Skip to main content

Kamis, 31 Maret 2011

Idiih Udah Gede



Bab 1

"YIHAAA!"

Hampir berbarengan suara itu meledak di pelataran SMA Merah Putih. Pagi yang dingin, tapi sekejap berubah semarak oleh sorak-sorai anak-anak kelas 3 yang berkerumun di papan pengumuman lulus ujian anak-anak SMA Merah Putih. Sekumpulan burung gereja yang sejak lama membuat sarang di atas cerobong air, berhamburan terbang saking kagetnya. Seiring lonjakan gembira anak-anak yang sudah memastikan diri lulus.

Ya, sepanjang pagi tadi mereka udah tegang banget nungguin papan keramat itu dibawa keluar. Mereka bergerombol, ngerumpi, deg-degan, dorong-dorongan, jambak-jambakan, senggol-senggolan, pokoknya kanibal banget! Itu karena, konon tersebar isu bahwa tahun ini murid tidak lulus seratus persen. Nah, jadi wajar dong kalo mereka tegaang banget. Makanya setelah tau bahwa ternyata mereka bukan termasuk yang gak lulus, mereka girang setengah mati. Melonjak-lonjak mengekspresikan perasaan mereka yang sukar dilukiskan.

Lupus, begitu tau namanya tertera sebagai murid yang lulus, kontan mengepalkan kedua tangannya di udara, menari-nari kegirangan sambil berlari keliling lapangan. Disusul Anto, Gito, Aji, Ruri, lalu temen-temen lainnya. Gak ketinggalan si artis kapiran, Fifi Alone.

Lupus malah sempet buka baju segala, dan melemparkan ke udara. Sebelum jatuh, Gito yang tangkas udah keburu menjambretnya. Lalu membawa lari keliling lapangan. Tinggal Lupus yang kelabakan. Mokal bodinya yang ceking mekingking jadi tontonan orang. Ia pun setengah mati mengejar-ngejar Gito.

"Hei, Dodol, kembaliin baju gue!" teriak Lupus.

Gito malah ketawa cekikikan. Kemudian melontarkan baju itu ke arah Anto. Anto menyambutnya, sebelum akhirnya membawa lari baju itu ke sudut lapangan.

Lupus makin keki.

"Ayo kejar, Pus!" ejek Anto dari kejauhan.

"Hei, kembaliin, dong. Pada ngocol nih!" Lupus menjerit setengah putus asa.

Meta, Ita, Utari yang sempet ngeliat Lupus ber'bugil-ria' menjerit tertahan sambil menutup muka, "Aiiih, syereeeem!" Tapi matanya pada mengintip dari sela-sela jari mereka.

"Bodi apa papan penggilesan, tuh!"

"Ih, tega lo. Masa segitu kerennya dibilang papan penggilesan? Bukan dong, itu kan gergaji! Hihihi...”

"Badan kok selembar?"

"Yeee, bolehnya pada sirik! Biar kurus tapi kan seksi!" tangkis Lupus, sambil kembali mengejar Anto. Diem-diem dia mokal berat telanjang dada begitu.

Sementara Anto udah mengoper baju ke arah Aji, dan Aji langsung menyembunyikannya di semak-semak.

"Hei, mo' dikemanain baju gue?" tanya Lupus sekonyong-konyong, setelah sadar bahwa bajunya udah gak dipegang Anto lagi.

"Cari aja, ntar juga ketemu."

"Sompret kalian!" Lupus terus memaki-maki. Anak-anak malah makin ketawa riang ngeliat tingkah Lupus yang jadi lucu. BiI1gung, kayak orang kebakaran jenggot. Sibuk sendiri nyariin bajunya di antara semak-semak. Untung ketemu. Tapi pas dipake, mendadak terasa sesuatu yang menggigit-gigit sekujur badannya, dan...

"Yaaaaiiii!!!" Lupus menjerit kesakitan sambil buru-buru melepas kembali bajunya. Ya, ternyata banyak semut-semut nakal menempel di bajunya.

Lupus makin misuh-misuh sama anak-anak yang tertawa terpingkal-pingkal.

***

Tapi suasana ceria itu tentu gak terganggu
hanya karena peristiwa konyol tadi. Buktinya beberapa saat kemudian, Lupus sudah kembali bergabung dengan anak-anak lainnya yang juga lulus. Saling menandatangani baju. Ada yang pake spidol, ada yang pake pylox, dan ada juga yang pake lipstick. Yang pake lipstick, siapa lagi kalo bukan artis kita Fifi Alone? Tapi, emangnya Fifi lulus? Nah, dia emang patut dicurigai kalo lulus. Anak yang punya penyakit aphasia alias salah ngomong melulu itu, nilai-nilai ujiannya kan banyak yang amblas?

Wah-tapi gak tau, deh. Kita gak bisa berkomentar banyak mengenai hal ini. Soalnya, ada yang bilang Fifi Alone itu nyogok biar bisa lulus. Dia kan orang kaya. Bapaknya, denger-denger, termasuk konglomerat. Jadi gak ada yang sulit buat dia.

"Fifi, sini rambut kamu kita cat biar kayak orang bule," ujar Lupus sambil langsung menyemprotkan pylox merahnya ke kepala Fifi, srrrttttt!

"AAAW!" Fifi Alone menjerit tertahan. Tapi sedetik kemudian, sebagian anak lainnya juga menyemprot dengan warna-warna centil lainnya. Jadilah warna rambut Fifi Alone berwarna-warni centil.

Lalu sekejap kemudian, semua anak pun saling menyemprotkan pylox ke rambut dan baju teman-temannya. Semua kena, semua pasrah. Rasanya begitu bebas, lepas, dari beban kurikulum yang selama ini mengimpit. Beban aturan-aturan sekolah yang menjemukan; gak boleh ngeluarin baju seragam, gak boleh bawa makanan ke dalam kelas, gak boleh melompat pagar, gak boleh bermain voli di dalam kelas, gak boleh tidur saat guru menerangkan, gak boleh nyontek saat ulangan, gak boleh mengganti baju olahraga di depan kelas, gak boleh mencorat-coret dinding, gak boleh masuk ke kamar kecil cewek bagi cowok-cowoknya, gak boleh menyanyikan lagu Guns n' Roses saat upacara bendera, dan seabrek peraturan lainnya. Makanya hari ini, hari hancurnya belenggu itu, dirayakan semeriah mungkin oleh anak-anak.

Tapi, di mana Boim?

Anak itu tak nampak ikut bersenang-senang dengan Lupus dan kawan-kawannya. Apa dia gak lulus?

Ya, wajar juga sih kalo tu' anak' kagak lulus. Waktu ujian aja, dia yang paling sibuk banget nyari bocoran dan contekan dari temen-temennya. Pernah sekali dikerjain sama Lupus. Pas ujian fisika, baru sepuluh menit berlangsung, wajah Boim sudah nampak pasrah. Ia bersuit-suit memanggil Lupus yang duduk gak jauh dari dia. "Pus, tulisin gue nomor satu, dong!" desah Boim.

"Berapa? Nomor satu?"

Boim mengangguk penuh harap-harap cemas.

"0, itu sih gampang," tulis Lupus sambil menulis sesuatu di secarik kertas. Gak berapa lama, kertas itu langsung ditimpukkan ke arah Boim. Tepat kena idungnya. Boim serta-merta memungut, dan membuka dengan perlahan. Tapi betapa bengongnya ia ketika tau yang tertulis di situ cuma angka 'satu' aja.

"Pus, kok yang ada cuma tulisan angka 'satu' aja? Mana jawaban soalnya?" Boim protes.

"Lho, elo kan tadi cuma minta ditulisin nomor 'satu' aja. Itu apa bukan angka 'satu' yang gue tulis?"

Boim bengong.

Makanya anak-anak curiga kalo Boim itu gak lulus.

Tapi, apa iya?

Ya, kita liat aja. Ternyata sejak pagi tadi, si Boim udah menghadap Ibu Biologi yang jadi wali kelasnya. Ia memang dipanggil, karena ada tanda-tanda gak lulus.

Boim jelas panik. Dengan akal kadalnya, ia berusaha meyakinkan Ibu Biologi, "Wah, gawat deh, Bu, kalo saya sampe gak lulus. Gawat. Ngeri. Syerem. Seru. Tegang."

"Apanya yang gawat?" tanya Ibu Biologi acuh tak acuh sambil membenahi kertas-kertas ijazah yang baru ia periksa.

"Anu, Bu. Kalo saya gak lulus, orangtua saya bisa setep. Soalnya sayalah satu-satunya yang diharapkan bisa gak mengikuti jejak Babe yang jadi tukang ketupat, Bu. Mereka ngarepin betul saya jadi dokter, Bu. Lha, gimana saya bisa jadi dokter kalo lulus SMA aja enggak? Tolong, deh, Bu. Mau kan, Bu? Mau deh...," bujuk Boim.

Ibu Biologi jadi kesel juga digerundelin Boim kayak gitu. "Kamu ini apa-apaan, sih. Makanya kalo di sekolah itu belajar yang rajin. Jangan main melulu!" bentak Ibu Biologi hilang kesabarannya.

"Ya, Ibu. Masa ngelulusin saya aja gak mau. Lulusin, deh!" Boim pantang'menyerah.

"Lulus dengkulmu!" akhirnya ia gak tahan juga menghadapi anak gokil yang satu ini. "Sana urus sama Pak Jumadi! Ibu ada perlu dengan Bapak Kepala Sekolah...." Serta-merta Ibu Biologi meninggalkan Boim.

Tinggal Boim melongo sendirian. Tapi dasar tu' anak muka badak, ia pun melanjutkan serangan ke Pak Jumadi, guru matematik yang ngomongnya cempreng banget. Mungkin mau niru-niru pengajar matematika yang di tipi.

"Halo, Pak Jumadi, kawan baik saya. Lagi sibuk, ya? Kok nampaknya serius sekali," sapa Boim memasang muka ramah.

"Udah, langsung aja bilang apa maumu. Tak usah merayu," ketus jawaban Pak Jumadi.

"Aduh, Bapak jangan galak begitu, dong. Saya cuma mau tanya, apa saya lulus?"

"Kamu Boim, kan?"

"Iya. Gimana? Lulus?"

"Kamu gak usah khawatir...," suara Pak Jumadi me1embut.

"Jadi, maksud Bapak saya lulus?" Mata Boim berbinar. "Cihuuui!"

"Lulus congormu! Maksud Bapak, selama guru-guru di sini belon pada gila, pokoknya kamu jangan khawatir lulus, deh!"

"Aduh, jelasnya gimana, Pak?"

"Lha, kamu sendiri kan tau guru-guru di sini belum pada gila......

"Jadi... saya..." Boim ragu-ragu ngomong.

"Nggak lulus!" serobot Pak Jumadi.

"Aduh, Maaak, mati gue! Mati saya, Pak Jumadi. Wah, Pak Jumadi tega bener. Masa saya gak lulus, sih? Kasihan saya dong, Pak. Lulusin saya, dong. Aduh, Bapak ini gimana, sih?" Boim jadi ribut bener.

"Tak bisa. Soalnya nilai kamu tak mendukung, sih!"

"Tapi kalo saya gak lulus, Bapak tau apa yang bakal terjadi?"

"Lho, kenapa dipikirin amat? Itu bukan urusan saya, tho?"

"Wah, gawat dong kalo begitu...."

"Gawat buat situ, kan? Buat saya tidak."

Mendengar Pak Jumadi berkata begitu, Boim kontan menangis menggerung-gerung. Tinggal Pak Jumadi yang ganti kelimpungan menenangkan.

"Ada apa ini?" Ibu Biologi yang telah kembali dari kantor Kep-Sek tergopoh-gopoh menghampiri.

"Ini, Bu, Boim kesurupan."

"Sudahlah, Boim. Ibu dan Bapak Kepala Sekolah sudah memutuskan, kamu lulus. Tapi lulus percobaan. Nanti kalo di perguruan tinggi kamu tetap malu-maluin, saya bakal tarik kamu ke SMA lagi," putus Ibu Biologi.

"Ha?" Boim menyeka air mata buayanya. "Jadi saya lulus?"

"Iya. Tapi katrolan."

"Cihuuuiii!" Boim melonjak kegirangan. Lalu berlarian keluar. Berbaur dengan teman-temannya yang lain.

Sebuah semprotan pylox hitam mampir ke mukanya, langsung menyambut kehadiran Boim di lapangan.

Sang Kep-Sek yang ikut memantau kegiatan anak-anak dari balik jendela kantornya bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Seperti hancurnya tembok Berlin di Jerman!"

"Betul, Pak. Tepatnya, sekolah kita lama-lama bakal ikut ancur juga!" komentar Guru Kesenian yang ikut mendampingi Kep-Sek.

Tiba-tiba terdengar suara sirene meraung-raung.

"Apa itu, Pak?" Kep-Sek menatap Guru Kesenian. Guru Kesenian ganti menatap Kep-Sek.

Mereka berdua saling tatap-menatap.

"Seperti suara mobil pemadam kebakaran!"

"Apa yang terbakar?"

"Jangan-jangan sekolah kita!"

"Mari kita keluar!" Kep-Sek panik berlarian keluar. Ia hanya sempat menyelamatkan naskah pidatonya yang baru disiapkan di meja tugas.

Pas sampe di luar, mereka berdua bengong melihat mobil pemadam kebakaran itu parkir di halaman sekolah, sibuk mengguyur anak-anak yang kegirangan. Ya, ternyata anak-anak itulah yang menyewa mobil pemadam kebakaran buat memeriahkan suasana.

Tapi, satu lagi teman Lupus yang dari tadi belum kelihatan. Gusur. Ya, di mana anak itu?

Asal kamu tau aja, ternyata seniman sableng itu emang bener-bener sableng. Waktu pengumuman ujian ini berlangsung, dia malah asyik ikut mancing sama engkongnya di pantai. Cuek pada situasi. Pasalnya tadi pagi-pagi sekali dia udah dibangunin engkongnya untuk pergi mancing. Dan karena dua keturunan itu emang hobi banget mancing, ya mau aja.

Dan dia gak tau kalo ternyata dialah satu-satunya siswa SMA Merah Putih yang gak lulus. Abis gimana mau lulus, waktu yang lain pada ujian aja dia malah ikut engkongnya pulang kampung ke Solo. Lengkaplah sudah kesalahannya.

Eh, tapi jangan mikirin Gusur dulu, kita liat aja Kep-Sek yang dari tadi sibuk menenangkan murid-muridnya yang masih dalam luapan emosi gembira. "Perhatian! Perhatian!" Kep-Sek bersuara lewat mimbar melalui mikropon.

Anak-anak tetap berisik. Lupus malah lagi sibuk menandatangani baju anak-anak cewek yang berdiri berjejer sambil bergandengan tangan.

"Hoi! Perhatian! Perhatian!" Kep-Sek berteriak lagi.

Anak-anak menoleh. "Eh, ngapain tuh Kep-Sek?"

"Mau pidato, kali. Kita dengerin, yuk. Kasihan. Ini kan pidato terakhir dari dia yang bakal kita denger."

Ya, Kep-Sek emang hobi banget pidato. Dan dan tadi pagi dia udah ngebela-belain bikin konsep yang ia tulis di secarik kertas.

Anak-anak mulai merubung, hendak mendengar.

Kep-Sek tersenyum puas memandang mereka. Dan langsung membacakan pidatonya

"Terus terang, terus gelap...

"Bapak ucapkan selamat dengan tulus kepada yang lulus. Semoga jalan ke depan makin mulus, dan kalian dapat nilai plus.

"Dan Bapak sih setuju-setuju saja kalian merayakan kegembiraan seperti ini. Ini memang sudah menjadi tradisi di setiap tahun. Tapi diharap setiap murid harus kontrol diri. Karena ada perintah dari PDK bahwa sebetulnya kalian tak boleh merayakan aksi gila-gilaan seperti ini, supaya tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

"Karena terus-terang, sebetulnya kalian harus bersedih lepas dari SMA. Karena kata orang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Karena jalan yang bakal kalian lalui setelah lulus SMA akan semakin sulit dan berbelit serta bisa bikin mata bintit karena hobinya ngintip.

"Banyak lulusan SMA yang tak tau harus meneruskan ke mana. Mau ke Perguruan Tinggi Negeri, tes masuk bersaing ketat. Mau ke Perguruan Tinggi Swasta, biayanya terlalu mencekik. Mau langsung kerja, zaman sekarang dengan modal ijazah SMA, apa yang bisa diharapkan?

"Bukan. Bukannya Bapak mau mengurangi rasa gembira kalian dengan membeberkan fakta ini. Hanya perlu diingat bahwa kalian justru baru mulai masuk ke dunia yang sesungguhnya. yang.....

Dor! Dor! Dor!

Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara petasan yang disulut oleh anak-anak A3. Semua kaget, terutama Kep-Sek. Dan akhirnya suasana kembali rame. Murid-murid seperti tersadar kembali, ngapain sih dengerin pidato di saat hura-hura begini?

"Ah, pidatonya gak seru. Kita konvoi keliling Jakarta aja, yuk?" ajak Gito. Anak-anak lain pun kontan setuju. Mereka berlarian ke mobil-mobil yang emang udah disiapkan untuk konvoi.

"Hoii, pada mau ke mana? Pidato saya belum selesai. Tinggal beberapa bab lagi!" teriakan Kep-Sek tak digubris.

Akhirnya dengan bak terbuka dan CJ-7 yang kapnya juga dibuka, mereka mulai konvoi keliling kota dengan dandanan ala punk.

Cewek-cewek ikut di mobil sedan yang nguntit di belakang. Wah, seru. Setiap ketemu anak-anak dari sekolah lain, mereka saling berteriak dan ber-toast.

"HOOII, SELAMAT LULUS, YA?"

Bab 2

SETELAH lelah main pawai-pawaian, Lupus gak langsung pulang. Tapi malah terus ke kantor majalah tempat ia magang jadi wartawan freelance. Dia mau nunjukin sama orang-orang di sana, para wartawan dan satpam, kalo dia itu sekarang udah gede. Udah lulus SMA. Jadinya awas aja kalo masih pada minta dijajanin sembarangan lagi.

Ya, selama ini kalo Lupus nongol di kantor HAI, orang-orang di sana, termasuk red pel-redaktur pelaksana-dan satpam, langsung pada minta ditraktir. Mending kalo basa-basi dulu. Biasanya mereka langsung main pesen makanan aja. Ada yang mesen siomai, mie pangsit, rujak buah atau sate. Dan dengan tanpa dosa, mereka menunjuk Lupus sebagai penyumbang dana.

"Alaaa, kamu kan masih kecil, Pus. Biaya hidup kamu belon seberapa. Sekali-sekali ntraktir begini kan gak apa-apa," komentar Mas Iwan.

"Iya, Pus. Honor dari tulisanmu paling-paling kan gak abis buat jajan di sekolahan. Di sana kan jajannya murah-murah. Mending kamu jajan di sini. Sekali jajan, honor tulisanmu langsung habis. Kan praktis, tuh. Gak cape-cape mikir mau nabung, mau beli ini-itu," Mbak Retno ikut menimpali.

Tapi hari ini gak ada lagi traktir-traktiran!

Dulu-dulu bolehlah. Karena Lupus masih kecil, masih belum lulus SMA. Sekarang? Hohoho, Lupus sudah besoar!

Waktu melewati warung-warung tegal dan warung tenda di depan kantor majalah, Lupus sempat jadi buah bibir. Dia jadi bahan omongan orang-orang sewarung lantaran dandanannya yang kelewat ajaib.

"Iya, pasti itu orang planet. Aye yakin banget, deh," tukas Mpok Ijah tukang gado-gado yang asbet. Asli Betawi.

"Ah, masa sih orang planet keren begitu? Pasti orang gila!" timpal seorang pengunjung warung.

Lupus sebenernya gak enak juga diomongin begitu. Tapi demi pengakuan, Lupus emang sengaja gak ganti baju. Dia kan mau ngasih tau sama orang-orang se-majalah kalo dia itu lulus. Nah, baju yang penuh coretan tanda tangan ini tentu jadi barang bukti yang otentik. Juga rambut warna-warni yang disemprot pylox. Sayang, orang sewarung itu gak tau misi yang sedang Lupus emban.

"Aye yakin deh, pasti dia orang planet. Sebab aye pernah liat di komik anak aye kalo orang planet tuh rambutnya bekelir begitu. Eh, Jo, mending lo ikutin tu orang. Lo liat di mana dia parkirin piring terbangnya." Orang-orang sewarung pada berjubel-jubel mengintip dari balik jendela yang kordennya lusuh.

Ya, demi pengakuan mau dibilang orang planet, orang gila, terserah!

Lupus terus mengayunkan kakinya dengan mantap. Meski di belakang puluhan mata dan mulut terheran-heran. Juga dua anak kecil yang dipapasinya.

"Kak, lulus, ya?"

Lupus mengangguk. "Emangnya kenapa kalo saya lulus?"

"Gini, Kak, saya kan udah kelas enam. Dikit lagi saya juga lulus. Saya pengen deh baju saya ditanda-tangan seperti Kakak. Tapi temen-temen saya belum bisa bikin tanda-tangan, Kak. Bisa nggak, Kak, minta tolong sama temen-temen Kakak untuk menandatangani baju saya nanti kalo saya lulus?"

Lupus bengong.

"Bisa kan, Kak?"

"B-bisa."

Anak kecil itu pun tersenyum senang. Sambil meninggalkan Lupus yang terbengong-bengong, kedua anak kecil itu bersalaman.

Sedetik kemudian Lupus ingat sama misinya untuk menunjukkan ke-gede-annya. Segera ia menerobos pintu depan yang pinggirnya selalu dijaga satpam.

"Halo, Mas Satpam," sapa Lupus pada satpam yang juga sering minta traktir Lupus.

"Hei, Lupus! Wah, abis dari mana, nih? Ikut lomba lukis kontemporer, ya?"

"Saya bukan abis ikut lomba lukis, Mas. Saya sekarang sudah lulus. Ini baju penuh tanda-tangan temen-temen saya. Buat kenang-kenangan."

"Lulus? Wah, hebat. Saya boleh ikut nanda-tangan, dong."

"Wah, gak boleh, Mas. Ini khusus temen-temen saya aja."

"Lho, apa saya bukan temen kamu, Pus? Saya kan orang yang sering kamu traktir. Apa ini belum belum membuktikan kalo saya ini temen kamu?"

"Tapi...”

"Ah, sudahlah, Pus. Masa gak boleh, sih? Jangan pilih kasih begitu, dong. Kebetulan saya juga punya spidol nih!"

"Eh, ja.....

"Di mana tanda-tangannya?"

"Eh, kecil aja, ya?"

"Jangan khawatir, Pus. Di sini aja, ya?"

Mas Satpam siap-siap membubuhkan tanda-tangannya. Ia mencari-cari tempat yang agak kosong. Sudah tak ada. Tapi Mas Satpam bukan tipe orang yang putus asa. Dengan yakinnya dia menandatangani baju Lupus pas di atas tanda tangan Poppi, yang oleh Lupus amat dijaga agar jangan tercampur dengan tanda-tangan lain. Sekarang? Ah-sialan!

"Sudah, Pus. Dulu waktu saya lulus gak ada coret-coretan model begini. Apalagi saya sekolah di kampung yang anak-anaknya paling banyak punya baju putih dua biji. Itu juga dipakai selama tiga tahun, dan kalo tamat langsung diwariskan ke adiknya. Jadi kalo dicorat-coret seperti ini kan gak bisa dipake sekolah lagi. Makanya sekarang saya puas bisa ikut menandatangani baju kamu, Pus. Makasih banyak, ya? O ya, tadi sebelum kamu datang, saya udah pesen mie pangsit. Ntar tolong bayarin ya, Pus? Kamu kan udah gede....”

Udah gede? Lupus hampir berteriak girang, karena pengakuannya mulai diakui. Selama ini, meski udah 17 tahun, Lupus masih sering dianggap anak bawang di kantor majalah situ. Itu lantaran kelakuannya yang tetap minus.

"Tapi, Mas Satpam, saya kan udah gede, kenapa masih disuruh bayarin?"

"Lho, justru karena udah gede kamu jadi bisa ngebedain mana yang baik dan mana yang buruk. Nah, mentraktir orang kan berarti membuat orang lain senang. Itu perbuatan baik....”

Dasar kadal! Lupus memaki dalam hati. Dan langsung meninggalkan Mas satpam yang tersenyum kesenangan.

Lupus melangkah masuk ke gedung majalah. Di ruang bawah, Lupus kepergok resepsionis yang kece. Lupus segera memberi senyum, seperti biasanya. Tapi si resepsionis bukannya ngebales senyum Lupus, malah cekikikan. Dia geli banget ngeliat tampang Lupus yang amburadul. Apalagi rambutnya yang dicat warna-warni mulai luntur kena keringat. Jadi jidat dan pipi Lupus ikut berwarna juga.

"Mau ikutan topeng monyet di mana, Pus?" goda resepsionis.

Lupus ketawa.

"Eh, emangnya saya mirip topeng monyet, Ta?"

Si resepsionis cekikikan lagi. Tapi itu lebih baik daripada minta traktir, kan? Lupus pun buru-buru memencet tombol lift.

"Pus, kok buru-buru sih?" ujar resepsionis.

"Mau ikutan tanda-tangan boleh, kan?"

"Enggak!"

"Kalo gak boleh ya gak apa-apa. Tapi jangan lupa bayarin siomai ya, Pus? Kamu kan udah lulus sekolah....”

Lupus tercekat. Dia mau protes, tapi pintu lift keburu terbuka. Sial!

Sampai di lantai 5, Mas Dharmawan, Mas Kibro, dan para wartawan dan redaktur kontan bengong ngeliat penampilan Lupus yang rada lain.

"Kenapa lo, Pus?" tanya Mas Agus yang lagi menurunkan berita lomba balap karung.

"Saya lulus, Mas," Lupus bangga.

"Wah, traktir, dong!"

"Eh, justru..."

Telat. Mas Agus keburu teriak, "Hoii, Lupus lulus! Dan dia mau traktir kita-kita!"

Para wartawan dan redaktur yang tadinya keliatan lemes itu berubah jadi beringas. Langsung berhamburan keluar untuk memesan makanan di kantin. Tinggal Lupus yang bengong sendiri.

Untung Mas Iwan yang red-pel itu gak ikutan mabur pesen makanan. "Ya, saya duitnya aja ya, Pus?" tukas Mas Iwan kalem.

Sialan. Dikira gak mau!

"Pus, boleh aja kamu lulus di sekolah. Tapi di sini status kamu masih tetap magang. Belum lulus jadi pembantu khusus. Kecuali kamu bisa bikin tulisan dahsyat buat majalah kita. Gimana, mau? Kamu kan udah gede," pancing Mas Iwan.

Lupus merasa ditantang.

"Boleh, Mas."

Lupus nerima tawaran itu. Dan ia langsung spontan mengajukan satu tema tulisan yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya.

"Tulisan tentang apa, Pus?" tanya Mas RedPel lagi.

"Anu, Mas. Tentang remaja cewek yang pulang pagi."

"Pulang pagi? Apa istimewanya?"

"Gini. Banyak remaja sekarang yang hobi banget ke diskotek. Pulangnya lewat jam dua pagi. Padahal sebetulnya dia itu belum diizinkan orangtuanya untuk ke disko. Tapi mereka nyolong-nyolong waktu pergi. Nah, setelah jojing sepuasnya, giliran mereka kelimpungan gimana cara pulang ke rumah tanpa ketauan atau dimarahi orangtua. Dari sini kan banyak yang bisa kita gali, Mas. Mereka kadang punya akal kadal untuk nipu orangtuanya. Coba itu, sampai segitu dibela-belain!"

Mas Iwan mikir sejenak.

"Gimana, Mas?" tanya Lupus.

"Apanya?"

"Itu. Tema tulisan yang saya ajukan."

Mas Iwan memandang ke arah seorang cowok yang kayaknya baru Lupus lihat. Yang ternyata dari tadi duduk di meja kosong di balik lemari buku. "Menurut kamu gimana, Rez? O ya, Pus. Kenalkan, ini Reza, calon wartawan kita juga. Dia baru datang dari Australia. Lagi magang di sini.

"Menurut kamu gimana, Rez?"

"Menarik," ujar Reza singkat. Ada nada tak acuh.

"Oke. Kamu garap aja, Pus. Kamu langsung aja terjun ke dunia mereka. Ikut ngerasain langsung. Kalo bagus, bisa kita turunkan sebagai laporan utama. Tapi, apa kamu bisa bikin tulisan kayak gitu?"

"Bisa, Mas."

"Yang bener?"

"Bener."

"Traktir dulu, dong."

"Katanya Mas mau duitnya aja."

"0, iya. Saya lupa, Pus."

"Saya yakin bisa, Mas."

"Oke, kapan nyerahinnya?"

"Wah, jangan pada waktu dekat ini. Saya mau refreshing dulu abis ujian. Masih stres. Mau liburan. Setelah itu, saya juga harus ngedaptar masuk kuliah."

"Ooo, kamu mau kuliah juga?"

"Iya, dong."

"Jadi kapan?"

"Ntar, kalo udah dapet sekolah."

"Kalo gak dapet sekolah?"

"Pasti dapet."

"Dan tulisan itu pasti bisa?"

"Pasti. "

"Oke, saya tunggu."

Sementara itu para wartawan dan redaktur yang abis berpesta-pora muncul sambil teriak-teriak terima kasih ke Lupus.

"Terima kasih, ya, Pus. Moga-moga aja kamu sering-sering lulus, gitu."

Hihihi... .

Bab 3

MENJELANG magrib, Lupus baru ingin pulang. Dari kantor HAI tadi, Lupus sengaja jalan-jalan sore dulu dengan beberapa teman-temannya. Ia mau ngerasain pake baju sekolah terakhir kalinya seharian penuh.

Sementara Mami dan Lulu waswas nunggu di rumah. Mami takut Lupus gak lulus. Dan juga Lulu udah dijanjiin mo' ditraktir kalo Lupus lulus. Dari siang Lulu sengaja belum makan. Dia yakin kalo Lupus pasti lulus. Bukan lantaran Lupus pinter, tapi rasanya aneh kalo ada anak sekarang yang gak' lulus SMA. Rata-rata mereka lulus semua. Lulu aja yang naik ke kelas 3, gak mau ngotot belajar lagi. Santai aja. Soalnya pasti lulus, kok.

"Si Lupus lulus gak ya, Lu?" ungkap Mami.

"Lulus, Mi. Pasti."

"Kok sampe sore begini belum pulang, ya?"

"Paling jalan-jalan ke Ancol."

"Ngapain?"

"Kalo gak berenang ya mancing."

"Kok lulus-lulusan pake mancing segala, sih?”

"Di Ancol tuh pada jalan-jalan, Mi. Pake mobil keliling-keliling. Supaya orang pada tau kalo Lupus lulus, gitu. Ntar juga kalo Lulu lulus mau ngiter-ngiter."

"Ngiter-ngiter ke mana?"

"Ngiter-ngiter di dalam kamar aja."

Mami tiba-tiba ngeliat bayangan di jendela depan. Lupus? Mami memburunya.

"Lupus, ya?" panggil Mami.

Tak ada sahutan. Mami membuka jendela pelan-pelan. Lupus emang suka bikin kejutan. Pasti ini Lupus, tebak Mami.

"Pus, masuk, dong! Tak usah ngumpet-ngumpet segala. Mami udah gak sabar pengen ngasih selamat sama kamu, Pus."

Masih tak ada jawaban.

"Puuus..."

Diem-diem Mami meraih gagang sapu. Kalo udah kesel, Mami emang suka nekat.

"Kalo gak mau masuk, Mami timpuk, nih! Ayo, masuk!" ancam Mami.

Bayangan di balik jendela itu mulai bersuara.

"Ayo masuk!"

Terdengar suara batuk.

"Alaaa, gak usah pake batuk-batukan, deh." Mami membuka kunci jendela untuk siap menggetok batok kepala Lupus. Tapi bayangan itu bukan milik Lupus. Melainkan milik seorang pemuda dengan raut wajah ketakutan.

"Hei, siapa kamu?" si Mami kaget.

"S-saya mau numpang tanya, Tante. Tapi baru jendela ini mau saya ketok, ee kok malah saya sudah diancam mau ditimpuk. Saya jadi gak jadi. Mana saya dikira kucing, lagi. Pus, pus... huh. Mendingan saya tanya sama yang lain aja. Permisi, Tante."

Lulu cekikikan. Geli ngeliat Mami yang mau ngemplang pake gagang sapu tapi gak jadi. Sampe orang itu pergi, Mami masih stop motion.

Gak lama pemuda tadi menghilang di ujung jalan. Di kejauhan, Mami kembali menangkap bayangan Lupus yang tengah bersiul-siul. Mami takut salah lagi. Ia pun menajamkan pandangannya. Ah, rasanya kali ini pasti benar!

"Lu, Lupus, Lu," teriak Mami pada Lulu yang kelihatan udah mulai lemes lantaran menahan lapar.

Lulu beranjak menghampiri Mami. Lupus dari kejauhan melambaikan tangan.

"Kita sambut, yuk?" ajak Mami.

"Ayo."

Mami dan Lulu keluar ke jalan. Lulu kemudian berlari-lari kecil menghampiri Lupus. Kedua tangan direntangkan ke depan. Larinya slow motion.

Lupus yang tau dirinya disambut, jadi berbalik arah berlari slow motion membelakangi mereka.

Harapan Lupus, Lulu akan terus mengejar.

Tapi Lulu udah keburu kesel, dan mengajak Mami masuk. Apa-apaan sih si Lupus ini!

Sementara Lupus terus berlari. Disangkanya Mami dan Lulu terus mengejar. Pas Lupus menoleh, ternyata Lupus gak ngeliat siapa-siapa di belakangnya.

"Lho, pada ke mana?"

Akhirnya Lupus balik lagi. Ah, kenapa mesti main lari-larian sih? Di rumah Mami dan Lulu jadi gak mood menyambut kedatangan Lupus.

"Halo, Mami, Lupus lulus, Mi," ujar Lupus masih bersemangat.

"Udah tau."

"Kok gak ngasih selamat?"

"Salah sendiri. Tadi mau dikasih selamat malah lari."

Lupus masuk ke dalam. Di meja makan ia ngeliat Lulu yang kelemesan.

"Eh, Lu, saya lulus, Lu."

"Udah tau."

"Kok gak ngasih selamat?"

"Kamu kan janji mau nraktir saya kalo lulus. Apa kamu kira saya lupa, ya? Gak zaman deh kasih selamat-selamat segala. Cepetan traktir saya sekarang juga. Traktir apa aja. Saya udah gak tahan, tau!"

"Lu, duit saya abis buat nraktir orang-orang di kantor majalah."

"Masa bodo. Yang penting traktir. Apa kamu tega ngeliat adikmu mati lemes?"

"Tega."

"Hah?"

***

Besok malamnya Lupus kembali kasak-kusuk nyari sepatu, kaos kaki, dasi, slampe, sampai ke gel yang bisa bikin rambut kaku kayak ijuk. Gara-gara udah lulus, tu barang emang jadi pada gak keurus. Ya, malam ini Lupus mesti hadir di acara perpisahan kelas. Bagi Lupus itu sama aja artinya pisah dari Poppi. Makanya Lupus punya niat tampil keren. Sayang, barang-barang yang dibutuhkan pada ngumpet semua.

Lupus terus mencari.

Sekarang tinggal kaos kakinya yang belum ketemu.

"Lu, liat kaos kaki saya, nggak?" tanya Lupus sambil terus mengorek-ngorek celengannya. Kali-kali aja dia pernah lupa ngemasukin kaos kakinya ke situ.

"Lu, liat kaos kaki, nggak?" jerit Lupus lagi.

"Liaaat," Lulu membalas menjerit.

"Kaos kaki saya?"

"Bukan. Kaos kaki saya."

"Yang saya maksud kaos kaki saya."

"Saya liatnya kaos kaki saya."

"Kalo kaos kaki saya liat, nggak?"

"Kalo liat juga gak bakal gue bilangin. Abis kemaren lo nggak jadi traktir!"

"Lu, tolongin saya, dong. Saya mau ada perpisahan kelas, sekaligus perpisahan sama Poppi."

"Pisah sama Poppi?"

"Iya. Dia mau nerusin ke Australia."

"Australia yang luar negeri itu?"

"Emangnya ada Australia di dalam?"

"Hebat ya si Poppi. Pus, kamu kok gak sedih, sih?"

"Lho, apa saya dari tadi gak keliatan sedih? Ini jelas-jelasan lagi sedih. Apalagi kaos kakinya belum ketemu. Makanya kamu bantuin saya nyari kaos kaki, dong."

"Wah, saya nggak nyangka, Pus, kalo kamu malam ini mesti menghadapi saat yang paling gak enak."

"Apanya yang gak enak?"

"Berpisah sama Poppi."

"Kata siapa? Kan saya jadi punya alasan buat mencium pipinya, Lu."

Karena usahanya yang gigih dalam mencari, akhirnya kaos kaki itu diketemukan. Yang satu ada di dalam rak kaset, satunya lagi di dalam lampu petromaks. Lho kok di dalam lampu petromaks? Ya, ini ulah si Mami. Gara-gara mati lampu kemarin. Mami pengen nyalain petromaks tapi gak ada kaos lampunya. Terpaksa kaos kaki Lupus jadi pengganti.

Kini Lupus rapi sudah. Memakai kemeja kotak-kotak biru, pake jins, dan rambut sengaja dibikin mengkilap dengan gel. Sepatu pun mengkilap.

"Wah, mau ke mana anak Mami, nih? Tumben rapi betul."

"Mo perpisahan kelas, Mi."

"Di mana?"

"Di rumah Poppi."

***

Di rumah Poppi udah rame sama anak-anak Ya, mereka memang sepakat mau ngadain perpisahan kelas di rumah Poppi. selain rumahnya gede, bisa buat jojing (ini pasti usulnya Boim!) juga ortunya Poppi udah bersedia membuat masakan yang enak tanpa minta uang iuran. Soalnya sekalian selamatan berangkatnya Poppi ke Australia.

Pas Lupus sampe di ujung gang rumah Poppi, ketemu Boim yang nampak sedih banget. Boim lagi nongkrong di pos hansip.

"Hei, Im."

Boim kaget.

"Im, kok nongkrong di sini? Lo kebagian seksi keamanan, ya?"

"Gue males, Pus."

"Males kenapa? Ini kan malam perpisahan sama anak-anak."

"Justru itu, Pus. Gue takut."

"Takut kenapa?"

"Takut berpisah sama Nyit-nyit. Selama sekolah, gue kan selalu ngejar-ngejar dia. Belon keburu dapet, eee, udah harus berpisah. Ah, coba sekolah kita gak usah pake aeara lulus-lulusan...”

"Udah deh, Im. Gak usah terlalu dipikirin. Gimana kalo lo justru mempergunakan malam ini untuk menyatakan cinta lo sama Nyit-nyit?"

"Emang bisa?"

"Kenapa gak bisa? Tinggal ngomong seneng doang. "

"Oke, deh!" ..

Lupus dan Boim menuju rumah Poppi yang isinya udah penuh dengan tawa anak-anak. Ke- hadiran Lupus dan Boim sendiri tidak begitu jadi perhatian. Karena tiap anak lagi sibuk memilih-milih makanan yang enak. Apalagi tiap anak asyik ngobrol tentang cita-cita mereka selanjutnya. Seperti Fifi Alone yang punya rencana mau ngelanjutin sekolah ke Hollywood, ngambil jurusan artis film.

"Beneran, Git. Ikke sih gak tanggung-tanggung. Kalo mau maju, mendingan sekalian daripada sekolah artis sini. Di sini paling-paling kalo lulus cuma dipake main buat drama remaja TVRI, atau paling tinggi main sinetron Jendela Rumah Kita. Ih, amit-amit, deh, main-main di jendela. Emangnya ikke rayap?"

Boim agaknya sudah lupa dengan niatnya untuk menyatakan hasrat hatinya, karena kini ia sudah begitu asyik memilih-milih satu pizza dan puding yang pakai vla.

Suasananya memang meriah. Di dinding ditempelkan banner bertuliskan "Perpisahan Itu Bukanlah Suatu Pertemuan". Belum lagi balon-balon yang berwarna-warni, kertas kristal yang terjulur-julur. Tapi yang paling meriah memang makanannya. Hampir segalanya ada. Dari jenis siomai, bakso, makaroni, yakiniku sampai ke jenis makanan pembuka seperti sup kepiting yang lezat. Hidangan penutup, di samping buah-buahan, juga tersedia puding, dan makanan ringan lainnya. Belum lagi es krimnya yang komplet banget.

Semua itu terhidang sampai ke pinggir kolam renang rumah Poppi yang juga dihias. Ceritanya pesta by the pool. Lampu taman yang berwarna-warni juga membuat semarak suasana.

Bulan bersinar terang di langit.

Acara perpisahan ini emang lain. Kalo yang lain, acara perpisahan dulu baru makan, tapi di sini acara makan dulu baru acara utamanya. Alasannya biar kalo mau pada nangis-nangisan nanti bisa lebih semangat.

Acara pun berlangsung hangat. Ada renungan bersama, ada hiburan nyanyi-nyanyi lagu perpisahan Auld Lang Syne. Ada juga yang diem-diem menitikkan air mata. Mereka baru ngerasain bahwa perpisahan adalah kepedihan yang paling nikmat. Bahwa masa SMA yang baru mereka lalui adalah masa terindah yang akan terpatri kuat dalam lembaran hidup mereka. Dan masa itu tak akan pernah kembali.

Sementara anak-anak yang lain sibuk, Lupus mencari-cari Poppi yang tiba-tiba ngilang. Lupus pengen ngasih selamat. Sayang Poppi gak keliatan.

"Ut, Poppi mana?" tanya Lupus ke Utari yang lagi asyik makan black forest.

"Wah, tadi ada. Tau sekarang. Lo cari aja dulu."

Gak lama Lupus muter-muter, tau-tau Poppi menepuk pundaknya.

Lupus kaget.

"Hei, Pop!"

"Halo, Pus."

Lupus menatap Poppi lama-lama. Poppi jadi tersipu-sipu.

"Kamu jadi ke Australia, Pop?"

Poppi mengangguk.

"Kapan berangkat?"

"Mungkin besok."

"Wah, kita bisa ketemu lagi gak, ya?"

"Ya, bisa, dong, Pus."

"Kalo di sana kamu ketemu Jason Donovan, ntar naksir, lagi!"

"Gak mungkin, Pus. Malah saya kuatir kalo kamu yang naksir cewek lain setelah saya berangkat."

"Kalo naksir sih enggak, Pop. Tapi kalo ditaksir pasti, tuh!"

Poppi tak melanjutkan pembicaraannya. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Kamu nangis, Pop?"

"Saya sedih harus berpisah sama kamu, Pus, meski buat sementara. saya takut di sana kangen sama kamu terus."

"Udahlah, Pop, demi masa depan kok takut ngalamin perpisahan kayak gito. Saya aja udah beberapa kali ngalamin perpisahan gak sedih-sedih amat."

Air mata Poppi mulai mentes.

"Kamu harus bales surat-surat saya ya, Pus?"

"Tapi disisipi perangko balasannya, ya, Pop?"

Tangis Poppi mulai kenceng. Membuat beberapa anak berpaling padanya.

Lupus diliatin puluhan pasang mata begitu jadi kikuk.

Tapi untung acara slow dance udah dimulai. Sinead O'Connor mulai melantunkan lagu manisnya yang menyayat: Nothing Compares 2 U.

Pasangan demi pasangan mulai turun. Termasuk Boim dengan Nyit-nyit.

Mereka hanyut dalam melodi lirih.

Poppi menangis di pundak Lupus.

Lupus menghibur, "Sudahlah, Pop. Gak usah terlalu dipikirin. Ingat kata pepatah ini: setiap ada pertemuan, selalu ada makan-makan...."

Bab 4

HARI itu Gusur begitu kelimis penampilannya. Baunya wangi banget. Sebelumnya Gusur emang sempet berendam di bak mandinya selama dua jam lebih. Mandi ala orang barat. Tentu saja bikin engkongnya khawatir. Jangan-jangan Gusur mati kelelep. Ya, mana ada gantinya cucu kayak gitu. Dibeli di toko juga gak ada. Makanya si Engkong khawatir betul, dan berusaha ngintip ke kamar mandi.

Lewat celah-celah pintu, si Engkong mengintip dengan saksama. Ah, lega juga hatinya. Ternyata Gusur gak mati tenggelam seperti bayangannya. Malah tu anak asyik menyelimuti tubuhnya dengan sabun cuci, sambil bersiul-siul lagu Kalangkang. Kadang-kadang sabunnya diselipkan di ketiak. Si Engkong sempat tersenyum bahagia. Tapi akhirnya kecewa. Kok tu anak tega-teganya berendam di bak. Padahal tadi yang sibuk ngisi bak mandi Engkong sendiri.

Tapi si Engkong gak berani protes. Gak mau ngusik kebahagiaan Gusur. Takut tu anak nangis dan kabur dari rumah. Belakangan ini sifat si Gusur memang sering aneh. Sering manjat genteng di malam hari. Sering nangkap kucing, lalu menghitung bulu-bulunya. Gara-gara sebulan yang lalu Gusur jatuh dari motor. Panasnya naik sampai 60 derajat. Telor aja bisa mateng kalo dideketin ke Gusur. Kini setelah sembuh sembuhnya tidak seratus persen normal. Tempo-tempo suka kumat. Berendem di bak mandi boleh dibilang termasuk salah satu kumatnya.

Makanya si Engkong tabah aja, walau sebenarnya hatinya kesal. Toh si Engkong bisa berbahagia juga melihat cucu kesayangannya bisa seneng. Satu lagi kegembiraan si Engkong, dengan mandinya Gusur berarti si Engkong gak bakal terganggu lagi tidurnya. Pasalnya kemaren seharian tu' anak gak mau mandi.

Dan dengan diam-diam, si Engkong berusaha mengintip lagi. Kali ini ke kamar Gusur. Lewat lubang kunci, si Engkong tengah melihat Gusur mematut-matut dirinya di cermin. Kadang tersenyum. Kadang merengut. Persis orang yang sedang latihan akting.

Mau apa sih tu anak? engkongnya membatin. Gak berani keras-keras, takut ketahuan Gusur. Kasihan, nanti mungkin Gusur bisa malu kalo ketahuan diintip. Soalnya tingkahnya emang lagi gokil banget. Sambil menarik napas dalam-dalam, si Engkong terus mengamati tingkah laku Gusur dari lubang kunci. Ngeliat Gusur yang kebingungan. Mencari-cari sesuatu. Nyari apa sih, dia? Wah, gak taunya nyari gel buat rambut. Pantes tadi bingung, masa naruh gel di bawah kasur.

Setelah ketemu, Gusur buru-buru memencet tube gel itu. Mengeluarkan isinya ke telapak tangan sebelah kiri. Busyet, dasar gokil, tu anak kalo make apa-apa emang nggak kira-kira. Tube gel habis setengah botol dipencet ke tangannya.

Lalu dengan santainya diucek-ucek ke rambut. Walhasil, rambutnya penuh dengan cairan-cairan kental. Persis kayak tikus kejebur got. Tapi Gusur santai aja. Dia menyisir rambutnya pelan-pelan, sambil ngejilatin gel yang tersisa di telapak tangannya. Hihihi....

Setelah rapi menyisir, dia mengikat rambutnya yang ‘gondrong orkes' itu ke belakang. Wah, keren juga. Penampilannya Kayak DJ. Dedemit Jalanan, maksudnya.

"Kamu mau ke mana, Sur, kok tumben rapi banget?" sambut engkongnya sambil mencium jidat Gusur, ketika anak itu keluar kamar.

"Wah, Engkong belum tahu ya, hari ini daku diajak Lupus pergi. Katanya mau ngedaptar ke perguruan tinggi. Lupus mau sekolah di sana," jawab Gusur sambil merapikan rambutnya.

"Apa itu perguruan tinggi? Engkong baru denger."

"Perguruan tinggi adalah sekolah di mana guru-gurunya pada tinggi, 'kali," Gusur menerangkan sekenanya.

Dan si Engkong pun manggut-manggut bego. Wah, rupanya antara Engkong dan cucu itu setali tiga uang. Sama-sama daya pikirnya cekak.

"Eh, tapi, Kong," tiba-tiba Gusur ngoceh lagi, "berhubung untuk masuk perguruan tinggi perlu biaya, daku akan minta subsidi dari Engkong, nih. Sebagai langkah pertama biaya transportasi. Lalu biaya pendaftaran..."

"Lho, kok jelek buntutnya?" si Engkong menggerutu.

"Wah, tapi ini harus, Kong," Gusur mulai merajuk.

"Tau gitu Engkong nggak nyium kamu tadi."

"Tapi Engkong akan tetap kena wajib pajak."

"Ya, ya, jadi semuanya berapa?"

Gusur langsung semangat. "Tranportasi dua ribu. .Trus pendaftaran dua puluh ribu."

"Ha? Jadi Dua puluh dua ribu semuanya?"

"Wah, tapi daku belon sarapan, Kong."

"Masya Allah, kamu minta apa meres, Sur?"

"Dua-duanya, Kong. O ya, biaya santapannya seribu lima ratus, tak boleh ditawar. Harga ketan udah naik kan, Kong?"

"Duh, sebenarnya Engkong males punya cucu kaya kamu. Gede tongkrongannya doang. Kuat makan. Kuat tidur. Tapi kemampuan gak ada sama sekali. Cuma kalo kamu dibuang, siapa yang mau pungut kamu, Sur," gerutu si Engkong sambil membuka pundi-pundi tempat ia menabung uang.

Gusur mengamati dengan silap-silap.

"Nih!" akhirnya si Engkong mengangsurkan uang yang langsung disamber oleh Gusur. Ber!

"Yihuuu!" jerit Gusur sambil mencium pipi engkongnya kiri dan kanan. "Makasih, Kong, makasih. Semoga Engkong diterima di sisi Yang Maha Esa."

Gusur lalu ngacir menjemput Boim.

***

Lupus lagi uring-uringan di rumahnya. Matanya tiap sebentar ngelongok ke ujung gang.

"Mana sih dua kunyuk itu. Kok nggak dateng-dateng."

Lupus melihat jam dinding. Udah pukul sebelas siang. Sebentar lagi pendaftaran tutup. Tapi Gusur dan Boim belum nongol-nongol juga. Wah, emang susah deh kalo janji sama landak. Lupus ngedumel sendirian. Lalu duduk di teras sambil baca-baca majalah.

Tapi nggak betah. Lupus pun berniat mau nongkrongin di depan gang. Siapa tau tu anak pada kecelakaan. Pas membuka pintu pagar, Suli, sobat Lulu, turun dari becak. Mau ngejemput Lulu latihan drumband. Sambil membayar becak, Suli menegur Lupus.

"Halo, Pus."

"Halo."

"Denger-denger kamu lulus, ya?"

"Saya denger juga begitu."

"Selamat, ya? Mau nerusin ke mana, Pus?"

"Ke depan," ujar Lupus sambil menunjuk ke depan, dan berjalan ngeloyor menuju tukang rokok.

Suli cuma geleng-geleng kepala. Heran, udah lulus SMA tu anak masih nggak bisa diajak ngomong serius juga. Suli pun masuk ke rumah Lupus- sambil mengucapkan, "Assalamualaikum!"


Di tukang rokok, Gusur dan Boim tetap belum keliatan. Lupus pun balik lagi ke rumah dengan sebel.

Mami yang menjenguk ke depan, memperingatkan berkali-kali agar Lupus lekas berangkat, "Nanti kamu telat, lho."

"Tapi saya nunggu Boim sama Gusur, Mi."

"Udah tinggal aja. Nanti Mami bilang sudah berangkat duluan. Abis ditunggu lama bener."

"Ah, kasihan, Mi. Soalnya hanya Lupus yang tau tempat pendaftarannya."

Untungnya tak lama kemudian di ujung jalan terdengar motor meraung-raung dari ujung jalan. Lupus segera bangkit, dan melongo. Betul aja, Boim dan Gusur sedang menuju ke rumah Lupus dengan motor buntut yang setia.

"He, Kadal, pada ke mana lo. Ditungguin lama banget," Lupus kontan menyambut dengan makian, begitu Gusur dan Boim menjejakkan kaki di beranda.

"Abis Gusurnya ditungguin lama bener," Boim ngasih alasan.

"Alah, daku datang, kau pun masih ngorok. Jangan daku, dong, yang disalahkan. Untung daku datang. Kalau tidak, kau masih tertidur pulas," Gusur nggak mau kalah.

"Ah, kalian berdua emang sama. Ayo lekas berangkat. Ntar keburu telat."

"Ayo!" jawab Gusur dan Boim serentak.

"Motornya tinggal di sini aja, Im. Malu-maluin bawa motor gituan ke kampus."

***

Sesampainya di tempat tujuan ternyata suasana udah rame. Orang-orang berkerumun di loket pendaftaran. Termasuk cewek dan cowok. Baju mereka bagus-bagus. Rata-rata mereka emang anak orang kaya. Maklum aja universitas yang mau dimasuki Lupus ini, walaupun swasta, tetapi termasuk univesitas favorit. Itu ditandai oleh uang kuliah yang mahal, uang pendaftaran yang nggak kira-kira, dan uang pembangunan yang ngujubile.

Sebetulnya Lupus ogah masuk sekolah mahal-mahal kayak gini. Tapi, ya-gimana. Mau masuk Perguruan Tinggi Negeri, saingannya banyak banget. Gak bisa terlalu banyak diharapkan. Apalagi pas ujian UMPTN, Lupus ngerasa nilai-nilainya bakal amburadul.

Tapi emang kalo dilihat dari kejauhan, gedung universitas yang mau didaftarin Lupus ini emang canggih banget. Bangunan berbentuk pendopo. Terdiri dari lima belas tingkat. Dari tingkat satu sampai tingkat lima belas kebanyakan kantinnya. Hihihi... emang gitu kok, habis motto universitas ini kan: 'Dengan jajan kita tingkatkan perekonomian negara.'

Eh iya, nama universitas ini adalah Universitas Cafetariasakti. Wah, kan cocok banget nama dan misinya. Itu makanya para mahasiswa di situ pada buka usaha sampingan jadi pedagang. Ada yang jual siomai, soto mie, atau toge goreng. Ini karena fakultas-fakultas yang ada di situ beragam. Selain fakultas sospol, ada juga fakultas pramuniaga, dan semacamnya. Pokoknya alumni Cafetariasakti mau jadi orang bisnis. Wiraswasta supaya bisa menghasilkan duit. Rasanya itu lebih baik. Daripada universitas hebat, fakultas yang disediakan serem-serem, tapi begitu lulus dari situ jadi penganggur. Nggak bisa dimanfaatkan ilmunya.

Sejenak kemudian Lupus mengamati kerumunan orang yang mendaftar. Mereka saling berebutan mengambil formulir, yang nantinya akan diisi dengan data-data dan fakultas apa yang dimasuki. Lupus sendiri masuk sastra Inggris. Biasanya yang lulus dari situ pinter ngomong Inggris. Lupus memasuki fakultas itu, bukan lantaran udah niat. Tapi karena dia liat yang ngedaftar ke Sastra Inggris kebanyakan cewek dan kece-kece.

Ya, sebetulnya dia bingung harus masuk fakultas mana. Abis fakultas yang lain tidak cocok dengan jiwanya. Bangsanya dagang-dagang gitu, apalagi ke fakultas ekonomi. Lupus sama sekali nggak niat. Mendingan masuk sospol aja. Ya, sospol juga enak. Jadi Lupus coba daftar dua-duanya.

Sedang Boim juga ikut-ikutan Lupus. Dia juga memilih sastra Inggris. Padahal Boim paling nggak bisa Bahasa Inggris.

"Why do you choose this faculty?" tanya gadis panitia penerima pendaftaran sastra Inggris sambil tersenyum manis pada Boim.

Boim yang gak ngerti Inggris sama sekali, jadi "gelagapan, "Apa? siapa yang gak becus?"

Gadis itu ngikik. "You don't understand that? It's very simple English..."

"Eh-, n-no no understand, teng-kyu!"

Selagi Boim dan Lupus berebut minta formulir, Gusur yang sejak tadi memandangi cewek-cewek kece, cepet-cepet menghampiri Lupus. Gusur juga sebenarnya gak begitu ngerti untuk apa diajak Lupus ke situ.

"Orang-orang ini pada ngapain sih, Pus. Kamu dan Boim kok malah ikut-ikutan?" tanya Gusur bego.

Lupus tertawa kecil.

"Ah, memangnya kamu nggak tau, kita-kita ini kan lagi ngantri buat beli formulir pendaftaran. Kamu mau beli juga kan?" Lupus menerangkan dengan susah payah ke Gusur.

"O...," Gusur melongo.

"Kalau begitu, daku mau ikutan antri, ah!" sambung Gusur lagi.

Lalu seniman sableng itu pun ikut-ikutan mengantri di belakang Lupus untuk mengambil formulir pendaftaran. sesudah susah payah sampai di muka loket, Gusur buru-buru menyambar formulir pendaftaran yang numpuk di mukanya. Tetapi buru-buru ditahan oleh cewek manis yang melayani pendaftaran.

"Salinan ijazah kamu mana?"

"Apa, ijazah?"

"Kalo mau mendaftar masuk harus menyerahkan salinan ijazah. Itu adalah persyaratan. Mana salinan ijazah kamu?" tanya cewek panitia pendaftaran itu.

Gusur kebingungan. Lalu seniman sableng itu buru-buru menoleh ke Lupus.

"Pus, ijazah saya mana?"

"Lho, gak tau," Lupus juga bingung.

"Lha, kamu bawa nggak?" tanya Boim dari samping.

"Nggak. Aku nggak punya. Lha, kalian kok pada punya. Dari mana sih dapatnya?"

"Lha, kamu emang gak dapat dari sekolah?" Lupus mulai heran dengan Gusur.

"Nggak."

"Lha, kamu ini sebenarnya lulus nggak, sih?"

Gusur mikir.

"Gusur kan waktu pengumuman ujian gak datang, Pus. Dia gak tau, 'kali," ujar Boim baru sadar.

"Ya, daku waktu itu diajak mancing di laut sama engkongku," tambah Gusur.

"Tapi waktu ujian terakhir kamu ikut, kan?"

"Ujian apa itu? Rasanya aku gak pernah ikut ujian."

"Wah, berarti kamu nggak lulus, Sur."

"Apa?"

"Nggak lulus."

"Jadi nggak bisa mendaftar?"

"Ya, enggak."

Gusur bengong.

Cewek panitia itu apalagi.

Bab 5

Lupus sedang asyik beres-beresin brosur pendaftaran perguruan tinggi di kamarnya, waktu Lulu dengan tiba-tiba menimpuknya dengan segumpal kertas. Ini memang kebiasaan Lulu kalo ada surat buat Lupus dari tukang pos.

"Lu, lain kali gak usah pake diselipin batu segala!" teriak Lupus sambil ngusap-usap jidatnya yang bento eh, benjol, gara-gara dijailin Lulu.

Lulu memang belakangan jarang digodain, setelah Lupus sibuk ngurus masuk sekolah di perguruan tinggi. Lulu jadi kesepian. Gak ada lagi yang ngumpetin apusannya, atau nyampur teh manisnya pake cuka. Nah, timpukan itu adalah pancingan Lulu agar mengembalikan canda-ria Lupus. Sayangnya, Lupus lebih rela benjol daripada harus ngejar-ngejar Lulu.

Dan bukan Lulu namanya kalau baru begitu aja udah nyerah. Karena sekarang Lulu mulai mempersiapkan pandangannya dengan umpan yang lebih besar. Sebuah bantal yang ujungnya diganduli sepatu basket siap mendarat di jidat Lupus.

Buk...! Ya, lemparan yang tepat. Lupus sudah mempunyai dua benjol sekarang. Tapi Lulu masih belon puas karena Lupus masih asyik ngebaca-baca tu brosur. Lupus emang tipe anak yang ulet. Tahan cobaan. Meski benjolnya mulai terasa nyeri, dia tetap memperhatikan brosur-brosur itu. Tentu Lulu kesal.

Lulu diam-diam menyeret meja rias Mami. Mo ngapain? Ya, meja itu mau ditibanin ke jidat Lupus. Apa iya gak ada reaksi, batin Lulu.

Meja rias itu tidak begitu berat. Tapi kalo nibanin jidat lumayan-lah! Dan ketika Lulu lagi sibuk nyeret, maminya ngeliat. Kontan doi membentak dan menyuruh Lulu mengembalikan meja itu. Yaaaa, batal, deh.

Lulu makin keki dan memaki-maki dalam hati. Diam-diam diintipnya Lupus yang lebih rela menahan sakit ketimbang meladeni ulahnya itu.

Taunya .Lupus emang masih terus asyik ngebaca brosur-brosur keparat itu. Wah, bener-bener tahan cobaan tu anak!

Kalo Lupus tahan cobaan, Lulu tahan jailan. Artinya, dia tidak berhenti sampai di situ, walau jelas-jelas lawannya tampak gak berminat.

Lulu mulai mengatur strategi lagi. Gimana supaya Lupus mau diajak becanda. Ditimpuk batu, bantal, dia gak bereaksi apa-apa. Hei, kenapa tidak dicoba dengan tebak-tebakan?

"Pus, lagi sibuk, ya?" tanya Lulu coba-coba

akrab.

Belum ada jawaban. Karena brosur perguruan tinggi itu masih terus dibaca Lupus.

"Ada yang bisa Lulu bantu, Pus? Misalnya menggeser lemari ini atau itu, atau..." Lulu keabisan basa-basi.

"Eh, atau perlu Lulu ambilin minum? Perlu? Sebentar, ya?"

Tapi Lupus tetap asyik dengan brosur. Padahal kali ini Lulu bela-belain bikin lemon-tea rasa coklat!

"Emangnya kamu gak aus, Pus?"

Atau mendingan langsung disodorin tebak-tebakan ?

"O ya, Pus, kamu tau gak, orang apa yang kalo dipanggil gak nengok-nengok?" Lulu berdebar-debar nunggu reaksi Lupus. Sebab kalo gak bereaksi juga, Lulu udah gak tau lagi harus berbuat apa. "Tau gak, Pus?" tanya Lulu lagi sambil dengan pelan-pelan menyembunyikan sebagian brosur yang tergeletak di kasur ke dekat kakinya.

"Saya ulang ya, Pus," kata Lulu setelah menyepak kertas-kertas itu ke kolong tempat tidur. "Orang apa yang kalo dipanggil gak nengok-nengok? Bisa gak? Atau sebelum kamu jawab, benjol kamu Lulu olesin remason dulu, ya?"

Benjol-benjol di jidat Lupus memang sudah gak begitu menimbulkan rasa nyeri lagi. Tapi bukan berarti Lupus sudah bisa meninggalkan brosur-brosur tentang perguruan tinggi yang akan dimasukinya itu.

"Masa gak bisa sih, Pus," Lulu mulai penasaran. "Dulu waktu kamu masih SMA paling jago soal tebak-tebakan. Masa sekarang sudah mau kuliah malah gak bisa. Apa setiap orang yang mau kuliah berubah jadi bego, ya, Pus?"

"A-apa?"

Wah, pancingan Lulu kali ini berhasil.

"Anu, Pus, apa setiap orang yang mau kuliah gak bisa main tebak-tebakan lagi?"

"Kata siapa?"

"Buktinya kamu kok gak jawab pertanyaan saya?"

"Pertanyaan apa?"

"Orang yang kalo dipanggil gak nengok?" Lulu mulai girang karena Lupus sudah mau diajak becanda-ria-jenaka.

"Emang ada orang yang dipanggil gak nengok?"

"Ada!"

"Orang apa?"

"Lho, Lulu justru nanya sama kamu."

"Orang apa, ya?"

"Mikir dong, Pus."

"Orang budek!"

"Salah."

"Abis orang apa, dong?"

"Orang yang gak ada kepalanya! Hihihi," Lulu girang banget. Dia ngerasa Lupus sudah kembali ke sediakala.

"Saya juga ada tebakan," ujar Lupus.

"Tebakan apa, Pus?" Lulu antusias banget. Karena suasana kayak begini sudah lama ia dirindukan.

"Ada ayam jago. Dia punya sayap di Inggris, buntutnya di Arab, lehernya di Jerman, kakinya di Uganda, perutnya di Iran. Nah, telurnya ada di mana, Lu?"

Lulu agak terperangah juga mendengar tebakan itu. Bukan! Bukannya dia gak bisa jawab. Tapi, terus terang aja tebakan ini bukan levelnya Lupus. Karena anak-anak kecil tau jawabannya. Ah, Lupus telah berubah. Dia tidak secerdik dulu. Gak sejenius dan sekocak dulu lagi. Mana ada ayam jago yang bertelur? Ah, Lupus, Lupus, gampang banget tebakan kamu itu, batin Lulu sedih. Tapi demi menjaga sesuatu yang enak ini, Lulu pura-pura gak tau.

"Pertanyaan tadi gimana, Pus?"

"Telurnya ada di mana?"

"Di penggorengan!"

"Salah."

"Di kandang!"

"Salah."

"Abis di mana dong, Pus?"

"Kamu bego, Lu! Ayam jago mana ada telurnya. Hahaha, taunya anak yang masih SMA itu lebih bego dari anak yang mau kuliah. Hahaha!"

"Iya, saya bego, Pus," batin Lulu sedih. Lulu sebenarnya gak perlu sedih. Ini wajar aja. Lupus tengah dilanda banyak masalah.

Perpindahan seorang anak dari bangku SLTA ke bangku perguruan tinggi memang perlu adaptasi. Karena dunianya berubah. Jadi gak bisa santai-santai lagi. Itu paling tidak bisa ditangkap Lupus waktu dia mulai mendaftar ke perguruan tinggi. Kesannya mesti serius. Dan ini dilakukan sejak mulai mendaftar. Karena Lupus gak menyangka kalo biaya yang perlu dikeluarkan agar namanya tercatat sebagai mahasiswa itu gak kira-kira. Hampir satu juta lebih! Deposito Mami yang sedianya dipersiapkan bakal jaga-jaga perekonomian keluarga, terpaksa dikeluarkan secara paksa. Ini yang membuat Lupus mengelus-elus dada. Bahwa ilmu itu di sini masih teramat mahal harganya. Jadi jangan heran kalo belakangan ini Lupus sering ngurung diri di kamar. Dia sengaja mengurangi kegiatannya menjaili Lulu!

Dan kalo tebakan Lupus kali ini gak bonafid juga jangan salahkan Lupus. Apalagi setelah pendaftaran ini Lupus diancam wajib ikut penataran P-4 pola seratus jam. Dan kalo saja Lupus tau bahwa surat yang tadi dilempar Lulu itu adalah surat tagihan dari majalah HAI untuk janjinya membuat tulisan tentang Anak-Anak Malam, Lupus bakalan tambah bingung lagi. Ah, kasian Lupus.

Lulu memandangi wajah kakaknya dengan sedih. Meski upayanya mengajak Lupus main berhasil, tapi hasilnya gak memuaskan baginya.

"Makanya kamu mesti banyak belajar lagi, Lu," saran Lupus tiba-tiba. "Gak usah bengong begitu. Kamu masih bego. Masa ada ayam jago bertelur, sih?" .

Lulu pun benar-benar meninggalkan Lupus yang masih terus mencari-cari brosur yang tadi disembunyikan Lulu. Yang di dalamnya tercantum berbagai macam acara 'seremonial' memasuki perguruan tinggi. Lulu jadi kasihan. Pelan-pelan kakinya dijulurkan ke kolong, menarik brosur itu keluar. "Tuh, Pus, brosurnya pada tercecer di lantai."

Lupus melihat, dan memungut.

Kemudian membaca.

"Wah, minggu depan mulai penataran, nih,” ujar Lupus pelan. Artinya lagi, Lulu masih akan lama menunggu kapan Lupus jenius lagi dalam hal tebak-tebakan.

***

Esok adalah hari pertama Lupus mengikuti penataran. Lupus sudah siap. Walau penataran itu mulai pukul 8.00 sampai 17.00. Sementara Lupus pada saat itu juga dituntut menyelesaikan tulisannya tentang Anak-Anak Malam.

Dua-duanya sama penting. Yang satu adalah kewajiban sebagai seorang calon mahasiswa-lagian selama ini Lupus kan belum pernah ditatar. Satunya lagi kewajiban sebagai calon wartawan. Karena, janji majalah tempat Lupus magang, kalo dia berhasil menyelesaikan tulisan yang direncanakan untuk laporan utama itu, Lupus akan diangkat sebagai pembantu khusus yang diberi gaji tiap bulannya. Belon lagi fasilitas-fasilitas yang bakal Lupus peroleh dengan pengangkatan itu. Dan honor itu rencananya untuk bantu-bantu Mami membiayai kuliahnya.

Lupus berjanji menyelesaikan tulisannya minggu depan. Tapi jadwal itu bertepatan dengan acara OSPEK di kampusnya. Setelah penataran akan disusul dengan kegiatan OSPEK itu. Wah, kebayang deh kesibukan yang kayak apa yang bakal Lupus terima.

Dan Lulu makin jauh saja mengharapkan keceriaan dan kejeniusan Lupus. Makin kesepian dia.

***

Padahal Kiai Haji Zainudin MZ masih belon menyelesaikan ceramahnya di radio, waktu Lupus bengak-bengok minta bantuan Mami untuk menyeterika baju dan celana putih-putihnya. Mami yang belakangan emang doyan banget dengerin dakwah kiai yang lagi naik daun ini, jadi kesel.

"Kan masih pagi, Pus. Ntar-ntaran napa, sih?"

"Bukannya gitu, Mi, ini kan hari pertama Lupus ikut penataran. Kalo telat kan gak enak."

"Iya, tapi ini masih jam setengah enam, Pus. Kasihan Pak Zainudin cape-cape ceramah gak didengerin. "

"Ya, dengerin sambil nyeterika kan bisa, Mi."

"Wah, gak bagus itu, Pus. Kita kalo dengerin ceramah tuh gak boleh disambil-sambil. Gak afdol."

"Tapi kalo udah ntar tolong seterikain ya, Mi. Lupus mo' beres-beresin bahan-bahan penatarannya dulu."

Ya, hari ini emang terasa istimewa bagi Lupus. Karena ini adalah awal dari perjuangannya masuk ke perguruan tinggi. Tentu Lupus bakal ngedapetin sistem atau cara yang lain yang diberlakukan kepadanya. Gak santai-santai lagi kayak di SMA dulu. Makanya gak salah kalo Lupus siap-siap sejak pagi.

Sebenarnya sejak malam pun Lupus udah ngebenahin bahan-bahan penataran yang berupa buku tebal-tebal itu. Tapi lantaran kuatir ada yang ketinggalan Lupus memeriksa kembali semuanya. Dan, alhamdulillah, ilang atu!

"Mi, liat buku GBHN, gak?" tanya Lupus waswas.

Mami yang udah mulai nyeterika mengaku gak tau-menau.

"GBHN apaan, sih?"

"Itu, buku buat penataran. Bukunya tebel, Mi!"

"Ooo, yang tebel itu, tho. Semalem kayaknya dipegang-pegang Lulu, deh. Tapi kata Lulu itu buku novel Sidney Sheldon. Coba kamu liat di kamar Lulu, Pus."

Lupus memburu pintu kamar Lulu. Tanpa ba atau bu digedornya pintu kamar. Sebab Lulu suka memberlakukan benda tidak pada tempatnya. Pasti buku GBHN ini di...

Bener, kan? Buku GBHN itu dijadiin bantal oleh Lulu. Dasar anak gak tau diri. Lupus mencabut buku itu dari bawah kepala Lulu dengan paksa. sleeep! Anehnya Lulu tetep ngorok.

"Pus, celananya udah, nih!" panggilan Mami mengagetkan Lupus yang tadinya hendak menjitak ubun-ubun Lulu.

Soal celana sebenarnya problem juga buat Lupus. Karena Lupus cuma punya celana putih atu. Waktu SMA dulu celana putih itu hanya dipake di hari Senin aja. Sekarang harus dipake tiap hari selama seminggu. Wah, berarti Lupus mesti ati-ati menjaga kebersihan si celana supaya keliatan bersih terus selama seminggu.

Jam enam lewat dikit, setelah meneguk kopi susu dan mencaplok roti sumbu, Lupus berangkat menuju kampusnya yang biru. Guna menimba ilmu tentang moral dan lainnya biar dia jadi manusia Pancasila sejati.

"Mi, doain Lupus, ya? Doain supaya Lupus bisa jadi anak yang baik setelah ikutan penataran," pamit Lupus sambil mencium kening Mami. Mami mengangguk. Ada titik air mata haru memandang Lupus berjalan ke luar pintu pagar. Ah, anak Mami udah gede.

"Ati-ati celananya, Pus!" pesen Mami pas Lupus naik ke goncengan tukang ojek payung eh, ojek motor.

Bener aja, pas Lupus sampe kampus di sana udah banyak calon mahasiswa berkumpul di lapangan. Sebelon penataran rencananya ada acara pembukaan oleh Rektor.

Semenit berikutnya semua calon mahasiswa disuruh berbaris rapi. Lupus jadi inget upacara hari Senin. Taunya mahasiswa tuh masih doyan baris-barisan juga, ya.

"Selamat datang, Sodara-sodara, di kampus tercinta ini. Semoga Sodara-sodara betah dan kerasan menimba ilmu di sini!" Sambutan yang pertama datang dari Ketua Senat. Sang Ketua Senat juga membeberkan cara dan tata tertib yang berlaku dalam mengikuti penataran P4 ini. Setiap peserta penataran harus sopan dan gak boleh becanda-canda. Karena tiap materi yang diberikan harus dibahas bersama lewat diskusi dan seminar. Ketua Senat juga mengumumkan bahwa setelah penataran ini semua calon mahasiswa diwajibkan membuat sebuah karya tulis yang temanya berkaitan dengan aspek kehidupan sosial masyarakat kita. Karya tulis ini akan dilombakan. Pemenangnya selain dapat hadiah menggiurkan, berupa Tabanas dan beasiswa selama satu semester, dia juga dinobatkan sebagai peserta terbaik alias teladan!

Lupus diam-diam mencari-cari masalah yang asyik yang bisa diikutsertakan dalam lomba karya tulis itu. Dan, alhamdulillah, langsung dapet!

"Ya, sambutan berikutnya adalah sepotek dua potek kata dari Bapak Rektor kita. silakan tepuk tangan buat... saya yang mempersilakan!"

Plok, plok, plok.

Bab 6

"AH... uh... ah... uh!" suara Lupus terengah-engah. Badannya turun-naik, turun-naik. Napasnya ngos-ngosan. Keringat membanjiri sekujur wajahnya. Matanya sesekali terpejam, sesekali melek. Sesekali melek, sesekali terpejam. Persis seperti orang ayan. Cuma saja dari mulutnya gak keluar busa.

Sementara di dekatnya seorang cewek juga sedang ber-ah, uh, ah, uh. Seirama dengan ah, uh, ah, uh Lupus. Keringat membanjiri jidatnya yang bagus.

Lupus menoleh ke cewek itu. Si cewek meringis.

"Capek, ya?" Lupus membuka suara.

"Iya," si cewek menjawab.

"Udahan, yuk?"

"Hus, kamu mau kena setrap emangnya?"

Dan Lupus memang mengurungkan niatnya. Lalu tetap ber-ah, uh, ah, uh terus. si cewek yang rambutnya dikuncir dua pake pita warna biru dan merah, juga ber-ah, uh, ah, uh. Sesekali ia menyeka keringat yang mengucur dari ujung idungnya.

Sementara itu di kejauhan seorang cewek yang juga manis, tapi judes, semangat memberi komando.

"Yak, terus! Satu-dua-satu-dua, jangan ada yang ngaso, ya? Awas kalo ketauan ada yang ngaso, tau sendiri akibatnya!" bentak si cewek lewat mikropon.

Hari ini memang hari pertama Lupus ikutan OSPEK. Orientasi Pengenalan Kampus, setelah sehari sebelumnya selesai penataran. Dan acara OSPEK hari itu sungguh menarik. Semua calon mahasiswa dan mahasiswi--cama dan cami disuruh pus-ap. Acara yang bener-bener bikin cama cami suntuk dan mengeluh. soalnya bener-bener gak berperasaan deh para senioren itu. Masa di udara yang bisa bikin telur mentah jadi setengah mateng begini, di saat lebih enak tiduran di ruang ber-AC ini, para senioren itu dengan seenaknya menyuruh orang ber-olahraga-ria. Lupus tentu keki banget. Bukan cuma lantaran pus-ap yang bikin capek, tapi juga karena tingkah para senioren itu yang pada tengil. Membentak-bentak seenaknya kayak dia aja yang punya kuasa. Nyuruh-nyuruh orang semaunya, kadang-kadang malah perintahnya gak rasional sama keadaan.

Malah ada seorang senioren bernama Burhan yang letak matanya gak sejajar antara kiri dan kanan, dari tadi kerjaannya cuma membentak-bentak melulu. Tugasnya mengawasi Regu Mawar, regu di mana Lupus ngegabung. Lupus sering banget kena bentak Burhan. soalnya Lupus dianggap paling bandel. Suka ngelawan. Padahal di Regu Mawar itu Lupus kepala regunya. Biasanya kepala regu patuh-patuh. Tapi Lupus emang lain. Bukan cuma ngelawan, malah tu anak sering ngerjain Burhan. Misalnya pas disuruh lari keliling lapangan, Lupus dengan sengaja malah membawa regunya membawa lari ke jalanan. Hingga si Burhan kelabakan mengejar sambil memaki-maki dari belakang. Walhasil, doi juga jadi keringetan seperti cama-cami.

Dan siang itu, di saat anak-anak lagi melakukan tugas pus-ap-nya, Burhan keliatan paling tengil. Didampingi rekan sejawatnya bernama Abraham (yang ini punya ciri-ciri: idung pesek, dengan perut gendut yang miring sebelah), Burhan mondar-mandir melulu di depan Lupus. Sesekali nyengir penuh kemenangan. Sesekali nglirik cami kece yang pus-ap di sebelah Lupus. Tapi karena letak matanya yang gak kompak, gaya Burhan jadi kelihatan lucu banget. Abraham ternyata juga gak kalah tengilnya. Dengan gaya yang diwibawa-wibawain, dia terus memelintir-melintir kumisnya yang cuma panjang di sudut bibir doang.

Lupus tentu keki ban get ngeliat gaya mereka berdua. Juga Lusi yang dipanggil Lusiyem, cami yang pus-ap di samping Lupus. Sebenernya ratusan cama-cami yang lain juga keki dengan ulah para senioren yang pada sok jago. Mereka mengupat-umpat, dan menyumpah supaya para senoren cat-cepat dipanggil yang berwajib, eh dipanggil Yang Maha Esa. Biar tau rasa. Abis tingkah laku mereka udah di luar batas.

Sering Lupus nyolong-nyolong ngelirik ke arah Burhan. Memperhatikan tingkahnya yang sering kali over. Tapi Burhan orangnya cukup peka. Kalo Lupus terlalu lama memperhatikannya, Burhan sering berasa. Dan membentak Lupus. "Ngapain liat-liat!" bentaknya.

Dan Lupus buru-buru mengalihkan perhatian. Di saat pus-ap itu Lupus juga masih sering memperhatikan tingkah Burhan. Terkadang tersenyum sendiri. Abis Burhan sering salah tingkah. Apalagi kalo yang diperhatiin adalah letak matanya yang gak sejajar itu.

Sementara itu udara siang makin panas membakar. Pokoknya kalah deh kompor. Maksudnya kompor yang belum dinyalain. Lima belas menit udah berlalu, tapi para senioren itu kayaknya belum ada niatan buat membubarkan acara pus-ap. Jadinya cama-cami masih naik-turun naik-turun. Padahal mereka udah keliatan capek banget. Udah keliatan gerah. Keringat mengucur di leher, jidat, dan idungnya. Malah idung Lusi yang mirip es-krim itu kelihatan seperti mau meleleh. Lupus jadi kumat jailnya. - "Eh, Lus, ati-ati tu idung," Lupus mencoba memperingatkan.

Lusi tentu aja bingung.

"Emangnya kenapa idung gue?" tanya Lusi.

"Ati-ati aja lumer jadi keringet, hihihi," ujar Lupus sambil ngikik.

Tapi Lusi gak marah diledekin Lupus. Malah suka, bisa buat sekadar hiburan. Cuma Abraham dan Burhan yang entah kenapa jadi marah.

"Hei, kamu! Kok dari tadi ngoceh melulu. Gak bisa diem, ya? Apa mau dijemur?" bentak Burhan galak.

Lupus kontan diem. Tapi ia sempat berbisik pelan ke Lusi, "Emangnya gue ikan asin, pake dijemur segala?"

Lusi jadi cekikikan.

"Siapa suruh -kamu ketawa? Naksir ya sama saya?" bentak Burhan lagi. Yeee, kok gak ada hubungannya banget sih bentakan tadi. Dari marah-marah, kok malah dituduh naksir. Ke-ge-er-an, ah!

Lupus ngedumel sendiri. Sementara Burhan dan Abraham melotot kayak sipir penjara.

Sementara itu senioren judes yang ngasih aba-aba lewat mikropon, menyuruh cama-cami menghentikan kegiatan pus-ap-nya.

"Alhamdulillah, akhirnya berakhir juga siksaan ini," ujar Lupus sambil terengah-engah. Cama-cami yang lain juga ikut lega. Merasa lepas dari penderitaan. Mereka buru-buru mengubah posisi. Tapi belum lagi sempat mereka melemaskan urat-urat tubuhnya, tiba-tiba si senioren judes langsung berteriak lagi.

"Yak, sekarang kalian lari-larian keliling lapangan sambil jongkok-berdiri jongkok-berdiri!" perintahnya.

Cama-cami pada melongo, sebelum akhirnya mengumpat, "Senior biadab!"

***

Dari SMA Merah Putih yang berhasil masuk di Universitas Cafetariasakti ini sebenernya bukan cuma Lupus. Selain Lupus ada seorang lagi.

Anaknya manis, berkulit gelap, berambut keriting, dan ujung idungnya suka berkeringat. Namanya Boim. Udah tau, kan? Dia akhirnya yang masuk sospol. Jurusan yang pas banget buat dia, karena Boim hobi banget ngocol ngalor-ngidul. Sedang Lupus masuk Sastra Inggris.

Si Boim ini, meski udah banyak yang tau, sebetulnya masih menyimpan rahasia. Ya, tu anak paling demen ngeliat sesuatu yang berbulu. Ih, kok gitu? Ya, ini gara-gara waktu ngidam dulu, emaknya demen banget ngeliat bulu kaki suaminya. Sering tengah malam si emak terjaga dari tidurnya, dan segera menghampiri kaki suaminya. Langsung aja doi mencabuti bulu-bulunya. Kontan si suami jadi terperanjat bangun sambil menjerit, "Iiiiiii!!!"

Tapi karena sudah paham tabiat orang ngidam yang memang suka aneh-aneh itu, si suami gak marah. Malah makin sayang sama istrinya. Soalnya, konon yang bakal lahir menurut mimpi adalah seorang bocah ajaib pembawa berkah.

Gak taunya Boim. Wah, nyesel deh!

Konon nama Boim kependekan dari bocah import. Ya, dia emang keturunan Jerman. Bapak jereng, emak preman. Atau ada yang bilang indo-Hong Kong. Bapak tukang bohong, emak tukang ngongkong. Tapi kata Boim, nama itu kependekan dari bocah impian.

Dan sebagaimana halnya Lupus, Boim pun wajib kena OSPEK. Padahal konon OSPEK udah dilarang. Tapi tradisi warisan turun-temurun itu selalu jadi arena balas dendam senior ke bawahannya. Boim bergabung dengan grup Kenanga. Bunga kenanga adalah bunga yang harum menyengat, tapi kesannya nyeremin. Karena sering dipakai buat ziarah. Biasanya bunga itu ditaburkan di atas kuburan.

Rupanya ada maksud juga panitia OSPEK ngasih nama Kenanga. Sebab ternyata mereka yang tergabung dalam grup Kenanga adalah cama-cami hasil seleksi ketat. Bukan seleksi dalam hal kece, tentu saja. Tapi yang sejenis Boim-lah! Pokoknya baik cama maupun cami yang gak enak diliat, masuk ke situ. Maka regu Kenanga ini paling dicuekin. Paling dianaktirikan. Dan sering diperlakukan secara lebih kejam dibanding regu lainnya. Udah gitu, biasanya, jarang banget ada senior yang mau ngeceng ke situ.

Dan Boim jadi ketua regu di situ. Makanya dia nampak tengil banget. Salah satu ketengilan Boim adalah naksir salah satu senior cewek yang jadi pengawasnya. Gila banget, kan?

Emang sih senioren cewek itu lumayan kece. Bibirnya bagus, berbentuk tomat gondol. Matanya sebulat lobi-lobi. Giginya biji ketimun. Rata dan mungil-mungil. Idungnya juga imut-imut, kayak melinjo. Wah, pokoknya kalo diliat bener menimbulkan selera. Makanya Boim naksir. Tapi, gile, Cing. Judesnya minta ampun!

Dasar Boim, kalo naksir, ia suka gak liat situasi. Setiap bentakan senior itu, dirasakan rayuan yang membuai. Setiap pelototan senior itu, dirasakan sebagai lirikan genit buat si Boim. Dan Boim kontan mengajaknya kencan. "Gimana kalo ntar malam selesai OSPEK saya antar kamu pulang?"

Senioren itu kontan mendelik.

"Sip. Ntar, ya? Saya seneng banget kamu mau nerima tawaran saya. Kamu pasti gak nyesel ngebonceng di motor saya....”

Senioren itu makin mendelik, "Hei, Kunyuk! Kamu ngomong apa barusan? Jangan sembarangan, ya? Ayo pus-ap satu tangan!"

Dan Boim tanpa tawar-tawar lagi langsung pus-ap. Dia kira setelah pus-ap cewek itu mau diantar pulang.

"Hei, jangan gitu pus-ap-nya!" bentak senioren itu lagi.

"Abis gimana, di mana-mana pus-ap juga begini."

"Nggak bisa. Saya mau yang lain!"

"Yang lain gimana?"

"Kamu harus pus-ap pake idung."

"Ha?"

***

Tapi kabar berita Boim naksir senior itu jadi ngetop. Tentu saja senior lain, termasuk yang ditaksir, jadi suka ngerjain Boim. Karena Boimnya tengil, kadang-kadang khusus untuk makhluk satu ini hukuman suka kelewat sadis.

Boim pernah disuruh minum minyak ikan sekop. Pernah disuruh dingkring keliling lapangan. Pernah disuruh makan kacang sama kulit-kulitnya (yang malah kemudian jadi makanan favorit Boim!).

Dan yang paling sadis, sama senior itu Boim pernah disuruh ngecat batu es. Wah, seharian tu' anak sibuk berat, diawasi senioren itu sambil cekikikan. Tapi dasar emang cinta, kalo yang menghukum senioren kece tapi judes itu, Boim suka.

"Cinta itu butuh pengorbanan, bukan begitu, Pus?" ucap Boim saat istirahat makan siang di koridor kampus, sambil minta jatah makan Lupus. "Menurut lo gimana, Pus? Ada kans gak gue?"

"Kayaknya sih dia udah ada tanda-tanda, Im," ujar Lupus sambil merebut paha ayam yang dicomot Boim.

"Keliatannya sih emang begitu," sahut Boim sambil berusaha merebut paha ayamnya lagi.

"soalnya dia ada perhatian terus sama gue."

"Ah, tapi lo kan sering banget dihukum sama dia," kata Lupus sambil buru-buru menelan paha ayamnya. Glek, aduh, tulang-tulang ikut ketelen juga!

"Ya, keliatannya doang dia seperti menghukum gue, Pus." Kali ini Boim mengincar ikan asin yang disembunyiin Lupus di balik gundukan nasinya. "Padahal di sudut hatinya yang paling dalem, dia suka banget sama gue, Pus. Nah, hukuman-hukuman yang ditimpakan ke gue kan cuma kompensasi perasaannya. Dia berusaha menutup-nutupi. Berusaha agar orang laen gak tau kalo dia naksir gue. Akhirnya dia melakukan kamuflase dengan menghukum gue. Itu gue rasain betul, Pus. Gue rasain betul getaran matanya tiap kali dia menatap gue. Ah, yang ini pasti gak lepas lagi, Pus. Doain ya supaya dia gak ke mana-mana...”

Dan keduanya pun sibuk berdoa sambil menengadahkan tangan, "Oh, Tuhan, terima kasih, Tuhan. Percayalah bahwa hambaMu akan menjaga dengan sungguh-sungguh karunia yang Engkau limpahkan pada hambaMu ini. HambaMu janji tak akan menyakiti hatinya...."

"Amin!" tutup Lupus.

Dan ketika istirahat berakhir, dari kejauhan Lupus ngeliat Boim lagi disuruh mungutin sampah bekas nasi bungkus yang berserakan di sepanjang koridor dan gang-gang kampus.

God bless you, Im!

Lupus cekikikan.

***

Memang ulah Boim yang tengil itu sempet bikin suasana OSPEK rame. Cama-cami yang lain jadi ikut merasa terhibur oleh tingkah laku Boim yang lucu. Udah gitu para senioren suka ngasih hukuman yang mengundang tawa.

Yang paling lucu ketika Boim disuruh ngumpulin laler ijo sebanyak seratus ekor. Emang sih di sekitar situ banyak banget laler ijo berkeliaran. Ini karena letak lapangan tempat cama-cami dimapras lokasinya berdekatan dengan tempat sampah. Nah, waktu Boim disuruh nangkepin laler ijo itu, kebayang deh ramenya.

Dengan hanya menggunakan alat berupa lidi yang ujungnya dikasih permen karet, Boim melakukan perburuan untuk menunaikan tugasnya. Gak jarang Boim kucing-kucingan dengan lalat-lalat ijo itu. Tapi karena lalat ijo itu sering lebih pinter daripada Boim, Boim selalu dibuat kecele.

Dan cama-cami yang lain, termasuk para senioren, ketawa cekikikan. Ah, kasian sekali si Boim. Para senioren itu memang mestinya dikutuk jadi lemper.

"Awas lo, tunggu aja hari pembalasan. Kalo gue jadi menteri, gue bakal lupa sama lo semua," Boim kadang-kadang mengutuk juga, sambil matanya jelalatan nyari lalat yang lengah. Satu pun belum dapat.

Tapi sebenarnya Boim gak sendirian. Sebab beberapa menit kemudian Gusur juga menyusul Boim kena hukuman yang sama.

Lho, gimana tu' anak bisa ikut-ikutan dimapras?

Emang sih si Gusur kan gak lulus SMA, dan gak berhak ikut mapras. Tapi ternyata dia itu kena tipu si Lupus. Gini ceritanya. Tadi pagi pas Lupus mau berangkat mapras, Gusur datang. Padahal Lupus lagi bingung banget belum mulai bikin tulisan buat majalah HAI. Dan Gusur malah sempet terpesona ngeliat penampilan Lupus yang lain dari biasanya. Pake bawa-bawa sapu dan pengki segala.

"Wah, hendak ke mana dikau, Pus? Ikut karnaval?"

"Mo dimapras," Lupus menjawab malas.

"Apa sih mapras itu, Pus? Sepertinya lezat sekali?" tanya Gusur sambil menjilat-jilat bibirnya.

"Mapras gak tau?" Tiba-tiba terlintas akal bulus Lupus. "Wah, blo'on kau. Mapras itu semacam pesta makan-makan karena diterima kuliah. Tapi yang datang harus berdandan unik."

"Pesta? Pada makan-makan dong, Pus?" Gusur makin napsu.

"Jelas, dong, yang namanya pesta. Masa iya pada mau macul?"

"Wah, kalo begitu daku ikut, Pus. Daku ingin sekali mencicipi mapras. Boleh kan, Pus?"

"Nggak! Nggak boleh!" Lupus merasa pancingannya mengena. "Mana bisa kamu ikutan mapras? Yang boleh ikut mapras cuma para calon mahasiswa. Kamu kan lulus aja enggak!"

Lupus berlagak menangkis ketus keinginan Gusur.

"Ya, jangan gitu dong, Pus. Daku ingin sekali sih," Gusur bersikeras.

"Gak bisa. Kok ngeyel banget, sih?"

"Harus bisa dong, Pus. Daku ingin sekali, sih."

"Wah, dasar kebo lo. Dibilangin kok gak bisa, sih?"

"Gimana, Pus? Bisa?"

"Ya udah, gini aja," putus Lupus. "Saya kan cuma dapat jatah buat satu orang. Tapi saya mau ke majalah HAI sekarang, jadi kamu berangkat mapras aja sendirian gantiin saya. Lo berlagak jadi saya, gitu. Pake peralatan saya. Mau?"

"Setuju!" Gusur kontan bersemangat. Lupus langsung menyerahkan barang-barang bawaannya pada Gusur.

"Wah, asyik. Kamu baik sekali, Pus. Coba lihat penampilanku, gagah bukan?"

"Ya, udah. Berangkat cepet sana!"

Dengan sepeda milik Lupus, Gusur akhirnya berangkat ke kampus. Dan betapa kecewanya Gusur ketika akhirnya ia malah kena setrap nangkep lalat ijo bersama Boim.

"Im, kapan makan-makannya?" bisik Gusur ketika merapat ke Boim.

"Makan-makan apa? Lo pasti kena dikerjain si Lupus!"

Tapi apa para senior gak tau pas Gusur ngaku Lupus? Tau banget. Justru itu Gusur dihukum. Besok, pasti giliran Lupus yang kena.

Tapi kenapa Lupus nekat bolos sehari?! Karena lama-lama dia ngerasa kalo acara ini cuma buat orang yang kurang kerjaan. Orang yang mau dibilang berwibawa, yang mau dianggap orang penting. Dimintai tanda-tangan, ditakuti, dan lain sebagainya. Padahal sebenernya buat menutup muka kalo dia itu gak punya kerjaan yang lebih penting. Ya, daripada bengong-bengong di kampus?

Di situlah saatnya para senioren cari muka. Membentak-bentak cami yang polos. Dan cami gak bisa nolak karena diancam gak dapet jaket almamater atau sertifikat. Mana nyuruh cari barangnya yang enggak-enggak aja. Misalnya kodok cewek berukuran 5 cm, korek api cap duren tiga, kue kampung yang udah hilang dari peredaran seperti: kue geplak, opak, atau kue sagon. Mana disuruh nyarinya pas pulang di malam hari lagi. Mana ada yang jual?

Bab 7

Lupus sempat jadi bahan ejekan tukang ojek yang mangkal di ujung jalan kompleks waktu mereka melihat Lupus masih mengenakan kostum ondel-onde!. Gimana mereka gak ngikik. Lupus - yang mengenakan celana pangsi itu keliatan mencolok dengan kaos kaki belang-belang yang panjangnya sampe lutut. Belon lagi tangan kirinya menenteng pengki dan nomor dada dari karton yang gedenya aujubilah.

Tentu aja para tukang ojek itu jadi males ngangkat Lupus, walo Lupus udah nawar seratus perak untuk menuju rumahnya.

"Ayo dong, Bang," bujuk Lupus pada seorang tukang ojek.

"Wah, bukannya aye gak mau. Cuma aye gak enak ama orang-orang di jalan. Kan gak enak kalo aye dikata-katain," elak pengojek itu. "Abis situ kayak ondel-ondel, sih."

Lupus jadi sedih. Dia pengen banget buru-buru sampe rumah. Karena Lupus emang udah capek. Seharian dia digojlok. Disuruh pus-ap.

Disuruh lari muter-muter kampus sambil teriak-teriak : saya cinta kampus, saya cinta kampus!

Terus disuruh berdiri di bawah terik matahari. Disuruh nyium tanah. Disuruh nyanyi. Disuruh baris. Sedang malam ini Lupus juga harus menyelesaikan tugasnya menulis laporan untuk majalah tentang Anak-anak Malam.

Karena tukang ojek enggan memboyong Lupus ke rumah, terpaksalah Lupus jalan kaki menuju rumahnya. Kalo diperhatiin dia jadi mirip-mirip anggota S.O.5.-petugas di malam hari itu.

Otak Lupus benar-benar pusing. Selain besok masih harus tampil dengan dandanan serupa di kampus, dia juga ditugaskan mencari kodok. Dan kodoknya bukan sembarang kodok, melainkan kodok yang punya ukuran badan panjang 5 cm. Gak boleh lebih atau kurang. Lupus juga disuruh ngumpulin korek cap duren tiga juga, sebanyak satu lusin. Wah, bener-bener pekerjaan gila!

Tentu saja barang-barang aneh tersebut harus segera didapat malam ini juga. Sementara Lupus pun punya niat main ke diskotek buat nyari calon responden laporan tulisannya.

Makanya pas sampe rumah Lupus langsung teriak-teriak manggil-manggil Lulu. Niatnya minta bala bantuan. Napasnya udah ngos-ngosan. Lupus lupa kalo sebenarnya Lulu lagi empet ama dia gara-gara udah lama gak digado-gadoin eh, digoda-godain. Ya, sejak kejadian beberapa waktu lalu, Lulu emang sengaja gak tegoran ama Lupus. Abis kalo ditegor, Lupus-nya cuek bebek banget. Dan anehnya waktu Lulu negor bebek, tu bebek Lupus banget. Hihihi.

"LULUUUU...!" teriak Lupus lagi.

Lulu yang lagi asyik nonton Perfect Strangers jadi kaget.

"Ada apa, sih, teriak-teriak! Minta cariin pengki lagi?" sungut Lulu.

"Bukan pengki, Lu. Tapi kodok!"

"Kodok? Yang buat motret?"

"Itu kodak, bego! Masa kamu gak tau kodok, sih?"

"Ooo, permainan bola kodok?"

"Itu bola sodok! Kamu gimana sih, Lu. Saya serius, tau! Saya minta tolong kamu untuk nyariin kodok. Malam ini juga!"

"Kodok yang binatang?"

"Iya!"

"Hiii...," Lulu bergidik. "Jangankan kodok, megang cicek aja saya gak berani!"

"Aduh, tolonglah, Lu. Kali ini coba diberani-beraniin, deh. Sebab kalo besok saya gak bawa kodok, saya bakalan disuruh bawa buaya!"

"T -tapi...”

"Ayolah, Lu."

“Tapi janji dulu, ya? Kamu malam ini juga mesti godain saya. Kamu kan tau, Pus, saya udah lama banget gak digoda-godain ama kamu."

"Ya, itu sih gampang, deh."

"Ya, godainnya sekarang, dong."

"Godain apa?"

"Apa kek. Atau ini aja. Saya kan lagi ngerjain pe-er gambar. Gimana kalo kuas ini kamu umpetin. Umpetinnya jangan jauh-jauh. Di sini aja di bawah karpet, Pus. A yo dong umpetin!"

Lupus pun ngumpetin kuas punya Lulu di bawah karpet.

"Udah, Lu."

Lulu tiba-tiba memandang kesel ke arah Lupus. Matanya jalang. Dia marah.

"Lupuuus...! Kamu ngumpetin kuas saya, ya?" Lulu menghardik sambil menjambak rambut Lupus yang masih ada pita warna-warninya.

"E, Lu..." Lupus gelagapan.

"Alaaa, ngaku, deh. Pasti kamu yang ngumpetin, kan! Ayo, di mana kuas itu?" Lulu terus menjambak rambut Lupus.

"D-di bawah karpet, Lu," sergah Lupus menahan sakit.

Lulu kemudian membuka karpet. Dan benar kuas itu ada di sana. "Awas, kalo lain kali ngumpet-ngumpetin kuas saya lagi!"

"Lu, kok kamu beneran sih, ngejambak rambut saya?"

"Lho, apa kalo saya memaksa kamu mengaku tidak benar-benar menjambaknya? Terus terang peristiwa inilah yang udah lama Lulu kangenin, Pus. Abis kamu terlalu sibuk dengan kegiatan kamu di sekolahan, sih. Jadi baru dijambak begitu aja udah kaget. Kan biasanya pake saya getok gagang sapu segala. Oke, deh, sekarang kita kembali ngomongin soal koyo lagi."

"Bukan koyo, tapi kodok, Lu. Saya perlu kodok sekarang juga. Kan di belakang rumah ada empang, kamu tinggal nyomot aja di sana. Sebab malam ini juga saya mesti ke Musro."

"Musro temennya Unyil?"

"Itu Usro, bloon! Saya mo' ke Diskotek Musro nyari responden buat bahan tulisan saya. Tolong ya, Lu."

"Ke diskotek? Aaaaa, ikuuut!"

"Aduh, Lulu. Saya kan ke disko bukan mau jojing. Bukan mau hura-hura. Ini tugas, Lu. Tugas dari majalah HAI."

"Eh, tapi kamu mesti tolongin saya juga ya, Pus."

"Tolongin apaan? Kan tadi udah digodain?"

"Bukan itu."

"Apaan, dong?"

"Gini. Saya kan lagi demen ama si Rudi."

"Rudi mana?"

"Itu yang anak sebelah."

"Terus yang bisa saya tolong?"

"Saya minta tolong kamu untuk bikinin surat buat saya kasih ke Rudi. Abis saya mo' ngomong langsung kan gak enak, Pus. Takut langsung diterima. Hihihi."

"Itu gampang, deh. Yang penting kodok dulu, Lu!"

"Tapi pasti ya, Pus? Soal kodok tadi, kamu perlu berapa biji, sih?"

"Lima biji!"

"Haaah!"

Belum kaget Lulu ilang, Lupus buru-buru masuk kamar untuk ganti baju. Dia gak peduli sama Lulu yang pingsan seketika. Di dalam kamar segera atribut OSPEK ditaronya baik-baik. Dari mulai pengki, kaos kaki belang-belang, sampe ke celana pangsi disimpannya ke dalam lemari besi. Takut rusak. Sebab itu semua mesti Lupus pake selama tiga hari.

Dengan mengenakan blazer abu-abu bekas punya Papi dan sepatu pantopel yang kebetulan udah disemir Mami, Lupus siap ke Musro. Tapi pas di ruang tamu, dia melihat Lulu masih pingsan. Agak tertunda keberangkatannya. Tapi, untungnya acara ke disko bisa rada maleman. Jam sebelasan masih oke. Toh, sekarang baru pukul delapan lewat dikit.

"Lu, bangun, Lu! Kalo pingsan jangan lama-lama, dong. Jadi gak nyari kodoknya?"

Sebenernya Lupus gak enak juga nugasin Lulu nyari kodok. Tapi mo' minta tolong siapa lagi? Hei, tapi kenapa gak minta bantuan Gusur aja?

Ya, denger-denger Gusur pernah akrab ama kodok. Karena tempat tinggal dia emang dikelilingi empang. Hihihi.

Sambil berlari-lari kecil Lupus lalu menuju rumah Gusur. Kebetulan rumah Gusur emang gak gitu jauh. Kebetulan lagi Gusur ada di rumah, lagi bikin lukisan potret diri di kamarnya. Denger-denger sih dia mo' nyaingin Affandi.

Tapi kalo Affandi bikin lukisan dengan memuncratkan cat dari tube lalu dioles-oles pake tangan, Gusur laen. Dia mengoles-olesnya pake idung. Katanya biar lebih ekspresip. Biar lebih mirip. Dan makin sip. Hasilnya emang lumayan. Lukisan itu mirip banget ama bison! Hihihi.

Dan waktu Lupus nyelonong masuk ke kamar Gusur, idung dia masih belepotan cat.

"Hei, Lupus! Bagaimana kau punya kabar? Gimana dengan lukisan potret diriku? Wah, daku yakin bakatku tak jauh beda dengan maestro Affandi, bukan? Daku punya rencana memamerkannya di balai lelang Christie di London. Pasti dia bakal menyaingi lukisan Van Gogh, yang milyaran rupiah itu."

"Sur, gue minta tolong, dong."

"Oho,kau juga mau dilukis rupanya? Tampaknya kau siap sekali dengan kostum seperti itu. Mari dekatkan idungmu ke sini."

"Bukan itu, Sur. Gue minta tolong nyariin kodok buat OSPEK besok. Kan di daerah sini banyak kodoknya. Nanti gue kasih persen, deh. Satu kodok satu permen karet. Setuju?"

"Tapi daku sedang mood melukis, Pus. Bila besok gimana?"

"Saya perlunya sekarang. Ayo dong, Sur. Ntar kalo lo mo' pinjem duit gue kasih, deh. Atau, gimana kalo lukisan potret diri lo gue promosiin di majalah gue?"

"Wah, ide bagus itu!"

"Tapi inget, Sur, ukuran kodoknya yang 5 cm. Gak boleh kurang atau lebih. Dan kodoknya mesti yang cewek."

"Ah, mudahlah itu."

"Lagian lo ntar ditemenin Lulu. Makanya sekarang lo ikut ke rumah gue. Lo atur deh gimana baeknya. Sebab sebentar lagi gue mesti berangkat ke Musro. Gue mau bikin tulisan tentang Anak-anak Malam."

Di rumah Lulu juga mulai siuman. Lulu sebenarnya paling geli banget ama binatang-binatang kayak begituan. Cuma, diem-diem Lulu juga pengen bantuin kakaknya. Lulu kasihan ama Lupus kalo Lupus sampe dihukum hanya karena gak bawa kodok.

"Lu, udah sadar belon?" teriak Lupus pas ngos-ngosan sampe rumah. "Kalo udah, kebetulan gue bawa contoh kodok eh, bawa orang buat nemenin kamu nyari kodok!"

Gak lama Gusur dan Lulu tampak ngatur siasat untuk ngedapetin kodok pesanan Lupus. Lupus sendiri mulai ngemas-ngemasi barang-barang buat wawancarain anak-anak muda yang doyan ngelayap malam.

Padahal, saat itu, Lupus udah ngantuk berat. Tapi demi karir apa boleh buat. Pulpen dan buku notes melengkapi perjuangannya. Tapi masih ada yang kurang. Tip kecil.

"Lu, kamu liat tip kecil saya, gak?"

"Liat. Tapi saya pinjem dulu buat nyari kodok."

"Lho, nyari kodok kok bawa-bawa tip segala?"

"Kan buat wawancarain kodok. Kita kan gak tau mana kodok cowok mana kodok cewek kalo gak kita tanya dulu. Iya gak, Sur?"

"Betul itu, Pus!" Gusur diem-diem demen juga bisa jalan sama Lulu yang manis. Untung gak ada Boim!

"Saya nanti wawancaranya gimana?" tanya Lupus.

"Pake tape-deck aja!"

***

Dan sekitar jam sepuluhan Lupus pun going ke Musro. Sementara Lulu dan Gusur juga cabut ke empang. Kalo Lupus bawa pulpen, notes sama tip buat wawancara, Lulu dan Gusur bawa senter dan obor. Malah Gusur bawa bekal nasi segala, supaya gak kelaparan di jalan eh, di empang. Sedang Lulu bawa jaket biar gak dingin serta pake sepatu bot. Ya, untungnya empang yang dituju mereka gak gitu jauh. Tapi Mami yang ngeliat Lulu dan Gusur berdandan seperti itu sempat heran setengah mati.

"Ini anak, udah malam masih main Gaban-gabanan. Sekarang kan udah jam sembilan, Lu. Gak pantes anak perempuan malam-malam main begituan. Kalo Gusur sih biar aja. Bukan anak Mami ini!" tegur Mami karena ngeliat Lulu bawa tongkat juga.

"Mi, Lulu bukannya mau main Gaban-Gabanan. Tapi mau nyari kodok buat keperluan OSPEK Lupus. Karena Lupus perlu kodoknya malam ini juga, Mi. Dan tongkat ini sengaja Lulu bawa buat ngegetok kodok yang bandel."

"K-kodok? Kamu mau nyari kodok? Emangnya kamu berani sama kodok?"

"Lulu sih gak berani, Mi. Percuma, dong, Lulu ngajak Gusur."

"Hei, kau tak berani pegang kodok rupanya?" tukas Gusur terperanjat. "Ah, kalau kau yang perempuan tak berani, gimana dengan daku yang cowok, Lu?"

"Lho, kata Lupus kamu akrab sama kodok? Gimana, sih?" protes Lulu.

"Ya, tapi tak terlalu akrab-akrab amat. Hanya baiknya, saat perburuan nanti kita harus sama-sama terjun, Lu. Ingat kata pepatah: ringan itu sama dijinjing, berat ya, kita suruh kuli aja!"

Hihihi.

Dan perburuan kodok pun dimulailah!

Eng ing eng...

Bab 8

SUASANA di diskotek ternyata begitu hiruk-pikuk. Lupus menyusup di antara pengunjung. Lalu mengambil tempat duduk agak di sudut. Memperhatikan cewek-cowok yang pada rebutan jojing. Kebetulan lagunya Don't Stop the Music yang memang hot. Sampe ada cewek yang jojing sambil peluk-pelukan dengan pasangannya. Kalo ngeliat begitu, diskotek emang terkesan nggak baek. Pantes banyak orang baek-baek pada sirik sama tempat satu ini.

Belum lagi dandanan minim para ceweknya. Semua berlomba pake mini-skirt dengan baju yang pundaknya terbuka lebar.

Lupus mengalihkan pandangannya pada sudut-sudut yang lain. Eh, kayaknya dia ngeliat seorang yang pernah ia kenal. Siapa, ya? Rasanya seperti Reza. Ngapain tu anak di situ? Ah, tapi sebodolah! Rese amat ngurusin orang laen.

Matanya kemudian nyasar ke tempat remang-remang yang hanya diterangi lampu warna-warni. Di sofa empuk yang dibiasi warna merah, Lupus memergoki dua insan yang lagi asyik berciuman. Atau ada pasangan lain yang belum minat turun, karena masih asyik ngobrol. Mungkin ngomongin tentang masa depan, atau merencanakan punya anak berapa setelah nikah nanti.

"Gimana kalo sepuluh?" Dan memang, samar-samar di antara dentuman musik keras, Lupus mendengar si cowok ngomong begitu. Terus membelai rambut pasangannya.

Si cewek menatap pacarnya berbinar.

"Ah kamu, masa sepuluh sih. Terlalu banyak, dong. Kan capek ngelahirinnya. Boleh ditawar, kan?" respon si cewek.

Pacarnya mengangguk.

"Berapa?" tanyanya mesra. Lalu mengetatkan pelukannya pada si cewek.

Si cewek menerima dengan pasrah, sebelum akhirnya bilang, "Gimana kalo empat belas?"

Si cowok terperanjat. Lupus ngikik di bangkunya. Begitu keras kikikan Lupus, sampe ada beberapa pasang mata yang menoleh padanya. Lupus jadi nggak enak ati. Dan pura-pura bersandar di sofa.

Nggak lama kemudian datang waitress menawarkan minuman buat Lupus. Ini memang termasuk servis buat pengunjung. Lupus memesan es teh. Tapi nggak ada. Terus Lupus inget, katanya Poppi pernah ke disko, dan memesan minuman yang enak. Namanya snow ball. Lupus pun pesan itu tanpa tau gimana bentuknya.

Si waitress lalu berlalu ke arah bar mini, sementara Lupus meletakkan alat-alat perangnya berupa tustel dan tip kecil di meja. Sebentar kemudian si waitress kembali ke meja Lupus dengan segelas snow ball.

Lupus mencicipi gumpalan es salju itu. Wah, ternyata emang enak. Lupus jadi ingat Poppi yang kini udah di Australia, belajar nangkep kanguru. Lagu Something Happened on the Way to Heaven dari Phil Collins yang di-remix mengentak. Membuat kepala Lupus sesekali terangguk-angguk mengikuti irama lagu. DJ yang sibuk di balik counter-nya juga ikut bergoyang. Atau terkadang ikutan nge-rap. Namanya DJ, walaupun ikut-ikutan, tapi nge-rap-nya bisa pas juga sama yang di lagu. Gak kayak Lulu yang suka ngaco kalo nge-rap di kamar. Ya, abis Lulu nge-rap-nya pake bahasa Batak.

Tapi Lupus kelihatan hepi betul malam itu. Hampir dia melupakan tugasnya, kalo gak keburu sudut matanya ngelirik serombongan cewek kece yang baru masuk. Kedatangan mereka sempet bikin suasana diskotek jadi berisik.

Lupus buru-buru memasang matanya dengan sungguh-sungguh. Mengamati serombongan cewek itu dengan saksama.

Lupus manggut-manggut. Rupanya itulah mangsa yang dicari buat bahan laporannya.

"Wah penuh, Dra," salah seorang dari mereka angkat bicara. "Elo, sih, tadi gak nge-reserved dulu! Pegel deh kita gak dapet bangku."

"Yang di pojok sono kan masih sepi," jawab yang dipanggil Sandra sambil menunjuk ke arah Lupus.

Lupus sempat kaget juga, karena mengira cewek - yang sejak tadi diamati tiba-tiba menudingnya.

"Ah, tapi udah ada yang dudukin, tuh. Mending cari yang laen," tukas cewek lainnya.

"Tapi kece juga, kan? Keliatannya masih polos dia. Model rambutnya aja gitu. Kayak buntut ayam. Bisa sekalian kita kerjain," Sandra angkat bicara lagi. Setelah menimbang-nimbang beberapa jenak, akhirnya rombongan cewek yang beranggotakan lima orang itu setuju.

Sambil bergoyang-goyang lincah, mereka berjalan ke arah Lupus. Dan langsung duduk tanpa permisi lagi. Lupus jadi kikuk. Sebab kelima cewek itu santai banget duduknya. Pake angkat kaki segala. Dan posisi Lupus juga kurang menguntungkan. Terjepit di antara kelima cewek itu.

Buat mengurangi kekikukannya, Lupus mencoba tersenyum kepada kelima cewek itu. Tapi gak semua menanggapi. Ada dua cewek yang terus asyik menggoyang-goyangkan kepala dan tangannya.

"Langsung turun yo, Phia!" ajak Sandra pada cewek bemama Phia yang sebelumnya mau membalas senyuman Lupus.

"Lo turun aja sama Vini duluan. Gua mo duduk-duduk sebentar," jawab Phia, yang segera disusul kedua rekannya.

Tinggal Phia berdua Lupus, yang belum bisa menguasai saltingnya.

Untung waitress keburu datang menawarkan minuman. Lupus agak terkurangi groginya. Phia memesan Tia Maria.

Sementara Lupus masih terpesona memandangi Phia, tiba-tiba Phia nyeletuk, "Sendirian, ya?"

Lupus gelagapan.

"I-iya, eh, s-situ juga, ya. Ng... maksud saya situ dari mana?"

"Rokok?" Phia nggak menjawab pertanyaan Lupus, tapi malah menawarkan rokok putih. Lupus sebenarnya gak biasa ngerokok. Tapi situasi saat itu gak memungkinkan Lupus menolak tawaran Phia. Dengan malu-malu Lupus mengambil rokok putih itu dari tangan Phia.

Masih ragu-ragu Lupus mengisap rokok beraroma menthol itu, ketika sekonyong-koyong Phia sudah menyalakan Dupont-nya.

Lupus terperangah. Dan nyala Dupont itu diarahkan ke rokok Lupus. Sebagian menerangi wajah Lupus.

Phia tersenyum.

Lupus tersenyum canggung, dan segera membakar rokoknya.

Lupus terbatuk. Tuk... tuk... tuk....

"Hihihi...," Phia ketawa. "Nggak biasa ngerokok, ya?" tanyanya.

Lupus mengangguk ragu-ragu, ngeri dibilang kuper.

Rada minder dia.

"saya biasa makan permen karet."

"Permen karet? Childish. Kenapa gak ngerokok?" Phia terus nyerocos. "Takut bengek, ya?"

"Nggak, takut boros."

"Hihihi...," Phia ngikik. "Takut boros kok ke diskotek. Cover charge-nya kan mahal."

"Ah, saya ke sini karena tugas," kata Lupus mulai kedengaran santai. Sesekali disedotnya rokoknya dalam-dalam.

"Tugas apaan?" Phia terperangah.

"Tugas nemuin kamu," jawab Lupus enteng.

Phia makin terperangah.

"Ah, kamu bisa aja," kata Phia setengah merajuk.

"Bener kok, saya ditugasin nemuin cewek-cewek kece yang ada di Jakarta. Saya mau sensus. Nah, buat cewek yang nanti saya catat namanya, bakal dapat hadiah menarik. Kamu mau kan saya catat namanya?"

"Mau banget. Tapi hadiahnya apaan, kok pake menarik segala. Besi berani kali, ya?" tanya Phia polos.

Hihihi... kini Lupus yang ngikik. Lantas mematikan rokoknya yang masih panjang di asbak.

Phia melongo.

"Kok dimatiin, sih?"

"Lama-lama pait. Nggak enak ngerokok. Mending makan permen karet," kata Lupus, lalu berusaha merogoh kantong celananya. Dan mengambil dua buah permen karet yang panjang-panjang kayak papan.

"Kamu mau ini?"

Phia ragu-ragu memandang, antara mau dan nggak.

"Bukan obat perangsang, kan?" tanya Phia curiga.

"Bukan, saya kan orang baik-baik."

"Justru itu. saya maunya obat perangsang."

Lupus kontan ngakak. Phia mengambil sebiji permen karet yang disodorkan Lupus.

"Wah, bisa becanda juga ya, kamu," kata Lupus geregetan.

"Siapa bilang becanda. Sungguhan, kok."

Lupus tambah geregetan, dan langsung mencubit idung Phia.

"Wah, kok genit, sih," rajuk Phia tanpa berusaha mengelak.

"Abis kamu juga, sih."

Keduanya lalu tertawa terbahak, meningkahi Madonna yang melantunkan Keep It Together. Dari kejauhan Vini dan Sandra menatap dengan pandangan gamang.

"Wah, tu' anak udah dapet mangsa," tukas Sandra.

"Lo sih ngajak gue turun. Sebenernya gue juga naksir tu' anak," Vini berkata polos.

"Ah, lo sih cuman jidat licin doang yang diliat. Kayak Phia. Mana ada duitnya orang potongan gitu. Mending ntar cari yang tuaan dikit. Biar alot tapi dokatnya betumpuk."

"Sesekali boleh juga dong refreshing. Ngerasain yang garing kayak gitu. Nelen yang alot melulu lama-lama bisa seret juga, San."

Sandra ngakak.

Dan Lupus makin larut dengan Phia.

"Eh iya, kamu kan tadi belon jawab pertanyaan saya, hadiah apaan sih yang mau kamu kasih?" tanya Phia dalam cakapnya dengan Lupus.

"Wah, kamu pasti suka."

"Iya, apaan dong?" Phia terus memaksa.

Tapi Lupus setil kalem. Bikin Phia tambah penasaran.

"Ah, ntar aja deh," Lupus mengedet.

"Sekarang dong, apa sih hadiahnya?"

"Free card semalam bersama Benyamin S," jawab Lupus sambil ngikik. Phia ikut-ikutan ngikik.

"Bajingan kamu," rutuk Phia. Lalu mencubit mesra pinggang Lupus.

"Nggak mau memangnya?"

"Ogah! saya maunya semalam bersama kamu," kata Phia.

Lupus jadi tersenyum dikulum.

"Mending kamu sanggup melawan saya, Phi."

"Kayak apa sih punya kamu? Paling-paling cuma segini," kata Phia menjentikkan jarinya.

"Pokoknya kamu nggak sanggup, deh."

"Lha, memangnya kamu sudah pengalaman?"

"Eh, tapi ngomong-ngomong, main apaan sih? Maksud kamu main catur, kan?”

Phia ketawa tanpa ampun.

"Eh iya, ngomong-ngomong nama kamu siapa sih?" Lupus sekonyong-konyong menghentikan tawa Phia.

"Lha, kamu sendiri siapa namanya?" balas Phia.

"Kamu ini gimana, ditanya malah nanya."

"Bandel, ya?"

"Iya bandel."

"Nama saya Phia."

"Phia?"

"Itu pendeknya."

"Emang ada panjangannya, eh maksud saya, emang nama kamu ada panjangannya?"

"Denger!" Phia membisikkan sesuatu ke telinga Lupus. Lupus kier-kier.

"Psst... psst... psst...," bisik Phia.

Lupus tergial-gial. Lalu ngikik.

"Apa?" tanya Phia.

"Nggak tau."

"Gombal kamu," rutuk Phia sambil memukul pundak Lupus.

"Tapi tadi kamu ngomong apa, sih?" tanya Lupus kemudian.

"Nggak ngomong apa-apa," jawab Phia polos.

Lupus sekarang menonjok pundak Phia. Tapi karena Phia secara tiba-tiba mengubah posisi, tonjokan Lupus nyasar ke bagian terlarang. Phia terpekik. Tapi bukannya menepiskannya, Phia malah menangkap tangan Lupus.

“Wah, kok kamu agresif banget, sih ?" kata Lupus getir campur terperangah.

“Biarin, nggak gesit nggak bakal dapet cowok, kata Phia, tapi Lupus buru-buru menarik tangannya.

"Nggak enak, ah, diliat orang," Lupus memberi alasan.

"O, jadi kalo nggak diliat orang mau?"

"Huss! Ngeres banget sih. Jadi siapa nama panjang kamu?" Lupus mencoba mengalihkan perhatian.

"Cukup panggil Phia aja. Buat apa panjang-panjang. Ntar malah susah manggilnya. Lha kamu sendiri siapa?"

"Lupus."

"Kok lucu namanya."

"Lucu tapi spesifik."

"Kamu suka makan keripik?"

"Kuping kamu perlu dikilik."

Phia ketawa renyah mendengar banyolan Lupus. Tapi gak lama.

Pandangan Lupus beralih ke DJ yang slbuk men-scratch piringan hitam. Lalu ke arah rekan-rekan Phia yang pada jojing seperti kesetanan.

"Pus...," tiba-tiba Phia bicara lagi.

Sejak tadi di saat pandangan Lupus berkeliaran, rupanya Phia asyik memperhatikan Lupus dalam-dalam. Dan Phia merasakan sesuatu di hatinya.

Phia kayaknya tertarik. Tapi Lupus yang dipanggil dengan mesra cuma diam. Bikin Phia penasaran.

"Pus...?" panggil Phia sekali lagi. Tangannya merayap ke tangan Lupus. Lupus tentu aja kaget.

Lupus sejak tadi sebenarnya paham kalo cewek di sampingnya ini termasuk kelas agresif. Tapi waktu tangannya digenggam Phia, tetap aja Lupus jadi kaget dan merinding.

Ih, Lupus jadi ngebayangin yang gak-gak. Dan Lupus baru tau sendiri kalo kehidupan malam yang sebenarnya seperti ini. Lupus jadi ingat di kantor majalah. Lupus jadi ingat Mas Iwan waktu ngetawain Lupus pas Lupus nawarin mau tulisan tentang anak-anak malam. Waktu itu Lupus asal cuap aja. Saat itu di benak Lupus nggak kebayang kalo anak-anak malam bakal senakal ini.

"Pus...," Phia memanggil lagi dengan lirih. Suaranya nyaris tenggelam ditelan Nothing Compares 2 U dari Sinead 0' Connor. Tapi panggilan kali ini sempet bikin Lupus menoleh juga.

"Ada apa, Phia?" tanya Lupus polos. Saat itu Lupus merasakan jari-jemari Phia makin erat menggenggam tangannya.

"Kamu cakep deh, Pus...."

Lupus melongo mendengar apa yang dikatakan Phia. Phia sendiri cuma tersenyum manis setelah bilang begitu. Lupus merasakan badannya mrinding. Sementara Phia malah makin keras merapatkan badannya ke Lupus.

Lupus mengunyah permen karetnya kuat-kuat untuk meredakan panas-dingin di badannya. Keliatan banget Lupus grogi.

"Kok kamu pucet, Pus. Sakit?"

"Ah, gak apa-apa, kok," jawab Lupus asal.

Tapi dalam benak Lupus berpikir, betapa matangnya Phia untuk urusan beginian. Ah, Lupus kok merasa jadi ketinggalan zaman. Kalo ditaksir umurnya Phia itu paling masih di bawah Lupus. Tapi Phia udah keliatan mateng. Gerak-geriknya, senyumnya, cara bicaranya, semua menunjukkan kedewasaan. Tapi dewasa dalam arti lain. Phia terasa sekali liarnya. Kalo gak inget tugas kewartawanannya, Lupus sebenernya udah pengen buru-buru cabut dari situ.

Lupus takut gak tahan godaan.

Phia sendiri makin liar merapatkan badannya ke Lupus. Menyandarkan kepalanya ke pundak Lupus.

Malam semakin dingin.

Dingin.

Walau DJ telah memanaskan dengan Piano-negro.

"Pus, turun, yuk!" tiba-tiba Phia bangkit dari duduknya. Dan sebelum Lupus merespon ajakannya, Phia udah buru-buru menyeret Lupus ke dance floor.

Ah, kenapa di depan Phia, Lupus jadi canggung seperti ini? Kenapa di depan Phia segala kekonyolannya jadi raib? Tapi Lupus juga menyadari bahwa dirinya telah memasuki suatu dunia yang baru. Dunia yang sebelumnya hanya terlintas dalam pikirannya.

***

Di rumah, Lulu keliatan cemas menunggu Gusur. Dandannya udah rapi. Walaupun cuma mengenakan jins bolong-bolong dan T-shirt warna pink bertuliskan New Kids on the Block, tapi Lulu keliatan manis sekali malam itu. Rambutnya diikat dua. Soalnya, kalo cuma satu takut dikira Oshin. Setelah itu ada juga pita di rambutnya. Yang biasanya gak pake lipstik, kali ini Lulu nyoba-nyoba pake lipstik. Soalnya Lulu sadar, malam ini mau mengunjungi tempat hura-hura, tempat di mana pengimjungnya pada dandan abis-abisan. Makanya malam itu Lulu berusaha dandan abis-abisan. Kayak kakaknya yang tadi juga berdaIidan abis-abisan. Pake jas panjang kayak tukang sulap, ditambah topi laken segala. Biar dikira Bon Jovi. Lulu sendiri yang ngedandanin Lupus tadi. Tapi Lulu sendiri ngerasa kakaknya gak mirip Bon Jovi. Tapi justru mirip tukang topi. Hihihi....

Tapi sekarang Lulu jadi kesel, karena Gusur yang janji mau dateng lagi tepat pukul sebelas, sampe saat ini belum menampakkan batang hidungnya. Lulu mondar-mandir saking gelisahnya. Sebentar-sebentar memandangi kodok di dalam stoples. Dandanannya hampir kusut.

"Dasar Gendut, kalo janji gak pernah tepat!" akhirnya Lulu memaki.

Mami sejak tadi memperhatikan tingkah Lulu yang gelisah, jadi nggak enak juga.

"Tunggu aja deh, Lu, sebentar juga datang. Lagian emang penting banget, ya, urusannya. Kamu kan capek baru nyari kodok," kata Mami cemas.

"Penting dong, Mam. Ini menyangkut mati-hidupnya Lupus."

"Lho, memangnya kenapa? Kok pake mati-matian segala?"

"Tadi kan Lulu udah bilangin, Lupus sama kampusnya disuruh nyari kodok sepanjang 5 cm....”

"Iya, tau. Lalu?"

"Nah, sekarang kodoknya udah ketemu."

"Ya, tapi kenapa kamu harus ke diskotek?"

"Kan mau dikasihin ke Lupus."

"Ya, nanti aja kan bisa. Nanti aja setelah Lupus pulang dari tugas nyari responden di diskotek."

"Gak bisa, sebab kodoknya udah kangen berat pengen ketemu Lupus, Mi."

"Ya udah kalo begitu," kata Mami, lalu masuk

kamar. "Naik apa kamu ke sana?”

"Taksi, Mi. Tapi si Gendutnya belon dateng juga, Mi. Kunyuk banget sih tu' anak."

Lulu kembali uring-uringan. Mondar-mandir ke dalam kamar. Sebentar-sebentar mengamati kodok yang melompat-lompat di dalam stoples. Sebentar-sebentar menatap ke ujung jalan kalo-kalo Gusur datang. Untung nggak lama kemudian Gusur benar-benar datang.

"Gendut, ke mane aje lo!" Lulu langsung menghardik begitu melihat Gusur.

"Lulu, tenang. Maaf. Daku memang sedikit telat. Tapi aku kerepotan mencari pinjaman blaser. Untung setelah dicari-cari ketemu juga di lemari engkongku. Konon menurutnya, itu blaser memang bekas miliknya di kala muda. Nah, sekarang gimana, kamu sudah siapkah?"

"Udah,. Monyong. Ayo cepetan cabut!" bentak Lulu seraya menarik tangan Gusur kuat-kuat. "Mi, Lulu berangkat dulu," teriak Lulu.

"Begitu juga dengan daku, cabut dulu ya, Tante."

Mami mengintai dari balik jendela kamar. Ngeliat Lulu yang nyeret-nyeret Gusur, Mami tersenyum geli. Soalnya heran ngeliat penampilan Gusur yang mau ke diskotek, tapi pake sepatu hansip.

Dan sebelum Gusur dan Lulu menghilang, Mami masih sempet berpesan, "Ati-ati ya kalian di jalan, dan jangan lupa oleh-olehnya!"

"Sip!"

***

Lupus mengelap keringatnya, sambil memberi isyarat pada Phia untuk berhenti jojing. Tapi Phia menolak.

"Tanggung dikit lagi. Masa I Wanna Be Rich mau kamu lewatin begitu aja?" kata Phia. Lalu dengan cepat Phia menangkap tangan Lupus. Berusaha menahan agar Lupus jangan duduk. Phia memang keliatan masih kuat jojing beberapa lama lagi. Tapi Lupus nampak capek sekali. Tadi Lupus sempet jojing gila-gilaan, putar sana putar sini. Dorong sana dorong sini. Pake jungkir-balik segala.. Pengunjung lain aja sampe geleng kepala menyaksikan gaya jojing Lupus yang mirip kebo ngamuk itu. Tapi Lupus sendiri sebenernya gak ada niat buat pamer dengan jojing begitu. Lupus memang belum biasa aja. Maklum nggak pernah. Paling-paling cuma ama Lulu di rumah kalo lagi iseng. Itu pun dengan musik ala kadarnya berupa panci yang dipukul-pukul oleh si Bibi. Nah, malam ini Lupus baru ngerasain jojing yang sesungguhnya.

Ternyata jojing itu memakan enerji. Bikin pinggang pada pegel dan napas ngos-ngosan. Makanya Lupus minta Phia berhenti. Tapi Phia menolak.

Akibatnya Lupus benar-benar mau pingsan. Untung sebelum Lupus pingsan beneran, Phia akhirnya menuruti saran Lupus.

"Ahhh!" hela Lupus menarik napas lega setelah sampai di sofa. Lupus bersandar. Mengelap keringat yang membanjiri lehernya. Lantas menenggak Tia Maria milik Phia.

"Capek, Pus?" tanya Phia coba basa-basi.

Lupus nyengir dikulum.

Phia malah ketawa.

"Gitu aja masa kecapekan sih, Pus?"

"Kamu pikir saya robot yang gak bisa capek?" Lupus bersungut-sungut.

Phia masih ketawa. Merasa keki diketawain terus, Lupus mencari akal agar Phia menghentikan tawanya. Lupus mengambil sebongkah kecil batu es dari gelasnya. Kemudian dengan sigap memasukkannya ke dalam mulut Phia.

Uhk! Phia kontan terbatuk-batuk.

Kini Lupus tertawa lebar.

"Lupus jahat," Phia mernaki. Meninju perut Lupus keras-keras.

"Makanya jangan ketawain saya terus," kata Lupus. Tapi ketika matanya nyasar ke lantai jojing, sejenak Lupus terperangah.

"Eh, keempat teman kamu pada ke mana?"

Phia ikut mencari lewat matanya. Sandra dan teman-temannya ternyata udah gak ada lagi di

situ. Phia cuek aja.

"Mungkin mereka udah dapet yang cocok," kata Phia penuh teka-teki.

Dan Lupus memang sempet dibikin bingung.

"Apa, sih, maksud kamu, Phia?" akhirnya Lupus bertanya saking penasarannya.

"Mereka udah menemukan yang dicarinya," jawab Phia.

"Apaan?" Lupus ternyata malah tambah bingung dengan jawaban Phia.

"Biasa. Oom senang yang kelebihan duit."

"Wah, jadi..." Lupus terperanjat. Tapi dalam hati Lupus girang sekali. Perburuan malam itu buat mencari bahan-bahan tulisan ternyata gak sia-sia.

Lupus telah menemukan mangsa yang tepat. Makanya sejak tadi, sambil terus berpura-pura bego, Lupus mengorek informasi dari Phia. Phia sendiri kayaknya belum begitu sadar kalo lagi dimanfaatin Lupus.

Dari kejauhan tiba-tiba terdengar tawa keras. Sudah sejak beberapa menit tadi musik beralih ke irama lembut. Beberapa pasangan ber-slow dance dalam keremangan. Saling berpelukan.

Lupus menoleh ke arah tawa tadi. Ternyata Sandra yang barusan tertawa itu. Di dekatnya seorang oom gendut menggamit tangan Sandra. Agaknya si oom tengah berusaha mengajak Sandra ber-slow dance. Sandra keliatan pura-pura nolak. Maksudnya agar si oom lebih penasaran.

"Sandra emang suka begitu. Sok jual mahal. Padahal dia ngebet betul," tiba-tiba Phia angkat bicara.

Lupus menoleh ke arah Phia.

"Kalian ini kalo ke sini sebenernya pada ngapain, sih?"

"Ya, hura-hura. Jojing."

"Lalu ngapain berhubungan dengan oom itu?"

"Lha untuk senang-senang kan butuh biaya."

"Maksud kamu, oom itu yang membiayai kamu? Kok mau sih?"

"Kan ada timbal baliknya."

"Wah, apaan tuh?"

"Kamu kok jadi kayak detektif gitu, sih."

"Nanya kan boleh. Apa sih imbalannya?"

“Tanya aja sama Sandra.".

"Kamu emang gak pernah dikasih imbalan sama oom-oom itu?"

"Saya gak suka oom-oom. Saya kan gak kayak Sandra. Saya ke diskotek bener-bener cuma buat jojing. Refreshing. Tapi kalo ada orang yang menyenangkan kayak kamu, boleh juga sih. Ngobrol-ngobrol begini apa salahnya. Nah, kalo Sandra itu kayaknya punya peran ganda selain cuma senang-senang. Saya sendiri kenal Sandra di sini."

"Kamu masih sekolah, Phia?"

"Kelas dua."

"Memangnya kamu gak diomelin bokap kamu, sering keluar malem-malem begini?"

"Asal pinter ngatur aja."

"Maksud kamu?"

"Kalo gak ketahuan, kan Bokap gak bisa marahin kita."

"Wah."

"Kok wah?"

"Habis hebat, sih. Eh iya, Phi, bener nih kamu ke diskotek cuma seneng-seneng doang? Apa bukan punya persoalan di rumah?"

"Sebenernya cuma seneng-seneng. Tapi kalo mau dibilang melarikan diri dari rumah, betul juga. Di rumah sebenernya sih gak ada masalah yang serius. Cuma Bokap terlalu streng. Terlalu kaku mendidik anak-anaknya. Kalo di rumah, suntuk aja bawaannya. Jadi saya butuh kompensasi. Jojing, misalnya."

Lups memainkan topinya yang sejak tadi diletakkan di atas meja. Phia menunduk, menekuri sepatunya. Wah, kok suasananya jadi serius. Tapi Lupus suka. Karena secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Phia, Lupus telah merekam suara Phia sejak tadi. Lupus telah mendapatkan informasi penting untuk bahan tulisannya. Dan Lupus agaknya masih akan mendapatkan banyak informasi penting, kalo gak secara tiba-tiba ia disergap dari belakang.

"Lupus, ke mana aja kamu? Dicariin juga," pekik Lulu. Suaranya nyaring sekali. Membuat pasangan yang sedang ber-slow dance jadi terperanjat. Lupus dan Phia juga terkesiap.

"Lupus, celaka sekali dikau memperdayai daku. Kau bilang akan ke Musro. Ternyata kau di Ori. Kucari-cari kau di sana. Buktinya kau di sini."

"Iya, Pus, kamu kalo ngomong yang bener, dong."

Lupus kalang-kabut.

"Hei, ngapain, sih, kalian? Sampe nyusul saya ke sini segala?" tanya Lupus kalang-kabut. Phia masih bengong, belum menyadari segala yang terjadi.

"Lho, kamu ini gimana sih, Pus? Kamu kan nyuruh kita nyari-nyari kodok, ini kodoknya udah ketemu. Ukur aja sendiri panjangnya, saya udah bawa garisan dari rumah," ujar Lulu sambil menyodorkan plastik yang isinya kodok dan penggarisan segitiga. "Cepet ambil saya mo jojing nih." Lulu melempar plastik itu, ketika Lupus cuma melongo. Lalu Lulu menarik tangan Gusur ke lantai dansa. "Wah, kok musiknya slow banget!"

"Iya, Pus, itu kodoknya. Kami sudah susah-susah mencari. Ambillah, Pus!" kata Gusur. Dan keliatan Gusur juga udah ambil ancang-ancang mau ke lantai jojing.

"Hei, tunggu." Lupus tentu aja jadi mokal berat dengan tingkah laku mereka yang tiba-tiba menyergap sambil membawa-bawa kodok.

Mana dandanan Gusur norak banget, lagi. Atas pake blaser, tapi bawahnya celana Hawaii. Kan gak cocok. Maka Lupus pun buru-buru bangkit, berusaha mengusir dua anak sableng itu keluar.

Sementara Phia belum bisa mengatasi keadaan shock-nya.

"Siapa mereka, Pus? Cewek kamu, ya?"

Lupus gak sempet ngejawab pertanyaan Phia, karena masih sibuk mengusir Lulu dan Gusur. Dengan sekuat tenaga Lupus mendorong Gusur keluar.

"Wah, apa-apaan kau ini, Pus, daku kan ingin berjojing dengan Lulu," Gusur berusaha melawan. Tapi Lupus terus mendorong. Seisi diskotek tentu aja pada bengong. Akhirnya Gusur dan Lulu berhasil diusir keluar setelah dua satpam membantu Lupus.

Lupus menarik napas lega. Dan buru-buru menghapiri Phia. Tapi betapa terperanjatnya Lupus ketika tau plastik kodoknya ketinggalan di tempat duduknya. Phia menjerit-jerit. Dan kodok-kodok itu pada melompat ke sana-ke mari.

Suasana diskotek jadi kacau-balau.

***

Pas diskotek yang sempet heboh itu bubar, Phia merajuk supaya Lupus mau mengantarnya pulang.

"Wah, tapi ini kan udah malem, Phia. Kamu kan bisa pulang sama temen-temen kamu yang tadi," Lupus berusaha menolak permintaan Phia.

Tapi Phia kayaknya gak mau ngertiin.

"Nggak mau, pokoknya kamu harus antar saya pulang. Lagian temen-temen saya udah pada pulang duluan sama kecengannya. Sekarang tinggal tugas kamu mengantar saya ke rumah."

“Tapi..." Lupus masih berusaha mengelak.

"Nggak ada tapi."

"Bapak kamu galak, gak?"

"Bapak saya udah tidur. Saya bawa kunci serep. Lagian bapak saya baek banget, Pus. Kamu gak usah kuatir."

Lupus masih sangsi. Tapi akhirnya menyerah juga.

"Oke deh, saya antar kamu, tapi kalo ada apa-apa saya gak tanggung jawab."

"Dijamin deh gak ada apa-apa."

Phia tersenyum. Lalu menggaet tangan Lupus. Malam memang sudah larut, walau diskotek belum tutup.

Dengan taksi yang banyak mangkal di depan diskotek, Lupus mengantar Phia. Di dalam taksi pikiran Lupus masih belum seluruhnya tenang. Tapi Phia keliatan gak ada beban sama sekali. Malah sempat-sempatnya tidur di bahu Lupus.

Lupus gelisah.

Beberapa saat hening.

"Kamu takut ya, Pus?" suara Phia terdengar lirih.

"Saya belum pernah nganter cewek pulang malem nih, Phia," jawab Lupus polos. Phia lalu berusaha menenangkan Lupus dengan meremas kedua tangan Lupus.

Lupus malah jadi gelagapan.

Untung taksi yang lari gila-gilaan segera memasuki kompleks perumahan Phia.

"Udah ya saya langsung pulang," tukas Lupus seturun dari taksi.

"Eh, nanti dulu, dong. Anterin sampe pintu," ujar Phia seraya memencet bel.

"Ah, saya gak berani. Badan saya gemetaran."

Benar juga, selagi Lupus ngomong begitu, tiba-tiba pintu rumah terkuak. Dan di ambang pintu yang terbuka, terpampang satu wajah manis. Berkepala botak, tapi jenggotnya lebat sekali.

Lupus terperangah. Belum sempat Lupus berkata, secepat kilat wajah semanis Robert Davi itu menghardik, "Phia, dari mana kamu tengah malam begini? Kamu kan besok sekolah?"

Lalu menoleh ke Lupus tanpa mengubah ekspresi galaknya, "O, jadi ini, ya, cecunguk yang sering ngajak anak saya ke disko. Pantas kalo begitu. He, kucing, dengar, ya. Bapak gak suka kamu orang ngajak-ngajak anak Bapak ke disko. Tau gak, gara-gara kamu, anak Bapak jadi jarang masuk sekolah, sering pulang pagi, boros, dan sekarang malah jadi sering merokok. Kamu, ya, yang ngajarin. Jangan macam-macam, kamu, ya? Belon tau siapa Bapak? He, belum tau kamu Bapak ini siapa? Ta' slepet baru tau rasa kamu nanti."

"Bu-bukan saya, Oom. Saya gak ngajarin yang nggak-nggak kok," Lupus gelagapan.

"Jangan bohong, kamu, ya. Awas!" Wajah bapaknya Phia merah padam. Tangannya terayun ke arah Lupus. Untungnya sebelum tangan itu mendarat di tempat yang tepat, Lupus udah keburu lari.

"Sialan!" Lupus memaki. Napasnya tersengal-sengal. Lupus benar-benar merasa dikerjain Phia. Ternyata bapaknya Phia galak banget. Pantas tadi Phia maksa-maksa supaya Lupus mau nganter pulang. Ternyata cuma buat alasan agar Phia gak dimarahin.

Lupus memaki sekali lagi, "Sialan!!!"

***

Keesokan paginya badan Lupus terasa pegel-pegel. Dan dia masih sebel dengan kejadian semalem. Bangunnya telat. Ya, semalem dia baru sampe rumah jam tiga pagi. Lupus tergopoh-gopoh ke kamar mandi. Ngebom dan cibang-cibung. Lantas disambung dengan melahap nasi goreng hangat yang udah disediain Mami di meja. Sementara Mami pun mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawa Lupus. Centong, sikat, bakul, dan empeng.

"Pus, kemaren ada surat dari Australia. Dari Poppi, ngkali," Mami menyerahkan surat berperangko luar negeri.

Lupus deg-degan. Memandang surat itu dengan perasaan kangen. Lupus seperti memandang Poppi yang udah sebulan lebih gak pernah ketemu.

Sekarang Poppi ngirim surat.

Ada apa?

Dengan hati deg-degan, Lupus membuka sampul surat itu. Dan membaca:

“Lupus gombal!

Ngapain aja sih kamu gak ngebales surat saya yang dulu? Saya kangen, tau! Udah gak cinta lagi, ya, sama saya? Udah bosen? Pokoknya saya marah berat. Pasti kamu udah dapet kecengan baru, ya, di kampus kamu yang baru. Alaaa, ngocol lo...

Sekarang saya tunggu kabar kamu secepatnya. Kalo enggak, sebaiknya kita ke penghulu, eh, maksud saya, sebaiknya kita putus aja. Saya sebel sama kamu.

Salam sebel, tapi kangen.

Poppi”

Lupus terperanjat. Astaga, dia baru ingat bahwa surat Poppi yang pertama pun belum sempet ia baca. Soalnya pas tugas makalah lagi numpuk.

Aduh, Poppi, kamu kok gak tau orang lagi sibuk, sih? Siapa bilang saya lupa sama kamu? Wah, sori, ya, selama belum ada yang baru, kenapa kamu harus dilupakan?

Lupus pun buru-buru menghabiskan nasi gorengnya, dan menyelipkan surat itu ke saku baju.

Lupus sebelum berangkat sempat mencium Mami dengan mesra. Tepat di idugnya.

Pas sampe di kampus, acara baru dimulai setengah jam. Lupus mencoba menyelinap ke barisan. Malang, Burhan melihatnya, dan langsung menghukum Lupus lari keliling lapangan. Udah gitu Lupus juga masih harus kena hukuman, karena barang-barang yang dibawa gak sesuai dengan permintaan para senioren.

"Keparat!" Lupus mengumpat Lulu dan Gusur yang salah melulu kalo dipesenin. Yang dicari korek api cap duren tiga, malah ngebawa sepatu bola. Maunya nolong tapi salaaaah melulu. Belum kodoknya yang juga salah.

Lupus tersenyum getir. Baru aja dia menyelesaikan hukumannya berupa Iompat kodok keliling Iapangan.

Pas saat istirahat, Lusi menghampiri.

"Ada apa, Lus?”

"Boleh ngobrol-ngobroI?"

"Boleh."

"Kamu masih ingat peristiwa semalam, waktu kamu kena marah gara-gara nganterin cewek pulang malam?"

"Lho, kok kamu tau?"

"Saya ngeliat kok."

"Jangan becanda kamu, Lus."

"Saya kan kakaknya Phia."

"Ha? Yang bener?"

"Phia itu memang nakal. Susah dibilangin. Kita semua udah pusing ngurus dia."

"Ng-"

"Saya ngintip kamu waktu kena marah dari jendela kamar saya. Saya minta maaf atas kejadian itu. Saya tau, pasti Papa salah sangka. Phia kan waktu berangkatnya saya tau. Sama si Sandra. Kamu kenal Phia di mana? Di diskotek?"

"Iya, tapi..."

"Saya tau kamu gak salah. Phia juga sempet cerita ke saya, waktu saya bilang kamu tuh temen sekampus sama saya. Dia cerita banyak soal kamu. Dia minta maaf kalo kamu kesel gara-gara peristiwa kemaren. Katanya, sungguh, dia gak bermaksud ngerjain kamu...”

Lupus terdiam.

"Phia juga titip salam buat kamu."

***

Malam sepulang mapras, Lupus langsung siap-siap berangkat ke diskotek lagi. Badan Lupus sebetulnya masih pegel-pegel, tapi dia masih punya tugas yang harus diselesaikan. Enggak enak, Mas Iwan udah nagih-nagih terus. Lupus masih perlu beberapa responden lagi buat bahan tulisannya.

Pas memasuki gang Hotel Hilton, Phia keliatan nunggu di dekat tangga naik.

"Eh, Phia?"

Lupus merasa gak siap bakal ketemu Phia lagi.

"Saya sengaja nunggu kamu di sini, Pus. Saya nekat aja, walau kemungkinannya kecil bisa ketemu kamu lagi. Tapi feeling saya mengatakan, kamu bakal datang lagi ke sini. Kamu masih mau kan ketemu saya lagi?" Phia berkata sendu.

"Eh...” Lupus jadi canggung. Sebetulnya Lupus emang udah gak sebel lagi ketika Lusi cerita-cerita tentang Phia.

"Sebenernya saya cuma mau minta maaf atas kejadian kemaren malam."

Lupus menatap Phia.

"Gak pa-pa. Kakak kamu udah cerita."

"Lusi?"

Lupus mengangguk.

“Tapi saya tetap merasa bersalah."

Mata Phia berkaca-kaca. Ya, karena kebetulan malam itu Phia pake kacamata. Hihihi....

"Kamu mau kan memaafkan saya, Pus?"

Lupus mengangguk.

Phia tersenyum dan menggandeng tangan Lupus. Mengajak naik ke atas. Dan membayari cover charge Lupus.

"Kamu baik, Phia."

"Kamu apalagi."

Sesaat kemudian Lupus pun langsung akrab lagi sama Phia. Dan seperti yang Lupus inginkan, ia dikenalkan pada temen-temen Phia lainnya. Sandra, Vini, Sarah, Gaby....

Seperti yang direncanakan Lupus, dia bisa menggali banyak cerita dari mereka.

Bab 9

PULANG OSPEK, Lupus kaget ngeliat Phia menunggu di gerbang.

"Hei, ngapain, lo?" tegur Lupus sambil kerepotan - bawa perkakas dapur si Mami. Anak-anak lain pada bergerombol-gerombol mencegat kendaraan umum yang lewat di depan kampus. Persis pemandangan di kamp-kamp konsenstrasi zaman pembantaian orang-orang Yahudi oleh Hitler. Tampang-tampang mereka rata-rata letih, tapi lega. OSPEK sudah memasuki hari terakhir.

"Saya mau ngomong, Pus."

Phia menarik tangan Lupus menuju sedannya yang terparkir agak jauh dari situ.

“Tadi Lusi belum pulang. Gak mau sekalian diajak pulang bareng?" ujar Lupus sambil masuk ke Amenity Phia.

"Enggak. Saya mau ngomong sama kamu aja. Ada perlu penting." Wajah Phia nampak serius. Amenity pun meluncur mulus di aspal panas. Meninggalkan debu tipis yang terbang tertiup

angin.

Lupus merasakan sesuatu yang lain.

"Ada apa, sih, Phia? Bokap-nyokap lo marah-marah lagi?"

Phia menggeleng sambil menghela napas berat. "Terus-terang aja, Pus. Kamu mengambil manfaat dari hubungan baik kita selama ini?"

"Maksud kamu?"

"Ya, ada yang bilang ke saya, kamu mau mengekpos pengalaman-pengalaman yang pernah saya ceritain buat majalah kamu. Bener, Pus?"

"Aduh, siapa yang bilang begitu?"

"Pokoknya bener apa enggak? Jawab!" Phia nampak tegas.

"Ya, t-tapi-"

“Tuh, kan! Apa sih maksud kamu? Mau bikin malu saya?!!!" Phia menjerit. Ia nampak kesal. "Saya gak nyangka kamu tega begitu, Pus. Saya udah percaya kamu, udah tulus-tulus mau jadi temen kamu, tapi kamu malah mengotori semuanya. Saya kecewa sekali, Pus."

"Aduh, Phia, saya sama sekali gak bermaksud mau ngambil untung dari hubungan baik ini. Pasti ada yang menghasut. Kalo kamu mau, kamu boleh baca hasil tulisannya nanti. Saya pasti merahasiakan identitas respondennya. Kamu jangan kuatir, nama kamu dan nama temen-temen kamu gak bakalan tercemar."

“Tapi saya gak suka cerita itu kamu sebar-sebar ke orang lain. Kamu batalin aja rencana itu."

Lupus terhenyak. "Phia, itu tugas yang lagi saya susun. Saya gak bisa ngebatalin. Ini menyangkut tanggung jawab profesi saya."

“Tapi saya yang dirugikan!"

"Saya jamin enggak, Phia. Kamu gak ngerti, sih. Saya justru mau bikin tulisan yang menyentuh. Yang sebenarnya jusru bukan memojokkan kamu dan temen-temenmu. Tapi justru membela, dengan mencoba mengangkat realita ini ke permukaan. Saya justru kesel sama Oom-oom. Yang sebagai orang tua, bukannya ngasih contoh yang baik buat remaja, tapi malah memanfaatkan. Ini harus diluruskan, Phia. Coba bayangin kalo bapak kamu yang seperti itu, gimana perasaan kamu sebagai anaknya? Mereka nuduh kita generasi rusak, tapi mereka justru yang merusak! Kita kan cuma pemegang tongkat estafet, yang diserahkan para orangtua kita."

Phia terdiam. Tapi ia belum bisa memahami maksud baik Lupus.

Siapa sih yang menghasut?

***

Lupus bener-bener kaget waktu dateng ke redaksi HAI. Mas Dharmawan bilang, tadi ada pesan dari Mas Iwan. "Ya, tulisan kamu yang tentang Anak-anak Malam udah turun buat dua nomor ke depan. soalnya kita lagi ngejar dead-line. Dan kebetulan si Reza yang bikin."

Reza?

“T-tapi saya kan udah janji pasti bakal menyelesaikan tulisan itu?"

"Wah, ya gak tau, Pus. soalnya Mas Iwan nunggu banget tulisan itu. Kebetulan Reza menawarkan diri mau ngerjain. Reza bilang, ia udah dekat dengan dunia yang begituan waktu di Australia. Dia kan mantan juara jojing. Mungkin menurut Mas Iwan, dia lebih bisa ngegarapnya.

"Kata Reza, dia udah ngomongin hal ini ke kamu, Pus? Dan kamunya lagi sibuk hingga nggak bisa nyelesein tulisan itu."

Lupus terdiam. Tak menjawab. Ada kekecewaan yang tergores dalam di hatinya. Ia merasa dikhianati. Ditipu. Ia hampir mengorbankan segalanya buat membuktikan bahwa ia layak jadi pembantu khusus HAI. Tapi, memang ia agak lambat bergerak karena kegiatan OSPEK dan penataran menyita hampir semua waktunya. Bikin laporan, tugas-tugas yang menumpuk. Ia benar-benar merasa terpojok.

Lupus kecewa.

Ia tadinya nyempetin mampir ke kantor redaksi buat ngabarin bahwa tulisannya baru bisa selesai besok siang. Supaya disediakan tempat, karena takut deadline-nya telat. Tapi sekarang malah bener-bener gak ada harapan sama sekali. Semua sia-sia.

Sampai beberapa saat, Lupus tak bisa percaya apa yang ia dengar. Kenapa ada orang yang setega itu mengecewakan dia?

Sampai di rumah pun ketika si Mami menegur, Lupus tak menyahut. Ia langsung ke kamar, memandangi ketikan naskahnya yang belum selesal dlgarap. Baru kali itu Lupus merasa begitu kecewa. Rasanya mau dirobek-robek aja lembar-lembar yang berhasil ia ketik. Buat apa? Gak ada gunanya lagi.

Mugkin ini memang maunya Phia. Agar tulisan itu tak jadi diturunkan. Lupus seperti orang yang terbangun, saat mimpi indah tengah membuai. Lupus seakan hendak meluncurkan suatu rencana besar, tapi justru tiba-tiba terpatahkan begitu saja. Oleh sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya.

Di halaman depan, sebuah sarang burung yang penuh telur, yang sudah berhari-hari dibangun dengan susah payah oleh induk burung terjatuh. Praaak!

Kriiiing!

Telepon berdering.

"Puuuus, ada telepon!" teriak Mami.

Lupus bangkit dengan malas. Menerima gagang telepon yang disodorkan Mami.

"Halo?”

"Lupus, ya? Ini Reza. Ada pesan dari Mas Iwan, naskah kamu dibatalin aja, katanya. Kami udah bikin yang lebih komplet. Atau kalo naskah kamu udah telanjur jadi, kirim aja. Siapa tau bisa digabung.

"O ya, tadi kamu ke kantor, ya?"

Lupus tak menyahut. Inilah orang yang menghancurkan dia. Yang merampas idenya. Pantes Lupus rasa-rasanya pernah ngeliat Reza waktu ketemu Phia di diskotek dulu. Lupus meletakkan gagang telepon.

Dan memutar nomor telepon Phia.

Phia sendiri yang mengangkat.

"Halo, Phia, ya?"

"Hai, Lupus. Saya baru mau telepon ke sana," suara Phia terdengar ceria.

"Phia kamu menang. Saya gak jadi nurunin tulisan saya tentang kamu itu," terdengar nada putus asa Lupus.

"Lho, kenapa, Pus? Saya justru udah memikirkan kata-kata kamu. Saya pikir kamu bener. Kamu boleh ngirirn tulisan itu ke majalah kamu....”

Lupus terdiam. "Terlambat, Phia. Ada orang lain yang sudah duluan menurunkan tulisan sejenis."

"Reza?”

"Lho, kok kamu tau?"

"Siapa anak disko yang gak kenal dia? Saya kenal dia waktu di Sahara. Dia yang bilang bahwa kamu mau mengekpos saya. Dia bilang bahwa saya harus hati-hati sama kamu. Dia yang bilang kamu mau nulis buat majalah...”

Reza? Lupus jadi tambah geram.

"Dia ke rumah dan tanya-tanya apa aja yang pernah saya ceritain ke kamu. Saya ya cerita terus-terang, karena saya udah kenal dia. Tapi dari Sandra, saya baru tau kalo Reza itu juga kerja di majalah yang sama dengan kamu, saya jadi curiga sama dia."

***

Lupus putus asa. Dia hampir gak mau memikirkan hal itu lagi. Ia kini mencoba menyibukkan diri ikut anak-anak menyiapkan persiapan malam inaugurasi. Malah ia punya penyaluran untuk mengirimkan tulisan yang sudah ia buat. Untuk diikutsertakan dalam lomba penulisan kampus. Yang katanya, pemenangnya akan dapat beasiswa satu tahun, dan dinobatkan jadi mahasiswa baru terbaik.

Lusi juga punya tekad yang sama. "saya ngirim tulisan soal OSPEK, Pus. Bahan-bahannya dari hasil obrolan kita selama OSPEK itu, Pus. Trims, kamu banyak ngasih masukan buat saya.

"Kamu nulis soal apa, Pus?"

"Itu. Naskah Anak-anak Malam yang belum sempat dikirim."

"Soal adik saya itu, Pus?"

"Iya."

"Wah, seru. Apalagi jurinya Mas Ardus, dosen muda kita yang jadi redaktur di harian pagi terkemuka!"

"Oya?"

Dan hari itu semua tugas, paper, karya tulis konon lagi diseleksi juri. OSPEK sudah berakhir beberapa hari yang lalu, semua sibuk ingin menampilkan sesuatu buat malam inaugurasi. Ada yang latihan vokal grup, teater, puisi, tari, dan band. Ada keakraban yang terjalin setelah OSPEK berakhir. Juga Burhan dan Abraham, malah menegur Lupus dan Lusi yang sibuk mondar-mandir ngatur anak-anak latihan.

"Hei, kamu yang namanya Lupus, ya?" Mas Ardus, dosen muda itu menyapa ketika berpapasan di koridor kampus.

"Kok tau?"

Mas Ardus tertawa. "Perkenalkan, saya Ardus dari harian Kompas. saya tertarik pada tulisan yang Anda buat untuk lomba penulisan kampus. Saya sudah membacanya tadi pagi. Kalo Anda tak berkeberatan, saya akan memuat tulisan Anda di halaman empat untuk penerbitan besok. Di bawahnya akan diberi catatan bahwa penulis adalah seorang mahasiswa baru universitas ini. Agar bisa dibaca lebih luas oleh masyarakat. Tulisan itu terlalu mubazir kalau hanya dibaca dan diikutsertakan dalam lingkup kampus saja."

Lupus terbelalak tak percaya.

Kompas? Tulisannya dimuat di Kompas?

"Bagaimana? Anda bersedia?"

"Eh, t-tentu."

"Bagus. Tulisan Anda akan kami turunkan sore ini. Jadi besok bisa dimuat bertepatan dengan malam inaugurasi. selamat, saya pikir karya Anda yang terbaik dari karya mahasiswa yang pernah ada."

Lupus seakan terbang ke awang-awang.

Lusi memandang kagum ke arahnya. "Gila! Kamu bener-bener hebat, Pus."

Ya, Lupus merasa senang sekali. Bukan hanya karyanya pernah dipuji seorang redaktur Kompas, bukan hanya karyanya itu bakal dimuat sebagai esei di Kompas dan dibaca banyak orang, tapi terlebih-lebih, ia bakal menggilas Reza yang menyabot idenya. Ya, dengan dimuatnya karya Lupus itu, bisa jadi pukulan balik yang telak buat Reza. Tulisan Reza yang baru bakal dimuat tiga minggu lagi, bakal jadi terasa basi. Paling tidak orang jadi pada tau, siapa yang punya ide duluan!

Lupus seakan gak percaya sama segalanya yang menjadi beres. Lupus langsung menelepon Phia di telepon umum kampus.

"Halo, Phia. Kamu baru pulang, ya? Kamu harus baca Kompas besok pagi. Tulisan saya dimuat di halaman empat. Kamu harus baca, ya?"

"Hah? Yang bener?"

"Bener. Nanti kamu saya traktir, deh!"

"Traktir apa?" Phia semangat banget.

"Terserah kamu. Ke diskotek?"

Phia tertawa. "Tapi, apa nanti kamu berani nganter saya pulang, Pus?"

Lupus juga tertawa.

Bab 10

MALAM itu terasa lain. Bulan bersinar terang. Awan-awan gelap yang tadi bergayut di langit, kini pelan-pelan memudar, lebur dalam kepekatan malam.

Hujan tak jadi turun.

Dan Lupus pun, seperti biasa, sibuk mencari-cari kaos kakinya. Kaos kaki kesayangannya yang ujung jempolnya udah bolong. Kaos kaki pemberian Poppi, karena dulu Poppi selalu melihat Lupus tak pernah pakai kaos kaki kalo ke sekolah.

Di mana dia sekarang?

Lupus mencari di atas rak, di meja rias Mami, di bawah kasur si Lulu, tapi tak ada. Ke mana, ya?

Si Mami malam itu lagi pergi dengan Lulu jaga stand bazar yang diadakan di lapangan bola dekat rumah Lupus. Mereka jualan pizza, hasil eksperimen Mami. Ya, Mami dan Lulu belakangan ini lagi gencar-gencarnya ngepromosiin pizza bikinan Mami. Katanya gak kalah sama pizza yang asli Italia. Makanya pas acara bazar di kompleks, Mami langsung pesen satu stand. Lulu ikut melayani pembeli. Karena apa? Karena Rudi juga jaga stand garmen mamanya, pas di sebelahnya. Jadi tu anak bisa puas ngecengin Rudi.

Tadi Mami juga udah minta maaf ke Lupus karena gak bisa ikut hadir di malam inaugurasi. Malam peresmian diterimanya cama-cami menjadi mahasiswa-mahasiswi beneran di Universitas Cafetariasakti.

Aduh, udah jam tujuh lewat!

Lupus cemas. Sebetulnya bukan hanya karena Phia yang bakal ngejemput pas jam tujuh. Tapi juga katanya papa-mama Phia bakal dateng juga di malam inaugurasi malam itu. Karena Lusi dicalonkan jadi mahasiswi teladan.

Lupus masih sebel sama kedua orangtua Phia itu. Ya, mereka hanya tau gara-gara Lupus, Phia jadi anak brengsek. Tanpa mau tau dulu siapa Lupus yang sebenarnya.

Si Mami aja gak pernah mencap Lupus segitu brengseknya.

Dan malam ini kedua orangtua Phia itu hadir. Aduh, kebayang, deh. Gimana siriknya mereka ngeliat Lupus dateng sama Phia. Gak bakalan bebas.

Lupus jadi grogi.

Kemaren-kemaren Lusi bilang kalo Phia gak boleh ikut hadir di malam inaugurasi kalo sama Lupus. Padahal Phia udah janjian pengen banget ngeliat Lupus dilantik jadi mahasiswa baru. Sekalian malamnya mau ke disko buat ngerayain. Lupus yang traktir, dari honor tulisan yang dimuat tadi pagi.

Sambil deg-degan, ia pun membongkar-bongkar gudang, nyari kaos kakinya. Tapi yang ketemu malah kaos lampu Mami yang belum terpakai. Hihihi... bisa nih dipakai.

Lupus pun memakainya.

Pas ketika ia menangkap bayangan di belakang.

"Phia?”

Bukan. Yang muncul malah Reza. Sambil membawa koran terbitan pagi yang memuat tulisan Lupus.

"Pus, saya mau bicara....”

"Aduh sori, Rez. Saya lagi buru-buru."

"Kenapa kamu ngirim tulisan itu ke koran?"

"Mungkin karena honornya lebih cepet keluar dan lebih gede. Saya mau nraktir pacar saya yang baru."

"Tapi nasib tulisan saya yang di HAI gimana?"

“Itu problem kamu. Saya gak merasa ngerebut ide kamu."

"Tapi harusnya kan kita bisa kompromi. Menuliskan tulisan itu bareng-bareng, lantas...”

Lupus tersenyum sinis. Rasanya dulu Reza sama sekali gak berniat ngajak nulis baren. Reza yang ngerebut idenya, supaya dapat pujian dan diterima jadi wartawan tetap.

"Aduh, saya gak punya cukup waktu untuk nulis bareng, Rez."

Suara klakson terdengar di luar.

"Tuh, pacar saya udah ngejemput. Sori ya, saya tinggal." Lupus bum-buru menyambar bungkusan yang tergeletak di meja. Lantas berlari ke depan.

"Eh, Pus...,” suara Reza tertahan.

Lupus terus berlari.

"Mas Iwan nyuruh kamu dateng, Pus!" seru Reza.

Tapi Lupus udah masuk ke pintu Amenity yang dibuka oleh Phia. "Halo, Phia."

"Hai. Udah siap? Yuk, langsung aja."

"Mami tadi titip pizza buatannya untuk kamu. Mau?" Lupus mengangsurkan bungkusan ke Phia. Yang diterima dengan mata berbinar.

“Wah, thanks. Mami kamu baik sekali, Pus. Apa di keluarga kamu emang baik-baik semua ya, Pus?"

Lupus nyengir. Phia memasukkan gigi satu. Sesaat, mereka berdua meluncur di jalan aspal yang sedikit basah.

Melewati bazar dan keramaiannya.

“Mami buka stand pizza di situ," ujar Lupus sambll menunjuk ke pojok kiri lapangan.

"O ya? Asyik banget."

***

Gedung pertemuan itu sudah ramai. Acara pembuka sudah digelar. Berupa sambutan-sambutan yang disambung dengan vokal grup anak-anak Fisip yang secara koor nyanyi lagu Let the River Run. Soundtrack film Working Girl. Lupus menerobos masuk, menggandeng tangan Phia. Mencari kursi yang kosong.

Boim nampak mojok dengan cewek senioren incerannya. Aduh, sukses juga tu' anak. Ya, biarpun wajah senioren itu tetap masam, tapi paling tidak Boim sudah berhasil menjemputnya tadi sore. Seperti tekadnya.

Semua nampak bergembira.

"Eh, itu Papa dan Mama!" Phia menahan langkah Lupus. "Katanya mereka pengen ketemu kamu, Pus."

Lupus tercekat. "Ketemu saya? Apa gak sebaiknya kita ngumpet aja?"

"Kok ngumpet?"

Sebetulnya Lupus sampai detik ini masih sebel ngeliat dua makhluk itu. Yang nampak angkuh. Jadi ngapain mereka pengen ketemu saya?

Tapi ketika Lupus sampai di depan orangtua Phia, papa Phia tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan, "Selamat, Oom udah baca tulisan kamu di harian pagi tadi. Bagus."

"Eh, t-terima kasih, Oom."

"Dan katanya kamu dicalonkan jadi mahasiswa baru teladan, ya?" tambah mama Phia.

"Ah, Tante baca gosip itu di mana? Di Pos Kota, ya?"

Tante dan Oom ketawa. Phia mencubit pinggang Lupus gemes.

Lupus Iega. Ternyata dua makhluk itu bisa bersikap rnanis juga.

"Tadi Lusi nyari-nyari kamu. Katanya kamu disuruh langsung ke belakang panggung. Dicari panitia, mau dikasih hadiah."

Dan benar. Saat Lupus baru mengajak Phia ke bagian konsumsi, acara pengumuman siapa mahasiswa baru terbaik dengan karya tulis terbaik, dimulai.

Lupus cuek aja sambil sibuk nyari jatah bungkusan kue. Dan nggak ngeh waktu namanya disebut sebagai mahasiswa baru teladan. Nama Lupus terdengar menggema di seluruh gedung.

"Eh, Pus. Tuh, nama kamu disebut," ujar Phia sambil menarik tangan Lupus.

Lupus bengong.

"Kami persilakan Saudara Lupus maju ke depan untuk mendapat penghargaan," gema itu terdengar lagi.

"Eh, gak salah tuh?"

Beberapa anak dekat situ yang pernah satu grup sama Lupus, langsung merubung bersorak dan mendorong-dorong Lupus.

"HIDUP LUPUS! HIDUP LUPUS!"

Lupus menjerit girang.

Dan langsung dijitakin teman-temannya.

"Ayo, Pus. Maju!"

Lupus menaiki tangga panggung dengan langkah ringan dan luapan perasaan. Rasanya beban yang selama ini mengimpit semua terlepas.

Phia memandang bahagia dari tempat ia berdiri. Menoleh kepada kedua orangtuanya yang tersenyum manis dari kejauhan.

Lagu mars mahasiswa terdengar ketika Lupus menerima penghargaan dati rektor universitas.

Kamu udah gede, Pus!

Posting Komentar

Tampilkan Emoticon