Lupus...!" seru Drakuli ragu-ragu.

Lupus mengalihkan perhatiannya kepada Drakuli.

"Ada apa, Drak?" tanya Lupus setelah beberapa jenak menatap Drakuli dengan pandangan heran.

"Ng... ada yang pengen saya omongin, Pus." Drakuli makin grogi.

“Masalah apa, Drak? Kok kayaknya penting banget?" tanya Lupus sambil beringsut dikit dari Kunti. "Kalo emang penting, ngomong aja, Drak. Kamu mo pinjem duit, ya?" tukas Lupus lagi.

"Ah, bukan itu, Pus. Kita ngomongnya di pojokan situ aja, yuk," tukas Drakuli seraya menarik Lupus ke arah sudut yang agak gelap.

Lupus menurut aja, walau pikirannya masih sedikit bingung.

"Ada apa, Drak?" tanya Lupus begitu sampai ke tempat yang dituju. Lupus meletakkan pantatnya di atas batu nisan.

"Ng... anu, Lupus, ng... anu..."

"Anu apa?" Lupus jadi penasaran.

Ah, Lupus memang nggak tau kalo malam itu jadi malam yang sangat berat bagi Drakuli. Malam itu Drakuli ingin minta izin ke Lupus kalo Drakuli menyukai Lulu. Saat itu Lulu yang dasarnya emang seneng sama Drakuli oke-oke aja. Tapi kata Lulu, sebaiknya Drakuli minta izin juga ke Lupus. Lulu yakin, Lupus pasti mengizinkan Drakuli jadi pacarnya. Karena udah akrab, Drakuli juga yakin Lupus bakal mengizinkan kalo dia pacaran sama Lulu. Itu makanya, walau rada malu, akhirnya Drakuli nekat ngomong ke Lupus.

"Gimana, Lupus, boleh kan?" tanya Drakuli harap-harap cemas. Dan jawaban Lupus sungguh di luar dugaan.

"Wah, Drak, kayaknya berat, deh. Lulu adik gue satu-satunya, dan saya kakak Lulu satu-satunya. Sedang Mami saya masih aktif dengan usaha kateringnya. Tetangga saya kalo berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Kalimat saya emang udah mulai ngaco. Tapi saya cuma mau ngomong, kayaknya lamaran kamu mau jadi pacar Lulu belum bisa diterima. Lulu kan masih kecil, Drak. Kamu juga. Masih seusia. Di samping itu, soalnya adik sepupu kamu juga nolak saya, sih. Ya, maksudnya, kita tetap jadi temen akrab aja.

"Tapi kalo kamu mau pacaran sama Lulu, jangan dulu, deh. Mendingan sama Gusur aja, tuh. Qari dulu dia kosong," tukas Lupus cuek.

Drakuli bengong, nggak nyangka kalo bakal ditolak mentah-mentah sama Lupus.

Kesedihan menusuk-nusuk persaan Drakuli. Tanpa sepengetahuan yang lain-lain, Drakuli menghindar dari kelompok. Berjalan gontai menuju sudut yang agak gelap. Angin malam bertiup dingin. Saat itu Gusur dan Boim baru sadar kalo sejak beberapa menit yang lalu, mereka joget tanpa diiringi musik. Gusur dan Boim celingukan.

"Wah, kok radionya nggak bunyi lagi, Sur?" tanya Boim.

Gusur melongo. Dan Gusur baru akan menyetel radio lagi, ketika dari arah api unggun Pak Gali mengacung-acungkan ayam panggangnya yang mengepul-ngepul.

"Hoi, Anak-anak, mari sini. Nih, liat, ayam panggangnya udah mateng!"

Gusur demi mendengar Pak Gali berteriak soal ayam panggang, langsung mengubah niatnya. Apalagi wangi ayam panggang itu begitu mengejek perutnya. Gusur langsung lari dengan sekuat tenaga ke arah Pak Gali. Saat itu Lupus, Boim, Lulu, dan Kunti yang sadar apa yang terjadi, juga langsung menyusul ke arah Pak Gali.

"Hidup ayam panggang!" teriak mereka berbarengan. Sejenak mereka kemudian rebutan ayam panggang itu. Saling tarik dan saling dorong. Alhasil pembagiannya jadi nggak rata. Tapi mereka senang bisa berkompetisi begitu.

"Ya, siapa yang pinter dialah yang dapat paling banyak!" tukas Lupus. Gusur cuma bisa nginyem karena cuma dapat ceker dan sayap.

Untung Lupus mau berbaik hati dengan memberikan Gusur sepotong paha, karena kebetulan Lupus yang dapat bagian paling banyak. Seketika wajah Gusur berseri-seri. Dan malam itu dilalui anak-anak dengan menyantap ayam panggang. Mereka betul-betul menikmati malam yang indah. Apalagi makan ayam panggangnya diselingi tebak-tebakan yang norak tapi kreatif.

"Dari jauh item, dari deket item, dari samping, atas, bawah juga item, benda apakah itu?" tanya Gusur.

"Boiiim!" tebak anak-anak.

"Yak, seratus buat kalian."

"Gusur, jangan cari gara-gara lo, ya!" Boim ngamuk-ngamuk.

"Boim, daku kan main tebak-tebakan, bukan cari gara-gara!"

"Iya,Im, terima aja deh, Im."

Boim cuma merengut. Tapi sejenak kemudian Boim udah larut lagi dalarn keceriaan anak-anak. Tapi pas lagi asyik-asyiknya main tebak-tebakan, sekonyong-konyong dari pohon beringin besar yang tumbuh di samping rumah Drakuli, muncul makhluk item menyeramkan mencoba menakut-nakuti anak-anak. Makhluk itu menyeringai memperlihatkan taringnya yang tajam. Matanya merah menyala, dan napasnya mendengus-dengus.

Anak-anak menoleh ke arah makhluk itu, tapi nggak satu pun yang takut. Anak-anak malah tertawa terkekeh-kekeh menggoda makhluk itu, karena mengira makhluk serem itu Drakuli.

"Alaaaa..., Drakuli, jangan macem-macem, deh. Nggak seru, nggak lucu, dan nggak serem. Kalo mau nakut-nakutin jangan kita, dong!" goda Boim seraya mengacung-acungkan paha ayamnya.

Lupus juga nggak kalah keras berteriak.

"Drakuli, baru ditolak gitu aja marah. Kuno ah, pake nakut-nakutin segala lagi. Sini turun...!"

"Oh, itu. Drakuli tho, pantas dari tadi nggak keliatan," serobot Lulu. "Sini turun, Drak. Ntar keabisan, lho!"

"Iya, Drak. Sini turun, masih ada sisa ayam panggang buat lo!" teriak Pak Gali.

"Iya, Drak, turun, dong. Kan nggak enak kalo lo gak ikutan makan ayam panggang," jerit Gusur.

Baru aja Gusur berteriak, tiba-tiba Drakuli muncul dengan wajah sedih karena permohonannya tadi ditolak mentah-mentah oleh Lupus.

"Ada apa sih, manggil-manggil gue? Orang lagi sedih," tukas Drakuli. Anak-anak kaget dan mengalihkan perhatiannya ke arah Drakuli. Setelah bengong sejenak campur heran, anak-anak lalu melihat lagi ke arah pohon. Ternyata makhluk menyeramkan itu masih ada di situ dan masih terus menyeringai dengan ganas, siap menerkam anak-anak.

So jelas anak-anak kaget dan menjerit sejadi-jadinya, lalu tanpa pikir lagi langsung mengambil langkah seribu masuk ke dalam rumah. Karena ternyata makhluk menyeramkan di pohon beringin itu bukan Drakuli, melainkan setan betulan.

"Wuaaa... tolooong... tolooong ada setaaan!” jerit anak-anak seraya saling tumpang-tindih di dalam kamar Drakuli. Termasuk Pak Gali dan Drakuli.

Hihihi....