Skip to main content

Kamis, 31 Maret 2011

Interview With the Nyamuk

INTERVIEW WITH DURAN DURAN

Lupus emang udah jarang main ke HAI lagi, sejak bisnis kue maminya berkembang pesat. Ya, soalnya pulang sekolah sebelum si Lupus ini sempet ngapa-ngapain, langsung aja disuruh ngaduk-aduk adonan pake mixer. Walhasil waktu untuk main jadi berkurang. Tapi Lupus nggak sedih, soalnya sambil ngaduk adonan, Lupus bisa nyambi ngemil kismis, keju, atau sukur-sukur bisa kebagian kue yang agak gosong, Lumayan kan meski agak pait-pait dikit.

Nah, siang ini kebetulan si Mami lagi nggak banyak orderan. Jadi Lupus bisa main-main lagi ke kantor HAI Tak disangka tak diduga, kedatangan Lupus disambut amat hangat. Ketika Lupus buka pintu redaksi, orang redaksi yang udah ngumpul di ruang tunggu, sebangsa si Iis, Rini, Denny, Wedha, Dhw, langsung histeris menyambut, "Welcome! Welcome! Welcome, Keanu Reeves!"

Lupus bengong. Kok Keanu Reeves? Lupus jadi ngaca di kaca rautan yang ia bawa-bawa dari sekolah, Apa iya mirip?

Anak-anak redaksi juga bengong. "Kok si Lupus?"

Oalah, ternyata mereka itu lagi nunggu-nunggu kedatangan Keanu yang rencananya datang bertandang ke redaksi HAI atas undangan HAI. Karena kebetulan Keanu sedang berada di Jakarta dalam rangka mempromosiin Restoran Speed yang buka cabang di Jakarta, Itu restoran rada-rada ajaib juga, Didesain di atas sebuah bus yang berjalan keliling kota, Jadi orang yang makan terguncang-guncang karena busnya ngebut di jalan tol. Walhasil para penjual bubur ayam yang pake mobil di Senayan pada protes karena idenya dicolong Keanu, Tambahan lagi lisensi untuk restoran itu dipegang seorang konglomerat yang bisa dengan enteng menggilas bisnis kecil-kecilan para pedagang kaki lima. Karena para pedagang kecil-kecilan itu kan jelas-jelasan nggak bisa minta proteksi, dengan dalih: menuju pasar bebas!

Ya, itu latar belakang kedatangan Keanu, Makanya kedatangannya pun disambut gegap gempita oleh orang seredaksi. Makanya lagi, ruang tunggu kantor HAI kali itu rada istimewa, dengan hiasan balon di tiap sudut plus kertas warna-warni yang terjulur dari ujung ke ujung.

Dan anak-anak HAI yang udah buat persiapan mau bikin surprise atas kedatangan bintang besar Amerika itu jadi sebel bercampur gondok ketika yang muncul malah si Lupus.

Lupus sih cengar-cengir aja,

"Aduh, pada tega ih nyamain gue sama Keanu," ujar Lupus sambil ngeloyor masuk, diiringi pandangan jutek para redaktur,

"Emang ada angin apa lo datang kemari?" si Iis yang paling senewen nungguin Keanu, lantaran udah cita-cita dia nggak bakal kawin dulu sebelum ketemu Keanu, bertanya judes pada Lupus,

"Emang harus ada angin?" tanya Lupus lagi. "Kalo angin kentut mau?"

Iis langsung menutup idung sambil misuh-misuh.

Tapi kedatangan Lupus akhirnya benar-benar disambut oleh Iwan, sang wakil pemred yang langsung nembak, "Pus, lo kan demen Duran Duran, mau nggak wawancarain mereka?"

"Ha?" Lupus bengong ditodong begitu. Bukannya yang mau datang itu Keanu?

"Iya, kita dapet skedul wawancara dengan mereka di Hong Kong. Kamu mau nggak pergi ke sana? Soalnya si Denny wartawan musik kita itu tuh minder. Nggak tau, minder karena bahasa Inggrisnya masih kayak Miki Mos, atau minder karena kalah kece sama Duran Duran!" ujar Iwan lagi seperti membaca keheranan Lupus.

"Yang bener nih?"

"Bener. Tapi beli tiket sendiri, ya? Soalnya jatahnya cuma buat dua orang. Dan itu udah dikuasai Denny sama fotografernya, si Sute.... Murah kok, cuma enam ratus dolar. Kamu kan lagi kaya, Pus. Denger-denger bisnis kue nyokap kamu lagi laris manis full kismis...."

Kata-kata Iwan terakhir soal tiket, udah nggak dipikirin Lupus lagi. Yang penting, ia girang banget punya kesempatan ketemu sama grup yang dulu pernah ia idolakan. Terus terang aja, Lupus mau nanya ke sodara kembarnya, si John Taylor, kok rambut dia sama Lupus bisa samaan. Sama-sama kayak sarang burung. Siapa meniru siapa nih? Hihihi...

Akhirnya, setelah Lupus langsung setuju, ia pun pulang, Mau buru-buru ngebantuin Mami bikin kue, Iya lah. Ia kan butuh duit buat beli tiket. Ngandelin tabungannya aja mana cukup?

Sekali lagi Lupus melewati ruang tunggu yang tadi dipenuhi orang-orang yang nungguin Keanu. Tapi di ruangan itu kini tinggal lis seorang, yang masih setia nungguin. Yang lainnya udah pada putus asa gara-gara kecewa berkali-kali. Iya lah, gara-gara mau bikin surprise, setiap ada yang buka pintu, langsung disambut meriah dengan yel-yel. Padahal setelah Lupus tadi, yang datang makin kagak top. Tukang jualan video yang mau nawarin dagangannya, tukang AC yang mau ngebetulin AC kantor, anak kecil yang mau ngirim kuis, dan terakhir yang paling menyebalkan... Mas Kaelan yang membawa gambar hasil separasi.

Iis berteriak sewot, "Aduh, Mas Kaelan, biasanya kan Mas lewat pintu samping. Kok sekarang pake acara lewat pintu utama segala!!!"

Mas Kaelan cuma cengar-cengir ge-er. Iyalah, tujuh belas tahun kerja di HAI, baru sekali ia disambut begitu hangat. Mas Kaelan yang udah cukup bangkotan itu pun langsung berniat memotong rambut cepak alias krukat model Keanu besoknya, Siapa tau beneran mirip!

Lupus pun lewat ruang tunggu itu sambil melirik Iis yang setia memegang spanduk kecil bertuliskan: "Keanu, I Love You",

"Udah, deh, Is. Keanu-nya batal datang...."

"Kenapa emang?" tanya lis galak.

"Soalnya ia janjian mau ngeceng di PI Mall bareng gue," ujar Lupus enteng.

Iis misuh-misuh lagi, "Nggak mungkin! Impossible! Tipu la yaouw!"

Saat itu Iwan nongol di ruang tunggu. Langsung ngomong ke lis, "Is, tadi ada telepon dari panitia Restoran Speed, katanya Keanu batal datang ke HAI, karena mau belanja di PI Mall!"

"Hah?" lis langsung jatuh lemes.

Sedang Lupus langsung mengedipkan sebelah matanya. "Apa gue bilang, kan?"

Lupus ngeloyor pulang.

***

Ternyata tiket bolak-balik ke Hong Kong itu cukup mahal juga buat kantong Lupus. Enam ratus dolar itu kan kira-kira sejuta seperempat-lah. Itu juga karena dapet diskon, Dan dari tabungan Lupus, plus bantu-bantu Mami bikin kue, cuma terkumpul delapan ratus ribu. Masih kurang. Lupus pun nyamperin Boim buat minta bantuan ide.

"Kalo lo mau, kerja di bengkel abang gue aja, Pus," ujar Boim. "Kebetulan liburan ini gue juga mau magang di sana, biar kalo abang gue pensiun, gue bisa nerusin usahanya!" ."

Hari pertama Lupus mulai kerja, ternyata di bengkel lagi ada ribut-ribut soal keilangan. Narun, salah seorang montir, sibuk nyari barang-barang. "Busi saya mana? Obeng saya mana? Mana! Mana! Kok pada nggak ada? Kamu yang ngambil ya, Pus? Ngaku aja deh,"

Lupus sebel baru masuk langsung dituduh begitu. "Enak aja. Baru juga dateng, udah dituduh nyolong,"

Tapi belum sempat Lupus ngomel lebih panjang, Sudin, montir yang lain, juga mulai uring-uringan. Dia celingak-celinguk, kemudian ikut-ikutan heboh. "Lho, kok baut saya ilang? Lho, bukan cuma baut, obeng juga ilang? Lho, busi saya juga lenyap? Ke mana, ya?"

Narun jadi kesel. “Jangan ikut-ikutan, Orang kehilangan, kamu ikut keilangan, Ngeledek, ya?"

"Maap, Run. Saya juga keilangan. Emang ndak banyak, cuma ilang baut dua biji, busi tiga biji, sekring satu lusin, obeng tiga batang, sama..,"

Narun buru-buru membentak, "Segitu nggak banyak? Dasar idiot! Saya ilang obeng lima batang, baut empat lusin, pelek satu gros."

Boim langsung mendekati kedua montir tersebut. "Sudah, sudah, nggak usah berantem, Nanti, yang ilang akan ketemu kalau dicari. Abang gue juga sering keilangan belakangan hari ini. Tapi... ya itu tadi, abang gue nggak tau siapa yang ngambil. Katanya, kemaren Pak Sornse pelanggan kita itu, baut sepedanya ilang."

"Baut sepeda ilang aja bingung."

"Lho, baut itu dari emas, Maklum deh, orang Jakarta kan lagi demam sepeda mahal."

Narun jadi penasaran. "Pokoknya, pencurinya harus kita temukan!"

"Lho, saya nyari baut dan sekrup bukan nyari pencuri, Run," ujar Sudin polos,

"Semua itu ilang karena ada yang nyuri, dasar idiot!" bentak Narun,

Dan sore itu langsung aja Lupus dan Boim niat mau bantuin abangnya mencari tau siapa pencurinya. Lupus dan Boim melangkah dengan cara berjinjit, persis langkah James Bond atau langkah Jim Carry di Ace Ventura lagi jadi detektif. Pakaian mereka seperti layaknya detektif-detektif top di Barat sana. Memakai jaket panjang dan topi pet ala Sherlock Holmes, Lupus mengisap cangklong, sementara Boim mengisap cerutu.

Lupus melangkah dengan mata tertuju ke jalan, sedangkan tangannya memegang kaca pembesar.

"Nah, ini dia. Ini pasti baut yang ilang!" seru Lupus.

Boim memungut baut itu. "Bukan, ah! Baut di bengkel abang gue nggak ada yang mengilat kayak begini!"

"Mengilat? Lo kira bohlam! Ini mengilat karena kena oli, tau!" Lupus kesel.

Dan seharian penyelidikan mereka tak menemukan tanda-tanda siapa dan ke mana barang-barang bengkel yang ilang,

***

Pagi hari, keadaan bengkel yang bernama "Bongkar Tinggal" itu masih lengang, Seorang gadis seksi penjual kue baskom bernama Leila Lololopoh masuk mengendap-endap, Wajahnya celingak-celinguk, dan matanya mengerling genit,

"Aha, kayaknya pada belon dateng nih. Ngobyek dulu, aahhh..." Maka, Leila pun membuka baskomnya. Ia mengeluarkan lontong, lalu mengisinya dengan baut. Lalu mengeluarkan kue talam dan mengisinya dengan busi. Lontong yang lain pun diisinya dengan busi.

Jadilah pagi itu Leila Lololopoh memasukkan pernak-pernik bengkel ke dalam dagangannya.

"Kayaknya udah cukup deh. Oh ya, ini harus dipisahkan, biar kagak diembat langganan saya, gitu!" ujar Leila sambil menyisihkan barang dagangannya yang telah diisi macam-macam onderdil.

Ketika itulah abangnya Boim datang,

"Pagi, Leila!" sapa abang Boim,

"Pagi, Bang. Wah, saya sudah keduluan dateng nih, Bang, Mau lontong? Rasa kaldu ayam apa rasa bulu ayam?"

"Rasa jengger ayam aja, deh!"

Abang menerima lontong yang diberikan Leila.

Lalu memakannya. Tapi baru menggigit, ia sudah ber-auw menahan sakit. Ketika ia memuntahkan (atawa melepehkan, dalam bahasa Jawa), ternyata bukan cuma lontong yang keluar tapi juga giginya.

"Busyet! Ini lontong kok alot banget ya, Jeng Leil? Saking alotnya gigi saya patah!"

Leila mendadak sontak kaget, Matanya melotot. Dan Abang mengeluarkan sesuatu dari dalam lontong.

"Hah, busi? Jeng Leil, ini isi lontong terbaru, ya?"

"Ma-ma-maaf, Bang. Pasti itu salah bikin!"

"Jangan-jangan yang lain juga salah bikin!"

Abang memanggil Boim dan Lupus yang baru datang. "Boim, cepet sini! Coba lo sama Lupus periksa kue-kue salah bikin ini!"

Dan di kue-kue yang lain, ditemukan banyak onderdil milik bengkel yang hilang. Leila langsung ditangkap.

***

Leila memuntir-muntir ujung blusnya dengan mimik ketakutan. Dia duduk di kursi dikelilingi Abang, Narun, Boim, dan Lupus. Sudin nampak belum muncul.

Leila sedang diinterogasi oleh ketiga "peng. huni bengkel". Di atas meja Abang, kue-kue sudah terbelah dua, di situ menyembul baut, obeng, dan peralatan bengkellain.

"Jadi, selama ini kamu malingnya?"

Leila mengangguk lemah.

"Ternyata kamu musuh dalam selimut," maki Nurdin.

Leila jadi sewot. "Abang kira saya tumbila?"

"Kagak usah becanda! Gara-gara kamu, hubungan kami di bengkel jadi suram!" Narun membentak.

"Ya, ibarat air yang suram-suram kuku!" celetuk Boim.

"Suam-suam kuku, bloon!" ujar Narun,

"Pokoknya, gini aja deh, Jeng Lei! Kenapa kamu kok tega-teganya maling di bengkel kita?" putus si Abang.

"Sebenarnya, saya mau ngemaling di bengkel sodara saya. Tapi... jauh, Bang, di Tegal. Akhirnya saya pilih aja yang terdekat," ujar Leila santai.

"Dari tadi keteranganmu ngalor-ngidul. Sekarang, jelaskan kenapa kamu mencuri benda-benda di bengkel ini?" Abang jadi nggak sabaran.

"Sebenarnya, bakat itu sudah ada. Tapi sekarang baru tersalurkan, itu karena bapak saya di kampung lagi bikin traktor. Saya nggak bisa ngasih modal duit, jadi... ya saya kirimin bahan-bahan mentahnya aja. Seperti baut, obeng, busi. Oh ya, kemaren saya sempat nyumpelin baut gede ke kue sus. Tapi... udah dimakan sama si Narun...."

Narun terkejut. "Hah?!"

Boim cekikikan. "Pantes aja sejak kemaren dia kagak bisa ke belakang. Ada yang nyangkut ternyata."

"Jeng Lei, kami kan baik sama kamu. Jadi mulai sekarang, saya mohon jangan sekali-kali lagi mengambil barang-barang yang ada di bengkel. Kecuali kalau dikasih!" ujar Abang.

Leila dengan santai melengos centil. "Kalo emang kagak boleh ngambil di sini ya udah."

Leila bangkit seraya merapikan roknya. "Saya mau pamit dulu, ah! Kebetulan bapak saya baru ngirim surat, katanya mau bikin rumah."

"Wah, bagus itu, jadi nggak perlu nyolong baut di sini lagi!"

"Ya, jelas tidak. Saya mau ke gang sebelah, ada yang lagi ngebangun hotel. Kali aja ada papan, paku, atau gembok yang bisa diembat..."

Leila mengambil baskom dan menaruhnya di kepala. Lalu melangkah dengan genit.

"Pamit dulu, ah. Oh ya, besok mau dibawain lontong rasa apa?" tanya Leila. .

"Untuk sementara saya bawa bekel dari rumah aja, Jeng Leil," ujar Abang.

Baru juga Leila mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Sudin datang tergopoh-gopoh. Mukanya tampak panik.

"Bang! Abang! Gasywat.... Sepeda yang kemarin sudah direparasi, sekarang ilang."

Semua kaget. "llang?!"

Bersamaan mereka menatap curiga kepada Leila.

Leila langsung menggeleng ketakutan. "Sumpah, saya nggak ngambil. Kalo mesin bubut yang ilang kemaren emang saya yang ngambil. Tapi yang sekarang? Sumpah... bukan saya. Padahal entu sepeda udah saya incer dari kemaren. Sumpah deh, biar saya dikutuk jadi Sharon Stone, saya nggak ngambil...." .

***

Beberapa saat kemudian, Lupus bener-bener berangkat ke Hong Kong dengan Denny dan Sute. Ya, meski duit buat tiket belum kekumpul, HAI mau nalangin dulu buat ongkosnya. Jadilah Lupus berangkat. Keberangkatan Lupus tentu membuat heboh temen-temennya bangsa Boim, Gusur, Anto, Aji, terutama Fifi Alone. Kebetulan Fifi juga artis kapiran yang penggemar cowok-cowok keren selevel Duran Duran. So pasti doi heboh banget, "Bener, Pus? Lo mau ketemu Duran Duran? Wah, ikke kudu ikut, dong?"

Lupus menggeleng kuat. "Nggak boleh. Nggak ada jatah!"

"Yaaaa," Fifi kecewa berat. "Boleh ikut dong!" ujar Fifi memohon tapi maksa.

"NGGAK!" ujar Lupus.

"Sombong!"

"Iya, Pus, Gue kan juga mo ketemu abang gue, si Simon LeBon.... Kalo nggak boleh, bilang deh ada titipan salam dari adiknya, Boim LeBon...," ujar Boim.

Cuma Gusur yang nggak seberapa berminat. “Daku sih hanya pesan dim sum asli Hong Kong, Pus. Sama makanan-makanan khas Hong Kong lainnya bangsa shark fin, bebek panggang, dan sejenisnya..."

Berhubung nggak boleh ikut, walhasil Fifi nitip oleh-oleh seabrek-abrek banyaknya. Sampai semaleman ia buat daftar itu. Karena Fifi tau kalo di Hong Kong itu pusat belanja yang murah. Terutama buat merek-merek beken model Mark & Spencer, Esprit, Varsace, sepatu Biblos, atau baju-baju mewah yang kebanyakan di-sale. Barang-barang itu tentu klop dengan keartisan Fifi,

"Ini ikke juga nitip uangnya. Jangan lupa ya, Pus, sama semua pesanan ikke!" ujar Fifi sambil menyerahkan kertas setebal kamus kepada Lupus.

"Apaan nih, Fi?" ujar Lupus kaget.

"Daftar belanjaan...".

"APA?"

“Jangan kaget dulu, Pus. Ikke juga nitip sovenir asli dari Duran Duran. Kaosnya Simon LeBon kek, cincinnya Nick Rhodes kek, atau kalo bisa rambutnya John Taylor, ya?"

"Gokil ya kamu?" Lupus sewot setengah mati.

Dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah Lupus, Denny, dan Sute ke Hong Kong naik Garuda. Enak lho naik Garuda. Berhubung penumpangnya dikit, bisa pindah-pindah duduk seenaknya. Atau juga ngobrol ngalor-ngidul sama pramugari.

Lewat udara, Hong Kong nggak begitu jauh. Cuma sekitar beberapa jam lah! Dan tiba di Bandara Hong Kong International, Lupus sempet terpana juga melihat pemandangan di luar. Gila, Hong Kong ini penuh dengan gedung-gedung tingkat. Udah padat banget. Tak ada sisa tanah, semua serba rapat. Landasan udara aja dibangun di atas laut, hingga bau dari pembuangan sungai menyengat tajam.

Mendarat di Hong Kong seperti mendarat di kota raksasa. Karena gedung-gedung yang menjulang tinggi. Pramugari sempet nakut-nakutin Lupus, sebelum turun, "Suhu udara di luar dingin banget lho. Kamu harus pake mantel!"

Dan ketika Lupus melangkah keluar, ternyata udaranya biasa-biasa aja.

Setelah melewati imigrasi, Lupus dan temen-temennya langsung naik taksi ke hotel yang udah di pesan. Hotel itu terletak di kawasan Causeway Bay di Pulau Hong Kong. Sedang bandaranya di Pulau Kowloon, jadi harus lewat terowongan bawah laut Cross Harbour Tunnel, yang menghubungkan kedua pulau tersebut.

Setibanya di hotel, Lupus, Denny, dan Sute langsung menuju kamar, diantar oleh pelayan. Waktu mau ngasih tip, Denny udah nyombong ngajak ngomong Inggris, selain melatih lidahnya yang biasanya terlalu kental logat Pasundannya.

"Thanks for helping us, here's some money for you," ujar Denny mengangsurkan uang dolar Hong Kong yang ditukerin di bandara.

"Ah, nggak usah ngomong Inggris. Saya juga dari Surabaya, kok!" ujar pelayan itu. Denny kaget. Nggak nyangka ada orang Indonesia di sini.

Lalu pelayan itu cerita panjang-lebar kalo ia memang besar di Indonesia. Denny jadi tengsin berat.

Di kamar hotel, Denny dan Sute langsung istirahat, sedang Lupus disuruh nelepon panitia setempat. "Kamu lacak EMI Record, Pus. Tanyain kapan janjian wawancaranya, dan sekalian minta tiket gratis!"

"Kok saya, Mas Denny?" tanya Lupus.

"Apa kamu pikir kamu dibawa ke sini untuk piknik? Ayo, kerja!" ujar Denny judes.

Lupus terpaksa nelepon ke sana-sini, dengan nomor yang udah dicatetin Denny, Dan Denny dan Sute malah sibuk ngurusin acara besok.

"Besok pagi-pagi kita cari makan, terus belanja di sepanjang Causeway Bay! Siangnya, kita ikutan city tour, ya?" ujar Denny sambil baca-baca brosur. Sute langsung setuju, sedang Lupus cuma geleng-geleng kepala. Heran, Iya, si Denny ini memang suka mengherankan orangnya. Tingkah lakunya nggak bisa ketebak. Yang paling bikin Lupus cekikikan geli ialah waktu si Denny ini-yang mantan seniman freelance itu-tiba-tiba ikut-ikutan eksekutif muda lainnya dengan mengajukan surat permohonan kartu kredit. Ketika dikabulkan oleh pihak bank, ia kegirangan setengah mati mendapatkan kartu kredit Visa. Langsung aja kartu itu, dengan kepolosannya, dilaminasi. Walhasil, waktu mau belanja, kartu kreditnya nggak bisa diotorisasi atau digesrek, berhubung terbungkus plastik. Denny jadi bahan ketawaan orang sekantor.

"Hahaha, masa kartu kredit dilaminasi? Emangnya KTP?" ujar Daus, temennya, cekakakan dahsyat.

Ya, itulah Denny. Dan setelah semua hal mengenai rencana interview selesai dikonfirmasi Lupus pun ikut jalan-jalan di sepanjang Causeway Bay yang di setiap jalan itu toko dan toko melulu.

Udara Hong Kong cukup bersih dan dingin, hingga anak-anak muda di jalanannya semua fashionable. Pake baju-baju keren, pakai blaser, rompi, dengan mode-mode mutakhir. Betah banget ngeliatnya. Trotoar dan jembatan penyeberangan kayak catwalk aja. Cuma sayang, penjaga tokonya rata-rata kurang ramah, Dan kebanyakan orang Hong Kong memang kurang ramah, kayaknya.

Tapi sampai sore, Lupus udah ngeborong banyak oleh-oleh buat Mami, Lulu, dan temen-temen nya. Nggak lupa foto-fotoan sama Denny dan Sute.

***

Besoknya di hari yang dijanjiin, pagi-pagi Lupus cs udah ke Hotel Mandarin Oriental, tempat Duran Duran menginap di Hong Kong. Lupus udah janjian sama Calvin Wong, wakil dari pemegang lisensi di EM! Record Hong Kong, yang ngejanjiin Lupus bakal ketemu dengan Duran Duran.

Berhubung mereka belum pada dateng, Lupus dan temen-temennya nungguin di lobi hotel sambil sesekali mencurigai tiap orang yang datang itu Calvin. Setelah lama nunggu, diseling ngecek ke satpam, akhirnya Lupus minum-minum untuk ngilangin gelisah. Grogi juga, bakal ketemu bintang idolanya. Lupus nggak bisa ngebayangin, biasanya dia hanya mendengar lagunya, dan nempel-nempelin posternya, kini bisa ketemu orangnya.

Pas Lupus pipis, orang-orang dari EMI dateng. Termasuk Calvin. Lupus makin grogi waktu dikenalin. Ada perasaan aneh melintas, kok ya dia berharap nggak jadi wawancara aja. Soalnya Lupus nanti takut nggak bisa ngomong apa-apa. Denny dengan entengnya ngomong begini ke orang-orang EMI, "Ini Lupus, yang nanti mo wawancara...."

"Oya?" Orang EMI itu ngeliat Lupus. Agak bengong juga ngeliat wartawannya masih kecil.

Lupus jadi grogi. Aduh, si Denny nggak bertanggung-jawab pisan. Pan kita bareng-bareng wawancara.

"Kamu maunya ketemu siapa? Nick Rhodes, Simon LeBon, atau Warren?"

"J-john Taylor," ujar Lupus ragu.

"Wah, sayang! John baru dateng besok, dia ada acara mendadak. Bisa yang lain?"

Meski sedikit kecewa, Lupus langsung menyebut nama Nick Rhodes. Ya, Nick adalah otak dari Duran Duran. Dulu bareng John Taylor, Nick membentuk Duran Duran di tahun 1978.

Mendengar Lupus minta Nick, Calvin langsung ngomong, "Pilihan yang pas, Dia memang otak Duran Duran. Dia yang paling cerdas!"

Lupus dan anak-anak HAI kemudian dijamu makan di lobi, sambil ngobrol-ngobrol. "Kemaren kita jalan-jalan sama Nick. Asyik, tapi tekor juga ngebeliin dia macem-macem... Iya, kita sebagai pihak perekam harus menyervis mereka semaksimal mungkin...."

Sedang Lupus terus deg-degan nunggu mulainya wawancara. Kayak mau disuntik, rasanya. Ia takut bahasa Inggrisnya yang pas-pasan bakal makin amblas karena grogi.

Nggak lama, tiba-tiba seorang asing memberi tahu kalo Nick sudah siap untuk di-interview. Jantung Lupus langsung berdetak kencang. Lupus dan anak-anak HAI lalu digiring ke ruang business center hotel tersebut.

"Ya, berhubung tempatnya darurat, di sini aja, ya?" ujar Calvin.

Lupus udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi.

Kemudian Calvin pergi menjemput Nick di kamar hotel. Tinggal Lupus dan dua anak HAI. Tanpa Lupus tau, Denny memberi kode kepada Sute, pura-pura mo pipis dulu.

"Hei, pada ke mana, Mas?" ujar Lupus.

"Mo pipis dulu nih. Kamu kan udah pipis tadi.... Yuk, Sute," Denny mengajak Sute pergi.

"Eee, ikut doooong!" Lupus buru-buru berdiri.

"Nggak!" seru Sute. "Kamu nunggu Nick di sini!”

"Hah?"

Sepeninggal Sute dan Denny, Lupus jelas makin ketakutan duduk di ruangan dingin itu. Berkali-kali ia bang un dan duduk sambil ngomel-ngomel, kapan dua makhluk nggak bertanggung jawab itu balik.

Tiba-tiba muncul seorang bule di ruangan itu.

"Good morning...'

"Waaaa!" Lupus berteriak kaget.

Tapi bule itu buru-buru digiring ke ruang lain sama manajernya. Ternyata yang muncul si Warren, gitaris Duran Duran yang mau wawancara dengan radio dari Taiwan. Lupus menarik napas lega. Tapi belum lagi abis itu napas diembuskan, tiba-tiba muncul cowok pirang yang kayaknya baru bangun tidur, dengan kaos warna item....

“Hai....”

"Hai," Lupus membalas sambil berdiri terpaku. Cowok itu Nick. Langsung menyalami Lupus. Lupus membalas.

"Nick Rhodes from Duran Duran..."

"Lupus...."

"Nice to meet you, Lupus...."

Lalu Lupus buru-buru ngeluarin majalah HAI yang ada gambar Duran Duran-nya, Nyocokin dengan yang di foto. Idih, persis. Nick lalu melihat majalah yang dibawa Lupus sambil bertanya ini-itu. Karena kecuekannya, suasana jadi cepet akrab.

Saat itu baru Denny dan Sute muncul sambil cengar-cengir bajing. Lupus mendelik sebel.

"Nick, wawancaranya bisa dimulai?" ujar Lupus.

"Sure!"

"Langsung aja, ya? Kan nggak banyak tuh grup new wave macam kalian yang bisa bertahan lebih dari satu dekade. Tapi Duran Duran membuktikan dengan suksesnya album terakhir. Apa sih resepnya?"

"Oya. Tentu saja, Pus, Karena kami sangat mencintai musik. Bersama-sama kami yakin akan selalu bisa menciptakan sesuatu yang spesial. Kami ini orang-orang yang sangat sabar, karena kami tau untuk bisa bertahan di bisnis musik itu nggak gampang, dibutuhkan ketekunan dan konsistensi. Kadang di atas, kadang di bawah.... "

Dan interview lengkapnya, kamu bisa baca di halaman akhir, ya?

Pokoknya interview yang berlangsung kira-kira sejam itu cukup sukses.

Di akhir wawancara, Lupus sempet ngebangunin Denny yang tertidur di pojokan dengan tendangan kaki. Denny gelagapan. Lalu pura-pura nyimak wawancara, dan bertanya, "Oya, Nick, Lupus ini penggemar berat Duran Duran, Liat aja rambutnya nyontek John Taylor punya..."

"Oya!" Nick berbinar matanya. "Wah, nggak nyangka di Indonesia kami punya banyak penggemar....”

"Ya udah, kami pamit, ya? Salam buat John...." Lupus dan anak-anak HAI pun pamit.

Pas malemnya, kita semua diundang nonton konsernya di Hong Kong Collesium. Sempet juga dijamu di belakang panggung....

***

Sisa satu hari. Berhubung udah sukses wawancara, Lupus, Denny, dan Sute jalan-jalan ke Ocean Park. Sebuah tempat pariwisata yang indah kayak Dufan yang dilengkapi sky-lift. Sky-lift itu mengelilingi tebing dan jadi penghubung arena di dataran rendah dan dataran tinggi. Dari sky-lift itu Lupus bisa ngeliat kota Hong Kong yang indah dari atas. Serasa terbang di antara awan yang bergulung-gulung. Semua permainan, dari jet-coaster yang lebih gawat dari Halilintar di Dufan sampai sejenis komedi putar yang mengerikan, sempat dicobai Lupus. Hanya Denny yang nggak berminat, karena ia memang agak penakut. Alasannya takut ketinggian, tapi waktu kemaren berangkat naik pesawat, girangnya nggak ketulungan.

Lupus excited banget. Sampe nggak inget pulang, kalo nggak diteriakin Denny.

Malamnya, Lupus meneruskan belanja keliling-keliling Hong Kong. Kota itu emang full shopping center. Oleh-oleh tas buat Mami, sepatu dan baju buat si Lulu, dan daftar belanjaannya artis kapiran, Fifi Alone, udah lengkap kebeli semua.

Dan besoknya Lupus udah balik lagi ke Jakarta. Disambut hangat sama Mami dan Lulu yang udah setia nungguin di tikungan jalan. Lupus langsung membagi-bagikan oleh-oleh. Dan uangnya udah nggak bersisa sama sekali. Malah harus bayar tiket yang masih ngutang sama HAI.

Malemnya Lupus jadi nggak bisa tidur. Sibuk nyari akal buat bayar utang tiket sama HAI yang cukup gede itu. Dari mana bisa nyari uang dalam waktu singkat? Mau kerja lagi di bengkel abangnya si Boim males. Nggak bakat. Mau ngapain, ya?

Menjelang pukul dua, ia masih nggak bisa tidur. Uring-uringan sendiri. Di kamarnya masing-masing, Mami dan Lulu sudah tertidur dengan senyum bahagia, karena kebagian oleh-oleh dari Lupus. Mami dapet tas kulit keren, sedang Lulu dapet baju model paling mutakhir. Sedang Lupus? Lupus malah bingung mikirin duitnya abis.

Ia berjalan keluar kamar. Nyari ide.

Tiba-tiba aja sesuatu melintas di otaknya. Ia berteriak keras, "Yes!"

Besoknya, di sekolah, Lupus langsung aja dikerumunin temen-temennya begitu dateng. Mereka langsung minta diceritain soal pengalamannya ketemu Duran Duran. Abis membagikan pesenan oleh-oleh sama anak-anak, Lupus cerita panjang-lebar. Katanya, ia ketemu sama semua anggota Duran Duran, dan sempet menginap di hotel yang sama. Di akhir cerita, dia langsung bongkar muatan. Ia ngeluarin kaos kaki bekas, saputangan, beberapa helai rambut, cincin, kalung, sendok, dan semua yang katanya bekas dipakai Duran Duran.

"Nah, sekarang kan lagi nge-trend memoribilia... yaitu mengoleksi benda-benda yang pernah dipakai orang-orang terkenal dunia. Nah, ini semua barang-barang yang bekas dipakai Duran Duran. Gue jual murah deh sama kalian. Kalo lo-lo emang fans berat Duran Duran, harus punya barang-barang ini," ujar Lupus berpromosi.

"Beneran, Pus? Ini bekas dipakai mereka?" ujar Fifi surprised.

"Bener!"

"Saputangan ini bekas siapa?" ujar Fifi sambil mencomot saputangan yang rada-rada dekil.

"Itu abis dipakai John Taylor. Sama lo gue jual dua puluh lima ribu deh!"

"Dua puluh lima ribu?" Fifi melotot. "Kok mahal?"

"Nggak dong, Kan susah ngedapetinnya. Lagian kalo kamu bobo sambil mukanya ditutupin saputangan ini, lo bakal terus nyium bau John Taylor dan ngimpiin doi...."

"Bener?"

"Bener!" ujar Lupus mantep.

Fifi langsung beli.

"Kalo peniti ini berapa, Pus?" ujar Meta mengambil sebuah peniti yang rada-rada karatan.

"0, itu bekas kolornya Simon LeBon. Ya, ambil deh sepuluh ribu..."

"Sepuluh ribu?" Meta melotot.

"Aduh, segitu kan murah. Inget, lho... celana dalemnya Simon LeBon... kan jarang-jarang...."

Meta manggut-manggut.

"Yang ini apaan?" Poppy mengambil beberapa helai rambut.

"0, itu rambutnya Nick Rhodes. Buat kamu gratis, Pop! Itu saya colong waktu Nick motong rambut di salon hotel..."

Poppy girang menerima hadiah dari Lupus. Karena di samping beberapa helai rambut itu, Poppy juga dapet oleh-oleh baju yang keren. Poppy emang suka pake baju yang- keren-keren. Anak itu belakangan ini makin modis. Rambutnya aja dipotong pendek, dan dikeriting. Katanya ia pengen jadi desainer kalo udah gede nanti.

Akhirnya Boim, Andi, Anto, Aji, dan semua anak pada berebutan membeli. Lupus jelas panen besar. Modal pergi ke Hong Kong akhirnya kembali.

Sambil melangkah pulang, Lupus menghitung-hitung dompetnya yang luar biasa gendut kebanyakan duit. Lupus puas.

Sampai di rumah, ia segera mencari-cari maminya lagi, "Mi, masih ada lagi nggak barang-barang bekas Mami bangsanya peniti, jarum, kancing, gelang, anting dan lain-lain...?"

Mami nggak pernah ngerti kenapa anak cowoknya belakangan ini getol banget membongkar-bongkar gudang mencari barang-barang bekas...

***

Seminggu kemudian, pas Duran Duran konser di Jakarta, Lupus kesampaian dikenalin ke John Taylor oleh Nick Rhodes. Di belakang panggung, Lupus sempet ngobrol sedikit dengan semua anggota Duran Duran. Warren pun masih inget pernah ketemu Lupus di Hong Kong. Jelas para panitia rada heran melihat Lupus udah begitu ngakrab sama semua anggota Duran Duran.

"Ntar kalo main ke London, mampir-mampir, ya?" ujar Nick sambil senyum.

Lupus mengangguk semangat.

Tapi Lupus rada kecewa, karena rambut John Taylor kini udah dipapas abis, nggak mirip lagi sama Lupus. Mungkin John malu, ya, ketauan niru-niru Lupus. Hehehe....

2. INTERVIEW WITH THE NYAMUK

LANGIT Jakarta nampak merah. Temaram senja nyaris berganti pekatnya malam. Saat burung-burung mulai pulang ke sarang, segerombol anak muda justru baru keluar dari peraduannya. Dan di suatu sudut mall termegah di Jakarta. Lulu bersekutu dengan Bule, Alay, Simon, dan Kiki. Selalu ada yang dibicarakan, selalu ada yang direncanakan.

"Kenapa emang si Lupus dibilang nyamuk?" tanya Kiki sama temen-temen si Lulu yang lagi pada ngumpul itu.

"Wah, lo nggak tau aja. Kakaknya si Lulu itu emang bener-bener pengisap darah! Vampir tulen! Pecundang!" ujar Bule kesel. "Iya, kan, Lu?"

Lulu yang lagi makan es krim cuma cekikikan ngeliat si Bule sewot sama kakaknya.

"Udah gitu anaknya nggak bisa diem. Ribut melulu! Wajar aja kalo tu anak dapet julukan ‘nyamuk'. Biang berisik!" Alay ikut nambahin.

"Liciknya itu yang nggak tahan! Bener-bener kapitalis sejati!" Simon menimpali.

Lulu makin ketawa.

"Udah! Udah, ah! Kalian udah keterlaluan ngatain si Lupus, Jelek-jelek kan dia kakak gue!" ujar Lulu berusaha menenangkan temen-temennya.

Kiki jadi antusias. "Wah, kalo gitu, gue kudu interview dia nih!"

"Buat apa?" anak-anak bertanya serempak

"Gue lagi bikin buku berjudul 'Orang-orang Terlicik di Dunia'. Nah, Lupus bisa jadi salah satu responden gue!"

"Apa?" Lulu kaget.

Tapi kalo dipikir-pikir, pilihan Kiki emang nggak salah. Dan kekesalan si Bule, Simon, Alay emang beralasan. Lupus emang bener-bener nyamuk! Kamu pasti setuju kalo ngikutin cerita apa yang terjadi sebelum ini....

***

Belakangan ini Lupus emang lagi nge-geng terus sama cowoknya Lulu yang bernama Bule. Asyik juga, karena Bule ke mana-mana selalu bawa Escudo merah metaliknya, hingga jalan-jalan ke mana aja gampang. Selain sama Bule dan Lulu, biasanya Escudo itu berisi manusia-manusia full becanda bangsanya Simon dan Alay. Yang nggak capek-capeknya ngelawak 24 jam nonstop. Semua yang diliat di jalan, dibahas tuntas. Kayak ngeliat cowok-cowok sekarang di jalanan yang pada nge-grunge dengan peliara jenggot, si Bule langsung ngomentarin, "Idih, pasti doi penggemar berat Rhoma Irama!"

"Iya, ya, tapi jadinya kayak kambing bandot!" timpal Alay.

"Kambing bandot yang bangkotan! Nggak laku-laku!" ujar Simon sambil ngakak.

Lupus jadi ikutan ketawa.

Dan kalo ada cewek kece, juga nggak absen untuk digodain abis. So pasti cewek-cewek jalanan itu suka pada jual mahal semua. Setelah digoda abis, tapi nggak bereaksi, biasanya Lupus langsung bikin pantun andalannya, "Buah delima, buah pepaya. Nggak diterima, nggak apa-apa la ya...."

Disambung Alay yang nekat ikutan berpantun, "Jalan-jalan ke Palmerah, sudilah mampir. Eh, si baju merah kayak mak lampir...."

Akibatnya cewek yang digodain itu, yang emang berbaju merah, jadi melotot sewot kayak tukang ojek kesundut knalpot,

Dan udah jadi kebiasaan anak-anak itu, saban jalan-jalan keliling kota, mereka sambil ngedengerin pertandingan basket antar pelajar yang disponsori Radio Ga Ga dan disiarkan lewat radio. Ya, soalnya biasanya ada hadiah-hadiah bagi penebak jitu. Hadiahnya biasanya sampai satu juta rupiah! Lumayan kan buat ngeborong es dong-dong.

Sambil Escudo-nya parkir di pelataran parkir sebuah mall, Bule, Alay, Lupus, Lulu, dan Simon pun berusaha konsen ngedengerin kuis basket yang sore itu bakal dibacain pertanyaannya.

"Berhubung hari Minggu besok akan ada pertandingan final antara SMA Citra Bangsa melawan SMA Batavia, maka kali ini kamu-kamu boleh nebak, siapa yang menjadi top-scorer! Tau, kan, top-scorer? Yang jelas itu bukan sebutan untuk tukang skoteng. Itu istilah buat pemain basket yang mencetak angka terbanyak Silakan datang ke studio untuk membeli tiket dan mengisi formulir tebakan berhadiah. Inget, ya, pilihan kamu harus satu orang aja, nggak boleh lebih...."

Kontan anak-anak mikir, siapa yang kira-kira jadi top scorer? Soalnya dua SMA itu emang terkenal punya pemain basket yang jago-jago. Kemampuan mereka hampir merata.

"Tebakan gue si Bondan Rizki!" ujar Lupus spontan.

"Bondan Rizki?" Bule melotot. "Bondan Rizki yang dari SMA Batavia itu? Mana mungkin! Kamu emang bener-bener nggak tau basket, Pus. Bondan kan lebih pendek, lamban, dibanding pemain lainnya. Pokoknya nggak bisa diandelin deh!"

"Eh, tapi kan dia kurus!" ujar Lupus.

"Emang kenapa kalo kurus? Biar mirip lo, gitu?"

"Nggak, kan kalo kurus badannya ringan. Jadi bisa melayang masukin bola ke basketnya!"

Tawa Bule, Alay, dan Simon meledak. "Lupus,.. Lupus... kamu kok bego amat sih?"

Lupus jadi sebel dikatain bego. "Ya udah kalo nggak percaya! Nggak usah pake ngatain!"

"Doooo, sewot!"

"Lagian ngapain sih ikutan tebakan kayak gitu! Judi tuh, judi!" ujar Lulu.

Dan berhubung penasaran, hari Minggu-nya mereka nonton final basket antar pelajar. Bule, Alay, Simon, tentu memasang taruhan pada jagoannya masing-masing. Lupus ikut-ikutan. Tapi, surprised, surprised! Ternyata rekor top-scorer paling banyak memang dipecahkan oleh Bondan Rizki. Bule, Alay, Simon, dan Lulu langsung menatap tak percaya pada Lupus.

"Gila! Gila, Pus! Tebakan lo jitu! Hebat lo, Pus!" ujar Bule. .

"Iya, nggak nyangka intuisi lo hebat amat!" tambah Alay.

"Lo dapat hadiah sejuta, dong! Wah, kita bisa pesta'" ungkap Simon.

Tapi Lupus malah diam. Nggak berbicara. Temen-temennya jadi bingung. Lalu Lupus memandang ketiga temen Lulu itu dengan geram.

Tiba-tiba ia berteriak, "Waaaaa!" sambil kepalanya dijedukin ke bangku penonton.

Semua jadi heran.

"Pus, kenapa lo? Jangan gila, Pus. Baru menang satu juta aja jadi gila!" ujar Simon panik.

"Lo terlalu girang, ya, Pus?"

"Gila! Gila!!! Gara-gara kalian! Terutama Bule! Sialan! Kan bener tebakan gue! Coba kalo tadi itu gue milih Bondan, pasti gue udah dapet satu juta! Huh!"

Bule kaget. "J-jadi, lo tadi nggak' masang si Bondan?"

Lupus menggeleng. "Enggak. Gara-gara kalian bilang gue bego, gue jadi ikut-ikutan kalian masang si Reigy Pahlevi. Padahal Reigy malah nggak pernah masukin bola!"

Bule jadi bener-bener merasa nggak enak sama Lupus. Lupus langsung pulang dengan jengkel. Sebelum pulang, terdengar pengumuman dari Radio Ga Ga, "...Bagi yang telah menebak tepat, silakan ambil hadiah Tabanas-nya di kantor besok pagi, dengan membawa bukti-bukti..."

Lupus terus ngeloyor pulang.

Bule, Simon, Alay, menatap masygul ke arah kepergian Lupus. Terus terang, mereka amat merasa nggak enak.

Sampe di rumah, si Mami juga lagi ngomel-ngomel sendiri, "Tidak bisa seperti itu! Tidak bisa! Tidak bisa seperti itu!"

Lupus jadi heran ngeliat maminya,

"Itu penipuan namanya. Penipuan itu namanya. Penipuan. Penipuan!" ujar maminya lagi.

"Mami kenapa?" tanya Lupus heran.

"Ibu Sasongko tiba-tiba membatalkan pesanan kuenya. Dia membatalkannya. Dia telah membatalkannya. Padahal Mami sudah membeli semua bahan. Mami sudah beli semua bahan!"

"Aduuuh, Mami. Kok ngomongnya jadi gitu sih! Makanya Mami jangan kebanyakan nonton telenovela Meksiko! Jadi ikut-ikutan Ines sang Sekretaris ngomongnya. Ada apa sih, Mi? Ada apa? Ada apa? Eh, kok malah saya ikut-ikutan, ya?"

"Iya, nih. Mami kesal. Mami kesal. Kesal sekali!"

"Udah, udah. Soal kesel, Lupus juga lagi kesel. Lupus keilangan uang satu juta rupiah. Satu juta rupiah. Mami bayangkan! Bayangkan!"

"Apa? Satu juta rupiah?"

"Iya!" ujar Lupus mantep.

"Kok bisa?"

***

Hari itu Bule masih nggak enak ati sama Lupus ketika ia main ke rumah Lupus ngapelin Lulu. Lagi asyik-asyik ngobrol di teras, tiba-tiba dari arah kamar Lupus terdengar suara gedebak-gedebuk.

"Eh, suara apa tu, Lu?" tanya Bule.

"Itu, si Lupus!" ujar Lulu enteng.

"Lupus?"

"Iya. Sejak gagal menang taruhan basket, dia stres berat. Suka ngejeduk-jedukin kepalanya ke tembok!"

"Apa? Kamu jangan becanda, Lu!"

"Serius, kok!"

Tak berapa lama, terdengar teriakan keras dari kamar Lupus. "Keilangan uang satu juta! Coba pikir, wahai manusia! Siapa yang nggak kesel?"

Bule yang mendengar jadi makin ciut hatinya.

Apalagi Lupus kemudian keluar dengan kepala yang dililit perban, seperti orang abis kecelakaan! Bule jadi tersiksa setengah mati.

"Wah, kenapa si Lupus?" bisik Bule.

"Ah, tu anak nyari perhatian aja!" ujar Lulu.

"Tapi gue jadi nggak enak, Lu...."

Sampai di sekolah, keesokan harinya, Bule tetap merasa diburu perasaan nggak enak sama Lupus. Supaya hatinya tenang, ia konsultasi sama temen-temennya di kantin. "Eh, pada dengerin deh. Kalo ada orang yang bikin lo-lo keilangan duit satu juta, apa tindakan lo-lo semua?"

"Satu juta? Gila! Pasti orang itu langsung gue kutuk jadi kutu!" ujar salah seorang temennya spontan.

Bule kaget.

"Gue sumpahin dia mandul!" ujar yang lain.

Bule makin kaget.

"Gue iket di tiang, gue olesi madu, dan gue lepas seluruh lebah-lebah untuk menyengatnya!" ujar yang lain lagi.

Bule kaget setengah mati.

"Gue perkosa dia idup-idup!" ujar temennya yang cowok dan berbadan gede.

"M-meskipun d-dia cowok?" tanya Bule gemetar.

"Cowok? Tambah asyik, gila!" kilah si badan gede itu.

"WAAAA!!!" Bule terbirit-birit ketakutan.

Di depan kelas, Lulu menyerahkan surat dari Lupus kepada Bule. Bule masih gemeteran ketakutan.

"Isinya apa, Lu?" tanya Bule.

"Mana gue tau. Baca aja sendiri! Kata Lupus, confidential. Nggak boleh ada orang lain tau."

Bule membaca surat itu sendirian....

“Hei, Bule... lo mau nebus dosa?

Oke, gue mau maapin elo, asal lo beliin gue sepatu airwalk, ukuran kaki 42, terus CD Guns ‘N Roses yang baru, dan boneka Miki Mos yang gede (ini buat nyogok si Poppy!). TTD, Lupus”

Bule terpekik, "Sialaaan, gue diperas abis. Dasar nyamuk!"

***

Sore itu Bule terpaksa menemui Lupus sambil membawa berkotak-kotak hadiah. Isinya: sepatu Airwalk, CD, dan boneka Miki Mos. Bule meletakkan hadiah-hadiah itu di depan Lupus.

"Nih, permintaan lo. Dan jangan macem-macem lagi! Impas udah dosa-dosa gue! Terus terang, gue tersiksa terus. Saban malem mimpi dikeroyok nyamuk sampe darah gue abis!"

Lupus kegirangan membuka hadiah-hadiah itu.

"Gilaaa, thanks, Bule! Thanks. Aduh, gue jadi nggak enak nih sama elo!"

"Kalo nggak enak, ya udah, gue ambil lagi...."

Bule berusaha meraih kotak-kotak hadiah itu. Tapi Lupus buru-buru menghalangi.

"Eeeee, lo emang baek ngasih gue sepatu keren ini, tapi mana rela gue balikin lagi ke elo?"

Lupus masuk ke rumah dengan tertawa-tawa riang. Bule jadi geram.

***

Keesokan harinya Lulu ulang tahun. Jadi Bule ditraktir makan fetucini di kedai pizza. Bule nampak murung. Nggak riang seperti biasanya. Lulu bukannya nggak tau mood cowoknya yang lagi suntuk.

"Kenapa sih, Le? Kok suntuk amat? Mikirin si Lupus?"

Bule diam aja.

"Udahlah, si Lupus nggak usah terlalu diambil pusing. Masa pas jarig saya, kamu malah murung? Jahat, ih!"

Bule hanya tersenyum tipis. Lalu murung lagi. Lulu jadi keabisan akal.

"Bule! Kenapa sih kamu?" Lulu ngambek, meletakkan sendok garpunya, Nggak minat nerusin makan.

"Sori, Lu... tapi saya emang lagi bingung....”

"Bingung apa?"

"Uang yang tadinya mau buat beli kado kamu, udah kepake buat si Lupus...."

"Kepake? Emangnya Lupus ngapain?"

Bule lalu menceritakan surat dari Lupus.

"Aduh, keterlaluan si Lupus. Bikin malu aja!"

Lulu jadi geram.

"Udah, kamu jangan emosi. Nanti malah makin runyam. Kan aturan kamu nggak boleh tau soal surat itu. Lagian nggak apa-apa kok. Dibanding ilang uang sejuta, hadiah-hadiah itu nggak seberapa kok!" Bule menenangkan.

"Iya sih. Tapi jadinya kan kamu bermuram durja begitu.... Dan saya jadi nggak dapet kado...."

"Ah biasa...."

"Biasa apa? Ini kan ulang tahun saya, kok kamu malah biasa-biasa aja...."

Lulu kesal, dan berdiri, Lalu pergi ninggalin Bule. Bule makin bengong.

Sesampainya di rumah, Lulu nangis sesenggrukan di kamar. Mami yang kebetulan ada, datang menenangkan.

"Lu... kenapa? Berantem sama Bule? Udah deh. Nggak usah nangis... kamu kan lagi ulang tahun. Masa nangis? Itu, Mami udah bikin kue black forrest. Kamu undang deh temen-temen deket kamu ke sini...."

Lulu tetap sesenggrukan.

Mami mengusap-usap rambut Lulu. Tapi tangis Lulu makin meledak. Hingga mengundang Lupus untuk ikutan datang membantu.

"Ada apa sih, Mi?"

"Pus, coba kamu tenangin dulu adikmu ini. Mami lagi banyak kerjaan di dapur. Kamu tanya aja, dia berantem sama Bule atau apa...."

"Ya, udah, Lupus urus, Mi. Mami ke dapur aja."

"Bener ya, Pus?" Mami pun bangkit, Lulu masih sesenggrukan.

Lupus mengangguk. Lalu berkata ke Lulu, "Udah, Lu... kenapa sih pake nangis? Soal si Bule?"

Lulu mengangguk.

"Si Bule itu emang harus dikasih pelajaran. Coba aja, dia kan sebetulnya anak orang kaya, tapi suka berlagak irit. Padahal duitnya banyak. Kamu tuh harusnya manfaatin dia aja, Lu. Kayak saya....”

Tangis Lulu berhenti. Ia memandang Lupus.

"Dan kalo emang bener si Bule itu nyakitin kamu, saya udah balas semua perbuatannya. Anak itu emang sekali-sekali harus diporotin biar mau keluar duit. Contoh dong saya. Saya selalu pake otak. Pake kecerdikan!"

Lulu jadi tertarik. "Oya? Gimana cara kamu morotin dia, Pus?"

Lupus tersenyum jumawa.

"Gini, Lu. Tapi ini rahasia antara kamu dan saya, ya? Kamu kan adik saya, jadi saya mau buka rahasia. Sebetulnya, waktu pertandingan basket antar pelajar itu, saya emang milih Bondan Rizky, dan menang satu juta. Diem-diem, pas Senin-nya, saya dateng ke studio untuk ngambil hadiahnya, dan langsung saya tabung, Tapi saya dendam dikatain bego sama Bule, Alay, dan Simon. Jadi saya nggak sudi nraktir mereka. Maka saya pura-pura aja nggak milih Bondan. Saya pura-pura ikut-ikut milih Reigy. Hihihi.... Terus saya pura-pura nyesel, dan akhirnya malah tambah bisa memeres si Bule untuk beli sepatu Airwalk, CD, boneka dengan gratis. Asyik, kan? Uang utuh, malah dapat hadiah sepatu plus CD, plus boneka.... Sementara tabungan saya di bank utuh...."

Di luar dugaan, tiba-tiba Lulu bangkit dan mencengkeram kerah baju Lupus. "Oooo, begitu, ya? Dasar nyamuk! Ketauan ya kamu! Ayo, temui Bule! Kamu harus ganti semua kerugian! Ayo!!!"

Lupus terperanjat. Tapi Lulu terus menyeret Lupus!

"Lulu...!"

"Kamu nggak bisa mungkir! Udah kebongkar semua kelicikan kamu!"

"Lu, ampun, Lu! Kamu dapet setengahnya deh! Lima ratus ribu!"

"Nggak bisa!"

"Ditambah boneka Miki Mos deh...."

"Nggak bisa!"

"Kamu ambil tujuh ratus ribu deh!"

"Nggak bisa!"

"Satu juta? Kamu ambil semuanya? Berikut sepatu Airwalk, CD, boneka Miki Mos..."

"NGGAK BISA!!!"

Dan ternyata Bule emang udah nunggu di teras depan rumah Lupus. Begitu ngeliat Bule, Lupus langsung pingsan dengan sukses!

Satu hal yang Lupus lupa, pacar itu kan kadang lebih penting daripada sodara!

3. PARCEL LEBARAN

Lupus lagi senyum-senyum sendiri. Asyik la ya, bentar lagi Lebaran. Itu tanggalan udah dibulet-buletin pake spidol. Tinggal dua hari lagi, dan puasanya pol sebulan penuh.

Ya, ceritanya ini lagi bulan puasa.

Lebaran kali ini si Lulu malah piknik sama temen-temennya ke Yogya. Jadi di rumah tinggal Lupus sama maminya.

Lupus ngerasa seneng bisa survive sampe Lebaran. Soalnya kan selama bulan puasa, godaan rasanya berat banget, Kalo pas jalan-jalan, ngeliat apa-apa serasa ngeliat makanan. Bahkan liat trotoar di jalan aja serasa roti rasa keju. Hihihi....

Dan Lebaran ini, kata Mami, Tante Ina dan Tante Iis mau dateng. Mereka itu tinggal di Bandung. Dan tahun ini mo ngerayain Lebaran di rumah Lupus. Lupus langsung aja ngebayangin berapa duit yang bakal ia terima dari tante-tantenya yang murah hati itu. Yang biasanya enteng aja ngeluarin duit buat hadiah Lebaran.

"Mi, kapan sih Tante Ina sama Tante Iis dateng?" tanya Lupus, ketika maminya lagi sibuk nyiapin makanan untuk berbuka puasa.

"Nanti, pukul empat sore. Kenapa? Udah nggak sabar? Nggak sabar nungguin duitnya, ya?"

Lupus jelas malu ditembak begitu.

"Tapi mereka kali ini bawa anak-anaknya lho," ujar Mami lagi.

"Anak-anaknya?"

"Iya, biasanya kan anak-anak mereka itu dititipin di Nenek, tapi kali ini dibawa."

Lupus nggak begitu ambil pusing. Biar aja mereka bawa anak-anaknya. Kalo pada bandel-bandel, ya tinggal dijewer-jewerin aja!

Sekitar pukul empat, Tante Ina dan Tante Iis bener-bener datang. Tante Ina bawa dua anak ceweknya, namanya Wulan dan Dina. Masing-masing masih berumur sembilan dan sepuluh tahun, Tampangnya manis-manis dan lucu-lucu.

Sedang Tante Iis bawa dua anak cowoknya, namanya Ares dan Aril. Dua anak yang baru berumur delapan dan sembilan tahun ini juga keliatan sopan dan senang tertawa. Lupus langsung menyukai mereka, Ya, kekuatiran bakal kerepotan mengatur sepupu-sepupunya, nggak beralasan sama sekali. Mereka jelas anak-anak kecil yang manis-manis.

Dan Mami, begitu ketemu Tante Iis dan Tante Ina, langsung aja klop, Karena mereka semua itu hobi banget bikin kue. Mereka langsung merencanakan bikin kue-kue buat buka puasa, dan buat Lebaran nanti.

"Mending kita bikin roti untir dan roti gulung aja, yuk?" ujar Mami.

"Yang pake hiasan wijen, jintan, kismis, dan poppy seed itu?" tanya Tante Ina.

"Iya. Kebetulan saya udah punya bahan-bahannya!"

"Wah, sip tuh. Kita bisa bikin yang bentuk kura-kura, bentuk siput, bentuk landak!" ujar Tante Iis spontan.

Tante Iis dan Tante Ina langsung setuju. Beberapa saat kemudian, mereka langsung sibuk nyiapin bahan-bahan dan adonan. .

"Tapi gimana nih anak-anak kita? Siapa yang ngurus?" tanya Tante Ina tiba-tiba.

"Ah, gampang. Kan ada Lupus.... Suruh aja dia ngajak jalan-jalan!" ujar Mami.

"0 iya, ya?"

Lupus jelas nggak keberatan ngajak anak-anak itu jalan-jalan. Karena ongkos jalannya bisanya cukup untuk beli baju Lebaran, atau untuk jalan-jalan di malam takbiran.

Wulan, Dina, Ares, dan Aril pun langsung dimandiin dan didandanin sama ibu-ibunya untuk ikut jalan-jalan ke mall sama Lupus.

Mereka semua memakai jaket. Warnanya lucu-lucu. Kuning, biru, pink, dan oranye.

"Kalian di sana jangan nakal, ya?" ujar Tante Iis kepada anak-anak kecil itu. "Kasian nanti Kak Lupus...."

Anak-anak yang manis itu mengangguk-angguk.

Dan untuk ongkos jalan, Tante Iis dan Tante Ina membekali enam puluh ribu rupiah. Waow! Lumayan!

Lupus jadi bersemangat.

"Ayo, Adik-adik. Kita ke mana dulu, nih?"

"Ke supermarket! Ke Supermarket!" jerit anak-anak itu.

"Kalian bawa uang?"

"Bawa! Bawa!"

"Oke, ayo kita pergi!"

Dan pergilah mereka ke supermarket!

***

Lupus sama sekali tak mengira, ternyata sepupu-sepupunya yang masih kecil-kecil itu sangat senang ketika diajak ke supermarket. Mereka langsung menghambur begitu saja. Ada yang ke bagian penjualan cokelat, ada yang melihat-lihat minuman kaleng, dan ada yang ke tempat penjualan buku dan majalah. Anak-anak itu lucu-lucu. Sebelum mas uk, dengan ramah mereka menegur satpam, dan menyalaminya. Lupus sampai geli sendiri.

Tapi lantas Lupus tak peduli. Ia mulai sibuk sendiri memilih-milih di tempat penjualan kartu yang bagus-bagus. Ya, ia perlu ngirim kartu Lebaran ke Boim, Gusur, Fifi Alone, dan semua temen-temennya yang biasa ia cela abis-abisan. Itung-itung nebus dosa.

Lupus sedang asyik memilih cokelat, ketika ia kaget setengah mati melihat Wulan memasukkan cokelat Toblerone ke balik jaketnya dengan diam-diam. Ekspresinya kayak maling kelas kakap lagi operasi. Lirik kanan, lirik kiri.

Lupus langsung memegang tangan Wulan. "Wulan! Apa yang kaulakukan?"

Wulan kaget. Ia nggak ngeh kalo Lupus ada di dekatnya. Tapi kemudian ekspresinya biasa aja, ia menatap wajah Lupus tanpa perasaan bersalah.

"Nggak ngapa-ngapain kok!"

"Itu, kenapa kamu ngambil cokelat?"

"Kan Wulan mau beli? Emang nggak boleh?"

"Kok pake disembunyiin di balik jaket segala?"

"Abis Ares gitu sih. Kalo Wulan udah beli sesuatu, dia nggak mau beli lagi. Maunya minta, Jadi dia bisa beli yang lain.... Kan Wulan jadi rugi!"

Lupus meng"o" sambil mengangguk-angguk nggak yakin.

Kemudian Wulan pergi begitu saja.

Lupus memang pantas nggak yakin. Kalo perlu, dia emang jangan percaya sama sekali pada penuturan Wulan. Ada satu hal gawat yang nggak diketahui Lupus dari sifat sepupu-sepupunya yang empat orang itu. Mereka semua... KLEPTOMANIA!

Ya, anak-anak manis itu ternyata amat suka mengutil, barang-barang di supermarket. Anehnya nggak cuma satu, tapi empat-empatnya! Kamu pasti nggak mengira kalo ngeliat betapa polos dan tak berdosanya wajah keempat setan cilik itu!

Makanya anak-anak klepto itu paling suka diajak ke supermarket. Biar dia bisa mengutil sebanyak-banyaknya. Dan anak-anak itu amat profesional! Sementara yang satu mengutil, yang lainnya sibuk mengajak ngobrol penjaga dengan menanyakan ini-itu.

Yang namanya Ares itu lebih gawat lagi.

Dia paling suka bikin jengkel orang dengan menekan timbangan buah di saat pembeli lain sedang menimbang buah. Hingga harga buah jadi melonjak mahal. Tau sendiri, kan. Timbangan buah itu amat sensitif. Ditekan sedikit aja, bisa naikin harga gila-gilaan.

Dan Lupus nggak tau semua itu!

Makanya ketika Lupus kembali asyik memilih-milih cokelat, Aril di seberang sana sedang dengan sukses menyelipkan sebuah komik ke balik jaketnya. Sementara itu Ares sedang mengobrol dengan ibu-ibu yang lagi kerepotan memilih bubuk deterjen. Keranjang dorong Ibu-ibu itu sudah amat sarat dengan barang belanjaan. Di antaranya, ada pistol mainan yang berisi butiran cokelat warna-warni buat anaknya. Dan Ares sedang mengincar mainan itu!

Kecurigaan kedua muncul ketika secara nggak sengaja Lupus melihat Dina menyembunyikan sebuah apel di kantong jaketnya. Lupus terkejut.

Pada saat yang sama, seorang satpam juga secara selintas melihat adegan itu. Satpam itu melirik garang. Dan dari jauh ia langsung berjalan ke arah Dina. Lupus panik. Ia takut Dina ditangkap karena dituduh mencuri apel. Buru-buru Lupus menghampiri Dina.

"Dina! Ngapain kamu ngumpetin apel? Tu ada satpam ngeliat kamu! Cepet balikin!" bisik Lupus panik.

Dina tenang aja. Wajahnya biasa. Satpam itu makin mendekat, dan Lupus makin panik. Ketika satpam itu sampai, dengan gerakan yang halus, Dina berbuat seolah-olah sedang mengelap-elap apel di jaketnya. Padahal Lupus udah menggigit jarinya dengan jantung deg-degan.

"Pak Satpam, apelnya kok kotor sih?" ujar Dina sambil mengelap-elap apel itu dengan jaketnya. "Kata Mama, sebelum dimakan, harus dilap dulu...." .

Satpam itu jadi mati langkah. "Kotor? Masa iya?" Dengan gobloknya, satpam itu mengambil apel yang lain dan menelitinya.

"Iya, kotor." Dina menunjukkan apel yang tadi ia pegang. "Tadi di apel yang ini ada debunya.... Jadi saya gosok-gosok aja ke jaket."

Satpam itu jadi kebingungan. "Tapi yang ini nggak kok.... Ambil yang ini aja....”

Dina meletakkan apelnya, dan dengan enteng mengambil apel yang disodorkan satpam. Lalu ngeloyor pergi.

Satpam dan Lupus jadi bengong.

Tiba-tiba ada suara jeritan anak kecil di ujung sana.

Lupus kaget. Itu suara Wulan!

Dan bener aja, di ujung sana, nampak Wulan lagi digiring seorang satpam! Lupus kaget, lalu buru-buru menghampiri.

"Ada apa, Pak?" ujar Lupus waswas.

"Anda kakaknya?"

Lupus mengangguk.

"Bagaimana sih? Apa Anda nggak bisa mendidik adik? Anak ini mencuri!"

Dan tak berapa lama, muncul satpam lain menggiring Ares dan Aril. Lupus makin kaget.

"Anak-anak ini juga mencuri barang!"

Lupus makin terperanjat. Ya, Allah! Apa yang terjadi?

Terpaksa, setelah menjelaskan dengan susah payah di ruang manajer supermarket itu, Lupus harus mengganti semua barang yang diambil. Dan Lupus minta maaf berkali-kali. Pun ketika berjalan ke luar. Dan terpaksa pula Lupus mengorbankan uang yang tadi ia dapat dari tante-tantenya.

Yang konyol, tanpa merasa bersalah dan panik, para sepupu Lupus itu pamit dan menyalami para satpam ketika keluar supermarket.

"Permisi, Pak.... Permisi.... Makasih ya, nanti saya datang lagi!" ujar mereka.

Si satpam meski memasang wajah angker, disalami begitu sama anak-anak yang lucu-lucu begitu jadi mesam-mesem juga.

Lupus menghela napas panjang dan mengelap keringet dingin yang membasahi jidatnya.

"Kalian udah bikin Kak Lupus marah sekali! Sekarang pulang dan jangan ke mana-mana lagi! Tangan tetap di atas, dan jangan menyentuh apa pun selama perjalanan pulang!!!" ujar Lupus geram.

Anak-anak itu nurut. Mereka pulang dengan berbaris sambil membawa barang-barang yang tadi dikutil dari supermarket. Mereka berjalan sambil bernyanyi-nyanyi. Lupus cuma geleng-geleng kepala sambil mengurut dada. Kesal, gondok, marah, campur aduk jadi satu.

Ia sama sekali nggak nyangka sepupunya yang manis-manis itu ternyata klepto! Gimana ia ngejelasin ke orangtua mereka masing-masing? Apa mereka sudah pada tau?

***

"Apa, Pus? Tukang soto?" tanya Mami kaget.

"Klepto! Bukan tukang soto. Plesetannya jauh amat!" ujar Lupus.

"Apaan tuh klepto?" tanya Mami lagi.

"Itu, sifat orang yang suka mengutil. Hobinya ngambilin barang orang!"

"Jadi anak-anak itu suka nyolong?" Mami terkejut,

"Ssst! Jangan keras-keras. Iya. Ternyata anak-anak itu kleptomania semua. Gawat, kan, Mi? Saya juga bingung, mo ngasih tau Tante Ina dan Tante Iis-nya gimana?"

"Tapi apa mereka belum pada tau?"

"Kayaknya belum. Buktinya kok nggak ngomong apa-apa...."

Mami terdiam. Lupus juga.

Lantas Mami berkata, "Ya udahlah. Yang penting lain kali ati-ati aja, Pus...."

"Tapi duit Lupus gimana?"

"Duit yang mana?"

"Yang buat ngegantiin barang-barang yang diambil anak-anak itu!"

"Yeeee, mana Mami tau?"

Ya, besok paginya Lupus memang mengadu soal anak-anak itu pada maminya. Tentunya diem-diem, pas Tante Iis dan Tante Ina plus anak-anaknya masih tidur di kamar. Lupus nggak tau, apa dia harus bilang ke orangtua mereka atau tidak. Karena penyakit kayak gitu kan cukup gawat juga! Mana tu anak masih kecil-kecil lagi. Kok ya bisa-bisanya jadi klepto! Dan yang lebih gawat lagi, sebetulnya, gara-gara itu Lupus jadi nggak bisa hura-hura jajan sepuasnya sama anak-anak di malam takbiran nanti. Sial betul! Kalo nggak lagi puasa, pengen rasanya ngegantung anak-anak kecil itu!

Tapi ya sudahlah. Nanti malam kan udah malam takbiran. Nggak sepatutnya malam yang penuh rahmat itu diisi kedongkolan. Lupus pun langsung berniat ikut takbiran keliling kota sambil teriak-teriak, "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laillahaillahu Akbar..."

Dan Lupus sedang siap-siap memilih baju buat pergi panti malam, ketika sepupu-sepupunya pada bermunculan sambil ketawa-ketawa.

Lupus jadi kelimpungan.

"Kak Lupus! Kak Lupus!" teriak mereka.

"Eee, ada apa nih? Kok pada masuk ke kamar Kak Lupus? Ayo, main-mainnya di luar aja!"

"Kak Lupus, kita-kita punya kejutan buat Kak Lupus!" ujar Wulan mewakili teman-temannya.

"Iya, Kak Lupus! Iya!"

Lupus nampak sama sekali tak tertarik. "Kejutan apa? Kak Lupus udah cukup kaget ngeliat kalian yang bandel-bandel di supermarket kemaren. Ayo main-main di luar sana! Jangan ganggu Kak Lupus!"

Anak-anak itu nampak kecewa. "Yaaaa, Kak Lupus nggak mau kejutan dari kita-kita?"

Lupus menjawab tegas, "Nggak! Sana keluar!"

Anak-anak itu berdiri tegak. Wajahnya memelas. Sedih, kecewa. Aduh, Lupus paling nggak tahan ngeliat anak-anak kecil sedih begitu. Ia langsung jatuh iba.

"Oke-oke, Kak Lupus mau tau kejutan dari kalian. Apa? Cepet bilang!"

"Bener, ya?" Anak-anak itu berubah riang. "Kak Lupus tunggu di sini!"

Anak-anak itu langsung berlari-larian ke luar sambil berteriak-teriak ribut. Lupus duduk di kamarnya sambil menggeleng-geleng kepala. Aduh, apa lagi ulah sepupu-sepupunya yang bandel-bandel ini!

Tak berapa lama, tiba-tiba empat sepupunya yang mungil-mungil itu datang sambil membawa parcel besar, yang berisi macam-macam barang!

"Horeeee, ini untuk Kak Lupus!"

Lupus kaget, sampai meloncat dari duduknya, "Ya ampun! Kalian dapet dari mana parcel ini?"

"Ini kan dari barang-barang yang waktu itu diambil di supermarket!" jawab mereka.

"Apa?" Lupus amat terkejut. Ia tak menyangka bahwa barang-barang yang ia tebus dari hasil ngutil anak-anak itu dijadikan parcel oleh para sepupunya, dan diberikan ke Lupus.

"Waow! Ini bener-bener kejutan!" ujar Lupus tak bisa menahan gejolak perasaannya. "Ini buat Kak Lupus?"

"Iya! Iya!" para sepupu itu menjawab bersemangat.

"Parcel ini kalian yang bikin?"

Anak-anak itu mengangguk lagi.

Lupus berdecak kagum. Soalnya parcel itu keliatan rapi.

"Wah, bagus sekali! Terima kasih! Waow!"

Lupus masih belum percaya pada kejadian sore itu. Seumur-umur, baru sekali Lupus dapet parcel seindah ini!

Lupus lantas memeriksa isi parcel itu. "Wah, kalian bener-bener luar biasa! Makasih, ya?" Isinya ada kue kaleng, cokelat, minuman, permen, buku, sekotak cokelat, buah kalengan, dan... Mata Lupus lantas terpaku pada barang aneh yang ada di balik plastik parcel.

"Eh, apaan, tuh?" tanya Lupus spontan. Karena di dalemnya ada benda hitam mirip pentungan dan peluit.

Ares lalu menjawab malu-malu, "I-itu pentungan dan peluit milik satpam di supermarket.... Ares yang ngambil waktu salaman pulang...."

"APA?"

Lupus terkejut setengah mati.

***

Lebaran telah berlalu. Mami bersama Tante Iis dan Tante Ina telah sukses bikin kue-kue yang enak-enak. Dan mereka sekarang sudah kembali ke Bandung. Tinggal Lupus dengan maminya. Ayah Lupus telah almarhum.

Lupus lega, sepupu-sepupunya itu pulang dan tidak bikin masalah lagi. Mami juga lega, nggak usah repot-repot lagi bikin kue-kue.

Lupus sedang menemani maminya membereskan dapur yang kayak kapal pecah. Segala peralatan bekas bikin adonan kue, sebangsa kayu giling, ayakan, mangkuk besar, loyang, pisau, sendok kayu, berantakan di sana sini.

Lupus membantu membereskan,

Tiba-tiba maminya berteriak, "Aduh, kuas pastry kesayangan Mami mana, ya? Sendok-sendok dan adukan gelas koleksi Mami yang cantik-cantik kok pada nggak ada?"

"Nggak ada? Nyelip kali?"

"Enggak! Kan selalu Mami taruh di lemari atas sini. Itu kan benda-benda kesayangan Mami!" ujar Mami panik sambil terus memeriksa.

Lupus ikutan nyari.

Tapi nggak ketemu.

"Di mana, ya? Apa diambil anak-anak kecil itu?" ujar Lupus.

"Mana mungkin. Mereka kan kecil-kecil. Mana bisa naik ke sini?" ujar Mami.

"Jadi siapa? Selama ini siapa aja yang berada di dapur, Mi?"

"Hanya Mami. Para pembantu kan pulang kampung. Mami ditemani Tante Iis dan Tante Ina bikin kue sepanjang hari,...”

Lupus jadi terdiam. Tiba-tiba mukanya tegang. Mami jadi heran.

"Ada apa, Pus?"

"Aduh, jangan-jangan..."

"Apa? Kamu mengira..."

"Ya, pasti Tante Ina dan Tante Iis juga klepto!"

"APA?"

Saat itu di Bandung, Tante Ina dan Tante Iis memang sedang mengeluarkan kuas pastry, sendok-sendok cantik, adukan gelas, garpu antik, pisau palet, dan gelas kristal dari dalam tas. Barang-barang itu mereka bawa dari dapur maminya Lupus. Untung oven Mami nggak dibawa juga. Bisa-bisa Mami pensiun dari bisnis jualan aneka pastry dan catering....

4. TERORIS DI BUS

HIHIHI, Lupus jadi ketawa-ketawa sendiri. Anak itu ngikik terus dari tadi. Boim juga. Gusur juga. Ada apa, sih? Hihihi. Penasaran, kan? Gini, lho, pas pulang sekolah tadi, Lupus punya ide sinting. Dia nggak langsung ke rumah, tapi mampir dulu ke SD 09 Petang, yang minggu kemaren kalah di Cerdas Cermat tingkat SLTP (Ya, terang aja!). Awalnya pas diajakin gitu, Gusur langsung aja protes keras, "Pus, cobalah mengerti. Bukankah dikau telah paham betul betapa lapar nian perut ini? Izinkanlah daku tak turut bersamamu," rengek Gusur.

"Nggak! Pokoknya lo harus ikut!" ujar Lupus. Lupus kalo udah ada maunya emang harus dituruti.

"Jadi kita tetap ke SD itu? Apa dikau ada urusan penting dengan anak-anak SD? Anak-anaknya pun terlalu mungil untuk dikecengi," kejar Gusur.

Sedang Boim pilih nggak ngasih komentar. Tapi tadi waktu papasan sama seorang cewek kece, Boim sempat in action, "Maaf, Mbak. Sebentar...," ujar Boim bak ingin menanyakan sesuatu. Cewek kece itu menghentikan langkahnya. Menunggu-nunggu kali aja mo ditanya alamat atau apa gitu. Boim dengan saksama dan dalam Bobo yang sesingkat-singkatnya (jangan protes, dong. Tempo kan udah nggak ada!) memandangi cewek itu. Dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Udah gitu, dengan cuek ia berujar, "Ehm, udah, Mbak. Thanks, ya?"

Cewek itu jelas keki berat.

Ternyata niat Boim cuma mau lebih puas ngeceng.

Lupus jadi cekikikan.

Tapi Gusur tetap merengek. "Daku masih penasaran, Pus. Ada apa gerangan kita berangkat ke SD itu? Mau nantangan anak SD berantem, ya?"

"Ngaco! Kita mau liat sulap!" ujar Lupus.

"Sulap?" Gusur mendadak bersemangat. Doi kan ngefans banget sama acara sulap. Dan tokoh idolanya David Koperfield sama David Dompetfield. Gerrr.

"Jikalau begitu, marilah kita ke sana," ujar Gusur pada akhirnya. Boim sih manut aja.

Dan sekarang Lupus cs udah nyampe di SD 9 Petang. Gusur dan Boim sempat dituduh sebagai wali murid anak SD yang ke sekolah dalam rangka pelunasan uang bepe tiga. Boim dan Gusur jelas keki berat.

"Bersabarlah, kalian emang keliatan tua, kok!" ledek Lupus. Tadinya wajah Gusur masih diselimuti mendung. Tapi demi ditawari es celup, anak itu langsung sumringah. Sementara Boim malah asyik main gimbod sama anak-anak SD.

Sampai pas saat acara sulap, mereka langsung buru-buru nonton.

Tukang sulap memulai atraksi dengan sulap kecil. Kertas koran digulung-gulung dan ditiup, lalu jadi duit. Anak-anak SD tepuk tangan. Lupus ikutan. Sementara Boim dan Gusur serius ngeliatin bagaimana caranya. Soalnya mereka pengen banget bisa nyulap kertas jadi duit. Tapi mereka sempat protes kecil, gara-gara acara sulap itu diselingi iklan pensil ajaib.

"Adik-adik manis, pensil ini luar biasa banget. Bisa buat nulis, ngegambar, tapi juga untuk jimat. Adik-adik bisa ngalahin Ksatria Baja Hitam!" promosi tukang sulap itu.

Tanpa sadar, saking penasaran, Boim spontan nanya, "Caranya gimana, Bang?"

"Pertanyaan yang bagus. Eh, Adik kelas berapa? Kelas lima, ya? Pernah nggak naik kelas sepuluh kali, ya? Baik... baik... Adik ke sini dulu jadi peraga!"

Semula Boim menolak keras, bahkan sempet mangkel dituduh anak kelas lima SD. Tapi Lupus memaksa, "Ayolah, 1m. Nggak apa-apa," paksa Lupus sambil narik-narik tangan Boim.

Walhasil Boim nurut juga. Anak-anak SD langsung histeris kegirangan. Ada yang nekat ngerjain Boim dengan celetukan-celetukan kejam, "Ayo, Sarimin pergi ke pasar. Sarimin main bola," ujar anak-anak SD itu. Boim ngamuk-ngamuk.

Dan emang bener, Boim disuruh memperagakan jadi Ksatria Baja Hitam. Tadi doi sempet bangga bisa berperan sebagai Ksatria BH (jangan bikin singkatan sendiri, ah!). Tapi setelah tau hanya disuruh mangap dan nelen pensil, Boim kontan mengundurkan diri. Lupus, Gusur, dan anak-anak SD pada terus cekikikan.

Babak berikutnya adalah acara sulap yang lebih mendebarkan. Abang tukang sulap memulainya dengan yang agak ringan. Misalnya pentol korek api bisa nyala. Rahasianya? Hihihi, digesekkan di kotaknya yang mengandung fosfor. Tapi anak-anak masih bertepuk riuh. Sulap berikutnya lebih syerem. Seorang peraga kepalanya dibabat pakai pentungan besi. Tapi anehnya, si peraga itu nggak apa-apa. Rahasianya? Tadi ketika dibabat, si peraga itu sempet ngeles. Hehehe. Tapi anak-anak sukanya setengah mati.

"Wah, ini sih penipuan, Pus!" ujar Boim.

"Namanya juga sulap untuk anak SD," kilah Lupus singkat. Lalu mengajak temen-temennya pulang. Boim ngemil tahu goreng gocapan dua buah. Gusur berlari ke toilet SD. Dan akhirnya Lupus cs merasa bosan. Lupus sendiri cukup kecewa. Dia kemakan promosi Sumbul, anak tetangga yang masih sekolah di SD 09 itu. Dan Lupus percaya.

Tapi itu kan memang sulap khusus untuk anak-anak SD, batin Lupus sepanjang perjalanan pulang.

Dan belakangan ini Lupus emang lagi hobi jalan-jalan terus. Hari Minggu-nya Lupus udah meneror Aji, Boim, Gusur, dan Andri untuk liat pameran buku di Senayan. Tapi Aji dan Andri ngebatalin acara itu.

"Aduh, sori banget, Pus. Gue sih napsu banget pengen ikut, tapi gimana ya, mami gue minta dianterin ke salon. Sori, ya?" kata Andri ketika dihubungi per telepon sama Lupus. Aji juga ngebatalin pergi dengan alasan kucingnya opname di RS Hewan.

Duo sohib karibnya, Boim dan Gusur, juga bikin masalah. Gusur pagi-pagi banget udah bilang nggak jadi ikut karena engkongnya mendadak sakit flu campur panu. Gusur memberitahukan lewat pesawat pribadi. Doi kan punya merpati yang bisa disuruh nganterin surat. Bunyi suratnya:

“Sori, Pus, Gsr gak bisa ikut. Nenek gue, eh engkong gue skt krs. Harap pulang. Hihihi.

Gsr.”

Lupus geli sekaligus kecewa berat. Harapannya kini tinggal Boim. Semoga nggak terjadi hal buruk yang menimpa anak ajaib itu, doa Lupus.

Dan kini Lupus nyamperin Boim. Kata nyaknya, Boim masih bobo. Tapi pas dicari-cari di kamarnya, nggak ada. Lupus hampir putus asa.

Tapi alhamdulillah, pada akhirnya anak ajaib itu ditemukan dengan sukses tidur di atas rak piring,

“Im, Im, bangun," ujar Lupus sambil mengguncang-guncang tubuh Boim. Ada kali tiga piring jatuh dan pecah. Boim cuma ngulet aja. Pas diguyur air seciduk, Boim malah makin pules. Mungkin dia mimpi maen ujan-ujanan.

Lupus jadi frustrasi. Ia melangkah gontai ke halaman depan. Di halaman, malah dicegat sama abangnya Boim yang lagi asyik ngelinting rokok kaung. Begitu liat Lupus, tu abang langsung ngomong, "Pus, kata Boim lu pinter tebak-tebakan. Sekarang Abang tebakin, apa yang luarnya mulus tapi dalemnya keriput?"

Lupus sempet ragu. Gak biasanya Abang ngajak tebak-tebakan begitu. Tapi Lupus tetap menjawab, "Wah, kan itu gampang banget, Bang. Nenek-nenek naik taksi!"

"Kuno, Pus. Jawaban anak esde!" ejek Abang.

"Abis apaan, Bang?"

"Kakek-kakek naik taksi, hihihi...," Abang tertawa penuh kemenangan. Lupus jadi sebel.

Dan kini ceritanya tinggal Lupus naik bus ke Senayan sendirian. Lupus gelantungan sampai tangan dan kakinya kesemutan. Penumpang terus berdesakan, hingga suatu ketika secara nggak sengaja Lupus nginjek kaki cowok yang berwajah syerem.

"Hei, ati-ati dong. Mata kamu ditaruh di mana sih? Tau nggak kaki gue abis kesandung Baby Benz!" bentak cowok itu.

"Maaf, Mas, nggak sengaja!" ujar Lupus melas. Tapi cowok itu terus melotot. Lupus jadi ngeper banget. Ya, inilah saatnya bisa ngerasain betapa pentingnya kawan itu. Coba kalo ada Gito Gilas, Aji, Boim, Gusur, pasti mereka bakal sukarela ngebantuin. Kayak dulu, waktu Lupus mau ribut-ribut sama anak kompleks tetangga, Gusur membela Lupus. "Tenang aja, Pus, pokoknya kalo ada apa-apa bilang aku. Andai kau dikeroyok oleh anak-anak jelek kompleks tetangga, daku tak bakal tinggal diam!"

"Lo mau ngebelain sampai titik darah penghabisan?" sela Lupus terharu.

"Andai kau dikeroyok, daku tak akan tinggal diam, tapi akan kutinggal lari," sambung Gusur kalem.

Lupus gondok.

Dan kini dengan tiadanya teman-teman Lupus di sisinya, Lupus baru menyadari betapa berartinya seorang teman, Sementara seorang cowok dengan tatapan penuh ancaman tetap mengiringi bus kota yang merayap di tengah kemacetan. Soal kemacetan lalu lintas, Lupus sempet geli mendengar teori Boim. "Cara mengatasi kemacetan lalu lintas itu gampang. Buatlah jalan yang lebarnya melebihi panjang jalan itu. Hihihi..."

Tapi Lupus punya teori lain. "Sebetulnya apa sih yang menyebabkan kemacetan? Lampu merah, kan? Kalo gitu jangan ada lampu merah. Lampu ijo aja terus..."

Pas udah deket Senayan, apesnya Lupus, secara nggak sengaja nginjek kaki cowok itu lagi.

Cowok yang ternyata anak STM NASA itu makin melotot. Lupus udah berusaha minta maaf dan ngasih konfrensi pers secukupnya, tapi anak itu tetap nggak peduli. Sebelnya udah naik ke ubun-ubun.

"Lo anak mana sih? Turun kalo berani!" tantang anak itu. Lupus masih berusaha cuek. Ngapain ngeladenin orang yang kalo dilayani jelas bikin gue babak belur, kata Lupus dalam ati.

"Banci lo, pengecut lo! Ayo turun kalo berani!" bentaknya sambil narik kerah baju Lupus.

Lupus jadi tersinggung berat. Gue laki-laki, batinnya ketus.

"Boleh, turun!" Lupus udah panas.

Cowok itu meloncat duluan. Saking buru-burunya, dia nggak nyadar kalo bus udah melaju cukup kenceng. Anak itu terjatuh terguling-guling. Lupus baru turun beberapa meter di depannya, ketika bus menepi. Ternyata anak itu pingsan. Dia banyak ngeluarin darah. Lupus panik. Lupus buru-buru nyegat taksi. "Rumah Sakit, Pak!"

Dan membawa anak itu masuk ke dalam taksi.

***

"Adik siapa?" tanya perawat cantik, pas Lupus sudah berada di rumah sakit.

"Lupus."

"Maksudnya, apa hubungannya sama anak yang sakit ini?" kata perawat itu rada ketus.

Lupus sempet garuk-garuk.

"Oh! S-saya temennya...."

Anak itu pun dibawa masuk ke Ruang Gawat Darurat. Lupus disuruh nunggu di luar. Lupus harap-harap cemas. Aduh, mana dia nggak tau rumah anak itu lagi. Dia sih pake acara ngajak berantem segala! Pake narik kerah baju lagi. Kualat kan jadinya! batin Lupus.

Mau nggak mau Lupus terpaksa nungguin hingga anak itu siluman, eh, siuman. Setelah ditunggu beberapa lama, pintu Ruang Gawat Darurat terbuka. Perawat yang cantik keluar. Secara refleks Lupus bangkit dan langsung menghampiri perawat itu. "Gimana, Suster, laki-laki apa perempuan?"

Perawat itu bengong, "Apanya?"

Lupus segera sadar. "Eh, oh, kok gue jadi grogi sih. Ehm, itu... apa lukanya parah?"

"Nggak apa-apa. Hanya luka ringan. Sekarang kamu boleh nemuin dia di dalam!" jelas perawat itu. .

Lupus nurut. Lalu mindik-mindik (tau mindik-mindik nggak? Kalo nggak tau, dikirim ke SLB, lho, hihihi!) memasuki ruangan anak itu.

Lupus sempet kaget ketika masuk, anak itu sudah bisa duduk.

"Hai!" ujar anak itu.

Lupus nyengir. "Gimana?"

"Oke-oke aja. Thanks ya udah nolong...."

"Nggak apa-apa. Kalo lo nggak jatuh, mungkin gue yang udah masuk ruman sakit!"

Anak itu ketawa. "Ya, nanti gue kan yang bawa elo ke rumah sakit! Hihihi.... Eh, sini, deh!"

Lupus mendekat. Tapi, bughgt! Sebuah pukulan bersarang di perut Lupus. Lupus kaget.

"Apa-apaan nih?" Lupus memegang perutnya.

Anak itu tertawa. "Itu ucapan terima kasih gaya anak STM NASA. Hahaha...."

5. SEBUAH RUMAH YANG BESAR

KAMU kan tau, ya. Salah satu hobi Lupus yang boleh dibilang positif adalah: baca. Ya, dia emang hobi banget baca kalo waktu senggang. Apaan aja dibaca. Bakat ngebaca Lupus udah kentara sejak kecil. Waktu baru bisa baca, saking demennya baca, semua tulisan ia baca. Ada spanduk di jalan, ada iklan di billboard, ada pengumuman, bahkan papan nama orang juga ikut dibaca. Yang belakangan ini ada kejadian kocak. Waktu lewat papan nama yang bertuliskan "Dokter Jafar-Spesialis Penyakit Dalam", Lupus yang waktu itu masih enam tahun, dengan lantang berteriak-teriak, "Dokter Jafar! Dokter Jafar!" Walhasil yang empunya nama keluar sambil marah-marah bawa jarum suntik. Si Lupus langsung lari tunggang-langgang.

Nah, hobi ngebaca ini yang keterusan sampai sekarang. Di kamar Lupus, deretan novel terjemahan karya John Grisham sampai Donal Bebek juga ada. Dan di antara deretan buku yang ia baca, Lupus paling suka baca buku detektif Sherlock Holmes. Semua serinya ia lalap abis. Dan adat jelek Lupus, begitu abis baca sesuatu, ia langsung ingin jadi tokoh seperti jagoan di buku itu.

Maka jangan heran kalo siang itu ia sibuk bikin papan nama di depan rumahnya.

"Buat apaan, Pus?" tanya Lulu, heran ngeliat kakaknya sibuk banget.

"Saya mau jadi detektif partikelir," jawab Lupus.

"Detektif tukang kelir?"

"Partikelir!" bentak Lupus.

"Apaan tuh?"

"Detektif swasta, seperti Sherlock Holmes!" ujar Lupus sambil menempelkan papan nama di pekarangan depan. Tulisannya: "Lupus-Detektif Partikelir. Memecahkan segala macam misteri sampai tuntas!"

Lulu geleng-geleng kepala.

"Apa laku bikin begituan?"

"Liat aja nanti....”

Dan berita kalo Lupus jadi detektif, langsung nyebar di sekolah. Boim langsung daftar jadi pasien, dengan masalah: bagaimana memecahkan misteri hati si Nyit-Nyit, cewek pujaannya, Gusur nggak ketinggalan minta dipecahkan masalah nafsu makannya yang makin menggila, tak seiring dengan uang sakunya yang makin dari si Engkong. Tapi Lupus nggak begitu aja nerima pasien. Seperti juga Sherlock Holmes, Lupus hanya mau memecahkan misteri yang benar-benar rumit, dan menarik perhatiannya. Katanya, kalo soal ngerebut simpati cewek, atau mengatasi nafsu makan gila-gilaan sih masalah sepele. Pemecahannya hanya satu: kesadaran!

Dan setelah diseleksi, ternyata kasus Paul, salah seorang temennya yang pindahan dari Bandung, yang menarik minatnya. Maka Paul pun diundang datang ke rumah Lupus, dan mulai menceritakan masalahnya,

Lupus mendengarkan dengan tekun.

"Sore itu, Pus," ujar Paul memulai ceritanya, "ati gue rada kecut ketika membuka dompet gue yang mahatipis. Gila! Cuma ada sehelai sepuluh ribuan doang. Padahal akhir bulan masih panjang, Pus. Gimana bisa bertahan hidup? Gue kan perantauan di sini. Biasanya gue masih bisa menyambung hidup dengan ngajarin anak-anak ABG yang pada keranjingan main skateboard di Senayan. Kebetulan waktu di Bandung dulu, gue maniak main papan luncur itu. Dan sampai sekarang, meski cuma latihan pake papan penggilesannya si bibik, gue masih jago. Dan waktu gue pamerin kebisaan gue di Senayan, banyak ABG yang terkagum-kagum. Dan langsung minta diajarin. Nah, mumpung butuh uang, gue langsung pasang tarif. 'Boleh diajarin asal pada bayar, Ditanggung sebulan lancar.'

"Ternyata banyak yang berminat. Buat anak-anak orang kaya yang ngeluarin duit segepok dari dompetnya itu segampang nyabut bulu ketek, tentu nggak problem membayar gue asal bisa nggak ketinggalan zaman. Maka teballah kantong gue.

"Kadang-kadang sih, pas ngajarin anak-anak, gue suka geli sendiri. Tu anak ABG dandanannya pada heboh banget. Mereka ikut-ikutan pake celana jins kedodoran, hingga belahan ketapel di ujung pantatnya pada keliatan. Katanya emang begitu mode celana skate-boarding. Gue pernah nyoba, malah jadi sibuk narik-narik celana yang kedodoran dan nggak bisa konsen main skate-board. Akibatnya gue nyusruk dan jadi bahan ketawaan. Sialan!"

Lupus ikutan ketawa, "Terusin, Ul!"

"Nah masalahnya, anak-anak ABG itu sekarang lagi sibuk. Ada yang ulangan umum, mau ujian, dan lain-lain. Hingga arena per-skate-board-an jadi rada sepi. Dan cekaklah kantong gue.

"Kalo cuma cekak sebetulnya no problem. Soalnya gue kan di Jakarta ini nebeng tinggal sama tante gue. Jadi makan-minum-tidur, gratis! Yang jadi masalah, Karin, cewek gue itu, lagi ngambek dan ngancem mau mutusin. Gara-gara malam taun baruan kemaren, gue diajakin temen-temennya naik gunung. Gue oke aja. Padahal Karin pasti nggak bakal ngizinin. Tapi gue udah dua taon nggak pernah hiking. Walhasil, gue kena ancam mau diputusin. Wah, bener-bener pusing.

"Padahal, lo tau sendiri, Pus, kan punya pacar itu hiburan yang paling irit. Paling cuma nongkrong, nyegat bakso lewat, ngobrol, dan itu udah bikin bahagia. Kalo nggak ada pacar? Bisa suntuk malem Minggu. Mau nonton duit cekak, apalagi mau nyari labaan di mall, bisa keluar modal banyak.

"Gue pusing tujuh keliling.

"Lagi pusing-pusing begitu, iseng aja gue ke Senayan. Sambil denger walkman hadiah dari temen gue waktu ke Jepang, gue jalan-jalan. Gue saat itu ngedengerin kaset Offspring punya si Karin. Walkman gue, saking canggihnya, malah suka bikin kesel sendiri. Soalnya tombolnya sensitif, dan kalo lagi keburu-buru suka kepencet record, hingga beberapa kaset gue ada yang suaranya tiba-tiba ngilang, berganti suara teriakan gue yang lagi manggil-manggil tukang bakso.

"Lagi asyik-asyiknya jalan, tiba-tiba ada seorang cowok menegur, sambil berdiri di atas skate-board, 'Hei, lo yang jago main skate-board itu, kan?'

"Gue kaget. Secara refleks gue matiin tombol walkman.

"’Apa?'

"'Lo yang jago main skate-board itu, kan?'

"Gue tersenyum sedikit. Ah, biasa-biasa aja.'

"'Nggak usah ngerendah. Gimana kalo kita tanding? Pake taruhan!'

“'Taruhan?'

“'Iya, berani, nggak?' cowok itu nantangin.

'Lima puluh ribu!'

"'Lima puluh ribu?' Gue melotot. 'Gue nggak punya duit!'

" Alaaah, itu kan ada walkman. Bisa dilego dulu!'

"Gue mengangkat bahu. 'Wah, tapi gue nggak bawa skate-board!'

"'Gue ada satu lagi, di mobil. Yuk, ambil..,'

"Tanpa menunggu persetujuan gue, cowok itu langsung menarik tangan gue. 'Oya, nama gue Agam. Lo siapa?'

"'Paul.'

“'Oke. Kita taruhan?'

"Gue berpikir sebentar. Sebetulnya asyik juga taruhan begini. Mumpung lagi nggak punya uang. Tanding skate-board, lagi! Selama ini setau gue, belum ada yang lebih jago main skate-board dari gue.

"Maka nggak lama kemudian, kita siap-siap tanding di medan yang lumayan gawat. Menuruni tangga kolam renang, lewat jalanan nggak rata dan adu cepat di jalan beraspal.

"Gue yakin bakal menang. Tapi belum sampai garis finish yang telah kita sepakati bersama, tiba-tiba hujan deras turun. pertandingan terhenti.

"Agam dan gue jadi tunggang-langgang melarikan diri ke mobil Agam. Kata Agam kemudian, , Ah, gue masih penasaran nih. Kita kudu ngelanjutin tanding di rumah....'

"Gue ketawa, 'Penasaran?'

“'Iya-lah!'

"Gue jadi mo ketawa. Kalo ada yang harus penasaran, harusnya kan gue. Soalnya tadi gue udah hampir menang. Jadi nggak ada salahnya main ke rumah Agam. Mumpung nggak ada kerjaan. Maka ketika Starlet Agam meluncur membawa gue, gue nggak keberatan sama sekali.

"Dan kamu tau, Pus, rumah Agam ternyata besar. Amat besar. Halamannya luas, dan terlindung pagar tembok yang tinggi. Gue sampai bengong sendiri ngeliatin rumah itu.

“'L-lo tinggal di sini, Gam?' tanya gue.

"Agam mengangguk, lalu siap-siap menurunkan skate-board-nya. Gue masih mengagumi sekeliling.

"'Rumah sebesar ini milik orangtua lo?'

"Agam ketawa, 'Enggak. Gue tinggal sama oom gue. Ini rumah kos-kosan...:

“'Kos-kosan?' Gue terbelalak. 'Mewah banget?

Kayak di Melrose Place. Berapa sebulannya?'

"Agam ketawa lagi. 'Itungannya bukan bulanan.'

"'Tahunan?'

“'Bukan. Harian.'

"'Harian?' Gue kaget. 'Jangan becanda kamu!'

'Nggak kok. Malah ada yang jam-jaman.'

"Gue makin melotot. Kos-kosan model apaan nih?

"Saat itu datang seorang cowok berbadan tegap. Jalannya gagah. Pake celana jins dan kaus oblong putih. Agam menegurnya, 'Thur, abis lembur nih?'

"Cowok itu mengangguk dan berkata sambil melirik ke arah gue, 'Siapa itu, Gam? Barang baru?'

"Gue bengong. Kok gue dianggap barang?

"Agam nggak menggubris cowok tegap tadi yang terus senyum-senyum. Ia berkata pada gue, 'Paul, kita nunggu ujan reda dulu. Masuk yuk ke dalam?'

"Dengan ragu gue mengikuti Agam masuk ke rumah mewah itu dari pintu samping. Dari jendela besar, gue melihat beberapa cowok mengobrol di ruang duduk, sambil bercanda-canda.

“'Ini kos khusus cowok, ya, Gam?' tanya gue lagi.

"Agam mengangguk sambil terus berjalan melewati taman samping, Lalu masuk ke ruang duduk dari pintu belakang. Gue dikelilingi para penghuni asrama khusus cowok itu. Pandangan mereka nampak aneh di mata gue. Seperti ada sesuatu yang kurang beres. Belum lagi otak gue sanggup menganalisa, tiba-tiba terjadi hiruk-pikuk yang amat heboh. Sejumlah polisi tiba-tiba saja menyergap rumah itu dengan serangan kilat. Suasana jadi kacau-balau. Beberapa cowok yang tadi duduk-duduk, berusaha menyelamatkan diri. Gue juga tak sempat berbuat apa-apa ketika tiba-tiba disuruh tiarap dan diseret ke mobil tahanan.

"Nalar gue belum sempat bekerja sempurna ketika gue ikut dibawa mobil tahanan menuju kantor polisi. Gue kaget setengah mati, Apa yang terjadi?

"Singkat cerita, gue akhirnya diinterogasi polisi.

"Polisi itu menatap gue dengan wajah setengah mengejek. 'Jadi Saudara benar-benar tidak tau kalau rumah itu rumah bordil kelas atas? Yang mensuplai pria-pria penghibur? Saudara juga tidak tau kalau tempat itu juga tempat klub gay?'

"Gue memandang polisi itu dengan wajah putus asa. 'Bener, Pak. Saya benar-benar nggak tau. Saya ke situ hanya mau main skate-board!'

"'Main skate-board? Kenapa harus ke rumah itu? Kenapa nggak di jalanan aja?'

"Gue menghela napas. 'Begini, Pak. Saya jelasin dari awal...' Gue kemudian bercerita tentang kejadian yang sebenarnya. Seperti yang udah gue ceritain ke elo, Pus,

"Data penghuni rumah itu, ditambah bukti-bukti yang memang tidak memberatkan, membuat gue akhirnya dibebaskan. Tapi itu bukan akhir dari kesialan gue. Begitu melangkah keluar dari kantor polisi, Karin udah menunggu dengan wajah amat garang.

"'Gue baru tau siapa lo sebenernya! Dasar! Plak! Plak! Tamparan pedes bolak-balik bak fotokopi mendarat di wajah gue. Gue bengong. Kok si Karin bisa tau the whole story? Astaga, jangan-jangan wajah gue dimuat di tabloid gosip yang menulis besar-besaran soal penggerebekan itu! Oh, my God!

"'Saya jijik sama kamu! Sekarang keputusan saya udah bulet. Kita putus. Tus!' Karin langsung membalikkan badannya dan pergi dengan gagah.

"Gue bengong. Menatap Karin. Waduh, apa-apaan ini pergi tanpa mendengar penjelasan gue dulu? Tapi gue yakin, itu hanya emosi sesaat, Karin pasti nyesel sama sikapnya nanti.

"Dan tiba-tiba Karin menghentikan langkahnya. Gue tersenyum tipis. Gue udah yakin, anak itu nggak akan tega ninggalin gue. .

"Dan Karin kembali berdiri tegak di hadapan gue.

"Gue udah siap-siap menerima permintaan maaf Karin. Tapi ternyata....

“'Mana kaset Offspring saya? Sini balikin!' ujar Karin ketus.

"Gue kaget. Lalu buru-buru membuka buntelan barang yang tadi dititipin di polisi. Kaset Offspring Karin gue balikin. Lalu Karin pergi tanpa menoleh-noleh lagi.

"Gue lagi-lagi bengong.

"Sampai di rumah gue juga masih bengong. Gue merasa nggak diperlakukan dengan adil. Padahal gue paling benci sama yang namanya ketidakadilan. Yang sekarang udah biasa terjadi di mana-mana. Orang-orang tua kita sekarang kan banyak yang nggak adil. Ekonomi negara kita aja hanya dikuasai oleh beberapa orang yang punya hubungan dengan penguasa. Yang kaya, yang itu-itu aja. Ini kan nggak adil. Nanti di mana jatah kita, anak-anak muda yang penuh harapan ini? Kita paling cuma bisa jadi kroco. Segimana pun pintarnya kita, tetap nggak ada kesempatan. Nah, makanya mumpung kita lahir pada generasi berikutnya, kita kan harusnya bersikap adil. Biar rezeki bisa merata. Semua kebagian kesempatan. Aduh, kok gue jadi kuliah, ya, Pus?

"Abis gue kesel, Pus. Sekarang gue malah diperlakukan tidak adil. Gue perlu membersihkan diri. Masa Karin tega nuduh gue pelacur laki-laki? Masa Karin tega nuduh gue gay? Ini kan harus dilurusin....

"Nah, makanya gue minta advis sama lo, Pus. Katanya lo bisa nolong. Apa yang harus gue lakukan sekarang?".

Paul lalu keausan abis cerita panjang-lebar. Ia minum. Sementara Lupus masih terkagum-kagum sama kisah seru si Paul ini.

Tiba-tiba aja Lupus dapet akal. "Kenapa lo nggak nyari si Agam aja?"

"Agam?" Paul tersedak.

"Iya. Agam-lah satu-satunya yang bisa dijadiin habibi," ujar Lupus mantap.

"Habibi? Alibi kali?"

"Eh, iya. Alibi. Atau bukti, atau saksi atau apalah namanya untuk ngebersihin nama lo. Lo harus ngebawa si Agam ke hadapan Karin, untuk menjelaskan bahwa lo memang hanya ingin bertanding skate-board di rumah itu!"

"Aduh, gue trauma banget ketemu Agam lagi. Dan lagi di mana mencari Agam? Masa harus ke rumah bordil itu lagi? Rasanya gue nggak bakal sudi menginjak rumah yang telah bikin gue sengsara, Nggak sudi."

"Tapi nggak ada jalan lain, Ul!"

"Tapi gimana kalo pas gue datang ke rumah itu, Karin ngeliat gue lagi? Dia bakal makin curiga!"

"Tenang deh. Gue temenin. Ayo, kita berangkat!"

Dengan ngilangin perasaan macem-macem, akhirnya di tengah malam buta, Paul dan Lupus menyatroni rumah itu,

Keadaan rumah besar itu kini amat lengang, setelah sang muncikari ditahan polisi. Paul dan Lupus melangkah ke dalam. Seorang cowok yang lagi ngerokok di teras samping, menatap mereka dari atas sampai bawah, Paul jadi salah tingkah sendiri.

"S-saya mau ketemu Agam......

Cowok itu tersenyum menjijikkan. Paul menahan geram atas reaksi yang diberikan cowok itu, Pasti cowok itu berpikir yang macem-macem. Paul tak peduli. Ia harus ketemu Agam.

"Ada perlu apa?" tanya cowok itu sambil menyipitkan matanya.

"Saya nggak bisa ngejelasin ke Anda. Tapi saya harus ketemu dia...."

Cowok itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan dengan nikmat, "Kangen?"

Paul melotot.

"Sayang sekali, sejak kejadian kemaren itu Agam kapok. Ia baru saja pulang......

"Pulang ke mana?" Paul terkejut.

"Ke Semarang. Ke rumah orangtuanya...."

Paul langsung lemes. Lupus ikut-ikutan lemes.

"Tapi jangan putus asa. Semarang kan nggak jauh. Kirim surat juga bisa kalo kangen. Naik pesawat juga cuma satu jam."

Paul tak sudi mendengarkan satu kata pun dari cowok itu. Ia langsung menarik tangan Lupus untuk pergi dari situ. Terdengar cowok itu tertawa menyakitkan.

"Tuh, Pus. Mana gue tahan diperlakukan kayak gitu!"

"Tenang, Paul. Tenang...."

"Sekarang gimana lagi, Pus?"

"Kita pergi dulu dari sini sambil mikir langkah selanjutnya."

Mereka berjalan ke jalan depan rumah besar itu. Tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Paul dan Lupus menoleh ke arah taksi itu. Dari dalam taksi, nampak Agam turun. Paul terkejut, dan langsung berlari menghampiri Agam. "Agam!"

Agam terkejut melihat Paul datang menghampirinya. Lebih-lebih lagi melihat Paul membawa Lupus.

"Paul? Ngapain ke sini?"

"Katanya lo pulang ke Semarang?"-

"Iya, tadi ada barang gue yang ketinggalan!"

"Agam, lo harus ikut gue sekarang juga! Lo harus ngejelasin ke pacar gue kalo waktu itu lo ngajak gue ke sini untuk main skate-board!"

"Tapi gue buru-buru. Gue harus balik ke Semarang! Pesawatnya besok pagi. Malam ini gue nginep di rumah tante gue di Pejompongan!"

Paul menarik kerah baju Agam. Agam terkejut. "Harus! Lo harus ikut gue sekarang! Gara-gara lo gue ditangkep polisi!"

Agam mau membela diri, tapi pas Lupus ikut-ikutan mendekat, ia jadi mengurungkan niatnya.

Agam langsung diseret masuk ke dalam taksi oleh Paul dan Lupus. Paul segera menepuk pundak sopir taksi. "Ke Panglima Polim, Pak!"

Agam terkejut. "Mau ke mana kita?"

"Ke rumah Karin. Cewek gue!"

Dan malam itu, pukul sebelas, Paul menggedor rumah. Karin. Karin keluar pakai daster dengan muka kusut plus rambut awut-awutan. Wajahnya kesal luar biasa.

"Gila apa kamu, namu malam-malam begini?" ujar Karin sengit.

"Sori, Rin, terpaksa. Soalnya Agam, temanku ini, akan balik ke Semarang besok pagi-pagi sekali!"

Karin menatap Agam tajam. "Apa hubungannya dengan saya? Siapa dia?"

"Agam,"

"Yang satu ini siapa?" Karin menunjuk Lupus.

"Lupus. Detektif swasta yang menangani kasus saya ini...."

"Macem-macem aja! Yang beginian dijadiin detektip. Kalo tukang intip sih iya!"

Lupus melotot. Tapi Paul buru-buru membawa ke pokok persoalan sebenarnya. Paul menoleh ke Agam. "Agam, ayo jelasin apa yang terjadi malam itu pada Karin. Jelasin kalau saya emang bener-bener mau tanding skate-board di situ, Dan saya nggak tau-menau soal status rumah itu. Dan saya bukan... pokoknya jelasin...."

Agam bengong.

Karin menatap Paul tajam. "Kenapa saya harus denger penjelasan dia? Dia kan temen kamu. Kalian bisa aja sekongkol. Apalagi ada si Lupus yang doyan jengko1!"

"Sekongkol bagaimana?" teriak Paul.

"Doyan jengkol bagaimana?" Lupus ikut-ikutan teriak.

Paul menjelaskan. "Dia ini cowok yang kerja di situ. Dia salah satu anak buahnya. Mana mungkin saya sekongkol dengannya. Ayo, Agam, jelaskan!"

"Oke, oke, saya akan jelaskan," ujar Agam sambil mengedipkan sebelah matanya pada Paul. Paul jadi belingsatan. "Karin yang manis, cowok kamu itu emang datang ke rumah itu. Dia sering main ke sana, karena dia naksir saya waktu ketemu main skate-board di Senayan...."

"APA?" Paul terkejut.

Karin melotot. "Ooo, gitu, ya? Kalian memang cocok. Saya nggak mau mengganggu hubungan kalian!" Brak! Pintu rumah Karin dibanting.

Paul dengan geram hendak mencekik Agam. Agam berteriak-teriak minta tolong.

***

Kasus pertama buat Lupus terbilang gagal. Paul jadi frustasi.

"Ah, gue nyerah, Pus...."

“Jangan dong. Gue lagi nyari akal selanjutnya nih. Kasus pertama buat gue ini nggak boleh gagal. Bisa ancur karier gue...."

"Abis mau gimana lagi? Karin kayaknya makin nggak percaya sama gue...."

"Tenang dulu, Ul. Gue lagi mikir nih...."

Dan tak terasa seminggu telah berlalu. Pintu hati Karin tetap tertutup untuk menerima penjelasan Paul. Paul sampai putus asa, karena tak ada lagi harapan buat dia. Agam sudah kembali ke Semarang, rumah besar itu sudah ditutup oleh yang berwajib, dan nama Paul masih tetap tercela. Ia tetap diperlakukan tak adil. Dan Lupus masih belum sukses meniru jejak Sherlock Holmes.

Paul beberapa kali datang ke rumah Karin, menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Tapi Karin tak bergeming. Anak itu kayaknya udah keilangan kepercayaan sama Paul. Dan bagi Karin, kalo seorang cowok itu udah nggak bisa dipercaya lagi, berarti goodbye is forever and ever.

Karin emang keras kepala.

Soalnya ia anak tunggal, yang biasa dipenuhi segala kebutuhan sehari-harinya. Jadinya keras kepala banget.

***

Siang itu, sepulang sekolah, Karin merebahkan diri di kasur kamarnya yang empuk. Sambil menerawang ke langit-langit kamarnya, tiba-tiba ia ingat mantan cowoknya. Si Paul itu.

Sebetulnya sayang juga anak keren yang jago skate-board begitu diputusin. Karin dulu paling suka ngeliatin Paul main skate-board di Senayan. Rasanya kayak ngeliat orang main surfing. Soalnya Paul bisa melompati gundukan-gundukan tanah, atau menuruni anak tangga. Menari-nari dengan lincah di atas papan luncurnya.

Karin memejamkan matanya. Ia kesal. Ia tak menyangka Paul ternyata brengsek. Hatinya pedih. Kecewa. Mana sebelumnya Paul telah membuatnya kesal ketika ia naik gunung di malam Tahun Baru tanpa bilang-bilang dulu.

Karin menghela napas. Tapi bayangan Paul tak kunjung sirna. Tiba-tiba aja ia ingat kaset Offspring-nya yang dipinjam Paul. Lagu Come Out and Play jadi favorit Paul. "Liriknya bagus," komentar Paul waktu itu. "Otokritik pada dunia remaja!"

Karin udah lama nggak denger lagu itu. Maka ia pun sibuk mencari-cari kaset Offspring di tumpukan. Pas ketemu, ia langsung menyetel Come Out and Play. Nada riang Offspring langsung mengumandang. Lagu itu biasa dipakai Paul kalo lagi main skate-board. Imajinasi Karin bermain-main mengejawantahkan sosok Paul di atas papan luncur.

Sedang asyik-asyik mendengar, tiba-tiba lagunya terputus. Terdengar dialog dua orang cowok. Karin kaget dan kesal. Itu pasti kebiasaan buruk Paul, suka nggak hati-hati menekan tombol. Kasetnya jadi kena rekam. Keapus. Tapi tiba-tiba dialog dua cowok itu menarik perhatiannya. Itu suara Paul. Tapi siapa cowok yang satunya lagi?

Karin mendengarkan.

"Lo yang jago main skate-board itu, kan?"

"Ah, biasa-biasa aja."

"Nggak usah ngerendah. Gimana kalo kita tanding? Pake taruhan!"

"Taruhan? "

"Iya, beran; nggak? Lima puluh ribu!"

"Lima puluh ribu? Gue nggak punya duit!"

"Alaaah, itu kan ada walkman. Bisa dilego dulu."

"Wah, tapi gue nggak bawa skate-board!"

"Gue ada satu lagi, di mobil. Yuk, ambil...."

"Oya, nama gue Agam. Lo siapa?"

Agam? Karin terkejut. Itu kan cowok yang waktu malam-malam diajak Paul kemari untuk menjelaskan masalah? Karin melanjutkan mendengar kasetnya. Terdengar suara orang bermain skate-board, dan suara hujan yang tiba-tiba turun.

"Ah, gue masih penasaran nih. Kita kudu ngelanjutin tanding di rumah...."

"Penasaran? "

"Iya lah!"

Suara tape terputus. Pitanya habis, Karin tercenung. Kaset itu berisi rekaman kejadian yang sebenarnya, yang terekam secara nggak sengaja oleh Paul. Karena anak itu mungkin salah mencet tombol stop jadi record.

Kaset itu menjadi bukti kebenaran cerita Paul!

Karin langsung berdiri dengan wajah cerah,

***

Paul sedang latihan skate-board di halaman depan rumah tantenya, ketika tiba-tiba ada seorang cewek menubruknya dari belakang. Langsung memeluknya.

Paul kaget, dan membalikkan badan. "Karin?"

Paul melongo.

"Iya, Sayang. Kenapa? Kaget?"

"Karin?" Paul masih melongo seperti orang bego,

Karin langsung mencium pipi Paul. "Muh! Kamu emang cowok Karin yang bisa dipercaya...."

Karin lalu menarik tangan Paul untuk mengajaknya pergi. "Ayo kita makan pizza buat ngerayain hari come-back kita...."

Paul pasrah aja tangannya ditarik Karin. "T-tapi kenapa, Rin? Kok kamu tiba-tiba..."

Karin menutup mulut Paul dengan jari lentiknya, "Udah, ah, jangan banyak nanya. Mau, nggak?"

Paul tentu mengangguk senang, meski hatinya tetap heran.

Saat itu Lupus dateng. Wajah Lupus nampak cerah,

"Paul! Gue udah nemu metode baru lagi!!!"

Dan Lupus langsung bengong ngeliat Paul udah menggandeng tangan Karin.

Paul tersenyum. "Pus, nggak usah repot-repot, Karin udah balik ke gue lagi kok!"

"Iya, kamu temen yang baik. Ayo, ikut makan pizza!" ajak Karin menggaet tangan Lupus.

"Tapi kok?" Lupus masih heran,

"Udah, nggak usah banyak nanya!" Paul tersenyum sambil melirik ke arah Karin.

Paul dan Karin menarik tangan Lupus.

Lupus masih penasaran. "Tapi lo nggak mau denger metode baru gue dulu?"

"Sssst!" Paul menyuruh Lupus diam. "Buat apa lagi? Kasusnya udah selesai kok!"

Lupus pun nggak berdaya ditarik sepasang anak muda itu.

***

Siang itu nampak Lupus lagi mencabut papan nama di depan rumahnya, Sementara Lulu dari tadi cekikikan terus.

"Kenapa dicabut lagi, Pus? Usahanya gagal?"

Lulu buru-buru kabur ketika melihat Lupus siap-siap melempar Lulu pake papan nama itu. Lulu berlari sambil cekikikan.

6. BORO-BORO BALIK MODAL

Lupus baru pulang dari sekolah. Ia melewati ruang duduk, tempat Lulu lagi asyik makan siomai. Lulu cekikikan waktu ngeliat Lupus lewat. Ia masih geli ngeliat Lupus gagal jadi Sherlock Holmes, Lupus sih udah cuek. Gagal itu biasa, kilahnya. Gagal itu kan sukses yang nggak kesampaian.

Lupus lagi membuka tudung saji untuk melihat makanan apa yang bisa ia lahap siang itu, ketika Mami dateng sambil bawa adonan kue.

"Pus, tadi ada surat dari Tante Titu. Mami taruh di atas kulkas, tuh!"

"Tante Titu?" Lupus langsung inget sama kakaknya Mami yang hobi ngarang cerita anak-anak itu, Padahal Tante Titu itu nggak punya anak. Ya, ungkin karena terobsesi pengen punya anak, ia jadi bikin cerita. Ngapain Tante Titu ngirim surat buat dia? Tumben-tumbenan.

Lupus duduk di meja makan. Ia siap menyantap perkedel plus sop ayam. Mami mengambil surat dari atas kulkas, dan menyodorkannya ke Lupus.

"Nggak kamu baca dulu, Pus? Siapa tau penting," kata maminya.

"Nanti aja deh...."

"Eeee, Mami udah penasaran nih pengen tau isinya...."

"Kok Mami yang penasaran sih?"

Tak urung Lupus membuka surat itu. Mami duduk di sisi Lupus, Menunggu dengan tak sabar.

"Apa isinya, Pus?"

"Surat."

"Iya, Mami tau. Isinya pasti surat. Tapi bunyi suratnya apa?"

Lupus membaca sejenak.

Lalu melonjak girang. "Gileee, Tante Titu sama Oom Surya diundang workshop ke Amerika selama tiga minggu! Mereka mau ngajak Lupus!"

"Apa?" Mami kaget.

"Dan katanya, Lupus boleh bawa temen, karena Tante Titu punya jatah yang cukup banyak!"

Lulu yang tadinya cuek, jadi tertarik. "Lulu ikut doooong!"

"Mami juga boleh ikut?"

"Nggak bisa. Karena katanya yang boleh ikut workshop yang punya bakat nulis. Mami kan nggak bakat nulis. Lulu apalagi, bakatnya macul!"

"Yeee, Lulu bisa juga nulis!"

"Nulis surat putus cinta sih iya! Kamu kan nggak bakat ngarang cerita anak-anak. Soalnya ini workshop untuk penulis cerita anak-anak! Pokoknya, Lupus mau ngajak temen-temen Lupus aja. Si Gusur sama si Boim. Asyiiik!"

Lulu keki setengah mati. Ia tau, Lupus emang sengaja balas dendam, karena belakangan ini ia sering ngeledekin kegagalan Lupus jadi detektif.

Mami lalu menghibur Lulu, "Ya, udah, Lu. Kamu pergi sama Mami aja."

"Ke mana? Singapur?" ujar Lulu semangat.

"Ke PI Mall!"

"Kok PI Mall?" Lulu langsung kecewa.

"Ah, di sana juga banyak bulenya."

Sementara Lupus setelah buru-buru menghabiskan makan siangnya, langsung aja ngabur hendak memberitakan kabar bagus ini ke Boim dan Gusur. Pasti mereka surprised, Lupus emang udah dari dulu pengen ke Amrik. Pengen ngeliat dari deket negara yang sering ada di film-film itu. Negara yang suka jail ngatur-ngatur negara orang.

Pas ditemui, kebetulan Gusur lagi bikin puisi di pinggir Kali Kepa yang aernya butek, dan Boim nemenin sambil mancing. Mereka berniat ngadain "Riverside Party". Jadi rencananya mancing langsung dimasak. Soalnya di deket Gusur ada penggorengan dan kompor yang sudah mengepul-ngepul. Belakangan ini dua sejoli itu kerjanya memang cuma mancing melulu, yang hasil pancingannya langsung dimakan. Walau hasil pancingan itu nggak selalu berupa ikan, Kadang-kadang sendal jepitlah, besek bututlah....

Untung bagi Lupus, ia jadi nggak susah-susah nyari buat ngabarin.

Mereka jelas jingkrak-jingkrak ketika Lupus memberitahukan bahwa ada kemungkinan Boim dan Gusur diajak. Mereka buru-buru pulang untuk bikin persiapan. Gusur buru-buru membuang puisinya ke dalam kali, dan Boim meninggalkan pancingannya begitu aja.

***

Engkongnya Gusur lagi asyik ngasih makan ayam ketika cucu tunggalnya itu menomploknya dari belakang.

"Engkooong!" teriak Gusur. Dan si Engkong pun nyusruk di pojok kandang ayam. Berbaur dengan ayam-ayam yang masih piyik.

"Gusur, gila lo, ya!" maki si Engkong sembari membersihkan serpihan-serpihan bulu ayam yang nempel di sekujur badannya. Gusur tersenyum, lalu ikut membantu engkongnya membersihkan bulu ayam.

"Tidak, Kong. Daku tidak gila. Cuma daku lagi senang yang teramat sangat," jawab Gusur di sela-sela kesibukannya membersihkan bulu ayam dari tubuh si Engkong.

"Senang sih senang, tapi jangan gitu dong caranya. Jagan Engkong ditomplok macam begitu. Lo mau Engkong mati mendadak, ya?" si Engkong mendelik.

"Sama sekali tidak ada maksud demikian dalam hatiku, Kong. Betapapun jeleknya, dikau adalah engkongku satu-satunya. Mana mungkin daku tega membiarkan Engkong mati," kata Gusur setelah berhasil menghindari tendangan engkongnya.

"Sialan lo, pake menghina segala lagi," umpat si Engkong. Tapi karena cara Gusur ngomong tadi cukup meyakinkan, dengan mimik muka yang disetel memelas segala, engkongnya Gusur akhirnya mahfum.

"Oke, tadi kamu bilang lagi senang. Senang soal apa? Boleh dong Engkong tau?" tanya si Engkong penuh selidik, seraya memelintir jenggotnya yang sudah sewarna salju. Gusur menghela napas kira-kira setengah meter panjangnya.

"Anu, Kong, dalam waktu dekat ini, terpaksa daku harus meninggalkan Engkong...."

Si Engkong membelalak.

"Apa? Meninggalkan Engkong? Memangnya lo mau mati, begitu?" jerit si Engkong penuh rasa khawatir.

"Ya, bukan begitu, Kong, Maksudnya meninggalkan Engkong di sini, bukan berarti daku akan mati. Tapi daku akan pergi ke Amerika."

Kata-kata Gusur betul-betul membuat si Engkong kaget. Bahkan kagetnya lebih dari yang tadi, Yang ini kagetnya seperti orang kesengat setrum sepuluh ribu watt.

"Apa? Lo mau ke Amerika?" tanya si Engkong sembari merapikan rambutnya yang mendadak lurus dan kaku.

"Iya, Kong, ke Amerika!" jawab Gusur mantap,

"Tadi lo bilang nggak gila, ternyata lo betul-betul orang gila yang lagi ngimpi di tengah hari bolong."

"Apa, Kong, hari bolong? Perasaan di tanggalan nggak ada hari bolong. Ada juga hari Senin... Selasa... Rabu...”

"Bodoh, bukan itu maksudnya!" belum sempat Gusur menyebut semua nama hari, si Engkong keburu memotong.

"Abis apa, Kong?" Gusur bertanya tolol.

"Artinya lo betul-betul amat sangat gila. Fantastis. Nggak masuk di akal. Masa lo mau ke Amerika? Mana mungkin bisa," si Engkong berkata sinis. Gusur baru akan menanggapi, tapi si Engkong sudah keburu berkotek dengan penuh nafsu. "Lagian lo mau ngapain di Amerika. Di sana nggak ada topeng monyet yang bisa lo gantiin. Nggak ada becak yang bisa lo genjot. Nggak ada puntung rokok yang bisa lo pungutin. Semua rokok di sana pake filter. Nggak ada jalur three in one, ojek payung, dagang asongan, atau apa pun yang bisa lo jalanin kalo lagi bokek...."

"Tenang, Kong, tenang.... Engkong nggak usah khawatir. Daku ke Amerika memang bukan untuk keperluan semacam itu...," susah payah Gusur berusaha menangkal tuduhan si Engkong.

"Habis buat apa lo ke Amerika, kalo bukan buat jadi topeng monyet? Memangnya-lo bisa apa di Amerika?" si Engkong tetap sewot.

Gusur menelan ludahnya, Lalu bicara dengan penuh keyakinan.

"Engkong tak usah khawatir daku akan mati kelaparan di Amerika. Sebab nanti di sana daku akan membacakan puisi-puisiku di setiap auditorium dan panggung Broadway, Bayarannya lumayan, Kong: Cukup buat beli beras satu truk."

"Huh, jangan ngawur kamu! Mana ada sih orang dibayar begitu banyak cuma untuk sebuah puisi?" si Engkong melecehkan.

Gusur mengajak engkongnya ke teras rumah, dan mendudukkannya di bale-bale. Gusur sendiri lalu tidur di samping engkongnya, sambil membiarkan. perutnya yang gendut diembus angin lalu.

"Wah, itu namanya Engkong ketinggalan zaman. Makanya, sering-sering baca buku, Kong, biar Engkong tau bahwa orang Amerika adalah orang-orang yang sudah begitu tinggi pendidikannya. Sehingga mereka sangat apresiatif terhadap kesenian. Engkong pasti tiada percaya, di Amerika orang bisa jadi kaya cuma dengan menulis puisi.... Contohnya Sylvester Stallone," tukas Gusur asbun, alias asal bunyi, sambil memberi contoh yang rada-rada ngawur. Tapi di telinga si Engkong keterangan Gusur rupanya cukup kredibel, sehingga si Engkong terpana dibuatnya.

"Masak sih, Sur?"

"Aduh, Emen, eh Engkong, masa sih daku bohong? Daku ngomong yang sejujurnya, dan berdasarkan fakta yang absah. Amerika itu negara maju, Kong. Kesadaran hukumnya tinggi, Administrasinya beres. Tidak ada penggusuran tanah tanpa ganti rugi. Dan yang penting, orang-orang di sana sudah bisa menghargai profesi. Termasuk profesi penyair seperti daku ini," tukas Gusur entah mengutip dari buku karangan siapa, dan apa judulnya,

Si Engkong manggut-manggut. Sepertinya kalimat Gusur tepat menonjok ulu hatinya.

"Okelah, Sur, Engkong percaya kamu bisa hidup di Amerika tanpa harus jadi topeng monyet," si Engkong berkata pasrah yang membuat hati Gusur berbunga-bunga karena akhirnya si Engkong berhasil diyakinkan. Hanya saja, saat itu, sebetulnya berkecamuk perasaan sedih dan bahagia di hati si Engkong. Bahagia karena nggak nyangka orang kampung macam Gusur, yang sehari-harinya tinggal di gang becek dan penuh dengan tukang kredit panci, bisa pergi ke Amerika. Sedih karena si Engkong takut Gusur nggak mau pulang ke negeri leluhur, gara-gara kecantol sama cewek-cewek Amerika yang seksi-seksi dan kece-kece kayak di film Baywatch itu.

"Lalu bagaimana nanti nasib Engkong kalau kamu tinggal ke Amerika, Sur?" akhimya terlontar juga kalimat sedih itu dari bibir si Engkong.

"Janganlah dikau khawatir, Kong, daku pasti kembali walau apa pun yang terjadi di sana. Ingat dong kata pepatah, hujan batu di negeri orang, hujan duit di negeri sendiri, masih lebih enak hujan Coca-Cola di negeri tetangga. Hehehe," kata Gusur berusaha menenangkan hati si Engkong dengan peribahasa yang seenak jidatnya itu. "Kecuali..." Tiba-tiba Gusur menghentikan kekehannya.

"Kecuali apa, Sur?" sambut si Engkong penuh semangat seperti abis minum jamu kuat majun.

"Kecuali kalau memang ada cewek Amerika yang mau sama daku!" Gusur menjawab yakin.

"Yeee...," umpat si Engkong kesel sambil mengepret muka Gusur pakai bakiak.

***

Walau semula tak yakin, lalu sedih, akhirnya lambat laun si Engkong justru merasa bahagia dan bangga cucunya bisa ke Amerika. Bahkan sejak terbetik cerita Gusur mau ke Amerika, kehidupan di rumah si Engkong berubah total. Ada nilai-nilai yang bergeser di situ. Gusur sibuk mengumpulkan segala jenis brosur tentang Amerika. Dan hampir sepanjang hari dia bergulat dengan brosur-brosur. Mengamati dan merencanakan kota-kota yang akan dikunjunginya setibanya di Amerika, Selain itu rumah Gusur yang biasa sepi, kini ramai dikunjungi orang. Bahkan hampir setiap hari si Engkong mengadakan pesta sebagai tanda syukur. Beberapa ekor kerbau dan beberapa ekor kambing milik si Engkong sudah habis terjual untuk membiayai pesta tersebut. Padahal kepergian Gusur ke Amerika belum jelas kapan terlaksananya. Dan kemungkinan besar juga masih lama. Sekitar tiga atau empat bulan lagi. Pokoknya tergantung Lupus-lah. Kok Lupus dibawa-bawa? Ya, soalnya yang punya ide ngajak Gusur ke Amerika memang Lupus. Tapi si Engkong tak peduli. Bahkan si Engkong makin getol kampanye ngalor-ngidul ke semua tetangga dan saudara-saudaranya perihal kepergian Gusur ke Amerika.

"Ah, yang bener aja, cucu lu yang bulet kayak ikan buntel kekenyangan itu mau ke Amrik?" teriak Engkong Sanip, temen engkongnya Gusur, saat diberitau Gusur mau ke Amerika. Engkong Sanip yang saat itu lagi metik kelapa, jelas nggak percaya.

"Betul, Nip, masa gue boong!" engkongnya Gusur berusaha meyakinkan dengan berteriak, supaya Engkong Sanip yang lagi menclok di ujung pohon kelapa sambil mendengarkan walkman itu mendengarnya.

"Maksud lo Amerika yang negaranya Bill Clinton itu, kan?"

"Yah, abis Amerika yang mana, lagi! Emangnya ada Amerika yang deket Tasikmalaya?"

"Wah, hebat dong!" tukas Engkong Sanip sambil merosot dari pucuk pohon kelapa. "Kalo emang betul Gusur mau ke Amerika, gue boleh titip, kan?" kata Engkong Sanip setelah berhasil mendarat dengan mulus di tanah becek, sehingga tubuhnya berlepotan lumpur.

"Nitip? Boleh. Tapi lo mo nitip apaan?" tantang engkongnya Gusur dengan hati bangga, karena Engkong Sanip sudah percaya omongannya.

Engkong Sanip nampak merenung sejenak.

"Cepet dong, mo nitip apa?" kejar engkongnya Gusur lagi sambil mencabut earphone dari kuping Engkong Sanip.

"Anu deh, nitip Sharon Stone satu!" jawab Engkong Sanip ganjen.

"Yeee... kalo itu mah gue juga mau," balas engkongnya Gusur.

Lalu kedua engkong yang memang sudah lama menduda itu terbahak-bahak. Puas tertawa, Engkong Sanip menowel pundak engkongnya Gusur.

"Eh iya, ngomong-ngomong kapan Gusur ke Amerikanya?"

Si Engkong termenung sejenak. Sepertinya ia agak terpojok dengan pertanyaan itu.

"Gusur bilang sih bulan depan, Nip," jawab engkongnya Gusur akhirnya. Tapi jawaban si Engkong sebetulnya asal saja, daripada kepepet. Soalnya si Engkong sebetulnya nggak tau kapan Gusur berangkat.

"Aji gile, jadi cucu lo yang dulu batal kawin itu mau ke Amirike?" kali ini yang ngomong adalah Wak Haji Muhari, salah seorang kerabat dekat engkongnya Gusur, ketika si Engkong bertandang ke sana. Gusur kalo manggil Wak Haji Muhari ini pakai sebutan "Encang".

"Begitulah, Ji," tukas si Engkong sembari menyeruput kopi bikinan Mpok Rosadah, istri Wak Haji Muhari.

Malam itu si Engkong sengaja bela-belain ke rumah Wak Haji Muhari. Padahal rumahnya cukup jauh, dan letaknya tersembunyi di antara rerimbunan pohon sengon.

"Wah, hebat dong," tukas Wak Haji Muhari lagi bernada takjub. "Kalo emang bener si Gusur mau ke Amirike, lo patut bersyukur. Rasanye sejak zaman Belande gigit besi, kerabat kite nggak ada yang pernah bisa. pergi ke luar negeri. Apalagi sampe ke Amerike...."

Si Engkong manggut-manggut. Bangga. Saat itu dari arah dapur muncul Mpok Rosadah membawa sepiring kue pancong, dan menyuguhkannya di meja. Wak Haji Muhari, demi melihat istrinya, tak bisa membendung kabar yang barusan didapatnya dari si Engkong.

"Eh, Ros, coba lu denger nih. Si Gusur mau ke Amirike."

Mpok Rosadah demi mendengar kabar dari suaminya, kontan menjerit histeris saking surprised-nya.

"Ya ampun, Gusur mau ke Amerika. Hebat juga tu anak. Boleh dong gue nitip kebaya. Denger-denger kebaya buatan Amerika kuat-kuat," terus aja Mpok Rosadah yang memang dasarnya rada bawel itu, nyerocos. "

"0, boleh aje. Jangan kata cuma kebaya, apolo aja kalo Mpok mau pesen, bisa," sambut si Engkong.

"Terus kapan nih rencananya si Gusur berangkat?" Wak Haji Muhari nyeletuk.

Kembali si Engkong rada grogi saat ditanya keberangkatan Gusur, Tapi si Engkong tak kurang nekatnya.

"Yang pasti sih bulan depan, Ji."

"Bulan depan? Wah, berarti mulai sekarang udah harus siap-siap nih!" Kepada istrinya, Wak Haji Muhari bilang, "Persediaan baju kite yang bagus masih ada, kan, Ros?"

"Maksudnya baju safari yang biasa buat kondangan?"

"Betul, yang motifnya parang rusak, yang dulu kita jait sama Liz Tailor."

"0, yang itu sih jelas masih ada, Bang. Memangnya buat apa sih?"

"Pake tanya buat apa, lagi. Ya buat nganter Gusur ke lapangan terbang nanti. Gue kan musti pake baju bagus. Setrikain yang licin deh, Ros. Terus jangan lupa pakein kamper."

"Duile, kan masih sebulan lagi, Bang, si Gusur ke Amirikanya."

"Biar aja. Siap-siap dari sekarang kan boleh."

"Aye ikut, ya, Bang!"

"Lu pikir gue mau pegi ame siape kalo bukan sama lu!"

Mpok Rosadah tersenyum senang. Sementara itu si Engkong terus berkhayal kepergian Gusur ke Amerika pasti bakal super mewah. Sebab dari semua tetangga maupun kerabat yang dibilangin, rata-rata pada mau ikut nganter. Kayak orang kampung pergi haji, yang pergi satu, yang nganter sekelurahan. Tapi di balik khayalan indah itu, si Engkong rada ngeri juga. Berapa nanti kendaraan yang dibutuhkan buat ngangkut orang-orang itu. Juga berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk pesta perpisahan nanti, Soalnya barang-barang si Engkong sudah habis terjual untuk membiayai pesta-pesta sebelumnya.

***

Dalam kesendirian, di kesunyian rumahnya pada malam hari, si Engkong pusing, Dan kepusingan si Engkong nampaknya masih akan bertambah ketika Gusur pulang sambil membawa setumpuk brosur tentang Amerika.

"Dari mana aja kamu, Sur, seharian ini."

"Biasa, Kong, dari Kedutaan Besar Amerika. Daku masih perlu beberapa brosur dan ensiklopedi untuk lebih memahami Amerika. Oh iya, Kong, daku punya kabar bagus buat Engkong!" tukas Gusur.

"Kabar bagus apa lagi, Sur?" tanya si Engkong dengan semangat yang mulai kendor.

"Tadi daku ngobrol-ngobrol dengan Lupus."

"Lantas?'"

"Yah, untuk bekalku nanti di Amerika, Lupus bilang daku harus kursus bahasa Inggris. Engkong kan tau, bahasa Inggrisku rada payah."

"Sebaiknya memang begitu, Sur. Engkong juga nggak pengen nanti lo kayak orang gagu di Amerika. "

"Tapi tentu saja untuk kursus perlu biaya yang tidak sedikit, Kong. Inilah masalahnya, Kong. Engkong kan tau daku tidak punya uang sepeser pun. Jadi terpaksalah Engkong yang harus menanggung biaya kursusku itu."

"Ya, ampun, Gusur, itu mah bukan kabar baik namanya, tapi kabar buruk!"

"Yah apa boleh buatlah, Kong. Kabar buruk pun Engkong harus dengar juga. Soalnya kepada siapa lagi daku meminta, kalau tidak kepada Engkong. Engkong kan tidak ingin cucu semata wayangmu ini kapiran di Amerika. Lagi pula biayanya tidak mahal, Kong...."

Mendengar kata tidak mahal, si Engkong sedikit bernapas lega.

"Tidak mahal itu kira-kira berapa, Sur?" tanya si Engkong mulai menunjukkan minatnya.

Gusur menjawab kalem.

"Yah paling cuma lima ratus ribu, Kong...."

Mata si Engkong langsung mendelik.

"Gila, lima ratus ribu lo bilang nggak mahal! Memangnya bapak moyang lo punya pu'un duit, apa?"

"Memang tidak, Kong. Tapi kata direktur kursus biaya segitu tidak mahal. Soalnya daku mau mengambil kursus yang sistem lima puluh jam."

"Dasar bego, omongan direktur kursus lo dengerin, Ya jelas aja dia bilang nggak mahal."

"Habis bagaimana dong, Kong....”

"Nggak gimana-gimana. Pokoknya, mulai hari ini dan detik ini, Engkong udah nggak sanggup ngebiayain lo lagi. Engkong nyerah. Engkong udah terlalu banyak ngeluarin biaya. Sekarang duit Engkong udah habis. Boro-boro lima ratus ribu, buat beli rokok kawung aja Engkong udah nggak gablek...," cerocos engkongnya tanpa henti. .

"Yaaaa, Engkong,..," kata Gusur dengan tatapan mata memelas.

"Diam, Engkong udah bosen denger rayuan gombalmu!"

Demi mendengar bentakan engkongnya, Gusur langsung mencari tiang, lalu menari sambil menangis sesenggrukan di situ. Persis film India.

Dasar si Engkong sayang sama Gusur, pemandangan seperti itu kontan membuat hati si Engkong luluh lantak.

"Cup... cup... Sur!" si Engkong berusalta mendiamkan Gusur, Tapi tangis Gusur justru makin keras.

"Tidak mau, pokoknya daku tidak mau diam sebelum Engkong mengabulkan keinginanku untuk kursus."

"Aduh, Gusur, Engkong bukannya nggak ngabulin kemauan kamu, tapi Engkong udah nggak punya apa-apa lagi. Semua harta benda Engkong udah habis dilego," si Engkong beralasan. Tapi Gusur tak kalah akal.

"Bohong. Engkong kan masih punya ayam. Jual aja ayam-ayam itu untuk membiayai kursusku,"

"Ha?" si Engkong mendelik. "Tapi itu ayam bangkok kesayangan Engkong, Sur. Masa mesti dijual juga?"

"Ya udah, kalau Engkong lebih sayang ayam bangkok itu daripada aku, aku akan menangis terus.”

"Tapi, Sur...”

"Masa bodoh, pokoknya aku akan menangis terus sampai persediaan air mataku habis!" Gusur lalu makin mengeraskan suaranya.

Si Engkong yang sudah tidak tahan dengan tingkah laku Gusur, akhirnya nyerah juga.

"Iyalah, Sur, ayam-ayam bangkok aduan itu akan Engkong jual demi kamu...."

"Na gitu dong, Kong!" Gusur kontan ceria, dan menomplok engkongnya.

***

Hari-hari terus berlalu tanpa terasa. Matahari dengan warna keemasannya yang elok, bertengger di antara sekumpulan awan timur. Akhir bulan sudah tiba. Engkongnya Gusur masih asyik ngelungker di tapangnya, ketika datang serombongan tamu dengan pakaian yang bagus-bagus.

Engkongnya Gusur terperanjat. Ia buru-buru bangun, dan ditariknya kolor yang hampir melorot. Engkongnya Gusur mengucek-ucek mata, seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Lho, kok tuan rumahnya masih sarungan?" kata serombongan tamu itu hampir serentak.

"K-kalian pada mo ke mana?" tanya si Engkong terbata.

"Pada mo ke mana? Emangnya lupa ya? Ini kan udah akhir bulan. Kita kan pada mo nganter Gusur ke lapangan terbang!" jawab Engkong Sanip mewakili rekannya.

Engkongnya Gusur menepak jidatnya. Hampir saja dia pingsan karena kaget. Tapi para tamunya keburu membopong. Lalu engkongnya Gusur didudukkan di bale-bale. Salah seorang tamu mengambil segayung air, dan meminumkannya pada si Engkong. Setelah agak pulih, salah seorang tamu yang lain kontan nyeletuk.

"Gusur-nya mana, Kong?"

"Iya, Kong, belum berangkat kan dia?" sambung tamu yang lain lagi.

"Belum. Tapi nggak tau, dari semalam Gusur pergi. Sampe sekarang dia belum balik-balik juga."

"Yah, mudah-mudahan aja tu anak nggak apa-apa. Soalnya ini kan hari keberangkatan dia ke Amerika," celetuk Wak Haji Muhari,

"Iya lah, kita doain aja," sambar tamu yang berdiri di sampingnya.

"Sambil berdoa, gimana kalo kita suruh Engkong ngadajn pesta syukuran?" usul tamu yang memakai kacamata hitam.

"Setuju!" sambut yang lain.

Engkongnya Gusur kaget.

"Tapi... apanya yang buat pesta. Saya udah nggak punya apa-apa lagi."

"Lha itu kan masih ada kambing!" si kacamata ngotot.

"Tapi itu kambing saya satu-satunya yang tersisa. Jangan diapa-apain....,” si Engkong masih berkeras. Tapi ketika tamu yang lain ikut mendaulat si Engkong supaya memotong kambing itu untuk pesta syukuran, akhirnya si Engkong tak kuasa menolak lagi. Kambing dipotong. Sebagian dibuat sate. Jeroannya dibuat gule. Dan sebagian lagi dibuat kambing setengah guling. Para tamu itu pun berpesta dengan bahagianya.

Tapi ke mana Gusur? Kenapa ia nggak muncul-muncul juga?

Iya, ya? Di mana seniman sableng itu?

7. THE DREAM OF BOCAH IMPIAN

SEJAK si Boim ditawarin Lupus pergi ke Amerika, tu anak jadi kayak bola bekel yang mental di atas kasur Alga. Membal banget! Emaknya ampe sebel ngeliatnya. Soalnya mata mak Boim udah rabun, jadi kalo ngeliat Boim yang pegitu lincah ke sono lincah ke sini, pandangannya jadi rada-rada sepet! Abisan bentaran tu anak ada di ruang tamu, bentaran lagi ada di dapur, terus di sumur, di pager, di pu'un jambu, terus terakhir di rubrik NAH INI DIA-nya koran Pos Kota!

"Im, jadi orang jangan lincah-lincah amat dong! Mata Emak ampe pegel nih ngeliatin elo! Slowly dikit nape sih!"

"A yam sorry, Ayam sorry, Mom! Gout lagi busy sekalle!"

Kesibukn Boim itu emang merupakan persiapannya dalam menghadapi rencana perginya ke Amerika nanti. Jadi emaknya meskipun sebal tapi ada rasa bangga juga.

Kemudian playboy cap duren rontok ini menyeret-nyeret tas koper warisan babenya ke ruang tamu. Dia mau memilih barang-barang yang bakal dibawanya. Barang-barang itu ia kemas ke dalam tas koper,

"Ape lagi ye yang kudu aye bawa?" pikirnya. "Selimut udah..., bantal, serbet, kaos kaki, slampe, jaket, jas ujan...?"

Sambil beberes Boim ngebayangin suasana di Amerika, .

"Ah, cewek-cewek yang serba bule, jalan-jalan yang panjang dan lebar, pemandangan yang indah, orang-orang yang selalu ngomong Inggris! Ah, senang sekali hati ini. Aye akan berjalan-jalan dengan cewek-cewek bule itu di jalan yang panjang dan lebar. Lalu berfoto-foto dan bersenang-senang di pemandangan indah sambil cas cis cus Inggris bersama mereka. Ehem, sukur-sukur salah satu dari cewek itu ada yang nyantol di ati aye, ah, pasti langsung aye sunting di tempat! Oh, konon kabarnye kalo istri aye bule ntarnye turunannye bakalan bagus dan laku jadi bintang film! Kalo gitu buru-buru aye dafterin WNI dulu biar kagak diusir ama Imigrasi...."

"Im, Im...!" terdengar panggilan emaknya.

"Oh, cewek-cewek bule," Boim masih mengkhayal.

“Im, Im...!"

"Oh, bule!"

"Boiiiiim! Mau makan nggak lo!"

"Oh, ya, ya, bule, buleee!"

"Ape lo kate? Mau makan pake gule? Pan tadi lo minta sayur asem pake keju? Katanye biar ntar di Amerika kagak kaget lagi makan makanan yang ada kejunya. Nih, udah Emak bikinin!"

"Oh, iye, iye!" Boim tersadar dari lamunannya.

Dan ia segera memakan masakan emaknya yang berupa sayur asem campur keju. Sudah pasti rasanya kagak keruan. Tapi dasar Boim niatnya mau ngebiasain diri ama makanan Amerika, jadinya ditelen aja.

"Hm, Amerika, Man!" kata Boim sambil nelen makanannya bulet-bulet.

Emak Boim dateng lagi.

"Im, gimana rasanye?" tanyanya.

"Enak, Mak. Cuma kejunye kurang banyak!" kata Boim.

"Lah! Entu juga udah Emak tambahin sabun batangan!"

"Lain kali cari keju yang mahalan dikit, Mak. Beli di super-kampret kek!"

"Iye, iye," kata Emak Boim sambil pergi ke pekarangan samping.

"Im, Boiiiim...!" tiba-tiba emaknya menjerit lagi.

"Aduh, ada ape lagi sih? What happened, Mom? What's going on? What do you do?" kemudian Boim pergi ke belakang.

"Lo wat wat wat mulu! Emangnya lampu lima watt? 'Ni liat ayam jago lo kejang-kejang makan sayur asem bikinan Emak!"

"Hah! Yang bener?"

"Yee, lo liat aja sendiri!"

"Tapi kok aye kagak ape-ape?" kata Boim sambil meraba-raba perutnya, "Oh, berarti eni ayam kagak bakat pergi ke Amerika, Mak!"

Boim lalu masuk ke dalam. Mau mandi. Emaknya udah nyiapin balok es yang ditaro di dalam bak. Dia mau ngerasain mandi salju, Sambil berendem di bak mandi Boim ngebayangin kulitnya yang item legam itu nanti bakal berobah jadi putih, dan biji matanya yang item busik bakalan berobah jadi biru!

"Im, udah belon mandinye?" ketok emaknya dari luar.

Tak ada jawaban.

Emak Boim ngetok lagi. Dan tak ada jawaban. Emak terpaksa masuk kamar mandi. Dan pas dibuka Boim udah kaku kayak es krim Walls!

***

Besoknya Boim minta duit ama emaknya untuk bikin jas ujan panjang. Jas ini buat persiapan kalo tiba-tiba musim winter dateng. Waktu Boim minta duit pake bahasa Inggris, emaknya bingung,

"Can you give some money, Mom?" tanya Boim.

"Apa lo kate?"

"Ah, masa Emak kagak ngerti juga sih? Pan Emak udah aye suruh belajar bahasa Inggris biar bisa nandingin omongan aye?"

"Ye, cuman kalo banyak-banyak gitu Emak kagak ngerti!"

"Aye mau minta duit buat bikin jas ujan panjang!"

"Yaelah, dari kemaren duit mulu, Nih!" kata emak Boim sambil menyerahkan uangnya pada anak kesayangannya itu.

Boim rencananya mau bikin jas ujan di tukang jait yang suka bikin baju para pembaca berita di TV itu. Dia udah dapat alamatnya. Dan dia udah punya bahannya, yaitu plastik lebar pemberian tukang bubur kacang ijo depan rumahnya. Tu plastik tadinya buat nutupin dagangan.

Tapi untuk pergi ke tukang jait. dia harus pinjam motor. Soalnya agak jauh dari rumah. Boim lalu pergi ke bengkel motor milik abangnya.

"Eh, ngapain lo, Im, siang-siang kemari? Mau ganti oli l0!" kata abang Boim begitu ngeliat adiknya nongol di bengkel.

Boim mesam-mesem.

"Lo ditanyain bukannya ngejawab malah cengar-cengir!"

"Eni, Bang, aye mau pinjam motor. Aye mau ngejaitin jas ujan panjang di Harmoni."

"Oo, jas ujan buat persiapan ke Amerika?" tanya abangnya.

"Iye, Bang," kata Boim sambil tersipu.

"Eh, kalo. nggak salah teman lo yang gendut juga mo ke Amerika, ye!"

"Iye," jawab Boim.

"Siape namanye?"

"Gusur."

"Gue liat juga dia juga sibuk, tuh. Emang kalo orang mo ke Amerika mesti sibuk, ye!"

"Ye, gitu deh, Bang. Ngomong-ngomong boleh nggak nih aye minjem motor?"

"Yah, lo pake deh, tapi ati-ati!"

Sepeninggal Boim seorang langganan bengkel yang dari tadi menunggu motornya diperbaiki bertanya pada abangnya Boim.

"Itu adik Sodara?"

"Iye, emang nape?"

"Betul mau ke Amerika?"

"Betul."

Sang langganan bengkel itu diam sejenak dan kemudian menengadahkan tangannya, berdoa,

"Ya, Tuhan, mudah-mudahan aja Amerika mau nerima orang-orang kayak gitu. Amin."

Di tukang jait, Boim ngomong Inggris lagi. Tukang jait bingung.

"Long coat?" tanya si tukang jait.

"Yes, long coat for winter. Can you making, Man?" tanya Boim lagi.

"Ah, ambo tak tahu. Carilah tukang jait lain!" kata si tukang jait yang biasa dipanggil "Uda" itu sambil menyerahkan bahan plastik pada Boim.

"No, no, no! You must. Must!" kata Boim lagi sambil nyodorin bahan plastik itu.

"Ambo urang awak. Jangan panggil ambo 'mas'!"

"Ah, maksud saya bukan 'mas' itu tapi must! 'Harus'! Uda harus bikinin saya jas ujan panjang buat persiapan kalo musim winter!"

"Oh, jas ujan?"

"Yes, yes! Tapi bukan ujan biasa tapi ujan salju!"

"Ujan salju?"

"Yes, salju! Understand? Understand deh."

Uda akhirnya ngangguk-angguk aja, biar nggak tambah pusing.

Sepulang dari tukang jait, Boim ngeliat dua orang turis sedang berjalan di trotoar. Boim menghampiri dan berusaha mengajaknya mengobrol. Tapi si turis malah ketakutan dan mereka langsung memberikan uang receh pada Boim. Lalu kabur.

"Hei, Sir, Sir!" Boim memanggil turis itu. Tapi mereka mempercepat langkahnya.

"Aneh, diajak ngobrol kok malah kabur?"

Di rumah Boim berpikir.

"Kenapa turis-turis itu kabur? Hm, berarti ada yang salah pada diri aye. Pasti telah terjadi misunderstood. Wah, wah, berabe nih! Soalnya komunikasi entu penting banget. Aye harus mendalami bahasa Inggris lebih serius nih. Kagak bisa belajar dari buku aje. Palingan mesti kursus! Kalo kagak bisa-bisa misunderstood melulu, bisa-bisa cewek-cewek bule Amerika pada kabur waktu mo aye ajak ngobrol."

Saat itu juga Boim langsung nelepon Lupus.

"Halo, bisa bicara ama Lupus?"

"Yes, Lupus's speaking!"

"Eh, kacao nih, Pus! Inggris gue masih kacao! Tadi pan gue ketemu ama turis, terus gue ajak ngobrol. Maksudnya sekalian ngelancarin Inggris gue, eh, mereka malah pada kabur."

"Emangnya lo ajak ngomong gimana mereka?”

"Pertama-tama gue ngomong how do you do...."

"Terus?"

"Terus gue ngomong, Hello, you must give some money!"

"Yee, jelas aja pada kabur! Mereka nyangka lo tukang todong! Itu kan artinya mereka harus memberikan uang pada lo!"

"Yah, abisan gue yang baru tau cuma kalimat gituan doang, sih."

"Udah mendingan lo kursus aje. Ambil yang kilat!"

"Niat gue juga gitu. Gue pengen nanya ama lo tempat kursus yang murah tapi bagus, Pus? Lo tau, nggak?"

"Gue tau, Di deket perempatan Slipi. Lo tanya aja ama orang-orang, pasti pada tau tempat kursus yang bagus di situ, Oh, iya, si Gusur juga udah kursus."

"Kursus apaan?"

"Kursus masak!"

***

Di rumah, Boim langsung ngomong sama emaknya ,soal keinginannya untuk ikutan kursus. Emak setuju aja. Paling problemnya soal duit pendaftaran.

“Jangan kuatir," kata Boim. "Aye masih punya celengan. "

Boim langsung ngambil celengannya.

"Tapi, Im, katanye tu celengan buat ngelanjutin kuliah? Pan tu celengan lo dari kecil!" ujar emaknya mengingatkan.

"Ah, biarin, Mak, demi Amerika! Eni pan bisa jadi sekali dalam seumur idup aye. Jadi ape-ape kudu dikorbanin!"

Tapi waktu celengan dibuka, duitnya udah pada bulukan. Bahkan masih ada lima perakan yang sekarang ini udah kagak gitu laku lagi.

"Ya, pegimane nih? Jumlahnya kagak nyampe lima belas ribu? Padahal uang pendaftarannya sekitar lima puluh ribuan."

"Ya, udah, lo pake duit Emak dulu. Tapi inget, pulang dari Amerika lo kudu ganti!"

"Beres, Mak!"

Boim langsung berangkat ke tempat kursus. Waktu di jalan ada dua cewek kampung yang amprokan ama Boim.

Tu cewek langsung ngomongin Boim,

"Eh, tu die cowok yang mo ke Amerika?" kata cewek yang atu.

"Lo sekarang naksir dong ame die?" kata satunya lagi.

"Sekarang sih belon, tapi ntar kalo die udah pulang...."

"Kok kalo udah pulang?"

"Katanya kalo abis pulang dari Amerika gaya seseorang bisa berubah. Cara berpakaiannya, cara bergaulnya, pandangannya terhadap masa depan, yaa, sukur-sukur sih tampangnya juga ikut berobah!"

"Ya, kalo gitu, kita doain aja sama-sama."

Sementara Boim yang ngerasa diomongin buru-buru ngebasahin jambulnya,

Begitu sampe di temp at kursus Boim langsung dites.

"Ng, ada tes yang lain, nggak?" tanya Boim pada petugas pengetesan.

"Maksudnya?"

"Maksud saya bukan tes soal, tapi, kalo bisa saya dites lari aja. Muterin gedung ini sepuluh kali kek!"

Petugas itu jadi gondok.

Sebetulnya pihak kursus tidak bisa menerima Boim karena hasil tesnya payah banget. Tapi lantaran Boim mendesak terus, akhirnya diterima juga. Dengan catatan sebagai peserta kursus percobaan.

Dan waktu kursus, Boim sempat jadi pusat perhatian. Soalnya udah kesebar kalo dia ikutan kursus karena pengen pergi ke Amerika. Bahkan guru kursusnya, seorang cowok yang Inggrisnya udah cas cis eus tapi sampai sekarang belum pernah ke luar negeri, jadi penasaran sama Boim.

"Katanya Anda mau ke Amerika, ya?"

"Hm, begitulah,"

"Saya bisa ikutan, nggak?"

"Kalo sekarang enggak, mungkin nanti-nanti."

"Hm, ke Amerikanya itu dalam rangka apa?"

"Dalam rangka misi khusus," jawab Boim sok.

"Oh, iya iya saya tahu, Pasti Anda dikirim atas permintaan NASA untuk dijadikan bahan penelitian, ya?"

"Ya, begitulah," jawab Boim enggak ngeh.

"Kebetulan tadi saya baca majalah luar negeri, katanya NASA perlu sukarelawan yang mau diteliti untuk dikirim ke planet Mars. Kalo nggak salah NASA perlu 'orang yang nggak kece' untuk diteliti."

Boim bengong. Dan guru itu berlalu.

Ternyata kursus baru seminggu Boim udah keluar. Soalnya banyak teman sekelasnya yang protes sama kelambatan Boim nangkep pelajaran. Ya, gara-gara Boim, proses belajar-mengajar di tempat kursus itu jadi lambat sekali.

"Ah, udahlah, mending belajar sendiri aje," kata Boim kemudian. "Kalo emang kepaksa, pake aje bahasa tarzan!"

Sampe di rumah Boim dikasih tahu kalo ntar malam emaknya mau bikin selamatan,

"Selamatan apa, Mak?" tanya Boim.

"Ye, selamatan buat lo."

"Ah, Nyak kayak orang mau naik haji aje."

"Orang kalo pergi jauh kudu diselametin," kata Emak, "biar kagak ade ape-ape."

Ya, Boim nurut aja.

Orang-orang di sekitar Boim emang pada mendukung rencana kepergiannya. Termasuk abang Boim yang udah ngejual motornya untuk biaya selamatan dan uang jajan Boim di Amerika nanti.

***

Beberapa hari kemudian di sekolah.

Boim berusaha ngecengin Nyit-Nyit. Dia sekarang udah punya nyali untuk ngecengin cewek incarannya itu, Soalnya dia kan mau ke Amerika.

"Halo, Honey," sapa Boim mesra.

Nyit-Nyit melengos. Tapi Boim nyantai aja. Tidak sakit hati seperti dulu lagi.

"Orang yang mo ke Amerika kudu jentel! Sekarang emang nyuekin tapi ntar kalo aye udah pulang, bisa jadi dia nyembah-nyembah! Hehehe!"

Dari ujung koridor Boim ngeliat Gusur. Dia menghampiri sohibnya itu.

"Eh, Sur, gimana persiapan lo?" tanya Boim.

"Oke," kata Gusur. "Eh, ngomong-ngomong si Lupus ke mana? Kok tiada nampak batang hidungnya ?"

"Iya, katanya kemaren juga nggak masuk sekolah."

"Iya, ke mana pula dia itu?"

Tak lama ada seorang anak yang memanggil Gusur dan Boim. Anak itu menyuruh Gusur dan Boim ke kantin belakang. Di sana taunya ada Lupus. Lupus kemudian dengan berat hati memberitah,u kalo ada perubahan rencana. Jatah yang bisa ikut hanya dua orang tua dan satu anak saja. Selebihnya kudu nanggung biaya sendiri. Dari mulai biaya perjalanan, ongkos penginapan, sampai buat makan sehari-hari di Amerika harus bayar sendiri.

"Waduh, jadinya daku tiada jadi ke Amerika dong?" jerit Gusur.

"Wah, mau ditaro ke mane muka gue, nih!" tukas Boim langsung pucat.

Alhasil, Boim ama Gusur kagak berani pulang ke rumah.

"Lo mau ke mana?" tanya Boim pada Gusur.

"Daku mau ke Parung, ke rumah sodaranya engkong daku. Dan daku baru kembali ke rumah setelah Lupus pulang dari Amerika. Bila Lupus tiada pulang daku pun tak akan pulang!" kata Gusur.

"Gue bingung mau ke mane? Gue kagak punya sodara di luar kota."

"Ya, udah. Dikau mending ikut daku aja."

"Tempatnya enak nggak?"

"Enak. Dekat kali. Daerahnya juga masih banyak poon-poonnya, tapi..."

"Tapi kenapa?"

"Sodara engkong daku itu kerjaannya bikin bangku ama tempat tidur dari rotan. Kalo kita mau nginep di sana barang beberapa hari, kita harus mau membantunya membuat bangku atau tempat tidur dari rotan itu."

"Ya, bolehlah!" kata Boim pasrah.

Dengan menumpang kereta semen dari Tanah Abang mereka pergi ke Parung.

"Ah, jadinye peribahasa itu menjadi terbalik, Sur," kata Boim dari atas gerbong kereta. "Harusnya kan bunyinye 'Tak ada rotan akar pun jadi', eh, ini jadinya 'Tak ke Amerika bikin tempat tidur rotan pun jadi!'"

"Hahahaha! Bisa saja kau!"

8. PURA-PURA SAKIT, BOIM TIPU LUPUS

PENGUMUMAN! Boim sakit!

Baru dua hari di Parung, ternyata Boim sakit! Gusur terpaksa mengirim Boim pulang pakai paket.

Sakitnya Boim cukup keras. Ih, kacian deh. Boim terkapar tanpa daya di ranjangnya yang dekil. Udah kayak mumi yang diawetin. Kulitnya sampe pada gosong. Tapi kulit Boim dari dulu pan emang udah gosong, ya? Lalu itu ranjangnya, dekilnya kelewatan. Abis Boim kalo tidur tuh suka pake sepatu bot yang berlepotan tanah. Udah kayak kuda nil. Eh, tapi jangan bilang ke dia, ya? Nanti tersinggung. Maksudnya; kuda nilnya yang tersinggung, hihihi.

Disinyalir sakitnya Boim ini nggak laen disebabkan oleh rasa kecewa si Boim nggak jadi ke Amrik. Jelas Lupus jadi nggak enak begitu dikabarin.

Tambahan, belakangan ini Boim juga hobi banget ngigo. Kalo udah ngigo, semua diomongin tanpa rahasia-rahasia lagi. Biasanya soal cewek melulu,

"Nyit-Nyit...”

Nah, tuh kan? Boim ngigo. Baru juga dirasanin, udah terbukti. Di antara cewek-cewek yang disebutin, Nyit-Nyit tercatat paling sering. Abangnya suka sampe stres berat ngedengerinnya. Pernah juga abang Boim berniat nyariin pengganti Nyit-Nyit buat Boim. Tapi Boim menggeleng drastis. Abisnya Boim disuruh macarin truk Pertamina,

"Abang aja deh. Pan Engkong udah miripan sama truk tanah," tolak Boim. Dasar anak durhaka. Kini keadaan Boim sudah sangat memprihatinkan. Kalo udah gitu giliran emak Boim yang paling dibikin repot. Ya, nyapin kalo Boim makan, nyuci popok Boim yang pesingnya ngudzubileh min dzalik, dan ngebikinin sate uler kalo Boim lagi ngidam.

Tapi untung sekarang ada Bobo, Gak kenal, ya? Bobo itu masih sodara jauh ama Boim. Jauuuuh, banget. Ada kali empat ratus kilo lebih. Abis Bobo emang tinggal di Yogya, ngikut orangtuanya. Bobo suka majalah Bobo, suka bobo siang, serta suka piknik ke candi Bo... bo,.. Borobudur. Tapi sekian aja promosi bersama sponsor tunggal Bobo. Nanti kalo kebanyakan, Boim bisa ngambek. "Bisa ngalahin popularitas gue," alasan Boim suatu ketika. Dih.

"Nyit, Nyit Nyit...” itu dia Boim, Dengarlah, dia benar-benar menderita. Terkulai tanpa daya dengan bertarzan ria. Porno banget. Bobo sampe tergopoh-gopoh dari dapur, Tadi Boim minta dibikinin air anget.

"Nyit-Nyit, Poppi, Pupsi...," igo Boim lagi. "Mendekatlah kemari, Sayang. Mendekatlah...."

Begitu menyebut nama Pupsi, Bobo jadi teringat. Dulu waktu maen ke Yogya, Boim pernah jatuh ati sama anak Gunung Kidul. Namanya ya Pupsi itu. Nama Latinnya Ni Wayem Pupsi. Tapi seperti selalu bisa kalian duga, cinta Boim tewas dengan sangat sukses. Lalu siapa Nyit-nyit, siapa Poppi? Gampang aja.

"Itu pasti cewek-cewek yang pernah menolak cintanya," simpul Bobo yakin.

"Nyit-Nyit.... "

"Im, tenang, Im, Kau pasti akan segera sembuh," nasihat Bobo.

"Kamu siapa?" tanya Boim. Bobo mendelik.

"Bobo, Im. Saya Bobo."

"Oh, Nyit-Nyit, ya? Nyit-Nyit ke sini, dong."

Boim makin gak keruan. Sakitnya udah sangat gaswat. Masa Bobo dikira Nyit-Nyit? Bobo merinding.

"Nyit-Nyit...," igo Boim lagi. Bobo panik. Untung pada saat itu Lupus dateng.

Lupus dateng-dateng langsung menyerbu ke kamar Boim. Dia emang nggak enak ati banget denger Boim syok nggak jadi ke Amrik.

"Boim mana? Eh, kamu siapa? Tuyul piaraan abangnya Boim, ya?" tuduh Lupus ketika ngeliat Bobo. Bobo nyengir. Lupus kan gak pernah kenal sodara Boim ini. Lagi, Boim juga gak pernah cerita sih. Jadinya Bobo kalah ngetop jauuuh dari Boim. Ih.

"Ini pasti Lupus, kan?" ujar Bobo.

"Yee, nuduh lagi. Kamu bisa tahu kalo gue Lupus berarti bener dong lo emang tuyul. Ngaku aja. Eh, gimana sih caranya ngusir tuyul?"

Lupus jadi maen teka-teki. Bobo yang dasarnya juga seneng tebak-tebakan segera nyahut.

"Ya, bacain. ayat Kursi!"

"Kalo tuyulnya itu Boim, yang nyolong duit gua?" tanya Lupus.

"Timpukin pake kursi." Hi hi. Bobo sambil ngikik. Lupus juga.

"Bawahnya lembek atasnya kekar, hayo?" tanya Bobo lagi. Lupus mikir.

"Boim keinjek Arnold Schwarzenegger."

"Yah, betul deh," Bobo langsung kecewa.

Di atas ranjang di kamarnya, Boim terus ngigo, Lupus meratiin dengan saksama.

"Nyit-Nyit...," igo Boim lagi. Lupus mendelik.

Bobo menjelaskan ke Lupus, "Udah dari tadi begitu, Pus. Nyebutin Nyit-Nyit mulu. Nyit- siapa sih?"

"Ssstt." Lupus mesem. Lupus jadi nafsu untuk ngerjain Boim. Sayang kan kalo moment kayak gini dilewatkan begitu saja. Tapi sadis juga sih, ngerjain temen sendiri yang lagi sekarat. Ah, tapi nggak juga. Boim anaknya juga suka seenaknya kalo ngerjain anak orang. Hiiiii, Dan siapa tahu justru karena dikerjain, Boim jadi sembuh penyakitnya, Tapi kalo malah kian mempercepat is dead-nya, ya nasib. Hihihihihi, Lupus jadi terus membatin.

Dan setelah pikir-pikir, akhirnya Lupus bertekad bulat.

"Kita kerjain, yuk?" ajak Lupus. Bobo manut.

Boim makin lunglai. Nggak bergerak-gerak.

“Im...,” kata Lupus.

"Ini siapa? Aku di mana?" rengek Boim.

"Tenanglah, Im. Kau tengah berada di surga dengan padang ilalang yang luas. Di sebelah itu sungai anggur dan susu mengalir. Kau akan abadi di sana. Kau akan bahagia..,," khotbah Lupus. Bobo mendelik.

“Im, katakan, Katakan apa yang kau mau, mumpung kau belum dipanggil...."

"Kok gitu, Pus. Jangan, kacian," sela Bobo.

Bobo, Bobo. Kamu nggak tau sih. Boim itu tukang ngerjain orang. Dia itu Yahudi banget. Jadi ini adalah pembalasan setimpal, batin Lupus.

"Udah, kamu diem aja!" Lupus setengah ngebentak.

"Kalian siapa?" suara lemah Boim.

"Malaikat," kata Lupus, Bobo ngikik.

"Malaikat? Malaikat siapa?"

"Malaikat Lars Ulrich. Penjaga neraka."

"Itu kan drummer Metalica," bantah Boim. Lupus hampir ngikik. Bobo juga.

"Im, bertobatlah. Berdoalah agar kamu diberi keringanan hukuman. Lakukanlah, Im,..," nasihat Lupus.

"Tukang Malaikat, saya ingin Nyit-Nyit. Saya sangat merindukannya sekali, Apa Pak Tukang Malaikat bisa bantu saya?"

Bobo gak tahan dan langsung cekakakan. Lupus nahan-nahan,

"0, bisa... bisa," kata Lupus. Lupus lalu melototin Bobo. Sodara Boim ini jadi grogi, Mau apa lagi, Pus?

"Kamu nyamar jadi Nyit-Nyit," perintah Lupus.

"Nggak!" Bobo mo terus ngabur.

"Eh, tunggu!" cegah Lupus.

"Kamu aja, Pus, ini kan ide kamu. Lagian kamu kan orangnya kurus. Jadi pasti pas nyamar jadi Nyi, eh, siapa? Kunyit?"

"Kamu aja!" desak Lupus.

"Kamu aja!"

"Kamu!"

"Kamu!"

"Aku!"

"Ah, eh iya, Pus. Kamu aja, pasti pas!" tuduh Bobo. Lupus keki berat. Tapi karena niat mo ngerjain Boim-nya gede, Lupus jadi bela-belain nyamar jadi Nyit-Nyit.

Lupus sempat dandan sebentar. Pake bedak, lipstik, eye shadow, dan ih, cantik. Bobo jadi ngikik. Kini Lupus udah selesai dandan. Dia mulai mendekati Boim.

"Im, bukalah matamu. Ini aku Nyit-Nyit," kata Nyit-Nyit palsu. Bobo hampir mo ketawa.

"Oh, benarkah itu?" Boim rada semangat. Matanya mulai berkaca-kaca. Bercermin-cermin.

"Mendekatlah kemari, Sayang," kata Boim mesra, Lupus setengah kaget.

"Awas Aids!" ledek Bobo. Lupus melotot.

"Eh, Bob. Nanti adegan panasnya lo aja," pinta Lupus.

"Nggak, lo aja!" Bobo jadi ikutan gue elo.

Lupus jadi nyengir.

"Nyit... kau cinta aku, Sayang?"

"Tentu aja. Aku sayang banget sama kamu. Kamu ganteng. Gagah, perkasa...." Nyit-Nyit jilid II terus ngoceh. Bobo bela-belain nahan tawa. Perutnya mulai mules.

"Oh, aku bahagia, Nyit. Tak kuduga ternyata kau sebenarnya mencintaiku. Nyit-Nyit...."

"Apa lagi, Sayang?"

"Pijitin kaki dong," ujar Boim.

"Haa?" Lupus menatap ke arah Bobo.

"Udah pijitin aja. Biar penyamarannya sempurna!" ujar Bobo. Lupus sewot. Alhasil Lupus terpaksa mijitin juga. Lupus gondok banget,

"Mijitinnya yang mesra, dong!" protes Boim. Keruan aja Boim tereak-tereak. Lupus mijitinnya pake martil.

"Nyit-Nyit..."

"Apa lagi, Sayang?" tanya Lupus sambil ngancem dengan martil. Boim sempet grogi.

"Bikinin saya kopi!" .

"Hiyaa...!" Lupus tereak histeris. Tapi akhirnya Lupus ngebikinin juga. Tadi sebenernya Lupus udah maksa Bobo, tapi tuyul itu menolak dengan tidak ramah. Boim-nya juga nggak mau.

"Pokoknya harus kamu, Nyit!" pesan Boim.

Lupus dongkolnya seabrek-abrek.

"Udah kita bunuh aja," geram Lupus.

"Jangan nanti jadi hantu!" ujar Bobo. Hihi.

"Nyit-Nyit, kopinya pake air mentah campur beling, ya?" tereak Boim sambi! ngamuk-ngamuk. Lupus ngikik.

"Nyit-Nyit..."

"Hiii, apa lagi, Sayang?"

"Izinkan, aku mengecup bib..."

"Hiyaaaaaaaa!" Kali ini Lupus betul-betul histeris resmi. Bobo ngakak setengah mati. Dan saat itu Lulu dateng. Lulu udah dari tadi nyari-nyari Lupus. Udah ngacak di mana-mana, tapi baru ditemukan di sini. Tapi begitu liat Lupus dandan kayak cewek, pake rok lagi, Lulu jadi histeris.

"Lupuuuuuus, lo mo nakut-nakutin gue, ya?"

Digertak gitu Lupus langsung kasih kode agar Lulu diem.

"Kalian kenapa sih?" Lulu gak ngerti. Lulu juga melotot ke arah Bobo. "Ehm, kamu sodaranya Boim ya? Mirif," kata Lulu.

"Lulu, kamu ngapain ke sini?" tanya Lupus.

"Kamu disuruh pulang sama Mami. Disuruh bantu-bantu bikin adonan kue pesanan Tante Suki."

Lupus menatap tajam ke Lulu. Lulu jadi mau ngikik liat dandanan Lupus. Kayak banciew, batinnya. Lalu Lulu dikasih cerita. Cerita kenapa Lupus sampe tega dandan kayak gitu. Cerita bagaimana Boim betul-betul merindukan kehadiran Nyit-Nyit.

"Gue kan jadi nggak tega, Lu," alasan Lupus.

"Kalian bikin persekongkolan jahat," kata Lulu. Lupus dan Bobo mendelik.

"Terus sekarang Boim di mana?"

"Di kamarnya. Emang kenapa?" Lupus setengah curiga.

"Biar gue aja yang nyamar jadi Nyit-Nyit."

"Hiyaaaa!" Lupus histeris lagi. Lulu, Lulu. Jangankan kamu. Gue aja tadi mau diperkosa sama dia. Apalagi Boim itu juga naruh ati sama Lulu, Wah, bakal kesenengan anak itu. "Kamu bakal jadi korban keganasannya. Percaya aja deh. Jadi batalin aja niat gilamu itu!" desak Lupus.

"Nggak!" Lulu tetep nekat. Dia langsung masuk ke kamar tempat Boim tergeletak menuju ajal tiba, Begitu masuk, Lulu langsung ngunci pintu dari dalem, Lupus sempet gedor-gedor dari luar. Tapi Lulu cuek bebek. Lalu inilah adegan di dalem.

"Boim...," suara lirih Lulu.

"Lulu!" Boim ngeliat Lulu, langsung duduk di ranjang. Wajahnya cerah.

"K-katanya sakit, Im?"

"Hihihi...," Boim ketawa. Lulu gak abis ngerti.

"Saya ngerjain Lupus aja kok. Dia begitu sering ngerjain gue. Tapi gue gak pernah bisa balas dendam. Sebagai manusia gue juga perlu power, dong!" kata Boim panjang-lebar. "Terakhir, gue kecewa berat nggak jadi diajak ke Amrik. Padahal persiapan gue udah gila-gilaan. Sebel. Batal deh ketemu Sharon Stone!"

Lulu cukup terharu. "J-jadi?"

"Iya, eh sekarang kita kerjain Lupus yuk. Dia kan juga sering ngerjain kamu!" ajak Boim. Mulanya Lulu menolak keras, tapi setelah dirayu Boim sampe bibirnya pecah-pecah, Lulu kacian juga. Mereka lalu nyusun strategi pembantaian.

Dan kini Boim siap nge-kick Lupus lagi. Satu... dua... tiga.

"Im, jangan, Im. Jangan...!" Lulu tereak-tereak kayak adegan mo diperkostion. Lupus dan Bobo yang ada di luar kamar jelas kaget. Serentak melabrak pintu. Sial, pintunya udah nggak dikunci lagi. Alhasil Lupus dan Bobo jatuh berguling-guling.

Bobo ngikik.

***

Hari-hari berikutnya Boim merasa di atas angin. Dia ngerasa puas banget bisa ngerjain Lupus. Waktu sama-sama masuk kelas tadi, Boim negur Lupus dengan penuh hormat, Tapi Lupus diem aja.

"Pus, kamu sakit, ya?" sapa Boim. Lupus diem aja. Boim dalam ati ngikik. Dia ngerasa begitu menang. Boim juga begitu riang ngikutin pelajaran demi pelajaran. Gak biasanya begitu.

"Negara mana yang ibu kotanya lima?" Boim mulai main tebak-tebakan kala jam istirahat.

"Peru, atuh!" sahut Fifi Alone mantep.

"Waduh, sori, Fi. Masih salah!"

Anak-anak nggak ada yang berani nebak.

"Lupus, hayo negara mana, Pus? Kamu kan pasti jenius!" ujar Boim, Lupus gak nyautin.

Lupus malah dengan santainya meninggalkan kerumunan dan memilih ke perpustakaan. Boim masih bisa bangga.

"Dia pasti trauma saya kerjain kemaren!" kata Boim.

"Jawabannya apa dong, Im?" desak Utari penasaran.

"Indonesia!" sahut Boim sambil berkacak pinggang.

"Kok Indonesia sih?"

"Iya dong. Kan Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara," jawab Boim bangga setelah teka-tekinya tak terjawab.

"Kalo negara yang ibu kotanya seratus?" ujar Boim lagi. Anak-anak langsung nyerah. "Kalian bego sih. Ya, Indonesia, Jakarta-Magelang, Jakarta-Cirebon, Jakarta-Wonosari, dan seterusnya. Hihihi."

"Huu, dasar bokap lu pensiunan kenek," tuduh Fifi. Boim cuek.

"Sekarang gue, Im. Binatang apa yang suka heran?" Ruri, si biang gosip, turut serta.

Setelah mikir sesaat, Boim langsung kasih jawaban.

"Cicak. Kan bunyi cicak: cckkk, cckkk, cckkk," jawab Boim bangga.

"Salah too!"

"Abis apaan coba?" Boim nyerah. Anak-anak lain juga nggak ada yang tau. Baru Ruri buka jawaban sendiri.

"Monyet dong!"

"Lho, kok monyet?" kata anak-anak hampir serentak.

"Nah, itu kalian pada heran!" kata Ruri dengan senyum penuh kemenangan.

"Haa?" Anak-anak melongo dahsyat.

Boim langsung mencari di mana Lupus berada. Boim menemukan Lupus lagi asyik baca-baca buku. Iya, masa di perpustakaan maen golf? Hihihi.

"Boleh ikut duduk di sini, Pus?" sapa Boim ramah. Lupus nggak jawab apa-apa. Malah dengan nyantenya meninggalkan Boim sendirian di perpustakaan. Tapi Boim malah puasnya selangit.

"Dia pasti masih trauma. Makanya, Pus, sekarang elo tau siapa Boim!" batin Boim norak.

Sampe pelajaran usai Lupus masih pendiem,

Tadi anak-anak pada khawatir kenapa Lupus bisa begitu, tapi dengan gaya politikusnya, Boim berusaha ngasih penjelasan,

"Lupus nggak apa-apa kok. Paling-paling dia trauma abis saya kerjain kemaren. Nanti juga kembali seperti sediakala!" jelas Boim. Anak-anak masih gak percaya. Dan waktu jam anak-anak pulang, Lupus masih nampak ngemas-ngemasin bukunya. Di kelas tinggal ada Utari, Ruri, Aji, dan Boim,

"Pulang dulu, Im," kata Lupus lirih. Boim menatap tajam ke arah Lupus. Boim masih merayakan kemenangannya dengan ketawa ngikik.

"Iya, kok elu bisa ngerjain Lupus sih, Im?" tanya Aji. Boim diem tapi ge-ernya gak ketulungan.

Kemudian anak-anak pulang semua, tinggal Boim yang masih asyik nyariin bolpoin. Untung dapet, Boim segera beranjak ninggalin bangku kelasnya. Tapi di pintu Nyit-Nyit udah nunggu Boim dengan muka abang-biru.

"Heh, kodok. Apa-apaan sih elo? Ngapain elo bikin rekaman pake nyangkut-nyangkut nama gue. Pake adegan jorok lagi. Kamu mo ngejatuin gue di mata temen-temen, ya?" Nyit-Nyit nyap-nyap. Boim celingak-celinguk. "Pokoknya gue nggak terima. Kamu mau saya aduin ke Pak Kepala Sekolah. Huh, cuh!" omel Nyit-Nyit.

Lalu pada saat-saat gawat itu Lupus nampak balik ke kelas.

"Maaf ya, bentar. Buku gue ada yang ketinggalan!"

Boim bengong menatap Lupus.

Lupus berujar kalem, "Sori juga, adegan kemaren gue rekam pake tape kecil, dan sekarang kasetnya ada di tangan Nyit-Nyit buat bukti...."

9. AMRIK

AMERIKA, negeri impian. Gara-gara punya mimpi pengen pergi ke negerinya Guns N'Roses ini nggak kesampean, Boim dan Gusur sampai sakit-sakitan. Tanpa setau Lupus, Boim dan Gusur yang kecewa, bersekutu membalas dendam dengan pergi ke Yogya bersama Fifi dan Anto.

Amerika memang negeri impian.

Seumur hidup, Lupus pengen ngeliat langsung negeri yang begitu banyak diliatnya lewat film-film yang memonopoli seluruh bioskop di Indonesia. Sampai menggusur film dalam negeri. Yang jadi komoditi ekpor adalah negaranya Clinton, karena di samping mengimpor film ke Indonesia, Amrik juga otomatis mengimpor gaya hidup Amrik ke remaja-remaja di sini. Musik rap, metal, Levi's, Coca-Cola, Marlboro, belum lagi baju-baju dan aksesori lainnya yang khas Amrik. Yang jadi jiwa anak-anak remaja Indonesia.

Amerika jadi negara nomer satu dunia! Trend globalisasi bersumber dari sana. Hingga tanpa sadar kita suka mendukung Amerika, dalam konflik internasional. Atiek CB, yang artis itu, pernah ngomong, "Dulu idola saya para teroris Timur Tengah, sebangsanya Abu Nidal, tapi waktu perang Amerika-Irak, saya ngebelain Amerika. Soalnya saya udah kebanyakan dicekoki film dan musik yang serba Amerika!"

Nah, begitu sampai di JFK International Airport, New York, setelah lebih dari 26 jam terkurung dalam Singapore Airlines, Lupus pun nggak bisa mingkem saking salutnya ngeliat bandara yang gedenya amit-amit itu. Hingga dari satu terminal ke terminal lain, kudu naik bus segala. Seumur-umur, Lupus baru ngeliat bandara yang sebegitu gedenya. Ribuan pesawat dengan aneka bentuk, dari mulai Fokker, Concord, sampai Jumbo-jet, ada di sana, dengan logo yang melambangkan negara asal pesawat itu.

Sebelumnya Lupus juga sempet transit di Bandara Changi di Singapura dan Schiphol di Amsterdam. Tapi nggak segede JFK ini. Dan jelas, perjalanan panjang dari Jakarta ke New York yang memorak-porandakan waktu, bikin Lupus jet-lag. Kadang-kadang malam terasa kelewat panjang, sampai Lupus nggak bisa tidur, kadang siangnya juga amit-amit lamanya, hingga mata Lupus merah menahan kantuk, tapi tak kunjung bisa terlelap. Belum lagi tingkah pramugarinya yang meski cantik, tapi suka seenaknya mengatur jam makan penumpang. Giliran belum laper, udah disuruh makan lagi. Giliran perut keroncongan, malah nggak dikasih-kasih makan. Lewat pengalaman pait itu, terpaksa Lupus suka ngumpetin biskuit dan keju untuk bisa bertahan hidup.

Amerika, memang negeri impian.

Ketika mendaratkan kaki di landasan Bandara JFK, Lupus langsung merasa amat berdosa kepada dua sohib antiknya, Boim dan Gusur. Lupus inget, anak-anak itu tadinya begitu girang mau diajak ke sini. Sampai bikin pesta segala. Dan kini mereka tertinggal jauh di belahan dunia sana. Oh, alangkah malangnya.

Lupus pun berusaha menghilangkan perasaan berdosanya dengan menyibukkan diri melihat-lihat sekitar bandara. Seperti kamu tau, keberangkatan Lupus ini karena diajak Oom Surya dan Tante Titu. Selama perjalanan di pesawat dengan pasangan yang "odd couple" itu, banyak kejadian yang bikin heboh, Lupus sendiri nggak pernah bisa ngerti, bagaimana dua orang yang punya karakter amat berlainan itu bisa menjadi suami-istri, kayak Oom Surya dan Tante Titu itu.

Tante Titu hobi nulis cerita untuk anak-anak. Sebetulnya, mungkin lebih tepat kalo Tante ini sering menerjemahkan, bukan menulis. Abis buku karangannya jarang beredar, kecuali di antara murid-muridnya di kampus. Iya lah. Tante Titu ini ngajar Sastra Anak di sebuah universitas, dan dia sering menerjemahkan buku-buku bagus, untuk kemudian dijilid, dan dipaksa mahasiswanya untuk membeli. Lumayan. Tante Titu ini sudah cukup tua. Sekitar lima puluh tahunan lah. Dan cerewetnya setengah mati. Orangnya amat teliti, serba bersih, tapi gampang panik. Kakinya dirubung semut rangrang aja paniknya udah kayak semut rang merubung kakinya. Tapi sebetulnya Tante Titu ini baik hati. Lupus sering dikirimi buku-buku bagus untuk dibaca. Dan Lupus amat tertarik. Berkat tantenya itu, Lupus jadi kenal sama buku-bukunya Roald Dahl, Jules Feiffer, Katherine Paterson, Louise Fitzhugh, William Sleator, Gregory Maguire, dan lain-lain.

Sementara Oom Surya itu orangnya kebalikan dari Tante Titu. Pelupa, berantakan, suka linglung, dn cerobohnya minta ampun. Hingga nggak jarang suami-istri yang nggak punya anak itu sering ribut gara-gara hal-hal sepele.

Kalo udah ribut, hihihi, kayak anak kecil. Main jutek-jutekan muka. Lupus suka mikir, mungkin ltu sebabnya sampai mereka nggak bisa punya anak.

Oom Surya ini suka mendongeng, dan main wayang. Di samping itu, dia suka bikin ilustrasi juga di bukunya Tante Titu. Oom Surya diundang dalam workshop ini, selain mau belajar ilustrasi, jupa untuk mempertunjukkan kebolehannya main wayang,

Itulah sekilas tentang Oom dan Tante yang pergi dengan Lupus. Sekarang balik lagi ke Lupus.

Ketika lewat pintu Imigrasi, Lupus rada tegang juga. Soalnya suka ditanyain macem-macem. Seperti, mau ngapain ke Amrik? Tinggal di mana? Punya banyak duit nggak? Ya, sebel juga. Abis kayaknya Amrik tu ketakutan kedatengan imigran yang nantinya bakal nyusahin pemerintah, dengan nggak punya kerjaan.

Lupus tegang, waktu petugas imigrasi itu meneliti wajah Lupus yang terpampang di paspor.

"Kok nggak mirip?" katanya spontan.

"Ha?" Lupus kaget.

Tapi petugas itu langsung tersenyum, dan mencatat sesuatu. "Just kidding!". ujarnya kocak.

"Welcome to America!" Petugas itu langsung berdiri dan memberi hormat pada Lupus. Lupus langsung tertawa, dan membalas hormat. "Welcome juga!"

"What?" petugas itu bengong.

"Just kidding!" Lupus membalas kocak, dan buru-buru pergi.

Setelah itu mereka menuju ke tempat bagasi. Tante Titu dengan cerewetnya lalu menyuruh Oom Surya dan Lupus buru-buru mengepak barang-barangnya, soalnya takut ketinggalan pesawat berikutnya. Ya, dari New York, mereka harus melanjutkan naik pesawat kecil model Fokker ke Bradley.

Tentu saja lagi-lagi ada masalah dengan Oom Surya. Karena bawaannya yang seabrek-abrek, termasuk membawa kotak wayang, kardus buat pengganti gedebok pisang, tiang penyangga layar wayang, dan baju-bajunya, bikin dia kerepotan setengah mati. Tiap ada pemeriksaan dokumen, semacam tiket, paspor, atau apa aja, Oom Surya terpaksa kudu bongkar-bongkar muatan, karena ia nggak pernah inget di mana terakhir ia meletakkan dokumen-dokumennya.

Belum lagi tiang-tiang yang ia bawa, beberapa kali kena kepala penumpang lainnya. Hingga kalo nggak buru-buru dimintai maaf, bisa terjadi perang antarnegara.

"Bapak ini gimana sih? Naro tiket aja nggak tau, Gimana kalo ilang? Bapak nggak bisa pulang ke Jakarta!" omel Tante Titu sambil menarik-narik Oom Surya untuk bergegas.

"Tit, tunggu tho. Saya kan lagi usaha. Kalo ndak sabar, ya duluan aja..."

Tentu saja Tante Titu nggak berani sendirian ngeloyor duluan.

Kalo udah ribut begitu, Lupus buru-buru menjauh, takut kena damprat juga.

Beberapa saat kemudian Lupus naik Fokker jenis Shorts 360, yang akan membawanya ke Bradley. Pesawat dari maskapai penerbangan American Airlines (American Eagle) ini keliatan kayak bus aja saking mungilnya. Waktu kedua baling-baling diputar, berisiknya minta ampun.

Pramugarinya juga cuek aja nanyain para penumpangnya mau minum apa. Tapi Lupus suka, karena biasanya naik pesawat kecil begini lebih terasa terbangnya. Soalnya nggak bakal terbang terlalu tinggi, hingga bisa ngeliat pemandangan di bawah, Kalo ketiup angin, atau ada udara kosong, jadi oleng ke kanan dan ke kiri kayak dewa mabuk. Hihihi, seru. Lupus buru-buru duduk di dekat jendela, sementara Oom Surya dan Tante Titu lebih suka duduk di gang sambil komat-kamit baca doa. Ya, soalnya kayaknya ni pesawat rada-rada ringkih.

"Berdoa, Oom, Tante, biar selamet. Perasaan saya rada-rada nggak enak nih!" bisik Lupus pada oom dan tantenya.

Tante Titu langsung melotot. "Hei, jangan sembarangan ngomong kamu, Pus! Anak bandel!" Tante Titu menggigil ketakutan. Sampai giginya gemeletuk. Tambahan lagi, saat itu turun hujan, Udara musim panas di New York agak kurang cerah.

Lupus senyam-senyum aja.

Pesawat mulai bergerak dengan ringkihnya, Bergoyang-goyang kayak bajaj ikutan racing. Lupus dengan antusias nunggu pesawat itu lepas landas. Tapi begitu siap-siap mau take-off, tiba-tiba pesawatnya bergerak kembali ke landasan semula, Sang pramugari memberi pengumuman, "Berhubung ada badai, dan suasana tak memungkinkan, pesawat dibatalkan berangkat. Penumpang harap kembali ke ruang tunggu sampai ada pemberitahuan berikutnya..."

Lupus jelas kecewa.

Dan ternyata sampai menjelang malam, beberapa jadwal pesawat dibatalkan. Lupus kesal menunggu lama di bandara. "Kalo nggak memungkinkan, penumpang akan diberangkatkan dengan bus ke Bradley," ujar petugas bandara.

Lupus makin kesel. Kalo soal naik bus sih, di Jakarta ia udah bosan, Lupus pun dengan setia menunggu di bandara sampai badai reda. Ia menolak naik bus. Dan penantiannya tak sia-sia, karena beberapa saat kemudian, udara dinyatakan aman, dan pesawat Eagle itu diperbolehkan berangkat. Maka berangkatlah Lupus ke Bradley.

Pemandangan dari atas pesawat benar-benar indah. Kota-kota kecil di bawah kayak maket yang rapi. Satu hal yang menarik dari kota-kota atau desa-desa di Amerika, rumah: rumahnya tersusun rapi, dari kayu dan dicat dengan warna-warna yang hidup. Ada merah, hijau, kuning, biru... pokoknya asyik. Beda sama rumah di kompleks perumahan di Jakarta yang rata-rata semua berwarna putih. Nggak ada variasi.

Lupus benar-benar kagum. Matanya nggak lepas dari pemandangan di bawah sana.

Beberapa saat berselang, ketika pesawat mungil itu mendarat di Hartford's Bradley Airport, hari sudah malam. Sekitar pukul delapan, Tapi karena ini musim panas, udara belum begitu gelap. Dan berbeda dengan Bandara JFK, Bradley mempunyai bandara yang mungil. Dari petugas, didapatkan informasi bahwa ada bus dari perusahaan Peter Pan yang bisa membawa mereka ke South Hadley, Massachusetts, pukul sembilan malam nanti. Itu bus terakhir. Dan bus-bus di Amerika memang sangat tepat waktu. Pas pukul sembilan, muncul sopir Peter Pan mencari penumpang menuju South Hadley. Bus itu melewati jalan tol menuju South Hadley.

Saat itu kali pertama Lupus melihat rakyat Amerika dari dekat. Mobil-mobil di jalan tol kebanyakan open kap. Pengendaranya cuek-cuek, nyetir sambil minum dari botol. American style banget. Kulit-kulit mereka yang bule, nampak kemerahan terbakar matahari. Kebanyakan yang nyetir malah cewek, cowoknya duduk santai di sebelah sopir. Nyetirnya juga di kiri.

Sampai South Hadley, mereka disarankan naik limousine ke Mt. Holyoke College, kampus tempat workshop itu diadakan, yang terletak di lereng Gunung Holyoke. Daerah yang menjadi bagian Massachusetts itu memang daerah kampus. Banyak kampus lain terletak di sekitar Mt. Holyoke.

"Naik limo? Aduh gile. Bayarnya berapa?" Lupus kaget juga. Di Jakarta kan hanya konglomerat yang naik limo. Kok di sini jadi kendaraan umum?

Tapi Lupus jadi kecewa ketika limo yang dimaksud datang. Ternyata hanya mobil semacam mini-bus yang dinamakan limo.

"Ya, itu emang sebutan kami untuk kendaraan umum ini," ujar Negro yang menyopir mini-bus itu.

Maka berangkatlah mereka ke Mt. Holyoke.

***

Mt. Holyoke College adalah kampus impian.

Kompleks universitas itu luar biasa luasnya. Puluhan gedung bergaya kuno dijadikan ruang untuk kelas, asrama, laboratorium, teater terbuka, teater tertutup, toko stasionari, dan kebutuhan akademis lainnya. Lupus menggeleng-geleng, pantesan aja anak Amrik pinter-pinter, fasilitas belajarnya luar biasa dan bikin betah.

Suasana sekitarnya pun indah, dengan pohon-pohon yang rindang, rumput yang hijau, jalan setapak yang bersih, hingga binatang-binatang kecil macam bajing, burung, akrab bermain-main.

Tapi yang bikin Lupus kecewa, ternyata saat itu lagi liburan musim panas, hingga kampus terasa amat sepi. Dan semua peserta workshop itu tua-tua, seumuran dengan Tante Titu. Tante Titu langsung betah ngerumpi sana-sini, sambil minum teh, sedang Lupus nggak punya temen.

Lupus dapet kamar sendiri di lantai tiga sebuah gedung asrama tua yang bernama Rockefeller. Aduh, jangan deh ngebayangin kamarnya kayak apartemen mewah kayak di film-film Amerika. Kamarnya justru sederhana, dengan tempat tidur kayak di rumah sakit. Jendelanya dari kayu dan besi yang nampak tak lekang dimakan zaman. Kuno banget. Tiap kamar dilengkapi tempat tidur besi, - ruang untuk ganti baju, meja kayu tua dan kursinya, serta lemari baju. Perabotan itu mengingatkan Lupus pada rumah neneknya di desa. Yang asyik, hanya kamar mandi yang dijadikan satu di ruang tersendiri, dengan shower, dan mesin minuman dan ruang cuci pakai koin yang ada di lantai bawah tanah.

Di seberang kampus itu, ada sebuah pertokoan indah yang bernama Village Commons, yang menjual baju, dan keperluan sehari-hari lainnya.

Toko Buku Odyssey juga terletak di situ, bersama restoran dan bioskop. Semula Lupus merasa betah juga, ada hiburan. Tapi begitu tau jadwal acaranya ketat, dari pukul sembilan, hingga pukul sembilan malem, Lupus langsung semaput. Berarti nggak ada waktu untuk hura-hura!

Buang sampah juga nggak bisa sembarangan, karena udah diatur jenisnya supaya bisa didaur ulang, Daur ulang memang kampanye yang lagi gencar di Amrik, selain antirokok.

Acara sehari-harinya, biasanya sehabis sarapan, lantas ada kuliah utama. Pakai bahasa Inggris yang susah dimengerti, hingga Lupus harus pasang kuping baik-baik untuk tau apa yang mau diomongin. Yang memberi kuliah, kebanyakan pengarang dan kritikus bacaan anak asal Amrik. Rata-rata memang berusaha melucu, tapi Lupus tetap nggak ngerti.

Sehabis makan siang, ada diskusi kelompok.

Nah, ini yang paling disebelin Lupus. Di samping usianya paling muda (yang lainnya nenek-nenek!), Lupus juga suka gelagapan kalo dimintai pendapat. Ya gimana, untuk ngomong aja masih susah, malah disuruh diskusi. Tapi untungnya orang-orang Amerika itu sopan-sopan dan baik-baik. Hingga meski sulit ngomong, mereka terus memberi spirit Lupus untuk mencoba berbicara. Dan nggak ada yang suka ngetawain. Semua dihargai. Ciri-ciri orang berbudaya maju memang suka menghargai pendapat orang, objektif, dan suka mengeluarkan pendapat. Kebiasaan ini kan kurang Lupus liat di temen-temennya di sekolah. Mereka nggak terbiasa mengeluarkan pendapat. Dipendem terus. Mungkin takut diketawain, ya?

Empat hari berlalu, Lupus mulai jenuh juga. Meski ada selingan acara sebangsa cocktail party, atau minum-minum teh, tapi kalo yang kebanyakan dateng nggak bisa diajak ngocol, Lupus jadi males. Apalagi terhadap kuliah yang bikin ngantuk, karena kesulitan dengan bahasa. Tapi Lupus ngeliat, bukan cuma dia aja yang ngantuk. Oom Surya lebih gawat lagi. Sering kedapetan ngorok di ruang kuliah yang biasanya diadakan di auditorium, yang full AC itu. Walhasil, tetangga kanan-kirinya jadi suka terganggu, ngelirik ke arahnya. Kalo udah begitu tinggal Tante Titu yang panik, buru-buru ngebangin Oom Surya dengan muka sebal.

"Bapak ini lho, malu-maluin aja. Bikin malu bangsa Indonesia!" omel Tante Titu.

Maka dibikin perjanjian. Tante Titu disuruh duduk dekat Oom Surya. Jadi kalo ada tanda-tanda Oom Surya tertidur, Tante Titu disuruh buru-buru ngebangunin pake ujung pensil. Dan ini bikin problem lagi. Karena Tante Titu dinilai kelewat aktif ngebangunin. Jadi Oom Surya belum terlelap, baru leyeh-leyeh, atau menyender di pegangan kursi, Tante Titu udah menusuk-nusuk pinggangnya pake pensil yang sengaja diraut tajem banget. Oom Surya jadi ngomel, "Lha wong saya belum tidur kok udah dibangunan... eh, dibangunin!"

"Itu tadi Bapak tidur kok!" tukas Tante Titu.

"Belum! Saya cuma nyender aja. Capek. Emang nyender nggak boleh?"

Jadi ribut deh. Belakangan Lupus yang dapet tugas ngebangunin. Dan ini makin runyam, karena akhirnya malah dua-duanya yang ngorok.

Jadilah Tante Titu makin panik.

Di hari kelima, pas sarapan kebetulan Lupus semeja dengan Bapak dan Ibu Green. Dua-duanya sangat menarik Lupus langsung betah ngobrol ngalor-ngidul. Bapak dan Ibu Green ini sudah cukup tua, umurnya sekitar enam puluhan lah. Tapi masih nampak kuat. Pak Green hari itu memakai topi dari anyaman bambu, serta membawa ransel.

"Mau pergi ke mana, Pak Green?" tanya Lupus.

"0, saya mau hiking. Mau ikut?"

"Nggak ikut kuliah?" tanya Lupus.

"Ah, ini kan kegiatannya istri saya. Saya hanya menemani, sambil jalan-jalan keliling daerah Mt. Holyoke!" ujar Pak Green.

"Iya, kalo mau ikut, boleh, Pus. Kamu kuat, kan, naik gunung? Masih muda begini," rayu Bu Green.

Lupus jelas setuju untuk bolos kuliah. Lumayan buat ngusir rasa jenuh.

Akhirnya setelah naik mobil ke dekat puncak gunung, mereka hiking ke puncak gunung yang curam.

"Agak curam nih, tapi kamu kuat, kan, Pus?" tanya Pak Green,

"Kuat!" ujar Lupus mantap. Soalnya puncak gunungnya udah jelas keliatan.

Pak Green kemudian mengeluarkan tongkat dan ransel, dan mulai berjalan dengan langkah tegap. Lupus mengikuti dari belakang. Sepanjang jalan, Pak Green mengoceh macam-macam tentang nama-nama tanaman, binatang, buah-buahan.... Nampaknya Pak Green ini amat mencintai lingkungan.

Baru setengah perjalanan, napas Lupus udah ngak-ngik-ngok kayak orang asma. Pak Green cemas, dan menoleh ke belakang. "Kamu nggak apa-apa, Pus?"

"Nggak!"

Tapi beberapa detik kemudian, pandangan Lupus mulai berkunang-kunang, dan ia mulai nyesel setengah mati mau ikut naik gunung.

"Pak... b-bisa istirahat dulu?"

Belum sempat Pak Green menjawab, Lupus jatuh pingsan!

Pas siuman, karena dikasih minum oleh Pak Green, Lupus jadi malu banget. Pak Green yang udah kakek-kakek masih kuat, tapi Lupus yang masih muda udah loyo.

"Maaf, Pak Green, jadi bikin repot!"

"Ah, nggak apa-apa.... Memang salah saya memilih jalur yang terlalu curam......

Setelah segar, mereka berjalan ke puncak Dan pemandangan dari puncak Gunung Holyoke ternyata memang indah luar biasa. Beberapa negara bagian Amerika terlihat dari atas gunung. Lupus tak puas-puasnya memandang,

Setelah itu, Pak Green mengajak Lupus ke hutan buatan, penampungan air minum, tempat pemeliharaan ikan tawar, dan tempat bekas tapak dinosaurus yang dijadikan daerah wisata.

Hari itu, Lupus belajar banyak hal dari lingkungan! Belum pulangnya ia ditraktir makan oleh Pak Green!

***

Pegunungan Holyoke memang oke. Tapi terus terang, bukan pemandangan pedesaan seperti ini yang diimpikan Lupus jika sempat ke Amrik. Terus terang mentalnya nggak siap menerima suasana sunyi seperti ini. Lupus mau ngeliat Amrik seperti di film-film. Rame, seru, dan full action. Tapi ternyata di situ sepi.

Makanya Lupus jadi kangen berat sama temen-temennya. Dia merasa sendirian di Amerika yang luas. Di tengah rasa sepinya, Lupus mulai nyari akal untuk menghubungi temen-temannya sebangsa Boim dan Gusur. Dasar konyol, ia ingin melakukan hal-hal yang nggak biasa. Masalahnya ia males nanya di mana ada kantor pos, dan gimana cara ngirimnya. Tau sendiri, orang-orang Amrik kalo ngomong cepet banget, dan semua orang yang dateng ke Amrik dianggap bisa bahasa Inggris. Lupus jadi males.

Maka malem itu, sepulang ngedengerin ceramah, Lupus jalan-jalan ke ujung kompleks kampus, Di sana terdapat danau dan sungai kecil.

Lupus segera nulis surat di dalam botol. Botol itu dihanyutkan di sungai. Besok paginya, pas suasana sekitar nampak terang, Lupus baru ngeh kalo sungai itu mengalir ke danau kecil di dataran rendah, dan botol Lupus muter-muter aja di situ.

Yang lebih konyol, waktu memutuskan nekat menulis surat aja, dia baru tau bahwa dia nggak tau alamat rumah Boim dan Gusur. Rumahnya sih tau, tapi apa alamat rumah mereka itu terdaftar atau nggak, Lupus nggak tau juga. Sebab setiap ditanya orang, Gusur selalu menyebutkan ancer-ancer rumahnya, bukan alamat lengkapnya. Misalnya, di belakang pos hansip belok kiri, mentok sampai di kandang bebek, lalu ke kanan, sampai di dekat sarang burung, di situlah rumah Gusur. Bersatu dengan burung-burung, hehehe....

Usaha terakhir, di teras kamar asramanya, Lupus meniru gaya Indian mengirim kabar pake asep. Cuek aja dia. Sampai ternyata baru sadar kalo orang-orang pada panik, berkumpul di bawah asrama sambil berteriak-teriak, "Fire! Fire!”

Dua blanwir didatangkan.

Tante Titu jelas panik setengah mati.

Besoknya Lupus dihukum nggak boleh keluar kamar sama Tante Titu. Lupus malah seneng, soalnya nggak usah ikut kuliah yang bikin ngantuk itu. Ia tiduran sepanjang hari.

Dan akhirnya datang hal yang paling mengasyikkan. Ketika Bill Sleator, sang pengarang, datang ngasih ceramah, Lupus tertarik sama gayanya yang kocak. Seusai ceramah, pas acara buffet, Lupus nyamperin Bill untuk kenalan.

Buntut-buntutnya Bill malah ngasih alamatnya di Boston. "Kalo sempet, maen ya ke Boston?"

"Naik apa?"

Bill menjelaskan kalo ada bus Peter Pan dari depan kampus yang menuju ke Boston. Lupus dikasih tau cara-caranya. Akhirnya pas Sabtu sore, karena ada break kuliah, Lupus ngabur ke Boston tanpa setau oom dan tantenya. Tante Titu bakal panik dan ngomel-ngomel, tapi buat Lupus gila rasanya kalo jauh-jauh ke Amrik hanya ngedon di suatu desa bernama Mt. Holyoke!

Perjalanan ke Boston sendirian memang agak menegangkan. Dengan modal jadwal keberangkatan bus di tangan, Lupus mengecek di setiap pemberhentian, karena Lupus harus mengganti bus di Springfield. Kira-kira tiga jam kemudian, Lupus tiba di stasiun bus Boston. Wah di kota Boston ini banyak gedung raksasanya. Nah, dengan harapan moga-moga ketemu New Kids on the Block, Lupus jalan-jalan bermodalkan peta kota Boston yang ia beli di terminal. Untung orang-orang Boston sangat membantu, hingga ia bisa langsung menuju Pedestrian Mall, yaitu pasar turis teramai di Boston, Pasarnya kayak Blok M zaman dulu, karena banyak yang menggelar jualan dan mempertunjukkan keahliannya di taman-taman kota. Lupus segera berburu barang-barang khas Boston buat oleh-oleh.

Menjelang malam, setelah lelah berkeliling, Lupus mulai cemas juga. Gila, sendirian di kota asing yang begitu besar. Ia mau menelepon Bill, tapi rasanya nggak enak. Soalnya udah kemaleman, dan lagi biasanya orang bule kan amat menghargai privacy. Akhirnya dengan modal nekat, Lupus mulai mencari info tentang hotel murah di Boston. Dari info di koran, didapat Farrington Inn, yang sewanya nggak mahal. Lupus pun menyewa taksi yang sopirnya Negro serem banget untuk mengantar ke Farrington Inn.

"Can you take me to this hotel, Sir?" ujar Lupus nekat.

Negro itu membaca, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. Lalu Lupus naik ke taksi. Ternyata Farrington Inn itu jauhnya amit-amit! Tapi penginapannya lumayan enak. Untung masih ada sisa satu kamar.

Setelah istirahat semalam, besoknya Lupus baru telepon Bill. Bill kaget juga tahu ada Lupus di Boston. Dengan janji bakal ngajak jalan-jalan. Lupus akhirnya ke rumah Bill di Jalan Worcester. Setelah ketemu Bill di apartemennya yang indah, mereka pun merencanakan jalan-jalan

"Pokoknya, Bill, saya mau ngerasain semua yang nggak ada di Jakarta," ujar Lupus.

Bill seorang yang sangat menarik. Ia ngajak Lupus naik kereta bawah tanah, jalan-jalan di sepanjang teluk, ngeliat film Imax di Science Museum, ngeliat akuarium gede ala Seaworld di Ancol, dan berburu oleh-oleh.

Bill katanya biasa bergaul dengan orang Asia, karena ia sering tinggal di Bangkok. Dari Bill, Lupus banyak dapat cerita tentang kehidupan pengarang di Amerika. "Hanya yang sukses besar aja yang kaya, kalo yang kayak saya, biasa-biasa aja. Mobil aja saya nggak punya," ujar Bili.

Sorenya Lupus pulang dengan bus terakhir ke Mt. Holyoke. Satu hari yang menyenangkan!

Pas pulang, Lupus diam-diam langsung masuk ke kamarnya. Semua sudah pada bobo. Termasuk Tante Titu. Ah, biar aja besok ia dimarahi abis-abisan, yang jelas hari itu ia udah puas keliling Boston dengan Bill.

Begitu membuka kamar, Lupus menemukan sebuah surat yang gendut banget karena tebalnya, dan ditujukan buat dia. Lupus buru-buru menyalakan lampu, dan membaca nama pengirimnya: Dari Gusur, Boim, Fifi Alone, dan Anto.

Hah? Lupus langsung melompat ke kasur, ada rasa rindu dan bahagia meledak di dada. Seolah kesepiannya terobati dengan datangnya surat yang amat ditunggu-tunggunya ini.

Tanpa bisa menahan air matanya yang menetes, Lupus membaca....

10. SURAT GENDUT BUAT LUPUS

Gambir, First evening train.

Hari pertama liburan.

Halo, Lupus,

Ini giliran Anto yang nulis. Surat ini sengaja ditulis di atas rel... eh sori, di atas kereta yang baru saja berangkat, untuk meyakinkan kamu bahwa saya beserta Boim, Gusur, en Fifi telah cabut ke Yogya tanpa kamu yang jelek.

Biar kamu lebih percaya, bersama ini kami lampirkan karcis yang kami beli dengan perjuangan kakak-kakak, adik-adik, dan tetangga-tetangga kami yang telah berhasil mengalahkan rival-rival, calo-calo, dan para mudikawan-mudikawati (orang-orang yang mau mudik!) yang ingin berlibur di kampung halaman.

Asal betah aja, ini surat bakalan panjang banget kayak iring-iringan pawai tujuh belasan. Soalnya anak-anak yang lain juga pengen ikutan nulis, kalo saya capek.

Nah, seprti kamu tau, setelah kamu pergi ke Amrik ninggalin kami yang kesepian di sini, kami ini jadi punya rencana untuk ngilangin kecewa dengan bikin acara sendiri. Karena, terus terang aja, Boim dan Gusur itu kecewa berat nggak jadi kamu ajak ngeliat Sharon Stone di Amrik. Fifi Alone yang emang dari pertama nggak pernah niat diajak, lebih kecewa lagi, karena nggak sempet nitip daftar pesanan oleh-oleh ke kamu. Pokoknya intinya, dari rasa kecewa itu, kita bikin acara tandingan. Kayaknya nggak kalah seru. Kami mau piknik ke Yogya!

Di Yogya juga banyak bule, dan nggak kalah seru sama Amrik, kan? Tadinya Boim nolak ikut. Gusur juga ogah-ogahan. Tapi pas tau Fifi mau ikut, Gusur jadi semangat. Ya, kamu kan tahu sendiri, Pus, sebetulnya dia itu kayak kutu beras aja. Di mana-mana ada. Ngikut terus. Apalagi kalo ada si artis kita Fifi Alone. Doi betah banget. Bela-belain ninggalin engkongnya.

Sedang Boim, begitu tau bakal ditinggal sendirian di Jakarta, jadi ikut-ikutan. Lagian dia itu kan orang Betawi tulen. Jadi nggak pernah ngerasain "enaknya" liburan di kampung. Makanya, dengan restu orangtua dan tetangga-tetangganya, Boim ikut liburan sama kita-kita.

Sekarang laporan pandangan mata! Artis kita si Fifi Alone, yang duduk di depan saya, lagi tersipu-sipu karena ketangkep basah melirik arloji penumpang di seberang kirinya. Tapi artis kita ini pura-pura cuek, sambil ngisi TTS. Padahal sih jempol kakinya tersipu-sipu malu. Sementara si Boim sama si Gusur lagi rebutan bantal buat bobo. Ih, ketauan ya, di rumahnya nggak punya guling! (Jawaban: B. Pertanyaan dan jawaban benar, tapi nggak berhubungan,)

Sementara kereta sudah melaju menuju Yogya yang jauh. So long, Jakarta!

***

(Maaf, komando diambil alih. This is CNN, and Boim Lebon with the news. First, the headline:)

Seorang pria nggak kece yang bernama (siapa lagi kalo bukan) Gusur memperoleh sejumlah uang atas penemuannya yang terbaru: dapat membuka tutup botol tanpa menggunakan alat pembuka tutup botol.

Sebagai pelengkap, kami juga menampilkan berita menarik dari gerbong di sebelah depan kami.

Berita selengkapnya!

Gak sombong ya, perasaan di gerbong ini, kita-kita memang paling kece (yang lain, nenek-nenek dan kakek-kakek). Buktinya waktu baru masuk gerbong, salah seorang dari kita udah langsung dapat fans. Yaitu: saya. Hebat nggak tuh? Saya langsung dicarikan tempat duduk yang enak, strategis, dan bebas banjir. Di samping itu, perlu diketahui kalau di gerbong ini tempat duduknya ternyata asyik juga. Lumayan lah, meski joknya biar dipaksa setengah mati, tetap nggak mau maju-maju (Eeh, sori ya, bukannya biasa ngebecak bertiga, tapi maklumlah, biasa naik BMW... he he he!). Maka dengan sangat menyesal, kita ucapin selamat berduka-cita buat yang nggak ikutan.

Berita selanjutnya akan diteruskan oleh rekan saya Anto, berhubung. saya pengen pipis dulu.

Silakan, To...

Eng... terima kasih. Seorang seniman yang terkenal sablengnya, yang bernama Gusur, telah mendapat sejumlah uang untuk hak patennya atas penemuan paling berharga abad ini. Dia telah menemukan metode paling praktis untuk membuka tutup botol tanpa menggunakan alat pembuka botol. Cara ini, katanya, sangat berguna untuk Anda-anda yang sedang dalam perjalanan, di mana alat pembuka tutup botol sangat sulit didapatkan.

Adapun tentang bagaimana metode yang akan dia terapkan, bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, ambil sebuah botol minuman merek apa saja. Lalu, pegang erat-erat botol tersebut dengan kedua tangan. Konsentrasi sebentar, kemudian dekatkan mulutmu pada bagian ujung atas botol. Lalu gigit, dan bukalah tutup botol itu sekuat tenaga dengan gigi-gigimu. Selamat mencoba!

Perlu diingatkan bahwa metode membuka tutupbotol ala Gusur ini sangat dilarang bagi nenek-nenek dan kakek-kakek, karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!

Berita menarik dari gerbong sebelah depan telah kami terima dari reporter kami, yang barusan secara khusus melanglang buana ke gerbong tersebut. Dilaporkan bahwa cendekiawan-cendikiawati di gerbong tersebut telah berkumpul untuk memecahkan masalah pelik yang mereka hadapi. Yaitu, cara agar gerbong tersebut bisa mendahului lokomotifnya, supaya bisa sampai lebih dahulu di Yogya.

Dari hasil keputusan seminar tersebut, akhirnya diputuskan bahwa mereka sepakat akan memindahkan sang lokomotif ke belakang gerbong, supaya mereka tak usah repot-repot mendahului lokomotif unhlk sampai lebih dulu ke Yogya.

Sementara itu, Fifi Alone yang tadi lagi teler, dengan semangat '45 sampai meloncat bangun ketika petugas restorasi yang ganteng muncul. Dasar artis kapiran. Lantas kita-kita pun memesan makanan buat ngisi perut. Sekian berita hari ini, Pus, selamat malam.

Balasan dari Fifi.

Enak aja! Ikke kebangun lantaran kepala ikke kesenggol sama tu orang. Jangan nuduh sembarangan dong! Lagian, mana ikke tau kalo dia itu ganteng? Lha wong yang keliatan cuma "side-B"-nya doang kok... (Eh, Anto, tapi apa iya dia itu ganteng, ntar kalo lewat lagi bangunin ikke, ya?)

***

Pukul sembilan malam.

Biar ngantuk-ngantuk, saya mau ikutan, ah! Oya, ini Boim yang lagi nulis, Pus. Abis gimana nggak mau ikutan, kalo topik pergosipan Fifi udah mulai ke cowok ganteng. Saya kan juga merasa ganteng, jadi tersinggung... he-he-he.

Sekarang laporan pandangan mata sayu (minta digaplok!).

Beberapa detik yang lalu, si Fifi Alone terbangun lagi ketika petugas restorasi yang katanya ganteng lewat. Wah, norak deh, doi langsung senyum-senyum sambil mendekikkan pipinya.

Yang kasihan ya si Gusur itu. Langsung frustasi.

Eh, iya, Saya sekarang lagi menguasai jatah dua tempat duduk, berhubung si Anto yang ceking itu lagi hijrah ke WC, gara-gara kebanyakan makan dodol. Asyik deh, jangan cepet-cepet balik ya, Nto...

***

Puku121.15.

Akhirnya saya (Anto, nih, Pus!), berhasil keluar dengan sukses dari kamar kecil sialan. Gimana nggak sialan? Saya hampir mati keabisan dodol gara-gara pintu WC-nya dipaksa-paksa ggak mau ngebuka juga. Saya jadi curiga, jangan-jangan si Boim yang iseng ngunciin dari luar. Tapi tadi setelah diinterogasi, si Boim gembel (eh, si Boim itu biar julukannya gembel, orangnya sih belum tentu nggak gembel lho!) nggak ngau. Dia bilang, dia lagi tertidur dengan lelapnya di bangku kereta. Saya jadi takut, jangan-jangan WC-nya ada setannya. Iiiiih... ini kan udah malem.

Tapi jangan kuatir, Pus, saya sampai saat ini masih sehat walafiat tanpa kurang suatu apa.

Sementara si Boim lagi tewas. Tidur dengan malu-malu (mukanya ditutupi saputangan!). Kasihan banget dia, Gusur yang gendut itu ngabisin hampir tiga perempat tempat duduk. Terpaksa Boim kedempet ke dekat jendela, Udah aja sekalian menclok di jendela, Im!

Di lain pihak, Fifi Alone yang maunya duduk terpisah (maklum, artis!) lagi ngamuk-ngamuk. Soalnya doi lagi asyik-asyik tidur dibangunan eh, dibangunin tukang karcis, Padahal dia lagi ngimpi diajak jalan-jalan sama tukang dodol yang ketemu di perjalanan tadi. Kasihan amat!

Udah ah, saya mau ikutan bobo. Sampe ketemu besok pagi ya, Pus,

***

Pukul 06.45, pagi hari.

Anto lagi nih, Pus. Uh, sebel amat, dari tadi keretanya berhenti-berhenti terus. Bikin lama aja. Tapi,.. eh, slamat pagi buat Fifi, Boim, dan Gusur (yang terakhir ini teguh kukuh bertapis baja... tidurnya! Tahan guncangan dan teriakan para tukang wingko babat, dodol, keripik, etc).

Lalu setelah cuci muka, saya ama anak-anak mulai siap-siap mau sarapan. Makanan sudah diantar. Nah, si Gusur, demi mencium bau makanan, perlahan-lahan siuman. Menggeliat, dan langsung menyantap hidangan. Busyet, nggak cuci muka dulu, Sur?

"Enggak usah. Biar lebih natural," sahutnya,

Doi emang jagoan dalam soal makan. Sementara bibirnya yang nggak mau mingkem, makin mekar kayak bunga....

Dan setelah Gusur selesai menyantap hidangannya yang terakhir, langsung aja dia menyender dengan mesranya ke bahu Boim yang malang. Boim ngamuk-ngamuk, tapi Gusur cuek maning. "Kalo cewek yang nyender sih, mendingan. Yang ini, udah bukan cewek, nggak kece lagi!" maki Boim sewot.

Memang Fifi masih teler. Dan Boim lagi asyik menikmati pemandangan di luar jendela yang gelap. (Apanya yang asyik? Item melulu kok! Boim yang pindah duduk di samping saya langsung protes. Cuekin aja, ya?)

Sementara Fifi dengan kebonya mulai mendengkur lagi. Ih, artis apaan tuh! Tidur kok sempet-sempetnya ngorok. Suara dengkurnya jadi sahut-sahutan sama dengkurnya si Gusur. Kompak banget, kayak vokal grup. Fifi ambil suara satu, Gusur suara dua.

Tapi meski berisik, biarin aja deh. Lumayan buat ngusir-ngusir nyamuk yang nekat pada kemping di ketiak Gusur.

Sampai di Purwokerto.

Nah, itu si Fifi terbangun dengan sebelnya.

"Uh, kok jalannya nggak abis-abis?" katanya.

Sementara kereta lagi-lagi berhenti. Di luar, tukang-tukang jualan mengetuk-ngetuk jendela.

Fifi marah-marah. Merasa terganggu.

Di luar, anak-anak kecil banget yang botak pada berdiri di samping rei kereta yang berhenti. Nggak pake baju, sambil menadahkan tangannya. Kasihan deh. Menunggu seorang penumpang yang iseng melempar uang recehan pada mereka dari jendela kereta. Dan mereka pun saling berebut.

Kasihan ya, Pus?

Saya suka mikir, Pus, apa mereka disuruh orangtua atau inisiatif sendiri? Kalau memang inisiatif sendiri, alangkah sayangnya, anak sekecil itu sudah punya naluri meminta-minta. Mengharap belas kasihan orang lain. Tapi kalau memang disuruh orangtuanya, ya sayang juga. Masa anak sekecil itu sudah dididik orangtuanya untuk ngemis? Kalau saya sih, yang namanya mengemis itu paling nggak mau. Anti deh. Mending minta daripada mengemis.... (he-3x, sama aja, ya?)

***

Kebumen, 08.30. (Bisa dipertanggungjawabkan! Berdasarkan jam stasiun.)

Inilah laporan lirikan mata Boim.

Anto sekarang gantian tewas. Mungkin diakecapekan abis ngegosip sendirian. Ah, si Anto sok prihatin sama anak kecil. Padahal nasib Anto sekarang juga cukup memprihatinkan. Anto itu biar gitu-gitu juga, dalam perjalanan cintanya yang sekarang ini lagi dilanda dilema. Dia harus memilih, satu di antara dua gadis yang ada. Yeah, istilah kerennya, torn between two lovers. Dia lagi bingung memilih, Svida atau Vinni yang harus dipilih untuk bisa menjadi pendampingnya. Soalnya dua-duanya sama-sama nggak mau. Hahaha....

Ng... oya, Pus, si Gusur itu nightmare sekali orangnya! Gara-gara dia, saya tadi sampai tiduran di lantai kereta. Sebel, abis disender-sender dan didekap erat-erat sama si Gusur yang tertidur. Emangnya gue guling?

Si Gusur kalo tidur paling suka ngeselin. Nggak bisa diem. Ke sana ke sini terus. Orang yang dideketnya pasti jadi korban. Dipeluk-peluk mesra, didekap, ditiduri... eit, sori, disenderi maksud saya. Yah, kayak hombreng, gitu. Nggak tau kali tu anak kalo sekarang lagi musim AIDS.

Nah... lihat tuh, Pus, sekarang Gusur lagi kegerahan. Bajunya dibuka. Busyet dah, di kereta begini, dia tega-teganya bertelanjang dada. Mana keteknya yang bau diekspos ke mana-mana. Busyet, baunya! Untung saya udah pindah. Kalo enggak, wah bisa pingsan.

***

Laporan kerlingan mata Fifi Alone.

Laporan ikke diawali oleh jeritan tertahan ketika melihat ke arah Gusur norak itu yang masih asyik berketek ria. Dengan menguasai dua tempat duduk (Boim ngungsi ke kolong!), Gusur asyik tidur terkapar serasa di pantai. Kayak duyungson. Ih, amit-amit deh tu anak.

Ikke emang baru bangun beberapa detik yang lalu. Berias-rias sebentar, lalu sempet tanya-tanya sama Boim, lagi ngapain kamu, Im?

"Bikin surat buat si Lupus," jawabnya.

"Emang bisa bikin surat cinta di atas kereta yang goyang-goyang terus?"

"Justru karena keretanya goyang-goyang terus, tulisan saya bisa dimaklumi jeleknya. Soalnya dalam keadaan bagaimana juga, tulisan saya selalu jelek. Mungkin ada bakat jadi dokter gigi spesialis kandungan," cerocos si Boim.

Dan ketika Boim tertidur, ikke colong aja kertasnya. Ternyata dia lagi nulis surat panjang ini.

Tertarik juga ikke untuk ikutan nulis. Boleh ya, Pus?

Asal kamu tau aja, Pus, ikke memang sengaja memesan dua tempat duduk untuk ikke sendiri. Bukannya mau ngikutin si Gusur untuk berduyungson ria. Ih, amit-amit, Tapi supaya nggak desek-desekan aja duduknya. Di samping itu ada keuntungan lain, Pus. Kalo ada cowok kece, kan bisa diculik disuruh dud uk di samping ikke. Tapi so far so bad. Selama ini belum nemuin makhluk imut-imut kesasar ke gerbong ini, kecuali petugas restorasi yang tadi itu. Itu juga nggak bisa diculik, karena sibuk mondar-mandir terus ke sana kemari.

Eh, untuk saat ini, ikke emang satu-satunya makhluk paling kece di gerbong ini. Kamu kan tahu, Pus, kalo ikke di sini emang cewek sendiri. Udah gitu kece lagi. Ibarat perawan di sarang penyamun. Jadi jangan heran kalo sejak tadi, ikke selalu menjadi focus of interest (atau terjemahan bebasnya: diliat boleh, dipegang apalagi) sama cowok-cowok, baik tua maupun muda, baik perjaka atau duda. Di kereta yang lumayan keren ini, fans ikke cukup merata. Dari tukang wingko sampe petugas restorasi.

Makanya ikke berias-rias terus, untuk menjaga penampilan. Supaya mereka kagak pada kecewa sama ikke punya penampilan. Ya, jadi orang top itu emang rada repot. Selalu dituntut untuk tampil secanggih mungkin di depan umum, dimintai tanda tangan, digosipin, dielu-elukan, dan sebagainya! Tapi itu emang rikiso eh, risiko. Ikke cukup maklum. Ikke cukup suka.

Si Boim yang suka sirik itu, emang pernah bilang kalo ikke hidup di alam utopi. Alam yang dibangun oleh angan-angan muluk ikke sendiri. Nggak realistis. Tapi kan whatever his jigong say, ikke sih nggak pernah peduli. Seperti pernah ikke bilang, wajar kan kalo orang top selalu disirikin. Dan lagi ikke pernah membaca pepatah yang bilang bahwa seorang pemimpi yang terus mematri mimpi-mimpi dalam kepalanya sambil terus berusaha keras mewujudkannya, adalah seratus kali lebih baik daripada si Boim eh, daripada seorang yang terus saja bekerja tanpa pernah tau apa yang ia tuju.

Yah, begitulah kejadiannya, Pus.

Wassalam.

Fifi Alone

***

Pagi hari sekitar pukul sembilanan.

Catatan nyempil buat Gusur dari Boim.

Kepada yang tersayang Gusur Gendut yang masih terlelap dengan merananya....

Salam kompak selalu,

Sori ya,. Sur, kalo kamu ngamuk-ngamuk nanti, setelah tau apa yang terjadi dengan kaos kaki dan jempol kakimu tersayang. Soalnya tadi saya terbangun dengan kagetnya, gara-gara mencium bau terasi campur cuka plus cumi-cumi begitu mencium aroma yang berasal dari telapak kakimu yang berkaos dekil. Tadinya saya kira saya lagi mimpi buruk, nggak taunya setelah terbangun, telapak kakimu yang kayak jahe itu mendarat dengan manisnya di wajah saya. Lengkap dengan kaos kaki yang nampak belum pernah kenai sabun cuci seumur idup.

Gimana nggak keki?

Makanya sori aja kalo jempolmu itu kini terpaksa diamankan dengan plastik plus diiket karet gelang. Juga kaos kakimu yang kini tergantung manis di dekat hidungmu dengan seutas tali rafia.

Semoga Tuhan memberkahimu.

Amien.

TENG! Tepat pukul lo.00 WJB (Waktu Jamnya si Boim).

Ketepatan waktunya memang boleh diragukan. Soalnya jam-nya si Boim termasuk jenis jam ser-nit. Alias digeser tiap menit. Abis telat melulu.

Nah, kita berempat: Anto, Fifi, Gusur, dan Boim, mengangkat "toast" buat peristiwa paling bersejarah di gerbong ini. Di tengah rasa kesel nungguin kereta yang lagi berhenti mendadak, untuk kesekian kalinya setelah gagalmenggaet cewek, Boim berhasil ditolak mentah-mentah cintanya oleh seorang petugas restorasi cewek yang berwajah mirip-mirip Ida Iasha kecebur got.

Pasalnya begini. Boim yang lagi asyik tiduran di lantai kereta jadi kaget mendadak ketika dicolek-colek seorang gadis manis berseragam petugas PJKA. Cewek itu ternyata petugas restorasi yang hendak menagih rekening pembayaran makanan yang dipesan kita. Boim yang lagi merem-melek, langsung aja meloncat bangun, bagai melihat bidadari turun dari genteng.

"Ada apa, Mbak?"

"Anu, Mas, saya mau nagih bon makanan yang dipesan. Nasi soto empat, nasi goreng satu, Teh Botol tiga, Sprite dua..."

"Ya... ya... ya, jumlahkan saja semuanya berapa? Dua puluh ribu cukup?" ujar Boim sambil merogoh dompetnya dengan gaya ngeprof

"Kelebihan, Mas."

"Ah, ambil saja sisanya buat kamu," ujar Boim sambil mengedipkan matanya.

Cewek itu tersenyum manis sambil mengucapkan terima kasih.

Boim ge-er.

Tapi beberapa detik kemudian, petugas restorasi yang ganteng, yang tadi ditaksir Fifi, dengan mesra menarik tangan cewek itu. Mengajaknya pindah ke gerbong selanjutnya. Cewek itu tanpa canggung menggamit lengan sang cowok, dan dengan mesra mereka berjalan beriringan, tanpa menoleh sedikit pun pada Boim.

Wah, Pus, nggak bisa dibayangkan deh, gimana kekinya si Boim.

Doi terus memaki-maki, mengutuki dan meratapi duit dua puluh ribuannya yang melayang. Duit yang didapat dengan perjuangan hidup dan mati dari sang enyak, abis ludes bles dalam sesaat.

Poor Boim.

***

Pukul ll.00 WKM (Waktu Kereta Mogok)

Laporan selayang pandang oleh Anto.

Kereta sialan ini emang lagi kumat terus noraknya. Masa baru jalan sedikit udah berhenti lagi? Walhasil para peragawan dan peragawati (alias tukang jualan wingko, keripik, dodol, dan sejenisnya yang hobi banget mondar-mandir kayak peragawati!) mulai beraksi kembali. Dengan ributnya mereka hilir-mudik menjajakan es lilin (lho?). Seperti biasa, karena kita-kita kebagian gerbong paling buntut, peragawan dan peragawati itu pada mentok di ujung gerbong. Sambil ngoceh, 'Nopia! Nopia!', 'Wingko! Wingko!'. Lalu membuat gerakan berputar, dan balik lagi keluar.

"Ribut amat sih? Tukang jualan kok nggak abis-abis," keluh Fifi sambil kipas-kipas pake saputangan.

"Heh, rupanya dikau memakai saputangan daku, ya?" ucap Gusur yang masih ayik berduyungson.

"Enak aja!" Fifi mencibirkan bibirnya.

"Betul, kan? Mirip sekali dengan kepunyaanku. Berwarna pink, ada insial 'G'. Naaa... ketauan, ya, nyolong saputangan selagi daku terlelap."

Fifi meneliti saputangan dan terkejut ketika mengenali bahwa benda tersebut bukan miliknya. Langsung aja dengan perasaan jijik dia melemparnya. "Busyet, kok bisa ada di bangku ogut?"

"Naaa... ketauan ya, Fifi, tadi merogoh-rogoh saku Gusur waktu Gusur tidur. Kalo cinta terus terang aja!" seru Boim berhahahihi.

Gusur cuek aja terus tertidur lagi.

Fifi ngamuk-ngamuk. "Enak aja. Sori, ya? Amit-amit jabang bayi."

Dan kamu tau, Pus, sebetulnya yang mindahin saputangan itu adalah saya. Hihihi.

***

TENG! Tepat pukul 12.00.

Horeee... akhirnya tiba juga kami ke tempat tujuan. Bersama itu pula, Gusur telah mencatat satu peristiwa paling bersejarah lagi di gerbong kereta ini. Ketika terbangun dari tidurnya, dia berhasil membuat peta dunia di bangkunya, alias ngompol. Waaa... baunya minta ampun! Untung aja si Boim nggak lagi tidur di kolongnya. Dan untung juga kita udah sampe tujuan, sehingga tidak harus berlama-lama mencium bau ompol.

"Ndeso-nya kumat ya, Sur," komentar saya (Anto).

"Memalukan sekali!" komentar Fifi.

"Tidak edukatif! Terbelakang! Perlu pengawasan lebih ketat dari pihak berwajib!" komentar Boim.

Lantas, kita langsung berkemas-kemas. Gila juga, keretanya telat hampir tiga jam lebih!

Untuk selanjutnya, diterusin nanti ya, Pus. Soalnya kita mau sibuk nyari penginepan dulu.

Sampai jumpa.

Anto.

***

Yogya, hari kedua.

Halo, Pus.

Wah, sori, Pus. Baru nulis surat lagi sekarang.

Hari kedua ini kita emang udah janjian mau jalan-jalan sehari penuh, setelah kemaren sibuk nyari losmen dan istirahat total.

Sekarang kita mau hura-hura sebentar ke Prambanan dan Paris (Parang Tritis).

Waktu di Prambanan, pas dateng udah dikagetin sama orang yang lagi jerit-jerit histeris di arca Ganesha (Ih, dia kali kepengen diterima UMPTN di ITB, ya?). Belakangan ketahuan bahwa orang itu salah seorang anggota perkumpulan pencinta wangi-wangian, termasuk kentutnya si Boim kali!

Setelah puas berfoto-foto, kami langsung ngerecokin tukang jualan suvenir. Hasilnya? Gusur mendapatkan sepuluh biji kerasikan (ngerti nggak nich? Pokoknya bukan termasuk amoeba deh! Masih famili gramineae, ponakannya solanaceae, dan tetangganya sandwich!), dan saya sendiri, setelah melalui perjuangan setengah mati, setengah hidup, bisa dapet gelang bayi untuk pacar saya. Oya, sebelumnya saya juga sempet nawar selop penganten... eh, selop cowok Jawa yang biasanya suka dipake penganten-penganten. Lumayan juga buat di rumah atau jalan-jalan ke rumah temen yang orangtuanya mau ngertiin keagakkurangajaran tamunya. Atau... untuk nimpukin anjing gila juga boleh!

Sedang Boim gokil itu bikin ulah lagi. Dengan gilanya dia nawar kucing beneran dan seorang manusia tak berdosa yang kebetulan ada di sekitar toko. Itu kucing yang sedang males-malesan bobo di antara barang-barang jualan, ditawarnya.

"Niki pinten, Bu?" ucapnya dalam bahasa Jawa yang baru saja didapat dari kursus kilat sama Aji. Terus orang yang rada botak pake kacamata item, yang lagi nyender di tiang, juga ditawar. "Meniko pinten?"

Fifi sendiri sempet ngeborong semua aksesori yang ada. Katanya dia mau saingan sama Renny Jayusman.

Setelah itu kita jalan-jalan ke Paris. Jalan-jalan di sepanjang pantai yang indah. Lalu bermain-main dengan laut yang indah. Celana kita pada basah semua. Saya hampir aja ber-say goodbye sama sandal jepit Swallow biru tercinta, gara-gara terbawa ombak. Sedang Gusur, yang keturunan bebek itu (abis nggak bisa tenang kalo ngeliat air), langsung mencebur. Berenang-renang di tepian.

Paling akhir, kita naik ke bukit, dan berpose ala kalender porno (lho!). Hebat nggak tuh?

Hayo, jangan keki dong, Pus, salahnya sendiri kenapa nggak mau ikut? Nasibmu memang malang, he he he!

Akhir dari piknik hari ini, kita semua pada terkapar tewas di losmen sewaan. Tergeletak bertebaran di sekitar losmen (duile, kayak apaan aja!). Oya, perlu dicatat, di losmen ini,kita nyewa dua kamar. Satu khusus buat Fifi, satunya lagi rame-rame sama kita-kita yang cowok. Kebayang deh tiap malem bakal tumpuk-tumpukan kayak sarden.

***

Starry starry night, Malioboro St.

Malamnya, kita jalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro. Fifi Alone langsung berburu batik.

Wah, kita-kita yang cowok keki banget nemenin Fifi yang lagi nyari daster idamannya. Abis, udah bawa belanjaan dengan jalan terseok-seok keluar-masuk toko batik, eh nggak dapet juga tu daster. Buntut-buntutnya malah balik lagi ke toko yang pertama dikunjungi. Sebuah daster yang amat sangat terlalu tipis berwarna erah muda. Gusur langsung membayangkan, gimana nikmatnya memandang Fifi dengan gaun seperti itu nanti malam. Hus!

Dari Malioboro, kita ber-cross country lewat alun-alun ke tempat gudeg. Gusur memecahkan rekor, nambah tiga kali dalam porsi yang bertambah.

Pulang dari Malioboro, Gusur yang sebecak sama Fifi, bikin ulah lagi! Becak yang mereka naikin nyasar entah ke mana. Dan akhirnya mereka sampe juga beberapa menit kemudian.

Tanpa merasa berdosa, sambil terus cengengesan. Katanya, mereka sempet mampir untuk beli jajanan khas Yogya di pinggir jalan. Sial!

***

Stasiun Tugu, liburan terakhir (hari ke-6).

Pukul 18.00.

Halo, Pus. Singkat cerita (abis tangan gue pegel nulisin pengalaman anak-anak gokil macam Boim, Gusur, dan Fifi, sedang mereka nggak mau gantian nulis. Apalagi si Gusur yang raja molor!), sore ini kami udah siap-siap ngejogrok di gerbong kereta, mau balik ke kota tercinta. Wah, rasanya nggak sabar lagi nunggu kereta ini jalan. Kami semua udah kangen sama orang rumah, setelah enam hari liburan.

Kita-kita cabut ke Jakarta dengan kereta yang rada kacauan dibanding waktu berangkatnya. Soalnya kita-kita kebagian tempat duduk dekat katup (WC). Wahoo. baunya ngamit-ngamit rek!

Mana belum-belum pintu belakang udah kebuka terus. Serem deh! Bikin nggak nafsu makan. Padahal tadi sebelum pulang kita sempet beli oleh-oleh seabrek-abrek.

Dan berhubung saya udah capek banget, abis jalan-jalan tiap malem keliling Yogya, maka saya mau bobo dulu. Dag!

***

Pukul 05.30.

Wah, Pus, kita-kita semua terbangun di pagi yang cerah ini dengan wajah cerah. Bahkan Gusur dan Boim yang biasanya berwajah suntuk, kini nampak berseri-seri. Cuma jangan senyum aja, Sur. Kamu kan sejak perjalanan ini jarang sikat gigi.

Kita semua emang abis tertidur nyenyak semaleman, Abis capek sekali, Dan kita semua makin nggak sabar untuk ketemu keluarga kita masing-masing. Saya ketemu Papap dan Mamam, Boim ketemu abang dan nyaknya, Fifi ketemu mami dan papinya, dan Gusur ketemu engkongnya....

***

Pukul 05.55.

Horeeeeee... kita semua udah nyampe di Gambir. Kembali ke Ibukota tercinta (taela!). Liburan yang sangat menyenangkan dm membawa kenangan seabrek-abrek. Meski kadang menyedihkan juga. Dan kalo dipikir-pikir, Pus, yang paling berkesan dalam tur kita justru pada saat kita berada di jalan. Di dalam kereta. Tempat kita bisa mengevaluasi semua kejadian yang kita alami. Tempat kita bisa ngomong lebih dalam lagi satu sama lain. Sesuatu yang jarang terjadi pada kita.

Apa kamu di Amrik juga begitu, Pus?

Eh, yang lain udah mulai berkemas-kemas.

Saya ikutan ah!

Daaag!

TTD.

Boim, Gusur, Anto, & Fifi Alone.

***

Gambir, hari ke-7.

Eh... seminggu kemarin, kita-kita bener-bener ke Yogya, nggak sih? Rasanya kok nggak percaya. Kayak mimpi aja. Tau-tau kita udah mudik ke Jakarta lagi. Kota sumpek yang "terpaksa" kita cintai. Yah, walau bagaimana juga, toh kita-kita bisa dengan tulus berkata, "Met pagi, Jakarta. Kami cinta kamu!"

Daaaag, Lupuuuus....

Kapan kamu pulang?

Selesai