Kamis, 31 Maret 2011
Cinta Olimpiade
1. CINTA OLIMPIADE
LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa ikut Lupus pergi.
“Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana aja...” rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada bingung. Wong mau ngapel kok malah disuruh bawa adik?
“Kamu ngapain ikut? Pingin tau orang pacaran ya?”
Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut. “Pokoknya saya harus keluar rumah!”
Gila, anak ini memang keras kepala. Segala keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk keluar malam bukan hal yang biasa direwelinnya. Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar rumah. Malah mendekam di kamar sambil asyik dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke diskotek. Padahal remaja seusia dia, sudah termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di luar rumah.
Jadi kali ini pasti ada apa-apanya.
“Iya, ya? Ada apa-apanya, ya? Ayo, terus terang aja. Apa kamu udah kepingin pacaran? Udah kepingin belajar keluar malam? Hati-hati lho, nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya disuruh ngeroki kamu?” ledek Lupus.
Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya. “Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-makan kek, ke diskotek kek...”
Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke diskotek?
“Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh. Siapa tau aja ibu masih laku.”
“Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah Oom Prap. Ibu mau ke sana. Gimana, mau ikut?”
“Ikut!” jawab Lulu mantap. Lupus mendadak mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah denger nih? Kok Lulu mau-mauan ketemu Tante Neli yang cerewet banget itu? Ini sudah jelas. Pasti ada yang kurang beres.
Belakangan baru terbongkar. Ternyata dia lagi dikejar-kejar cowok. Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini, meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya Lulu terpaksa harus melarikan diri. Tetapi setelah puas dalam pelariannya, dan kembali malam harinya, ternyata tak seorang pun yang datang. Sang pembantu yang mengatakan hal ini. Kontan aja Lupus ngakak. “Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang dulu!”
“Sial, siapa yang girang?” maki Lulu garang
“Ayo, sudah malam. Jangan berantem lagi,” seru ibunya dari ruang tengah.
***
Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok yang mengejar-ngejar Lulu itu datang. Lulu tak bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik nyiram bunga di taman depan rumah.
“Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa datang,” sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam terpaku di tempat. Lupus yang mengintip dari jendela tidak bisa menahan tawa. “ Cieee...., mesra ni yeee...!” teriaknya keras.
Lulu kaget dan menoleh dengan sengit. Cowoknya juga. Bujubune, pantesan aja Lulu begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik. Kadaluwarsa. Berkacamata tebal, bibir tebal, muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!), sisiran rapi mengkilap. Pokoknya cocok jadi bapak idela.
“Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja? Ajak masuk dong!” teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu mendelik sewot. Dan ketika cowok itu lewat dekat jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak kuda.
Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat. Dia dengan rela duduk sopan menunggu berjam-jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau keluar atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa Lupus untuk menemui atau menemani cowok itu kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya ketika makhluk itu muncul lagi.
“Pus, sana gih temenin si Pinokio itu. Saya males, ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang masa depan melulu. Ih sebel! Sana cepetan. Atau bilangin saya lagi sakit perut...!”
“Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!” sahut Lupus yang lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi Zoolook-nya Jean Michel Jarre di kamarnya.
Lulu makin empet.
Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suka bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur. Wah, pokoknya segala macam deh. Lupus yang doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang ngabisin semuanya. Sedangkan Lulu tak menyentuh sedikit-dikit acan.
“Idih, haram menikmati barang suapan!” maki Lulu ketus.
Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu. Serba ketakutan. Meski sebetulnya bukan pertama kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat. Dulu Lulu pernah kelihatan akrab dengan cowok teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya ngasih respons yang baik untuk cowok itu. Tapi kencan pertamanya berantakan gara-gara keisengan Lupus. Nggak tau apa karena Lupus keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang lagi nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas secara diam-diam dia meletakkan tip kecil miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua nge-date. Secara otomatis, tip yang biasanya dipakai buat wawancara itu merekam semua percakapan Lulu dengan cowoknya. Dan bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika besok paginya Lupus memutar ulang hasil rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu di depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia langsung mengacak-acak tempat tidur. Dan sejak saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih tentang Lulu dengan cowok manapun. Sampai kejadian sekarang ini.
Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-benar nggak mau memperalat adiknya untuk menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu. Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya.
“Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu bisaan kalo bohong!” sahut Lulu.
“Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau konsentrasi ke pelajaran kan?”
“Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe.”
Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu. Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan. Sehingga cowok itu pun bisa mengerti. Jawabannya pun terdengar sopan sekali, “Saya mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun. Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau, biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek. Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!”
Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti, tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi.
***
Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang Lupus pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak kejadian itu, dia sering melamun. Bengong sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga, apa adiknya telah kena pelet. Satu dua kali Lupus tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya dia buka mulut juga.
“Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir saya baru mikir bahwa semua kata-katanya itu benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati membawa barang yang saya butuhkan. Buku pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya? Padahal bisa saja saya belajar mencintainya.”
Lupus tertegun.
“Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon. Kita kan tak mungkin bisa menilai satu yang terbaik tanpa membandingkannya dengan yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah. Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan begitu kamu kan akan matang sendiri.”
“Kamu emang pinter berkicau, Pus!” ledek Lulu gembira.
***
Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini mendingan, dia pernah saking nggak sabarannya, langsung jebur ke bak mandi.
Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat itu Lulu sudah siap pamit. Lupus memaki, “kamu kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa sih?”
Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia ngeloyor ke depan.
“Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar nih!” teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya sampai belepotan. Tapi Lulu tetap ninggalin. Dan ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di situ Lulu sudah siap duduk di boncengan motor seorang cowok kece. Masih muda. Dan cowok itu mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus terbengong-bengong di pinggir jalan. Pantesan aja Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu menelusuri jalan. All alone. Tanpa seorang teman.
Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang cewek yang asyik sendirian dengan motor bebeknya. Lupus pun dengan semangat menyetopnya.
“Eh, ikutan dong sampai ke depan!” sahut Lupus.
“Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!” maki cewek itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus yang memaki-maki tak keruan.
2. MEMBURU BINTANG
Aji masih berkutet di kamarnya. Bolak-balik mencobai semua bajunya. Yang kuning, hijau, putih... dan semua. Bolak-balik ke kaca. Dan kini, dengan baju kotak-kotak biru, dia seperti tak mengenali siapa yang di kaca. Siapa ya? Pikirnya norak. Soalnya jadi lain. Kece banget! Sementara Lupus yang keki kelamaan menunggu di luar, nggak sabar langsung melongokkan kepalanya ke jendela. Dan terbengong-bengong melihat Aji yang tak berkedip mengagumi dirinya sendiri di kaca.
“Duileee... muka kayak perabotan lenong gitu aja ngaca terus. Lama bener sih, ditunggui juga!” maki Lupus.
“Cerewet. Hampir kelar nih. Ngiri ya kalo saya kelihatan kece?”
“Cepetan deh, kita berangkat. Kan harus ke Hai dulu pinjam tip kecil.”
Aji mengangguk dan langsung menyambar kameranya. Dia sudah janjian mau diajak Lupus wawancara penyanyi yang baru naik daun. Kece banget. Makanya baik aji maupun Lupus benar-benar menjaga penampilan. Jangan sampai mengecewakan.
Setelah mengeluarkan pick-up-nya yang rada kadaluwarsa, Aji dan Lupus langsung bertolak ke kantor Hai. Menitipkan kartu pengenal pada resepsionis yang kece, dan langsung naik ke lantai tiga. Di sana suasananya masih seperti biasa. Rame. Ada yang asyik senam pagi, ada juga yang lagi terbengong berat nyari inspirasi. Semua anggota komplet, kecuali beberapa orang yang diculik dengan paksa untuk menggarap majalah baru.
Lupus langsung menuju ke bangkunya. Dan di sana, dia hampir menginjak Tia kecil yang sibuk buka-buka majalah di lantai. Buset, anak ini memang kecil sekali bodinya. Apalagi kalo lagi jongkok begitu, nyaris menghilang di balik tumpukan majalah-majalah. Bapaknya tega juga, masih kecil begitu kok sudah disuruh kerja? Tapi kalo diledek begitu, dia suka ngamuk dan langsung mengeluarkan KTP-nya. Ke mana-mana, termasuk kalau mau nonton film 17 tahun ke atas, dia memang selalu bawa-bawa KTP. Supaya pada percaya kalau dia itu umurnya sudah lumayan banyak. Soalnya dia sering ditolak masuk bioskop, nggak boleh ikutan nonton film orang gede. Malah disuruh pulang, cuci kaki dan langsung bobok. Tapi ada enaknya, kalau ke mana-mana dia ini simpel sekali. Bisa berdiri tanpa membungkuk kalau metro mini-nya penuh, bisa dengan mudah menyusup ke bawah kolong kalau lagi main petak umpet, de el el. Dan ke mana-mana dia selalu membawa bekal dan termos plastik buat minum. Persis anak TK. Tapi dia itu orangnya baik kok. Suka bagi-bagi makanan ke orang. Apalagi kalau kamu iseng muji begini padanya,” Eh, kamuu rada tinggikan deh sekarang...” Wah, pasti kamu langsung dikasih coklat. Coba aja. Tapi dia itu paling takut kalau duduk di meja. Soalnya pernah lagi enak-enakan duduk, ditawar orang. Dikira boneka pajangan. Abis lucu sekali.
Ya, itulah sedikit cerita tentang Tia kecil. Buat ngasih gambaran aja, supaya kamu bisa ngebayangin kalau dia itu ternyata lebih besar dari jempol kaki kamu.
Setelah menyiapkan segala macam yang diperlukan, termasuk minta film gratis dari mbak Sri. Lupus slonong boy pergi. Dan sempat mampir sebentar ke mejanya Mas Wendo yang belakangan menghilang entah ke mana. Mejanya nampak seperti biasa. Berantakan. Saingan sama rambutnya. Dan kunjungan Lupus ke mejanya itu bukannya karena kangen, lama nggak ketemu bos-nya itu, tapi karena di mejanya ada sekantong tahu goreng. Siapa tau bisa dirojer, gitu.
“Halo, Mas, lama nggak kelihatan. Sibuk ngurus sandiwara tipi, ya?” sahut Lupus manis, sementara tangannya bergerilya. Menyusup masup ke kantong tahu. Mas Wendo belakangan ini memang aktif di televisi. Ngajarin anak kecil bikin puisi dengan stil sok serius, tawa bikin beberapa naskah film seri tivi. Seperti ACI. Tapi bedanya dia dengan Michael Landon – yang juga dikenal dengan serial-serial tivinya. Mas Wendo orangnya jauh lebih rendah hati. Kalau Michael Landon suka ke-ge-er-an untuk melibatkan dirinya sebagai tokoh utama cerita yang diproduksinya; jadi bapak ideal, jadi malaikat penolong, dan sebagainya! Tapi kalau Mas Wendo cukup puas Cuma jadi tukang pukul bel sekolah.... hehehe. (Eh, jangan bilang-bilang ke dia ya, entar ngamuk..., atau malah suka?)
“Kamu mau wawancara siapa, Lup?”
“Itu... atlet angkat besi,” jawab Lupus sembarangan. Sebab kalau dia jujur ngaku mau wawancara artis penyanyi yang kece, Mas Wendo suka maksa kepingin ikut. Kan repot ngurusnya nanti.
Lupus langsung cabut. Hasil kunjungannya ke meja bos-nya itu, yah lumayanlah. Sempat mengantongi beberapa tahu goreng dan cemilan-cemilan ringan lainnya buat sekedar ngisi perut. Dan di bawah, ketika baru keluar dari kompleks perkantoran, sempat ketemu Gun Saratoga. Fotografer muda Hai yang lagi ngejepret anak-anak sekolah yang kece-kece dari atas sepeda balapnya. Dia emang termasuk doyan daun muda. Pacarannya aja sama anak SMP. Dan bakat jepret-menjepretnnya memang terlihat dari kecil. Umur 10 tahun, dia sudah hobi menjepret capung pake karet; lalu umur 15 tahun meningkat menjepret mangga pake katapel. Dan kini, dai boleh bangga bisa menjepret pake kamera beneran.
Itulah Gun. Setelah ber-hai-hai (bukan promosi, lho!) sebentar dengannya, Lupus langsung melesat bersama Aji ke rumah sang artis. Rumahnya lumayan jauh. Di pinggiran kota. Rada ndeso.
***
Dan kini Lupus dan Aji sudah berdiri di depan pagar yang tinggi. Rumahnya tampak begitu besar. Sementara di pagar depan tertulis ‘Awas anjing galak; jangan berdiri dekat pagar!’ Lupus langsung melompat mundur. Wong dia paling takut sama anjing. Makannya dia tidak pernah berani lari pagi di kompleks perumahannya. Banyak anjing. Soalnya dia kurus. Suka dikejar-kejar anjing. Dikira tulang.
“Kamu aja yang masuk, Ji!” perintah Lupus.
“Enak aja. Emangnya saya tumbal? Kita tekan bel aja. Masak sih nggak ada belnya?”
“Iya. Lagi pula belum tentu beneran ada anjingnya. Siapa tau Cuma nakut-nakutin aja!”
Akhirnya setelah baca Bismillah, mereka memencet bel yang tersembunyi di balik rerimbunan tanaman yang merambat di pagar. Terdengar suara anjing menggonggong dari balik pagar. Lupus langsung melompat mundur.
“Tenang, Pus. Wartawan kok penakut amat?” ledek Aji.
Beberapa saat kemudian, ada kepala yang muncul dari pagar yang tinggi.
“Hei, anak kecil, ngapain di situ? Mau mainin bel ya?” bentaknya galak.
Lupus keki berat dikatain mau mainin bel.
“Saya wartawan, tau! Saya mau ketemu Evita Fanny. Artis penyanyi itu. Di sini kan rumahnya? Dan ini teman saya Aji. Dia fotografer profesional!” sahut Lupus lantang. Orang itu memandang ke arah Lupus dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seolah kurang percaya. Juga kepada Aji yang dibilang fotografer prof itu. Dia curigation. Kok fotografer Cuma bawa kamera yang serba otomatis? Sekali jepret jadi, tanpa mengubah jarak, diafragma, de el el. Wah, pasti ada yang kurang beres.
“Evita lagi pergi! Dia sibuk terus. Kapan-kapan aja datang lagi!”
“Wah bohong! Saya tadi udah janjian sama dia via telepon. Dan dia ada di rumah!” sahut Lupus ngebohong. Soalnya sungguh mati, dia tak tau nomor telepon Evita. Tapi dia juga yakin Evita pasti ada. Dia sudah biasa dibohongi macam begitu. Biasa, artis yang lagi naik daun memang suka jual mahal. Padahal wartawan penting lho, buat menunjang karier mereka.
“Tapi dia mau pergi. Ada rekaman di studio!”
Balas orang itu lagi.
“Kamu tau nggak apa persamaan saya sama kamu?” sahut Lupus lagi.
“Apaan memang?”
“Sama-sama tukang bohong. Makanya sesama tukang bohong dilarang saling membohongi!”
“Sialan jadi kamu juga bohong ya? Kamu pasti bukan wartawan! Kok masih kecil begitu? Mana kartu Pers-nya?”
Lupus langsung merogoh kantung celananya. Tapi..., oh, God! Kartu itu ternyata tertinggal di meja tugasnya di kantor. Bener-bener sial!
“Eh, saya lupa bawa. Tapi beneran kok saya wartawan!”
Orang itu tersenyum sinis.
“Nah, anak-anak, kalau Cuma mau minta tanda tangan, lewat surat aja. Sekarang kalian boleh pulang...” sahutnya dan langsung menghilang di balik pagar.
Lupus cepat-cepat berteriak, “ Hei, tunggu! Saya bener-bener wartawan, kok! Kalau nggak percaya, telepon aja ke majalah Hai. Serius!!”
Tapi makhluk itu sudah menghilang. Tinggal Lupus dan Aji yang saling berpandangan.
3. EVITA FANNY
Lupus dan Aji masih berada di depan rumah artis penyanyi Evita Fanny. Benar-benar tak tau apa yang harus dilakukan lagi. Meski Lupus sudah lumayan sering wawancara begini, tapi toh dia masih belum bisa santai. Malah sering kedapatan lagi dorong-dorongan atau ber-suit-ria sama temannya untuk menentukan siapa yang masuk duluan. Kan malu-maluin banget tuh! Tapi ya nggak apa-apa. Lupus nggak pernah putus asa Cuma karena hal-hal yang begitu. Segalanya kan bisa saja karena biasa kalau kita sering melakukannya.
“Kita bikin keributan aja di sini, nanti kan mereka pada keluar!” sahut Lupus kumat gilanya.
“Gila lu, nanti kalau diciduk polisi gimana?”
“Emangnya kita teroris? Maksud saya, kita Cuma mengadakan aksi unjuk perasaan, gitu!”
“Kamu kalau sudah nekat memang gawat, Pus! Terus, ngapain dong?”
“Misalnya kita tekan bel terus-terusan. Kan lama-lama mereka kesal lalu keluar. Nyamperin kita atau malah ngusir kita. Tapi nggak apa-apa. Namanya juga orang usaha. Kan nggak ada salahnya!”
“Iya, ya.”
Dan mereka pun secara bergantian menekan bel. Berulang-ulang. Ada suara anjing yang menggonggong lagi. Sampai akhirnya wajah seram yang tadi muncul lagi di balik pagar yang ke tinggi. Siap menyemprotkan amarahnya. Tapi Lupus cepat-cepat menyapa, “Assalamualaikum! Kayaknya kita pernah ketemu deh. Kapan, ya? O ya, beberapa menit yang lalu. Apa khabar? Gini lho, saya dari majalah...”
“Bosen! Kalian ini belum pernah mendapat pelajaran ya? Sudah pernah merasakan gimana enaknya digigit si Pleki?”
“Belum. Siapa itu? Bapak kamu ya?”
“Sialan! Kalian benar-benar kurang ajar!” bentaknya marah sambil melompat turun. Tapi baru orang itu membuka pintu pagar, ada suara yang memanggil. Terpaksa marahnya tertunda dan langsung tergopoh-gopoh menghampiri si pemanggil.
“Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-barang belanjaan tadi pagi diturunin dulu,” sahut si pemanggil yang ternyata Evita itu.
“Baik Nona.”
“O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar macam tadi? Pacaran sama babu sebelah, ya?”
“Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil. Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara. Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya udah, saya usir saja. Tapi kok ya nekat anak itu!”
“Ya, Nona, dan dua pemuda kecil yang manis-manis itu adalah kami sendiri!” tiba-tiba ada suara sopan menyambung dari belakang Bang Kerpa. Bang Kerpa langsung menoleh kaget!
“Hei, kurang ajar. Bagaimana kamu bisa masuk kemari? Loncat pagar, ya?”
“Bagaimana? Mudah. Siapa yang suruh pintu pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan, sementara anjing kamu itu asyik mengejar-ngejar kucing sampai keluar pekarangan rumah...,” jawab Lupus kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya. Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan dengan Evita Fanny.
Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun. Wajahnya, bukan main. cakep banget. Dengan bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai kucing, kulit tubuh yang kuning langsat. Wah, emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi. Dengan penampilan yang serba sempurna untuk seorang gadis remaja, siapa sih yang enggak betah memandangi berjam-jam?
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa?" tanya Evita pelan. Suaranya, wah. Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja. Di situ siapa?" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh?"
"Iya, hebat ya?"
"Kok masih kecil? Wartawan bo'ongan ya? Mana kartu pers kalian?"
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak percaya, boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau apa?"
"Wawancara. Boleh, kan?"
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin janji. "
"Sudah, kok!"
"Kapan? Saya kok belum dikasih tau?"
"Lima menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh kamu yang cowok itu dengan noraknya naik-naik ke atas pagar...."
"Ah. T api bolehlah kalau kalian memaksa. cuma, sebentar aja, ya? Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan masuk.
Di ruang tamu, suasananya cukup membuat keduanya terkesima. Satu set mewah kursi tamu besar warna biru, dengan karpet yang bagai rumput manila terhampar megah. Dipadukan dengan hiasan-hiasan dinding yang serba biru, menyejukkan suasana. Sementara foto close-up Evita Fanny terpampang megah di dinding sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang disusun rapi. Dari dalam mengalun lembut musik instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan Lupus dulu sering mendengar ayahnya memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.
Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga. Padahal kalau dibandingkan dengan lagu-lagu yang sering dibawakannya yang berlirik dan bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali.
Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu?"
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama teman-teman seperjuangannya di kantor. Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu walau suka ngaku orang kaya, tapi kalau lapar malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap semoga setelah bangun nanti rasa laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang makan. Tapi ya tak apa. Malah memudahkan kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-sedih. Nggak usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal tulis aja pengalaman pribadinya, beres!
Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita sedih. Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus yang lagi sedikit panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang manis. Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi begitu kalau diliatin cewek cakep.
Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita tergelitik untuk melirik apa yang tertulis di balik daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia merebut secarik kertas itu.
"Lihat deh. Boleh, kan?"
"Eh, jangan...," Lupus kaget, tapi Evita sudah merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya bikin supaya nggak lupa. Soalnya terus terang, saya kalo lagi grogi suka lupa apa yang mau ditanya. Balikin dong...."
Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening membaca kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lupus jadi curiga.
"Kamu mau wawancara atau mau belanja? Kok isinya ada ikan asin satu kilo, cabe rawit tiga biji, jengkol sepuluh biji, permen karet..."
Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh, God! Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan belanja yang dititipkan ibunya tadi pagi. Dengan wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia buru-buru mengantonginya. Diganti secarik kertas yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.
"Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang nanyain dari sini. Oke?" balas Lupus keki. Evita tertawa lepas. Keakraban baru saja terjadi.
"Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya mau pergi!" .
Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan sedikit berat, dia pun bangkit. Lupus cepat-cepat menahannya, "Eh, jangan repot-repot!"
"Lho? Saya mau ganti baju, kok. Saya kan mau pergi. ..."
"Ooo, kirain mau bikinin minum...."
"Ya ampun, saya lupa. Kalian haus, ya?"
"Ah enggak. cuma saya mikir, kok samaan sama di rumah ya? Kalau ada tamu dari jauh suka lupa nyuguhin minum. Padahal kan mungkin saja tamu itu merasa haus setelah berjalan begitu jauh. Iya nggak, Ji?" celoteh Lupus sambil melirik ke arah Aji yang hampir mati kehausan.
Lagi-Iagi Evita ketawa. Dia cepat-cepat menyiapkan minuman.
***
Dan Evita ternyata artis yang baik. Dia menawari Lupus dan Aji ikut ke studio sambil melanjutkan wawancaranya di jalan. Di sana Evita cerita banyak. Tentang tiga albumnya yang direkam dalam waktu singkat. Tentang kasetnya yang laku keras. Tentang bonus mobil yang dia dapat. Pokoknya semua.
Buat artis penyanyi, dia memang memiliki segalanya. Meski lagu-lagunya hampir setipe; tentang kecengengan cinta, tapi suaranya tidak mengecewakan. Padahal banyak anggapan yang mengatakan penyanyi pop sekarang cuma modal tampang doang, tapi Evita merupakan pengecualian. Karena dia punya vokal dan penghayatan yang baik buat lagu-lagu komersil yang dibawakannya.
Sebaik-baiknya lagu pop, kalau tidak didukung penghayatan dan vokal yang sempurna, tak akan berhasil. Omong kosong buat yang mengatakan untuk jadi penyanyi cuma modal tampang doang. Setinggi-tingginya teknik studio yang bisa menolong vokal sang artis, tidak akan membantu banyak. Paling jadinya seperti komet. Muncul sebentar, ngetop, lalu menghilang. Tak terkenang.
Ini yang ingin Lupus tekankan pada Evita. Penyanyi ini sangat berbakat. Tapi kenapa begitu sering mengeluarkan album yang senada? Apa mau pakai aji mumpung seperti yang lainnya,?
"Seharusnya kamu lebih selektif, Vita. Batasi pengeluaran album kamu. Kamu punya vokal yang baik. Saya sering lihat kamu nyanyi lagu-lagu daerah di tivi. Di situ kelihatan sekali kemampuan vokal kamu. Bukan sekadar penyanyi pop murahan. Kalau kamu lebih jarang mengeluarkan album, kamu bisa mengikat fans kamu. Membuat mereka penasaran menunggu terbitnya album-album kamu yang berikutnya. Dan dengan sedikit variasi, mereka tak mudah bosan. Dan kamu nggak bakalan cepat dicampakkan fans kamu yang merasa bosan karena kamu keseringan mengeluarkan album yang senada. Kamu jangan mau dikerjain para produser yang cuma mau mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan nasib kamu setelah itu. Mereka mudah saja mencari penyanyi baru. Sedang kamu apa? Itulah, Vita. Makanya, ngapain sekarang ke studio? Lebih baik kita ke fried chicken atau ke mana, gitu. Ngomongin masalah ini. Kamu jangan seperti mesin. Disuruh ke studio, disodori lagu, lalu langsung menyanyikannya hanya dengan mempelajari sebentar tanpa kamu dikasih kesempatan memilih lagu yang cocok buat karakter vokal kamu. Buat selera kamu. Eh, sori. Saya kok jadi cerewet banget, ya? Tapi gimana kamu aja deh. Mau ke fried chicken atau ke studio..."
Evita terdiam. Makhluk yang duduk di sampingnya ini memang kelewat banyak omong, kayak tukang obat. Apa emang begitu ya, kalau wartawan ngerayu minta traktir?
"Kamu mau no dong atau mau nyulik saya?" sahut Vita galak.
"Dua-duanya. Tapi tebusannya nggak berat. Fried chicken!"
Dan Lupus kegirangan setengah mati ketika Volvo Evita berbelok ke fried chicken.
***
Beberapa hari kemudian, Lupus sudah berada di kantor redaksi lagi. Dia lagi excited banget karena baru dapat telepon dari Evita. Gimana nggak senang, Evita meneleponnya dalam keakraban.
"Meski saya kadang ragu apa kamu ini wartawan gadungan atau wartawan beneran, atau malah tukang obat yang buka praktek liar, tapi saya kok ya mikirin juga apa yang kamu bilang. Thanks. Saya suka kamu merhatiin saya kayak gitu. Saya udah batalin jadwal rekaman dalam waktu dekat ini. Bos memang marah dan kaget, tapi lama-lama dia pasti ngertiin saya. Sebab saya ingin dia yang butuh saya, bukan saya yang butuh dia. Saya udah minta untuk menyeleksi lagu, menyeleksi aransemen. Kalo kamu mau tau, saya sendiri di rumah nggak pernah nyetel lagu-Iagu saya. Kamu denger sendiri kan waktu ke rumah? Saya memang nggak pernah bangga pada lagu-lagu saya sendiri selama ini. Sekali lagi trims berat buat kamu. Kapan mau maen ke rumah lagi?"
Itulah. Makanya Lupus jadi senyum-senyum terus. Seriang Mas Veven yang baru masuk tadi langsung menodongnya dengan teka-teki orisinal karyanya sendiri, "Ayo, apa bahasa Indonesianya: Mother goes to the market?"
"Apaan, ya? Nggak tau tuh!" sahut Lupus (pura-pura) nggak tau.
"Belanja ni yee...," jawabnya girang setengah mati. Soalnya jarang-jarang teka-tekinya nggak bisa ketebak Lupus.
Atau juga seriang Mas Wendo yang lagi disalamin temen-temennya gara-gara nongol di tivi dalam acara FFI. "Ah, apalah aninya orang seperti saya ini...," sahutnya ngerendahin diri, ninggiin mutu.
Tapi yang Lupus heran, sejak saat itu Aji nggak pernah kelihatan lagi. Pun di sekolahnya. Sebab Aji memang teman sekolah, cuma lain kelas. Padahal dia kan teman seperjuangan sewaktu wawancara Evita. Maka besoknya Lupus khusus mencari dia ke kelas-kelas. Dan ketemu lagi mojok di kantin. Tetap dalam stil cuwek walau Lupus kelihatan menghampiri. Lupus jadi inget Iwan yang redaktur musik di Hai. Doi juga cuwek berat kalau lagi dengerin walkman. Dipanggilin nggak nyaut-nyaut! Ada kebakaran juga cuwek aja.
"Halo, Ji, kamu sakit ya? Kok nggak pernah keliatan?" tegur Lupus ramah. Aji malah melengos. Lupus jelas heran. Setelah diusut-usut, ternyata dia sempat keki karena waktu itu Lupus akrab banget dengan Evita. Dia sampai tak dikasih kesempatan ikutan ngobrol. Padahal kan dia udah dandan rapi banget.
Lupus jadi ketawa.
"Aduh, Aji, kamu cemburu ya? Apa kamu pikir saya naksir dia? Wah, jangan mimpi dong. Saya cukup tau diri kok. Apa enaknya sih pacaran dengan artis terkenal kayak gitu? Bikin tekanan batin aja. Kita kan belum terbiasa dengan gaya hidup mereka. Yang easy come easy go itu. Wah, mending jangan deh. Lagian belum tentu dia bisa terbuka sama saya kayak gini kalau dia jadi pacar saya. "
"Jadi mendingan seperti sekarang. Saya cuma bikin laporan yang bagus buat majalah. Masa sih persahabatan kita bisa puttlS cuma karena hal-hal yang sepele kayak gini, Ji? Lupakan semuanya, Ji, kita kembali seperti dulu. cari bintang baru lagi yang cakep, terus kita wawancara sama-sama lagi. Siapa tau yang berikutnya jodoh kamu. Hehehe.... Gimana? Asyik, kan? Petualangan begini penting lho untuk mengenal beberapa karakter cewek-cewek. Jadi kalau udah dapet pacar kayak gitu nggak kaget lagi. Satu hal yang harus kita jaga, jangan mudah ge-er kalau ada orang-orang seperti itu nampak memberi perhatian yang lebih kepada kita. Karena kan belum tentu dia naksir kita. Iya, nggak?"
Aji bangkit. Memandang tersenyum ke arah Lupus. Lalu meninju perutnya dengan pelan. Keduanya pun tertawa keras berbarengan.
4. PHK
Pasalnya ya karena si Lupus. Makhluk itu selama ini memang dikenal sebagai 'teman tetap' Poppi. Kadang jajan di kantin sama-sama, ngerjain temen sekelas sama-sama, bikin pe-er sama-sama atau juga ngejar layangan putus yang kadang nyasar ke lapangan kalau lagi pelajaran olahraga.
Pokoknya kompak deh! Apalagi kalau lagi musim ulangan. Tapi belakangan ini Lupus jarang masuk. Jarang maen ke rumah Poppi. Meski memang tidak pernah rutin malam Minggu apel, tapi nggak biasanya sampai tiga kali berturut-turut seperti kali ini. Poppi memang maklum sama sifat Lupus yang angin-anginan. Yang nggak bisa dipegang buntut-buntutnya. Sebagai cewek, dia udah begitu cukup pengertian. Tapi Lupusnya ini, kok ya nggak sadar-sadar. Selalu bikin keki.
Seperti waktu Ruri, cewek yang doyan nggosip itu, sibuk nggosip tentang dirinya sendiri (Kok ada ya orang yang begitu?). Ke sana ke sini memamerkan foto close-up yang katanya cowoknya yang baru, "Newcomer. Baru semalem resmi jadi pacar saya yang ketujuh," katanya bangga.
Dadanya sampai membusung (eh, nggak jorok, lho!). Lupus yang datang ke kelas belakangan, tak luput kena pameran foto tunggal tersebut.
"Kece nggak, Pus?" Ruri berkata penuh semangat.
"Siapa sih? Penyanyi dangdut, ya?" tanya Lupus serius.
Ruri jelas keki berat.
SUATU kali dalam hidupmu, pernahkah kamu merasa begitu sepi? Membuka jendela kamar kala semuanya terlelap dalam mimpi, dan merasa sendirian di tengah alam semesta yang begitu luas?
Pernahkah?
Pernahkah kamu merasa begitu benci kepada tawa anak-anak kecil yang bermain di halaman sebelah rumahmu? Sehingga lagu terindah bagimu hanyalah gesekan angin pada pucuk-pucuk cemara dan rontoknya daun-daun kering di musim kemarau?
Nah, ketauan. Kalau begitu kamu pasti lagi frustasi. Ngaku aja. Samaan kok sama Poppi. Poppi ini belakangan memang sering uring-uringan kayak gitu. Kerjanya seharian, kalo enggak dengerin kaset-kaset model Patah Hatinya Rachmat Kartolo (enggak usah berlagak mikir, kamu pasti apal lagunya. Eh, kita nggak nuduh lho, cuma nebak aja!), ya nyoret-nyoretin buku harian. Atau bengong berat kayak seniman keabisan inspirasi. N ggak napsu makan, nggak napsu bobok, dan yang paling gawat, jadi segen mandi.
Tapi sebetulnya nggak bakalan segawat ini kalo nggak ada gosip yang mengatakan bahwa Lupus punya cewek lagi. Nggak jelas pacaran sama siapa, tapi desas-desus itu memang lagi ngetop. Ada yang bilang sama artis penyanyi kondang Evita Fanny; ada yang bilang sama anak kelas satu yang baru:
Poppi tadinya nggak begitu mudah percaya, tapi bukti-bukti memang ada. Dua hari yang lalu, anak itu memang masuk. Dengan santainya menaruh tas di bangku, lalu kelayapan keluar kelas lagi. Sama sekali tak menyapa Poppi yang duduk dengan manis di bangkunya. Sibuk ngeceng ke kelas-kelas baru.
Poppi jelas panas. Buntut-buntutnya ya seperti tadi itu. Samaan sama kamu. Suka ngelamun sendirian. Kenapa ya, cowok itu cenderung nggak setia? Apa karena di dunia ini memang lebih banyak cewek, sehingga cowok leluasa pacaran dengan lebih dari satu cewek? Biar adil, kebagian semua, begitu? Ih, amit-amit. Itu pendapat gila. Nggak berperikewanitaan. Lebih baik cewek-cewek nggak usah pacaran sama sekali. Lagi pula, apa sih hebatnya Lupus itu? Kalau mau saya bisa aja mendapat sejuta 'lupus' lain yang lebih dan dirinya, batin Poppi.
Memang benar. Poppi toh cantik. Dengan rambutnya yang lebat itu, banyak cowok yang enggak tahan untuk tidak melirik beberapa detik kepadanya. Terus kenapa Poppi jadi begitu frustasi hanya karena Lupus?
Itulah cima.
Poppi sudah terlanjur menyukai semua yang ada pada diri Lupus. Orang yang lebih baik atau lebih cakep dari Lupus itu banyak. Jalan-jalan di pasar swalayan, kamu bisa menemukan makhluk kayak begitu sepuluh biji. T api ibarat barang tiruan, yang sama ya luarnya aja. Isinya tetap nggak ada yang se-qualified Lupus (taela!). Maksudnya sifatnya, tingkah lakunya, lengkap sama gaya-gayanya yang rada norak. Juga sikapnya yang penuh perhatian, walau kadang bikin keki. Gimana nggak penuh perhatian? Dia bisa begitu sopan di depan orang tua Poppi. Bukan sopan yang dibuat-buat, tapi nampak wajar. Di samping juga sering membawakan mereka oleh-oleh. Jarang-jarang lho, ada cowok yang begitu memperhatikan calon mertuanya kayak gitu. Pun ketika lebaran kemarin, dia dengan serius ngomong sama Poppi, "Pop, sayang sekali untuk lebaran kali ini, rejeki saya nggak begitu banyak. T api biar deh, demi kamu saya ngalah aja. Saya rela, lebaran kali ini biar calon mertua kamu aja yang saya kasih hadiah...."
Poppi yang tadinya udah siap-siap untuk terharu, jadi keki banget.
Di samping itu, Lupus juga ngetop sekali. Fans-nya bukan hanya di lingkungan sekolah dia aja, tapi juga melimpah ke luar sekolah. Buktinya kalau dia turun dari bis sepulang sekolah, histeria massa selalu terjadi. Puluhan abang-abang becak dengan semangat '45 menarik-narik bajunya. Bukan minta tanda tangan, cuma mau menawari (dengan sedikit paksa) Lupus untuk naik becaknya.
Lupus juga termasuk anak yang susah dikerjain. Padahal dia hobi banget ngerjain orang. Sampai pernah suatu ketika anak-anak cowok di kelasnya kompakan untuk sekali-sekali ngerjain Lupus. Mereka semua ngumpul di toilet. Mengatur strategi penjebakan.
"Kita kunci aja di WC. Dia kan hobi banget ke belakang. Beberapa dari kita memantau ke mana dia pergi. Begitu masuk wc, kita kunci dari luar. Biarkan beberapa saat sampai dia mabok dulu. Setuju?"
Agak sadis memang, tapi toh pada setuju. wc di sekolah Lupus memang rada sulit dibuka dari dalam, tapi dengan mudah dikunci dari luar. Tinggal mengaitkan engsel kuncinya, beres!
Namun ketika mereka baru selesai berembuk, sampai bela-belain menahan bau yang ngujubileh itu biar nggak ketauan, tiba-tiba Lupus keluar dari wc sambil cengengesan. "Hayo, mau merencana kan usaha pembunuhan ya?"
Teman-temannya yang mengira aman berembuk di toilet itu, jelas pada keki berat. Usaha mereka jadi gatot. Gagal total.
Itu hanya sebagian keunikan Lupus. Belum lagi kisah gombal Lupus waktu nonton film sama Poppi. Dia kelupaan ninggalin Poppi di bioskop sendirian. Langsung pulang aja. Soalnya nggak biasa nonton bareng cewek sih. Di tengah jalan dia baru sadar, ketika merasa ada yang kurang beres.
Tapi sabar itu memang ada batasnya. Saling pengertian itu bisa jalan kalau ada kesadaran dari dua belah pihak. Poppi sudah menjalankan semua itu dengan baik. Tinggal Lupus yang belum. Jadi kenapa harus menyesal putus dengan dia? Poppi malah harus bersyukur, karena dia tau kejelekan-kejelekan Lupus lebih awal. Sebelum segalanya terlambat. Dan cinta itu tidak buta. Justru sebaliknya, kita harus melihat kepribadian pacar kita sampai yang terkecil.
Saya bisa berbuat seperti Lupus! tekad Poppi. Maka, Poppi pun mencampakkan foto Lupus yang lagi nyengir di atas meja belajarnya. Lalu duduk di depan kaca, dan mencoba menyisir rambutnya yang kusut. Di sana, dia seakan menemukan dirinya sendiri. Dirinya yang baru. Dengan semangat baru.
Dan besoknya, dia langsung menolak ketika mau diamar ke sekolah, "Enggak, Pa. Saya mau naik bis aja. Sekali-sekali kan boleh. Pingin seperti teman-teman. "
Bapaknya jelas heran. Soalnya baru sekali ini Poppi nggak mau diantar ke sekolah. Tapi Poppi memang punya alasan yang nggak boleh diketahui orang tuanya. Dia sering denger cerita, orang yang naik kendaraan umum itu lebih enteng jodoh ketimbang yang diantar jemput. Soalnya, kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal lebih besar daripada diantar supir sendiri. Apalagi pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis sekolah saja. Berisi anak-anak sekolah dari segala jenis.
Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering kenalan dengan cewek-cewek lain di bis. Seperti gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa Lupus kenal sama cewek baru kelas satu itu di bis. Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan rumah Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.
Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu?
"Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop? Harus dua kali naik bis?" bapaknya mencoba membujuk.
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada tukang copet atau apa begitu?"
"Nggak takut."
Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan Blok M. Tapi Poppi bener-bener nggak nyangka kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada penuh semua. Sarat dengan penumpang, yang bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan, orang kantoran atau juga inem-inem yang mau ke pasar. Poppi yang tak mau menanggung rekiso eh, risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-mini walau sarat dengan penumpang. Metro itu langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di tempat. Gimana cara masuknya? Kok penuh banget?
"Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di dalam," rayu kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi. Sementara di bangku belakang, sederetan anak muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil cuwek.
Poppi naik ke tangga. Dari belakang, kondektur yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia. Memaksanya untuk masuk lebih ke dalam lagi. Aduh . orang kok udah kayak sarden aja? Dijejel-jejelin. Mana atap metro itu rendah sekali. Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk. Berbaur dengan keringat-keringat orang lainnya. Dan ia keki banget, karena cowok-cowok yang kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk memberikan kursinya kepada Pppi. Malah asyik baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang namanya emansipasi?
Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia toh nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat Poppi, untuk kemudian ikutan berbungkuk-ria bersama para penumpang lainnya. Kan pegel sekali tuh. Mana biasanya metro itu jalannya kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya cari penumpang lain. Poppi jadi nyesel. Ternyata naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.
Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan kelipet-lipet begini? Apa karena belum biasa aja? Untung hari masih pagi. Saat orang baru pada mandi, dan belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih! POPPI jadl nyesel tadi pesan kalo siang nanti nggak usah dijemput.
***
Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi menerima ajakan Fadly yang memang sering menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik bersama; ke restoran mewah bersama. Kencan dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih banyak tau tentang tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi merasa ada yang kurang. Saban malam, dia masih sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu memang hadir saat dia berjalan-jalan dengan Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di waktu malam. Aneh, biasanya nggak begini kok.
Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah larut-dia rindu pingin ketemu Lupus. Pingin ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan lagi menelusuri pusat pertokoan. Jalan sama Lupus banyak seninya.
Maka malam itu Poppi sudah nggak tahan lagi. Dia buat surat yang panjang sekali buat Lupus. Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-anak baru di kelas satu. a ya, Lupus sekarang sudah naik ke kelas dua.
***
Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi. Anak-anak banyak yang belum datang. Memang sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih mesra.
"Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat. Ternyata kamu berbakat jadi pengarang novelet," sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.
Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.
"Dan sekarang terbongkar bukan skandal-skandal mu dengan para bintang-bintang baru itu? Iya?" sahut Poppi ketus.
"Hei, you have no right to say like that to me!" Lupus jadi serius.
"0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah, "Ngaku aja. Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran sama artis Evita itu, sama anak kelas satu atau sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya, kan? Apa sih yang kurang dari saya selama ini? Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar, cukup... apa lagi ya?"
"Cukup kasih sayang...."
"Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa lagi yang kamu tuntut, he?"
"Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok. Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake rasio dong. Pake pikiran yang matang. Kedewasaan."
"Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya rasio?"
"Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja kamu pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis sebanyak itu. Sama kamu aja, saya udah sering kerepotan. Saya kan meski masih sampingan, udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit. Hampir seluruh waktu luang saya tersita untuk kerjaan saya di majalah. Wawancara, nulis berita, les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung ada kondangan. Kan rugi sekali kalau enggak datang.
"Jadi mana sempat? Dan semua itu saya lakukan demi kamu., Demi masa depan saya...."
Poppi jadi diam. Tapi toh belum puas, "Lalu, ngapain kamu setiap masuk sekolah sering ngeceng ke kelas-kelas satu heh? Pokoknya saya minta PHK!"
"Apa itu PHK?"
"Putus Hubungan Kekasih."
"Aduh, Poppi, kamu kok sempit amat pikirannya? Saya ke kelas satu itu juga dalam rangka tugas. Kali ini saya mau nulis abis-abisan tentang posma sekolah. Yang meski dilarang, tapi masih juga ada. Dan sebetulnya tujuannya kan baik. Buat menjalin keakraban, asal tidak disalahgunakan. Itulah, makanya saya bolak-balik ke kelas satu. Minta pendapat dari masing-masing mereka. Kamu ngerti kan sekarang?"
Poppi diam.
"Sebetulnya saya sedih banget nggak ketemu-ketemu kamu. Apalagi saya tau kamu belakangan ini sering pergi sama Fadly. Iya, kan?" Lupus berkata sedih.
Kali ini Poppi benar-benar terharu. "Kamu cemburu ya, Pus?"
"Iya. "
"Lupus..., sebetulnya saya nggak mau begitu. Saya cuma cari kompensasi aja. Abis kamu juga sih gara-garanya. T api sekarang saya percaya kok sama kamu...," suara Poppi makin pelan. Dan mereka saling membisu.
Suasana haru itu terganggu ketika seorang gadis masuk ke kantin. Celingak-celinguk ke dalam. Dan matanya bersinar ketika melihat Lupus.
"Eh, Kakak namanya Lupus ya?" sahut gadis itu kemudian.
Lupus mengangguk heran.
"Aduh, dari tadi dicariin. Ini lho, ada titipan surat dari Wida. Tau, kan? Yang anak kelas satu itu. Katanya balesan surat Kakak yang kemarin....”
Poppi langsung melotot ke arah Lupus.
"Eh, sabar, Pop. Sabar. Namanya juga orang usaha. .. kan boleh. Sabar dong kamunya. Siapa tau isinya ditolak...."
Tapi Poppi langsung pergi meninggalkan Lupus. Tinggal Lupus yang kerepotan seharian merayu Poppi.. ..
5. Ngritik Ni Ye...
PPS, Posma, Plonco, Mapram, Mapras atau apa kek namanya, persetan!
Gini ya, sebetulnya saya masih nggak ngerti apa yang bisa ditarik dan didapat dari program kuno norak tersebut. Coba apa? Apa hikmah pelajaran yang didapat dari itu semua? Terus terang, saya antipati dengan yang begituan itu. Hanya orang-orang yang bodo aja yang mau terjebak ikut gituan' Beneran. Saya heran, kok ya selama ini ada orang yang mau ngikut program gituan. Apa sih SMA Merah Putih' itu? Kayak lembaga yang gimanaaa gitu. Mau masuk aja harus ikut PPS, Posma, Mapram, Mapras, Plonco, dsb, dst, dll....
Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum temu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat mental, tahan cobaan, dsb! Kebanyakan malesnya. Sekolah cuma buat formalitas, iseng-iseng daripada nganggur. Numpang bercanda, nggosip, nampang, cari perhatian, nyombong... wah, macem-macem deh. Iya, kan? Hayo, ngaku aja.
Makanya, buat apa ikutan program tersebut?
Apalah artinya jika setelah itu kita masih bersikap childish. Kekanak-kanakan. Apa tujuan program itu diadakan! Jawaban dari mereka-mereka adalah (sudah pasti) klise, "Begini, soalnya agar para siswa nantinya cinta pada sekolah 1m, mentalnya kuat. Ini kan sebagai tes mental. Sebagai cobaan. Supaya begini agar nanti begitu...."
Gombal!
Ketahuilah bahwa tes mental yang sebenarnya ada pada kehidupan yang sedang kita jalani. Bagaimana kita menghadapi segala cobaan yang menerpa diri kita. Itu baru namanya tes mental! Bukan seperti Posma, Mapras, Plonco..., yang begini sih apaan. Norak! Yang ada di kegiatan tersebut cuma sandiwara belaka. Kepura-puraan yang nggak lucu. Permainan orang-orang frustrasi, gila hormat, gila perhatian, kompensasi negatif..., pokoknya nggak sehat sama sekali.
Apa sih yang mau ditunjukin oleh mereka-mereka sebagai panitia program tersebut? Memerintah ini dan itu, marah-marah, membentak-bentak orang tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni ye...). Emangnya main drama? Atau mungkin mereka adalah para seniman gagal? Bisa jadi.
Tapi, apa nggak ada cara yang lebih manusiawi? Terutama kalau di universitas-universitas. Ih! Kan ada penataran P4 sebagai gantinya itu semua. Jangan dikira orang-orang yang digojlok .itu nggak sakit hati, lho! Mereka kan juga manusia, bukan robot.
Ada juga yang bilang sebagai perkenalan antara para senior dengan murid baru. Kayaknya kalau cuma sebagai perkenalan nggak perlu pake guling-gulingan di tanah, push-up, muka dicoreng-coreng kayak Hiawata (kalo nggak tau Hiawata, Humpa-pa juga boleh!)
Demi Tuhan, dari kecil saya nggak punya cita-cita untuk diperlakukan seperti itu. Udah gitu seharian lagi. Kadang sampai malam (katanya!).
Coba bayangkan, bagaimana kalau sampai ada yang pingsan lalu koit. Mungkin saya terlalu berlebihan dan emosional dalam melihat masalah ini, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi. Soalnya daya tahan orang kan nggak sama. Terutama yang cewek-cewek. Coba bayangkan, bagaimana perasaan orang tua mereka jika anak yang diharapkan untuk jadi 'orang', meninggal hanya gara-gara ikut Posma. Saya bukan mengada-ada nih. Emang bener ada. Adda aja! Adalah bohong alias nonsense bahwa Posma itu untuk menambah keakraban antara para senior dengan siswa baru (sok akrab ah!). Kalau mau akrab, kenapa nggak kenalan aja secara baik-baik dalam suasana damai dan bersahabat. Kan lebih simpatik dan beradab, ya nggak? Percaya deh, program 'pembantaian' itu sungguh nggak sehat. Cuma menimbulkan rasa tak senang, rasa dendam, rasa permusuhan dan rasa-rasa antipati. Pokoknya yang bersifat negatif.
Bayangkan, udah uang sekolah masuk SMA ini mahal, ikut Posma (bayar uang formulir juga), disiksa.... Wah! Tapi kok pada nurut aja? Aneh tapi nyata. Berontak dong! Kita kan di negara ini punya hak untuk bersuara. Bebas. Merdeka. Hak untuk tidak diperlakukan semena-mena. Sesuai dengan UUD '45 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 (Cie... hapal ni ye...). .
Jika saja saya nantinya mengalami hal-hal seperti tersebut di atas dan untuk itu saya diberi sertifikat Posma/PPS, saya akan bakar kertas sialan itu.
Fortunately, I didn't have such a disgusting, miserable and useless thing. Because I didn't and I'll never participate in an uncivilized program for the rest of my life. Honest! (Yang masih susah menangkap arti kata-kata ini, atau emang nggak ngerti sama sekali, bunuh diri aja mendingan.:..)
Sembilan dari sepuluh dokter yang saya minta pendapatnya mengatakan bahwa Posma tidak baik dan sangat tidak sehat bagi perkembangan mental. Memperlemah daya hidup. Dengan kata lain, hanya orang-orang idiot sajalah yang mau mengikuti, dan hanya orang-orang yang berpenyakit jiwa sajalah yang terlibat sebagai panitia.
Bener. It's okay? Mudah-mudahan selebaran ini bisa jadi input buat kita. Agar mata hati kita jadi terbuka. Abu Nidal.
***
Itulah selebaran yang beredar tadi pagi. Ditempel di tembok-tembok, di papan pengumuman atau di kantin. Dan tentu saja para panitia Mapras seperti ditempeli tai kodok wajahnya. Marah, malu, kesal. Tapi siapa yang mengedarkan selebaran gelap itu? Yang meminjam nama teroris jebolan PLO itu? Gila, penulis gelap itu benar-benar mau cari setori.
Bisa ditebak, Andang-lah yang paling kebingungan dengan beredarnya selebaran gelap tersebut. Soalnya, dia yang paling ambisius mengadakan program Mapras itu.
Kemarin-kemarin, dia memang nampak (sok) sibuk sekali ngurusin pembentukan panitia. Walau bukan ketua OSIS, tapi semangatnya melebihi semangat kaum pejuang angkatan '45. Waktu ada rapat panitia, bicaranya berapi-api. Kayak uler naga.
Makanya, kini dia bingung sekali. Dengan cepat, dia mengumpulkan para anak buahnya dalam rapat gelap seusai sekolah.
"Bagaimana ini? Semua bisa berantakan. Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan kayak gini. Kalian tau semua, pamflet itu sudah tersebar ke mana-mana. Semua anak baru pasti sudah membaca. Dan bagaimana kalau mereka terpengaruh dan mengadakan aksi protes? Huh, sial. Pasti ada oknum yang nggak suka sama rencana kita bikin Mapras. Memang sih, kegiatan kayak begini nggak boleh lagi. Tapi yang namanya tradisi nggak boleh hilang dong!" Andang nyerocos.
Teman-temannya cuma manggut-manggut aja.
Lupus juga. Lagi nggak interes sama kicauan Andang. Dia ngamuk berat. Ini kan jamnya orang tidur siang. Mending kalau rapatnya ada konsumsi. Huh!
Tapi kamu nggak tau masalahnya, ya? Gini. Si Andang, dengan rekomendasi dari ketua OSIS terpilih jadi ketua program Mapras. Kegiatan ini sendiri secara tertulis sebetulnya tidak boleh. Pun di universitas-universitas. Diganti dengan yang lebih mendidik, seperti P4, kebersihan kelas, dan sebagainya! Tapi, seperti biasa, apa yang tertulis tidak selalu cocok dengan kenyataannya. Apalagi SMA Merah Putih ini bukan sekolah negeri. Jadi peraturan bisa sedikit lain dengan negeri. Dan Mapras itu sudah mentradisi di setiap tahun ajaran baru. Nggak berat sih, nggak kayak di universitas swasta. Tapi ya yang namanya Mapras, tetap saja nyebelin. Jadi nggak adil dong kalau tahun ini program gelap itu ditiadakan. Makanya anak-anak kelas dua dan tiga ngotot mau mengadakan Mapras. Sedangkan guru-guru cuma angkat bahu saja, memaklumi acara yang sudah mentradisi ini.
Tapi kalau anak-anak kelas satunya berontak, berarti mengancam kelangsungan jalannya kegiatan tersebut. Beneran. Soalnya secara resmi, anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.
Makanya mereka sekarang kebingungan. .
"Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita harus mencari siapa yang membuat dan menyebarkan pamflet tersebut? Ayo dong. Ada pendapat nggak? Lupus, kamu kok dari tadi diem melulu. Gimana nih wartawan kita...."
Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih banget. Gara-gara di- PHK sama ceweknya, Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk ngasih ide. Andang pun melemparkan pertanyaan kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim playboy duren tiga, Andy, Roni, bahkan Ruri biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri nggak banyak omong. Mungkin lagi sakit gigi. Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah tiga anak jadi korban, dan pindah tempat duduk. Nggak mau dekat-dekat dia lagi.
Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS muncul. Anak-anak lain juga mulai berdatangan. Membahas kemungkinan siapa yang membuat pamflet itu. Membahas jalan keluar yang ditempuh. Ketika mereka saling berdebat, Lupus jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap keluar.
Dia memang kurang suka acara begituan. Mending jajan, terus pulang.
***
Sampai keesokan harinya, mereka para senior belum menemukan jalan keluar yang baik. Juga siapa penulis selebaran gelap itu. Meski sudah dipastikan ada dua kemungkinan; anak baru atau justru seorang senior yang nggak setuju diadakannya acara tersebut.
Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli.
Ketika bel istirahat, dia duduk sendirian di belakang kantin. Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun. Secara iseng membaca selebaran yang konon membuat heboh itu. Sebagian memang sudah dirobek, tapi secara misterius bisa muncul kembali.
Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh juga, gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa mengungkap kan rahasia si penulis gelap tersebut. Ini pasti bikinan anak baru. Yang nggak setuju diadakan Mapras. Karena di beberapa bagian, dia menyebutkan bahwa dia belum pernah mengikuti Mapras. Dan meski tampak berusaha menghilangkan identitas, emosinya menunjukkan emosi seorang cewek. Ditambah beberapa kalimat berbahasa Inggris yang kelihatan nge-prof. Aha, dengan data-data ini masak nggak bisa menemukan siapa penulisnya?
***
Lupus sama sekali tak mengira kalau yang namanya Rina itu orangnya kecil, lembut dan ehm, manis. Anak itu begitu pucat dan ketakutan ketika sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
"Nggak sulit, tadinya cuma menebak aja. Saya melihat ada tiga petunjuk. Pamflet itu menunjukkan kelincahan, emosi, dan kemampuan berbahasa Inggris si penulis. Tak banyak yang memiliki tiga kelebihan seperti itu. Maka saya pergi ke kantor administrasi sekolah. Melihat semua data anak kelas satu. Kamu mungkin ingat, ketika baru masuk sekolah setiap siswa diharuskan menyerahkan biografi singkat beserta prestasi yang pernah diraih, untuk memudahkan penyaluran pelajaran ekstrakurikuler. Iya, kan? Dan di situ saya membaca namamu. Rina. Prestasi: juara mengarang berbahasa Inggris yang diadakan oleh UNICEF. Nah, klop sudah. Hanya kamu yang memenuhi tiga petunjuk itu. Ditambah lagi alamat rumahmu dekat dengan sekolah. Itu memudahkan kamu untuk menempel pamflet di malam hari. Dan sekaligus memudahkan saya mencari rumahmu.
"Ngomong-ngomong, jago juga Inggris-mu. Belajar di mana? Pernah ke luar negeri, ya?" tanya Lupus panjang lebar.
Rina tak menjawab. Dia masih tampak ketakutan.
"Tap... tapi, Kak, saya tidak... eh, maksud saya, saya cuma melampiaskan rasa kesal saya. Saya benci sekali acara mapras-maprasan seperti itu."
"Kenapa?"
Dia tak segera menjawab. Seperti menimbang-nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.
"Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh membawa balon gas yang banyak ke atas gedung untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia yang merokok. Apinya mengenai balon tersebut. Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar. Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa yang menanggung risiko kalau begini?"
Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.
Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara tersebut. Apalagi kalau mendengar cerita-cerita orang lain yang tampak sadis. Pantas saja Rina begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.
"Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan kini juga mulai dilarang kalau sampai keterlaluan. Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA kita, nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan halaman, kelas, dan-yeah, dibentak-bentak sedikit. Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu adalah masa yang paling berkesan buat kita, sebagai remaja. Saat kita merasa senasib, nggak beda kaya atau miskin. Sama-sama dicabut haknya. Pokoknya berkesan deh, meski kalau disuruh mengulangi... wah. Amit-amit. Ogah. Saya juga tadinya benci sekali. Tapi pas malam terakhir, di mana kita semua bikin acara ke luar kota, wah- rasanya terharu sekali. Rugi deh, kalau nggak pernah ngerasain."
Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati menurunkan izin resminya, sehingga anak-anak kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja Lupus tetap merahasiakan identitas Rina, sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para panitia sudah melupakan selebaran tersebut.
Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di antara para siswa baru yang dikuncir lima rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua siswa baru itu sedang mendapat tugas meminta tanda tangan para senior sebanyak-banyaknya. Tentu saja para senior jadi serasa bintang film ngetop, dikejar-kejar untuk dimintai tanda tangan.
Hm, Rina bener juga. Anak-anak senior memang lagi pada norak. Apalagi Boim. Dengan kampungannya dia menyuruh setiap siswa baru merayunya untuk mendapatkan satu tanda tangan.
"Lupuuuus..." panggilan nyaring di kejauhan mengagetkannya. Lupus menoleh, eh... itu dia si Rina. Berlari-lari kecil ke arahnya sambil tertawa senang.
"Trims ya, kamu nggak ngadu soal selebaran itu. Bayangin aja kalau para senior tau. Wah, saya bakalan dikerjain. O ya, minta tanda tangannya dong, Kak Lupus."
Lupus tersenyum sambil memberikan sepuluh tanda tangan di buku Rina.
Dan ketika Mapras berakhir, semua siswa baru berkumpul membentuk lingkaran api unggun. Udara malam dingin menggigit. Tapi kehangatan menyelimuti masing-masing siswa. Irvan, tampak lengket dengan salah satu siswa baru. Boim juga begitu. Apalagi Andang. Wih, mesra. Maka nggak salah kalau Lupus pun berdiri berdekatan dengan Rina.
Semua menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Tapi sebetulnya lagu itu lebih pantas Lupus nyanyikan untuk Poppi, bukan untuk Rina. Dan kayaknya sekarang sudah jelas, apa arti Mapras bagi mereka semua. Ya, apa lagi sih kalo bukan cari jodoh. He he he....
6. Permen. Karet
PERNAH sakit gigi?
Kalau mau tau rasanya, tanya aja sama Lupus. Sekarang ini dia lagi uring-uringan banget nggak bisa tidur gara-gara sakit gigi. Rasanya, ngujubileh! Senut-senut kayak disetrum listrik ribuan watt. Kalau disuruh milih, Lupus lebih mau sakit hati daripada sakit gigi. Kalau sakit hati kan setidak-tidaknya bisa cuwek. Nggak usah dipikirin, walau hatinya dongkol. Tapi kalau sakit gigi? Gimana bisa cuwek? Tidur aja nggak bisa. Padahal segala macam obat sudah dicoba. Dari ramuan tradisional macam minum air garam, menetesi gigi dengan getah daun kemboja, sampai minum antibiotika, tetap aja terasa sakit.
Dasar penyakit nggak tau diri. Padahal kan ini sda leat jam dua belas malam. Waktunya orang lain tertidur nyenyak. Mbok ya ditunda dulu dilanjutkan besok pagi. Kasihan kan si Lupus nggak bisa tidur. Mana besok pagi ada ulangan lagi.
Tapi Lupus memang bandel juga sih. Kebanyakan makan permen karet atau makanan yang manis-manis lainnya. Makanya nggak heran kalau giginya jelek banget. Pada bolong-bolong. (Tapi nggak kuning, lho. Dia cukup rajin gosok gigi kok. Sehari tiga kali.)
Sebetulnya tadi siang, waktu Lupus mengeluh terus karena sakit gigi, ibunya sudah menyuruh ke dokter gigi. Tapi Lupus ogah. Dia paling alergi pergi ke dokter. Ngeri ngeliat alat kedokteran yang tajem-tajem. "Serasa menyerahkan diri untuk dibantai!" tolaknya.
Dan akibatnya sekarang? Semaleman dipaksa begadang. Rasanya pingin banget dia teriak keras-keras. Habis keki, kok yang lain bisa-bisanya tertidur lelap. Apalagi si Lulu, adiknya. Ngoroknya terdengar saingan dengan suara kodok-kodok di luar. Sinkron banget. Seolah ngeledek Lupus. Hampir-hampir aja Lupus punya niat jahat membunyikan weker antiknya yang bisa ngebangunin orang sekelurahan. Biar pada ikutan bangun.
Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.
"Kan sesuatu itu nggak ada yang abadi...," kilahnya. Tapi sampai sepulang sekolah, penyakit itu masih betah mengidap di giginya yang kecil - kecil.
"Mungkin kamu jarang sikat gigi...,” cetus Boim kala mereka barengan pulang sekolah.
"Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak gitu...!" sahut Lupus kesal.
Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya. Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus nggak ketawa sedikit pun.
"Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang lain kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus sewot.
"Siapa bilang? Kamu aja yang nggak punya sense of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu negaranya dibom Amerika sempet- ngelawak juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja bingungnya kayak orang kebakaran jenggot...."
Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau? Baca di mana?"
"Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama Reagan. Isinya singkat, 'Ngebom ni ye...' "
Lupus jadi setengah mati menahan senyum.
Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi. Whatever will be, will be. Mau dicabut kek, dibor ek, atau. skadar dikritik, '0, Lupus, betapa Jeleknya gigimu....' Terserah!
Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan pasrah sampai seorang suster memanggil namanya dan menyuruh masuk.
"Silakan lho, jangan malu-malu...," kata suster itu genit.
Lupus mencibir sewot.
Dan di dalam, dia diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi?'; 'Punya sikat gigi berapa di rumah?'; 'Odolnya pake merek apa?', Apa suka gosok gigi pake batu bata?'; and so on.
Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."
Lupus nurut. Dan sempat bergidik melihat alat-alat pembantai yang berjejer di hadapannya. Sementara dokter cewek itu memakai penutup hidung (itu lho, kayak orang mau dioperasi), dan menyiapkan alat-alat pemeriksa dibantu oleh suster. Lupus jadi rada tersinggung. Dikata mulutnya bau banget apa, sampe perlu pakai tutup hidung segala.
Dokter itu lalu menyuruh Lupus membuka mulut lebar-lebar.
"Ck, ck, ck..., giginya jelek amat? Kamu pasti suka makan makanan yang manis-manis, ya?"
Lupus sudah mengira bakalan dikritik begitu. Makanya dia tabah.
"Ya, Dokter. Saya suka sekali makan permen karet, coklat."
"Kayak anak kecil aja. Makanya giginya pada bolong-bolong begini. Kenapa sih kamu suka yang manis-manis ?"
"Kan biar tambah manis.... "
Dokter itu ketawa ngakak.
"Oke deh. Sekarang siap-siap aja. Giginya mau saya tambal. Soalnya kalau terasa sakit, nggak boleh dicabut. Lagian, selama masih bisa diselamatkan nggak usah dicabut dulu. Jadi tahan aja. Nggak sakit kok. Paling cuma ngilu sedikit. Siap?"
Lupus langsung menutup matanya rapat-rapat.
***
Siang itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya, ketika Lulu membangunkan.
"Bangun, Pus, itu ada temen kamu di depan."
"Aaaah, siapa sih? Tamu kok nggak tau waktu. Ini kan saatnya tidur siang.... Suruh pulang aja deh. Saya ngantuk banget...," keluh Lupus malas.
Dia memang sudah dua hari ini kurang tidur. Sekarang giliran bisa tidur, dibangunin.
"Apa-apaan sih kamu? Kayak artis aja."
"Tapi salahnya sendiri datang pada Jam tidur.... "
"Jam tidur? Sekarang sudah setengah lima, tau! Udah sore. Sana cepet temuin. Kasian kan datang dari jauh. Cewek lagi...."
"Hah? Cewek?" Lupus langsung melompat turun. "Kok nggak bilang dari tadi? Kece nggak?"
"Liat aja sendiri. Ogut mau mandi."
Lupus langsung nyerobot ke kamar mandi. Cuci muka dulu dan sikat gigi bersih-bersih. Lalu -berjalan ke depan.
"Eh, kamu. Kok tumben datang?" sapa Lupus begitu melihat Rina duduk termalu-malu di teras rumah.
"Iya. Eng... saya abis dari rumah sodara di ujung gang sana. Kebetulan lewat sini. Jadi ya mampir aja. Saya juga nggak bisa lama, kok. Ditungguin Mama. Saya cuma mau ngasih bingkisan ini. Buat kamu. Mau, kan?"
"Buat saya?" Lupus terheran-heran menerima bungkusan itu.
"Iya. Y uk deh, saya pulang dulu...."
"Eh, tunggu. Eng, kok cepet-cepet banget?"
"Abis ditungguin. sih. Sampe ketemu deh di sekolah. Yuk!"
"O... iya deh. Makasih banyak, ya?"
Rina tersenyum malu, lalu gadis kecil itu berlari ke arah mobil yang berhenti di depan. Sesaat sebelum pergi, dia melambaikan tangannya. Lupus membalas dengan senyumnya yang lebar. Mimpi apa ya dia?
Lupus segera membuka bingkisannya. Ada secarik kertas yang jatuh. Berwarna biru muda. Warna favorit Lupus. Lupus segera memungutnya, dan membaca.
"Buat Kak Lupus,
Kebetulan tadi saya jalan-jalan di pasar swalayan, dan saya melihat sekotak permen karet dalam kemasan yang manis terpampang di sana. Saya jadi ingat kamu. Kamu yang suka mengulum permen karet kalau pulang sekolah. Makanya, saya ingin sekali membelikannya untuk kamu. Supaya kamu senang.
Sekarang permen karet itu sudah berada di tanganmu. Untuk sekadar nyenengin saya, mau kan kamu memakannya? Sampai abis juga boleh. Nanti saya kasih lagi deh.
Salam manis,
Rina. "
Lupus nggak tau harus ngomong apa. Mau senang atau, malah sebel. Senangnya karena dia memang naksir si Rina waktu Mapras kemarin itu. Sebelnya, ya... kamu kan tau sendiri, saat ini dia baru sembuh dari sakit gigi. Masak disuruh makan permen karet? Satu kotak, lagi.
Tapi siapa sih yang bisa mengukur kekuatan cinta? Apalagi cinta yang baru saja tumbuh. Maka tanpa berpikir panjang, sore itu dia asyik mengulum permen karet lagi. Demi menebus dosa, karena dia telah keduluan Rina dalam menyatakan perasaannya. Dan juga supaya Rina nggak kecewa. Dia sama sekali nggak peduli sama nasihat dokter untuk tidak memakan permen karet lagi.
Dan malamnya, sekali lagi Lupus nggak bisa tidur. Giginya kumat lagi. Senut-senut kayak kesetrum. Tapi Lupus nggak sedih lagi. Sebab kali ini, meski nggak bisa tidur, ada yang bisa dipikirin.
Dan kadang, sakit gigi itu enak juga lho....
7. Ketika Hujan Turun Lagi
CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di luar memang sedang turun hujan (nenek-nenek juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di lapangan olahraga, di dekat perpustakaan, dan yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di sana penuh sekali.
Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan turun belum lama. Dan tadi pagi, waktu Lupus berangkat sekolah, cuaca belum nampak mendung. Masih cerah. Tapi kini, air menggenang di mana-mana.
Betapa suburnya alam Indonesia.
Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang tanpa kehujanan. Bikin kesel aja. Tapi apa boleh buat? Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di dinding sekolah. Sambil mengulum permen karet yang rasanya udah ngujubileh pait.
Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya kini cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut lapar, lagi.
Sementara teman-temannya yang lain ada yang masih asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat besok. Tapi tak banyak. Kebanyakan dari anak-anak SMA Merah Putih sudah pada pulang. Dijemput atau pakai kendaraan yang biasa mereka bawa. Ada juga yang nekat hujan-hujanan.
Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak juga yang nekat melawan hujan. Bukannya takut sakit, tetapi dia sedang membawa pulang tugas gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau sampai basah kan nggak lucu juga. Soalnya tadi aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan berbagai bentuk bidang, kayak arsitektur amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya basah.
"Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si Boim hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau kehujanan nanti rambut kamu jadi basah? Nggak bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah, kalau ketampanan yang kauperoleh bukan ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan, rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak? Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!" sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke arah hujan.
".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim lagi, “Boim - sebagai playboy paling top sejagat - tau betul bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di sana itu? Nah, ini saat yang tepat untuk mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah, kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya tidak pakai payung itu. Saya akan khusus membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan demi membela dia supaya enggak kehujanan.
"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi mendadak pelan, Sambil mendekatkan moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!
Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan cowok yang mencintainya, walau ia sendiri sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai, kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep ke-playboy-an saya. That's true. That's love! Kamu setuju pada pendapat itu?"
"Setuju,” sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih baik pacaran dengan cewek yang saya cintai, walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"
Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah bak panglima perang, dia berjalan menerjang hujan, menuju sang ratu Svida berteduh. Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian lagi. Dan dia sempat menangkap bayangan yang menatapnya lewat balik kaca Corona biru tua yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus segera tersenyum lucu. Tapi eks ceweknya itu segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun langsung membuang pandangan pada anak-anak kecil yang asyik bermain bola di lapangan becek di luar pekarangan sekolah.
Semen tara hujan kian deras.
"H'ai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu untuk meninggalkan tempat yang menjemukan ini?" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi tanpa menoleh pun, dia tau siapa kali ini yang datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman kesasar anak bahasa itu ? Yang kalo ngomong selalu sok nyastra. Biar dikata kayak Rendra. Ya, dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana selalu bawa tas koper yang isinya penuh puisi-puisi ciptaannya yang katanya akan laku dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya puisi-puisi saya adalah puisi yang jauh melangkah ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-orang masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap membawa koper.
Teman-temannya banyak yang bilang dia itu seniman gagal. T api nggak juga tuh. Dia ternyata cukup sukses juga. Buktinya setiap ada perayaan hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan untuk membacakan puisi karyaI1ya. Kalau sudah begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan pembungkus makanan pada berseliweran di udara. Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya yang sibuk tunggang-langgang ke balik panggung. Berlagak mau ke wc.
Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab. Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk), dia dengan sok akrabnya menyapa setiap orang yang dia jumpai. Menurutnya, setiap orang yang dijumpai adalah para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut (katanya biar lebih mirip Rendra), kadang menyebabkan ritsluiting celananya sulit tertutup rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke mana-mana.
Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya? Dan kini, makhluk ajaib ini sudah berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai prahara ini kan lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan Gusur makin gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana," katanya lagi dengan gaya bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia akan datang lagi dengan selaksa ancamannya!"
Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka. Berlagak asyik memandangi anak-anak yang bermain bola. Tapi matanya tetap mengerling. Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra. "Wahai, Lupus, ketahuilah, jarum-jarum hujan yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini, si Gusur turun berputar-putar seperti orang balet. Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang bulat begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati menahan senyum. "Maka, mari kita berlalu. Basah tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa berjuta derita. Dingin, resah, dan di dalam perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya (lapar, maksudnya!)."
Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa?
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski hujan, nampak begitu aneh. Pakaiannya itu lho - lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan payung kecil yang sekaligus topi. Itu lho, yang biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi kepanasan. Yang ada head-bandnya ala Bjorn Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan? Kalau nggak tau berarti kamu lebih norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi. Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang menyolok.
Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar top kali! Tapi barangkali aja sebagai seniman, dia punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha buktinya, kok tau-taunya sih bakal turun hujan. Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.
Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel sendiri. Dengan judes, dia membuang muka, menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu akhirnya pulang sendirian. Wah, lagaknya. Pake ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum makhluk itu berlalu, sempet juga ia berkicau. Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang membuatmu terpaku di situ. Atau kau takut? Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku andai dikau kutinggalkan. Kita berdiri di dunia kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani. Selamat tinggal, Lupus, hujan telah memanggilku dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.
Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan tanpa kerepotan meski kostum yang dikenakan nampak complicated sekali. Tingkahnya seperti biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya tetap monyong. Habis sial-siul terus sih.
Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang walau hujan mulai sedikit mereda. Perutnya semakin melilit dengan dingin yang menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang?" Kali ini ada suara lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini baru teman yang menyenangkan, batin Lupus ketika melihat Anggi yang datang.
"Belum, Gi. Abis hujan terus. Kamu dari mana?"
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak betah. Mendingan pulang aja. Tapi masih hujan, ya? Padahal nanti so're saya mau latihan gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti hujan reda. Deket cewek cakep begini, laparnya jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul wajah Tejo, anak kelas tiga. Dia tersenyum manis kepada Anggi.
"Mau pulang? Ayo saya anterin. Daripada kedinginan di situ."
Anggi kelihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi? Mau tunggu hujan berhenti? Wah, sampe besok subuh juga nggak bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut. "Tapi ajak teman saya ini juga, ya?" pinta Anggi. Tejo melirik dikit pada Lupus. Lirikan tak bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di mana?"
"Eh-enggak usah. Makasih aja deh. Saya bisa pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa. Langsung duduk di charade-nya dan tancap gas. Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah nyulik teman dengan paksa, nggak tau diri, lagi!
***
Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan di situ banjir. Lalu lintas macet total. Mobil-mobil yang nggak waterproof udah mogok berat. Walhasil para pengendaranya terpaksa kemping di jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada bersyukur juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa jalan terus, meski pelan banget.
Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak bisa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, Tejo lagi sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena pulangnya malah jadi terlambat. Anggi dengan kesal turun, dan berlari ke arah bis yang ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang masih kebingungan dengan mobilnya.
Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke bis Lupus. Sebab hujan yang tadi agak reda, kini turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi? Nanti sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di dekatnya.
"Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.
Sementara di luar hujan masih turun. Dan di tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si seniman itu, basah kuyup karena kejebur got. Lha iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak kelihatan. Dan kamu tau, seniman ini memang paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal tancap gas aja. Dan akhirnya ia dimakan keyakinannya sendiri.
Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia ngakak keras sekali. Sampai orang-orang sebis memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak peduli.
8. Pergi Berenang
SETIAP hari Jumat, SMA Merah Putih, tempat Lupus yang kesohor itu (he he he, katanya lho!) sekolah, mengadakan kegiatan renang. Praktis hari itu menjadi hari yang istimewa buat mereka.
Bayangkan saja, gimana nggak asyik kalau pada saat itu semua siswa, dari berbagai kelas yang se-lifting sama Lupus, bisa saling bertemu. Berenang sama-sama, bermain kejar-kejaran di air. Dan Pak Kurdi, guru olahraga mereka yang kalau ngajar lagaknya kayak Triman Srimulat, menjadi pelatih mereka. Eh, beneran lho, kalau dia lagi kebetulan ngajar teori olahraga di kelas, tangan sebelahnya selalu berkacak pinggang, sementara kepalanya suka goyang-goyang ke kanan ke kiri. Lucu sekali, kayak boneka India. Mungkin dia emang nggak bakat ngajar. Bisanya cuma senam pagi doang di lapangan. Sehingga kalau lagi membelakangi murid, Lupus dan beberapa teman-temannya suka iseng ikut menggoyang-goyangkan kepalanya ngikutin dia. Tapi dianya cuwek aia, nggak pernah marah. Atau emang nggak tau? Entahlah, yang pasti dia tuh kayaknya orangnya happy terus. Nggak pernah sedih.
Dan biasanya tiap selesai sholat Jumat di sekolah, anak-anak tidak langsung pulang. Melainkan makan di kantin, mengobrol, sambil menunggu berangkat ke kolam renang. Lupus beserta beberapa rekannya sudah punya rencana dengan Gusur, anak bahasa yang sableng itu. Mau main polo air. Tapi dari tadi ditunggu-tunggu Gusurnya belum dateng juga. Padahal bis sekolah yang membawa mereka ke kolam renang sudah ready to go. Wah, menyebalkan sekali.
"Ke mana seniman sableng itu!" maki Andang kesal. "Janjinya kan mau ngumpul di sini!"
"Wah, dia nggak tau kali kalau menunggu itu adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Kalau bukan dia yang pegang bolanya, sebodo amat! Kita tinggalin aja!" lanjut Boim.
Yang lain cuma mengangguk-angguk. Dan mau tak mau mereka terpaksa harus menyamper ke rumah Gusur, yang kebetulan memang tak jauh dari sekolah. Lupus yang lagi segen jalan (maunya naik kapal terbang 'kali!), jelas memaki-maki, Si Gusur dari dulu memang kepingin jadi orang penting. Tapi caranya itu yang selalu salah!
Di panas terik memari, mereka pun bersama-sama jalan sehat ke rumah Gusur. Dan setibanya di rumah Gusur, anak-anak menemui kesebalan yang sempurna. Seperti' biasa, seniman ini cuma bercawat doang kalo di rumah. Tak peduli ada tamu atau tidak. Yang punya pikiran ngeres, kali udah ngebayangin yang enggak-enggak aja. Tapi sebetulnya seniman ini lagi sakral. Umung aja dia itu cowok. Kalo .cewek barangkali udah hamil melulu... (hus!). Sementara perutnya yang rada gendut itu dipertontonkan ke mana-mana. Buset, kayak tari perut aja. Anak-anak jadi sebel.
"Halo, teman-teman sejawat, angin apa rupanya yang membawa kalian begitu kompak datang ke padepokanku?" sapanya tanpa dosa sambil memegang secarik kertas di tangan kirinya. Rambutnya yang mulai gondrong, tumbuh gila-gilaan di kepala, di atas bibir, dagu, ketiak dan... di bagian yang kayaknya rada kurang sopan disebutkan di sini. (Kalau tetap penasaran kirim surat aja ke saya, nanti saya kasih tau!)
Pertanyaan sok polos itu tentu membuat Lupus makin mangkel. Kontan aja Lupus nyap-nyap. Memaki Gusur yang tidak menepati janji datang ke sekolah. Tapi jawaban Gusur cukup membuat Lupus dan teman-temannya melongo.
"Daku memang pernah merasa meletakkan janji pada kalian, namun lihatlah, sejenak lagi sajak masterpiece-ku bakal lahir. Dan itu lebih penting dari segalanya. Maka persetan dengan janji-janji yang pernah kulontarkan kepada kalian!"
Duile, kekinya anak-anak nggak ketulungan lagi! Udah capek-capek nyamperin, ternyata yang disamper cuwek-cuwek aja. Malah sekarang tangannya diacungkm ke atas dengan kertas yang melambai-lambai, sementara wajahnya dibuang ke belakang. Mirip Rendra lagi baca puisi. Lupus yang keki jadi penasaran merebut kertas yang dipegang Gusur. Bujubune, isinya sebuah puisi yang berjudul, Wanita adalah Dusta!
Konon makhluk yang satu ini memang rada dingin terhadap cewek. Sok frigid, gitu! Di sekolah umpamanya, teman-teman yang lain udah pada pacaran, eh dia sih masih tetap sendiri. Kayak lagunya Dian Piesesha. Dia pernah bilang, perempuan di matanya hanya menduduki peringkat kesekian setelah sajak dan sebagainya. Yeah, maklumlah, dia memang seniman. Tapi Lupus tau banget, kalau Gusur ini belum pacaran, bukan berarti dia nggak kepingin. Lha masalahnya, mana ada cewek yang betah sama dia? Yang kalau nerima tamu, nggak peduli cewek atau cowok, cuma bercawat, yang kalau ngomong sablengnya minta ampun, semen tara jenggotnya yang aduhai, itu lebih mirip jenggot bandot ketimbang... Oma Irama. Lagian pengetahuan umumnya paling sekitar sajak-sajak dan nama-nama penyair doang, sementara cewek satu sekolahnya kan lebih suka ngomongin artis, grup band barat, dan segala yang berbau modern. Jelas nggak nyambung dong!
"Kamu jangan norak dong, Sur! Di sana kan kita bisa main sama anak-anak, ngeceng cewek-cewek yang lagi berenang. Bodinya itu lho, kan pada asyik-asyik!" cetus Boim.
"Wanita? Huh-sudah kubilang, wanita itu adalah belenggu kreativitas. Dan sajak-sajakku bukan konsumsi cinta kasih murahan, tetapi sajak yang melenting jauh ke masa depan. Jadi buat apa? Ya nggak cocok jika kehidupan kepenyairanku saat ini dimasuki oleh makhluk berjenis wanita!" katanya tetap sombong. Dan itu jelas bo-ong. Sebab Lupus yakin, kalau aja ada cewek yang nekat mau sama dia, kontan diterima. Gimana enggak? Kalau lagi tidur dia suka ngigo kepingin punya cewek. Nah Lo, nggak bisa mungkir lagi dia.
Kadang orang yang suka ngigo macam Gusur itu kan enggak bisa menyembunyikan rahasianya. Dan di kamarnya kalau mau tau, banyak ditempeli foto-foto cewek kece teman-temannya. Lupus pernah masuk ke kamarnya dan memergoki. Dan kalau sudah begitu dia suka bilang sendiri, cewek adalah sumber inspirasi.
Tapi kini, kala teman-temannya menjemputnya, dia menunjukkan sikap jual mahalnya kepada wanita. Berlagak nggak mau ikut. Sok cuwek. Sok antipati. Sok dingin. Tapi memang semua temannya mengira sang seniman ini rada kurang respek terhadap wanita. Menganggap lebih mementingkan sajak-sajaknya daripada cewek. Selama ini dia emang nggak pernah ikut renang dengan alasan tersebut. Pendek kata, biar Brooke Shield naksir dia, dia nggak bakalan bergeming. Apa bener tuh?
"Sikap yang bikin orang penasaran itu memang patut kamu pertahankan, Sur. Biar nggak berkesan murahan. Agak tahan harga, gitu! Sebagai seniman kamu memang harus punya sikap. Jangan mudah terpengaruh!" kata Lupus setengah meledek.
Gusur malah makin mengangguk-angguk.
"Tapi buat orang-orang yang diobral aja belum tentu laku, buat apa pake tahan harga segala?" lanjut Lupus, disertai wajah dongkol dari Gusur. Tapi akhirnya dengan berat, Gusur pun ikutan anak-anak ke kolam renang. Supaya tetap mengesankan bahwa dia tak begitu berminat, jalannya dibikin segontai mungkin. Duile....
***
Lupus sendiri, kalau enggak mengingat ancaman guru olahraga, rasanya segen ikut-ikut berenang. bukan apa-apa, badannya yang selembar itu sering jadi bahan ledekan teman-temannya. Makanya dia nggak berani lama-lama berada di atas kolam renang. Begitu masuk, langsung jebur. Soalnya pernah kejadian, lagi asyik-asyiknya berjemur di sisi kolam renang (ceritanya biar kayak orang barat, gitu!), ada ibu-ibu yang langsung aja kepingin nyuci bajunya di dada Lupus. Dikira papan cucian. Wah, Lupus dongkol setengah mati.
"Pus, kamu sih tinggal dikasih garam, lalu dijemur, jadi deh ikan asin...." begitu anak-anak suka ngatain. Sialan nggak tuh!
Tapi kali ini Lupus cukup cuwek. Begitu bis memasuki pekarangan parkir kolam renang, anak-anak mulai berhamburan turun. Berlomba-lomba memasuki pintu masuk yang sempit. Lalu langsung masuk ke ruang ganti baju dan penitipan barang. Beberapa menit kemudian, mereka semua sudah berada di kolam renang. Yang paling seru sih ngeliatin perlengkapan renangnya si Gusur. Buset tuh anak, tadi ngakunya segen berenang, tapi ternyata kini bawa masker, sepatu katak, dan alat-alat menyelam lainnya. Lengkap deh, kayak penyelam-penyelam mutiara. Dan kerjaannya dari tadi ya menyelam terus. Ngintipin bodi cewek dari bawah air. Kayaknya semuanya itu memang sudah dipersiapkan dan direncanakan dari rumah.
Sementara anak-anak yang lain mulai ramai bermain polo air, kejar-kejaran. Tak seorang pun yang mempedulikan Pak Kurdi yang sibuk teriak-teriak melatih bagaimana cara renang yang baik. Kayaknya semua teori yang diajarkan di kelas, selalu tak pernah berfungsi buat mereka. Karena setibanya di kolam renang, mereka semua punya gaya berenang yang seragam. Gaya berenang di kali. Yang penting bisa ngambang dan jalan.
Beberapa menit kemudian, Lupus mulai jenuh bermain polo air. Dia langsung naik ke atas kolam. Ceritanya mau latihan loncat indah. Maka dengan gaya 'bak Tarsan kota, pakai teriak 'auoooo...' segala, dia langsung meloncat ke kolam. Tapi entah karena salah perhitungan atau memang nggak bakat renang, walhasil dadanya duluan yang menampar permukaan air. Wih, sakitnya! Tapi bukan Lupus namanya kalau begitu mudah menyerah. Maka sekali lagi dia naik ke tepian kolam. Tapi belum sempat melompat, seseorang mendorongnya dari belakang. Begitu cepat, sehingga Lupus kaget, dan tulang keringnya terbentur keras di tepi kolam. Lupus meringis kesakitan sambil terjatuh ke dalam kolam.
Dengan susah payah dia naik ke atas kolam, dan memandang sekelilingnya. Siapa tadi yang begitu nakal telah mendorongnya? Tapi tak seorang pun yang patut dicurigai, karena masing-masing lagi asyik sibuk dengan permainannya. Dengan terpincang-pincang, Lupus pun mengambil handuknya dan beristirahat di bangku kosong.
Sebentar kemudian, dia melihat Anto, anak pendiam itu duduk di bangku atas sambil asyik dengan kekerannya (atau istilah kerennya teleskop binokular). Dia memang nggak pernah ikut berenang. Katanya takut kena air. Kayak kambing aja. Kebalikan dari Lupus. Lupus kalau melihat air bawaannya kepingin berenang melulu. Keturunan bebek kali.
Si Anto ini dari tadi kerjaannya memang meneropong cewek-cewek yang lagi berenang. Dari Jumat ke Jumat, saat anak -anak yang lainnya pada asyik berenang, dia malah asyik mengatur strategi untuk mengintip. Gila bener anak itu! pikir Lupus. Makanya kalo orang pendiem itu kadang memang patut dicurigai. Apalagi yang sok frigid macam si Gusur. Pura-pura dingin, pura-pura menolak, nggak taunya... hehehehe, di kolam renang pada ketauan belangnya. Mending kayak Lupus yang terus terang begitu.
Lupus dengan terpincang-pincang segera menghampiri bangku Anto.
"Eh, kamu lihat nggak Siapa yang tadi ngejorokin saya ke kolam?" tanya Lupus agak penasaran.
"Jangan nuduh dong! Emangnya saya tau.”
"Duile, ditanya begitu aja." Lupus jadi keki.
Tapi keduanya mulai asyik bergantian meneropong. Sampai akhirnya Anto punya usul bagus.
"Kita ke ruang ganti baju cewek yuk? Asyik lho, bisa ngintip!"
"Idih! Kalo ketauan gimana?"
"Ah, enggak bakalan deh. Ayo. Mau nggak?"
Lupus nurut. Dan ternyata di sana udah ada Boim, Gusur, Andy, dan Irvan. Buset, kalah cepat rupanya. .
Tapi mereka semua belum berani masuk.
"Kamu aja, Pus, masuk duluan.. Kamu kan kurus, bisa dengan aman bersembunyi di pilar-pilar tanpa kelihatan. Cepetan!" Boim merayu.
Lupus yang dasarnya memang suka nekat, mau aja disuruh. Dengan lagak bak teroris profesional, dia menyusup masuk ke dalam kamar ganti.
Tapi sedetik kemudian anak-anak di luar mulai ribut, "Bahaya! Sekelompok anak kelas sosial datang!" pekik Anto. Mereka pun berlarian ke segala penjuru. Tinggal Lupus yang panik, berdiri berada di ruang ganti cewek. Tak ada jalan lain, dia pun langsung masuk ke salah satu kamar ganti terdekat. Dan mengunci pintu dari dalam rapat-rapat.
Terdengar suara cewek-cewek di luar. Berteriak-teriak ribut sekali. Sambil berebut masuk ke kamar ganti baju di sebelah kanan dan kiri.
Kamar ganti baju itu seperti WC- WC bioskop. Bagian bawahnya agak terbuka, Lupus hampir menahan napas tak berani berkata-kata.
"Hm, rupanya ada yang duluan masuk ke sini, ya? Halo, siapa di dalam? Yanti, ya? Ikutan masuk dong!" terdengar suara seorang cewek di luar menggedor-gedor pintu kamar ganti yang ada Lupusnya. Tentu saja kalau bukan dalam suasana gawat begini, Lupus dengan senang hati mau membukakan pintu untuk mengajak cewek itu masuk. Tapi sekarang? Dalam suasana gawat begini, mana berani? Bisa-bisa diteriaki gadis-gadis sekelurahan. Makanya Lupus tetap diam.
Lama sekali. Canda-canda itu belum reda juga.
Dan Lupus belum berani keluar. Sibuk komat-kamit baca doa. Boro-boro deh mau ngintipin cewek yang ganti baju. Ngomong aja nggak sanggup. Itulah, niat-niat yang nakal pasti nggak pernah diridhoi Tuhan. Lupus mulai mengutuki teman-temannya yang di luar. Yang bisa berlari dengan aman. Sedang dia terjebak di dalam.
Sudah lebih dari lima orang mengetuk-ngetuk pintu Lupus, tapi Lupus belum berani bergerak.
"Siapa sih yang di dalam? Lama amat? Lagi nge-bom ya? Jangan di situ dong!"
Sampai akhirnya suasana jadi sepi. Lupus dengan menajamkan pendengarannya mulai membuka pintu perlahan. Tapi suara bisikan dari kamar sebelah cukup membuatnya kaget dan menutup pintu kembali dengan cepat.
"... Jadi kamu tadi yang ngejorokin si Lupus ke kolam? Kok gitu sih?" terdengar suara pelan dari sebelah.
"Sst... jangan bilang siapa-siapa, ya? Saya malu. Saya tadinya iseng aja mau godain anak lucu itu. Tapi nggak taunya malah jadi celaka. Sedih deh. Saya kasihan melihatnya jadi terpincang-pincang begitu. Tapi, saya juga nggak berani minta maaf saat itu. Takut dianya marah lalu membenci saya. Gimana ya sekarang cara minta maafnya? Tadi saya cari-cari dia sudah nggak ada di kolam renang. Barangkali langsung pulang, karena kakinya sakit. Wah, saya menyesal sekali!" terdengar suara cewek yang satunya.
"Itulah, makanya kalo bercanda jangan keterlaluan. Dan harusnya kamu bisa berjiwa besar. Mengakui kesalahanmu. Mengakui kesalahan memang perbuatan yang paling berat. Korban perasaan, harga diri. Tapi percayalah, kalau terbiasa untuk berani mengakui kesalahanmu, nantinya kamu akan menjadi seorang yang berjiwa besar!"
Dia pun mengintip! O... Dewi dengan Ani. Siapa di antara mereka yang mendorongnya ke kolam?
***
Hening sejenak. T api tak lama, terdengar lagi suara cewek itu. "Oke deh, saya akan coba. Yuk, keluar. Udah pada pergi semua tuh!" Dan kemudian terdengar pintu dibuka, disertai langkah-langkah kaki yang berjalan menjauh. Lupus jadi penasaran, ingin tau siapa yang berbicara tadi.
Lupus saat itu lagi asyik dengan bakso panasnya di tukang jualan yang pada mangkal di sekitar halaman kolam renang. Semen tara anak-anak yang lainnya juga asyik dengan jajanannya masing-masing. Hanya Gusur yang bagai pengamen murahan, berpindah-pindah dari satu gerobak ke gerobak lainnya. Bukannya mau nyanyi, tapi nyomotin bakso orang yang lagi meleng.
Saat itu pula Dewi duduk di sebelah Lupus.
Lupus pura-pura cuwek. Jadi ini toh makhluk yang tadi ngejorokin dia ke kolam. Hm, ceritanya dia mau minta maaf.
"Saya kirain kamu udah pulang. Gimana kakimu tadi? Masih sakit?"
"Ooo, masih dong. Barangkali tulangnya patah. Soalnya sampe nggak bisa dibawa jalan tuh!"
"Ah? Segawat itukah?" Dewi terkejut.
"Ya, mungkin saja. Soalnya benturannya keras sekali. Eh, kamu tau nggak siapa yang ngejorokin?"
Dewi diam. Hatinya kecut.
"Kalau saya ketemu orangnya, awas saja!" suara Lupus mengancam.
"Eh... mau kamu apakan? Diajak berantem?"
"Ya, kalau saya berani. Hehehe. ... Eh, tampangmu kok aneh begitu? Ada apa?"
"Ah, enggak!" Dewi menjawab cepat. Sementara tangannya sibuk meremas-remas sapu tangannya. Gelisah sekali dia. Lupus hampir geli menahan ketawa.
"Harusnya orang itu cukup berjiwa besar untuk mengakui kesalahannya. Saya benci melihat orang-orang yang pengecut!" Lupus seperti menggumam.
Dewi makin kecut, lalu berdiri hendak pergi.
"Hei, mau ke mana?" tahan Lupus cepat-cepat. "Tentu saja kalau kamu yang berbuat saya nggak benci. Suka, malah."
Dewi terkejut dan memandang heran kepada Lupus.
"Kamu tau?"
"Makanya, jadilah orang yang berjiwa besar. Untung saja saya yang kamu rugikan. Kalau orang lain ?"
Dewi tersenyum.
"Dan bagaimana dengan kamu? Apakah kamu cukup berjiwa besar mengakui kesalahan kamu menyelinap masuk ke kamar ganti cewek?"
Gantian Lupus yang kaget.
"Eh, kamu kok tau?"
"Apa sih yang saya nggak tau? Ayo, saya bilangin cewek kamu ya...."
"Eh, jangan!" Lupus pun langsung mengejar Dewi yang berlari menjauh. Saat itu sakit di kakinya hilang seketika.
9. Sirik Lu!
PALING keki punya temen yang suka sirik. Yang cenderung ngiri kalau ngeliat orang lain sukses. Yang selalu merasa terganggu kalau ada orang lain hidup senang. Nggak sulit kok menandai orang sirik macam begitu. Kalau misalnya kamu merasa terganggu ngeliat kucing tidur nyenyak di pinggir jalan, sehingga bawaannya kepingin menendang kucing itu jauh-jauh, atau kalau kamu merasa jengkel ngeliat dua orang temanmu bergandengan tangan dengan akrabnya menyeberangi jalan raya depan sekolah, tandanya kamu berbakat jadi orang sirik.
Dan celakanya, Lupus punya temen yang kayak begitu. Sekelas, lagi. Namanya Andy. Dia itu kalau udah nyirikin orang, buset deh, setan pun sampai ngeri dengan kesirikannva. Bayangin aja, dia tahan enam jam berturut-turut ngatain orang lain. Kayaknya dia yang paling sempurna sendiri. Orang lain dianggap nggak ada yang sempurna.
Gimana nggak nyebelin tuh!
"Saya sering baca tulisanmu, Pus. Terutama cerpen-cerpenmu. Dan saya sering merasa bingung sendiri, apa redakturnya nggak salah pilih tuh? Bayangin aja, saya sama sekali nggak bisa memetik apa-apa dari tulisan-tulisan yang kamu buat. Apa yang bisa kamu berikan lewat tulisan-tulisanmu itu? Semuanya nol besar!" suatu pagi Andy sudah mulai cari setori lagi.
Lupus yang dasarnya memang nggak mau kalah, kontan aja berkomentar, "Jangan kamu tanyakan apa yang bisa saya berikan lewat tulisan saya kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan kepada tulisan saya. Wasalam."
Andy makin sirik.
Tapi ya biarin aja. Ngeladeni orang sirik sama aja dengan menjelaskan mekanika sama tukang becak. Sia-sia aja. Jadi ya emang nggak perlu diacuhin. Makin dipikirin, makin suka dianya. Mendingan kayak Lupus itu. Dia nggak pernah tersinggung kalo disirikin orang. Cuma kadang-kadang aja dia jadi rada susah tidur siang. Itu juga bukan karena mikirin, tapi ya emang nggak ngantuk aja.
Dan Andy memang paling klop kalau sudah ketemu sama Ruri. Sama-sama suka sirik. Kalau mereka berdua sudah ngomong, wah seru sekali. Kayak dengerin siaran pertandingan sepak bola di radio. Nggak ketauan lagi deh, mana yang bo'ong, mana yang jujur. Dan biasanya bisa berlangsung lama sekali. Kadang kalau hari sudah terlalu larut, dan mereka merasa perlu tidur sejenak, mereka baru berhenti nggosip dengan janji besok hari, pagi-pagi sekali, mereka akan meneruskan obrolannya. Mereka kadang duduk sebangku di depan tempat duduk Lupus. Dan kalau pas pelajaran menggambar, yang memang agak santai. mereka sering kedapetan lagi asyik nggosip. Lupus suka iseng ikutan nguping.
Biasanya Ruri yang memulai, "Eh. kamu ternyata bener, Dy, saya nggak nyangka kalau Wulan yang berwajah lebar itu mempergunakan kecantikan wajahnya untuk memikat oom-oom bermobil mewah."
"Lho, abis kamu kira untuk apa? Untuk main bola? Yang bener aja dong. Mana muat? Kalau untuk lapangan golf, ya mungkin saja bisa. Asal mukul bolanya jangan keras-keras. Tapi ngomong-ngomong, gimana kalau untuk landasan pesawat terbang aja? Kan asyik tuh, nggak usah jauh-jauh ke Cengkareng kalau mau ke luar negeri," Lupus nyeletuk dari belakang.
Mereka berdua cuwek aja. Udah tau adat Lupus. Malah meneruskan obrolannya, "Saya nggak bisa membayangkan, kok ada orang yang mempergunakan kecantikan wajahnya hanya untuk itu...."
"Saya juga tidak. Masak iya ada orang yang mengira wajah selebar Wulan untuk lapangan sepak bola?"
Andy dan Ruri kesal, dan menoleh berbarengan.
"Yang lucu boleh pulang!" bentak Ruri.
Lupus juga sebel sama tingkah Ruri. Kalau lagi berolahraga di sekolah, dia suka memakai kaus yang tanpa lengan (itu lho model kaus you can see). Geli ngeliatnya. Apalagi pas giliran senam yang pakai angkat-angkat tangan segala. Lupus pernah secara nggak sengaja berdiri dekat-dekat Ruri yang lagi asyik bersenam-ria pake kaus you can see. Kontan aja Lupus kehilangan napsu makannya tujuh hari tujuh malam. Shock berat dia!
"Dasar anak-anak esema ini pada kuno semua. Nggak tau kemajuan zaman. Nggak tau mode. Masak pakai kaus you can see aja pada shock!” gerutu Ruri suatu ketika.
"Bukannya pada ketinggalan zaman. Cuma kamu aja yang mungkin nggak tau kalau sekarang ada model kaus yang lebih moderen lagi dari itu. Dan kayaknya cocok buat kamu. Kenapa nggak coba?" jawab Lupus.
"O ya? Kaus model apa itu?"
"You can see everything...."
***
Tapi toh Lupus sempet keder juga karena kesirikan Andy. Pasalnya ketika Rina, cewek yang kini memang intim dengan Lupus, mogok nggak mau ikutan lomba baca puisi. Padahal biasanya Rina begitu tabah, keras kepala, dan berani. Seperti ketika ngritik Mapras waktu itu. Dan kini ceritanya Rina mau ikutan lomba baca puisi ulang tahun SMA Merah Putih. Lupus sudah menjanjikan mau bikinin puisinya, tapi mendadak Rina mengundurkan diri.
"Abis gimana nggak kesel? Si Andy dan beberapa temennya ngatain saya terus!" Rina manyun.
"Ah, masak omongan Andy aja ditanggapin? Orang kan memang lebih gampang ngeliat kesalahan orang lain, daripada kesalahan sendiri. Apa kamu pikir dia lebih bagus baca puisinya daripada kamu?"
Tak pelak, Lupus pun perlu berjuang setengah mati ngerayu Rina untuk tetap ikut lomba baca puisi. Soalnya, katanya, Lupus udah terlanjur bikin puisinya. Dan dia memang nggak bisa kalau harus membawakannya sendiri ke panggung di depan orang-orang. Bukannya grogi, tapi dia emang nggak suka aja jadi bahan tontonan. "Serasa topeng monyet," katanya. Tapi untuk memberi kan puisinya kepada Gusur, seniman sableng itu, juga nggak mungkin. Lha dia kalau baca puisi kan kebanyakan improvisasinya. Katanya biar lebih menjiwai isi puisi itu, tapi jadinya malah seperti nonton topeng monyet beneran. Nggak seru ah.
Tapi untunglah, rayuan Lupus berhasil. Lupus pun berjanji akan memberikan puisi beberapa saat sebelum lomba. Soalnya sekarang masih belum jadi.
***
Sehari sebelum lomba dimulai, kala Lupus menyerahkan puisinya, Rina marah-marah.
"Apa-apaan nih? Kok bikin puisinya norak banget? Nggak mau ah!"
"Lho, ini bagus, Rin. Ini puisi yang jujur. Nggak dibuat-buat. Langsung dari inner feeling saya. Dan kamu harus selalu percaya pada inner feeling. Soalnya dia nggak pernah bohong. Gimana? Nama kamu sudah terdaptar lho!"
"Ah, kamu selalu membuat saya terjepit....”
Dan lomba baca puisi pun dimulai Rina tampil sebagai peserta kelima. Puisinya tampak aneh sendiri. Dan tentu saja mendapat teriakan-teriakan dari para penonton. Apalagi ditambah dengan penampilan Rina yang kayak orang kedinginan. Gemeteran.
Kala rembulan dipagut malam
Hatiku resah digulung bimbang
(Baru dua baris pertama, penonton sudah teriak -teriak dengan serunya, wooooo....)
Kusendiri termenung diam
Menanti kekasih tak kunjung datang
(Teriakan semakin seru, ada yang tertawa gila-gilaan. )
Uhu uhu hu..., dengarlah tangisku, Dinda
Betapa pilu mengalun sunyi
(Tak disangka, semua penonton ikut-ikutan menangis dengan serunya. Ngeledekin Rina tentu saja. Suasana jadi kayak orang berkabung. )
Kama hanya dikau pujaan Kanda
Yang datang di setiap mimpi
0, Mas Gatotkaca
Bawalah daku melayang padanya
Daripada di sini kubersimbah air mata
Teriakan makin seru, Rina jadi nangis beneran. Dia berlari ke belakang. Lupus yang memanggil-manggil tak digubrisnya.
"Wah, selamat ya, Rin. Kamu sukses," sambut Lupus ceria.
"Sukses apa? Kamu bikin saya malu. Puisi itu, saya kan udah bilang, isinya norak. T api kenapa kamu maksa saya untuk membacanya? Biar saya diketawain anak-anak satu sekolah ya? Begitu?"
Rina terisak-isak.
"Lho, tapi kamu kan yang paling mendapat sambutan hangat? Jangan pernah berpikir bahwa penilaian juri, atau orang-orang ahli lainnya adalah mutlak benar. Justru penilaian yang sesungguhnya ada pada penonton. Bagaimana mereka begitu ikut terbawa, sehingga histeria massa terjadi. Dan kamu kan sudah mendapatkan itu? Iya nggak? Makanya jangan nangis dong."
"Ah, kamu sok tau! Saya benci. Pokoknya musuhan!"
"Aduh, Rin,. jangan gitu dong. Beneran deh, saya lebih rela kehilangan duit gocapan daripada kehilangan kamu. Sumpah. Demi Tuhan."
Rina makin sengit.
***
Bisa ditebak, pas pengumuman pemenang, puisinya Lupus tewas dengan sukses. Dan bisa ditebak pula, siapa yang paling bersuka cita dengan kegagalan Lupus. Siapa lagi kalau bukan Andy. Dia langsung nyamperin Lupus.
"Nah, apa lagi komentar Anda, Pus? Apa yang bisa diharapkan dari puisi norak kamu itu? Yang hampir bisa ditulis oleh tukang becak sekalipun kala dia sedang kasmaran. Puisi cengeng, murahan, tai kucing. Kenyataan berbicara. Puisimu kalah. Masuk nominasi pun enggak. Tapi kalau kamu kirim ke majalah, pasti deh dimuat. Huh, permainan macam apa pula ini? Terbukti skandal-skandalmu. Gimana? Masih mau membela diri?"
"Membela diri? Untuk apa? Saya justru ingin berterima kasih padamu, karena saya anggap Rina bisa sukses dengan puisi itu. Terbukti, dia mampu memancing histeria massa. Iya nggak? Dan belakangan ini saya emang lagi nyari-nyari kamu. Mau bilang terima kasih. Soalnya puisi yang dibaca Rina itu kan puisi karya kamu. Masak lupa sih? Saya menemukannya di buku Rina yang kamu pinjem waktu dulu itu. Bagus lho, puisinya. Kamu ada bakat. Sayang waktu itu Rina nggak tau dan nggak membacanya, jadi misi kamu untuk mendapatkannya gagal total. Tapi lepas dari itu, saya nggak ngira, kamu ada bakat bikin puisi juga. Teruskan aja bakatmu itu, Dy...."
Wajah Andy mendadak merah padam. Pantesan aja saya pernah baca puisi itu sebelumnya, pikir Andy gelisah. Dan ketika Lupus hendak pergi, Andy menahannya.
"Eh..., tapi apa Rina tau kalau itu puisi saya?" tanya Andy cemas.
Lupus tersenyum, "Jangan kuatir, dia tak bisa memaafkanmu lagi...."
10. Met Ultah Ya, Pus....
JAM tujuh pagi.
Lupus terjaga dari tidurnya, dan kaget setengah mati ketika mendapatkan hari telah siang. Oh, God, terlambat lagi! Padahal jam pertama nanti ada ulangan fisika. Dan semalam, Lupus bela-belain belajar sampai mitnait. Makanya sekarang terlambat bangun. Padahal sebelum tidur, dia sudah memasang weker ajaibnya agar bisa terbangun pukul enam pagi. Dan weker itu memang berbunyi, dan Lupus ya juga terbangun. Tapi cuma sebentar. Cuma untuk mematikan weker yang berisik banget itu untuk kemudian menerus kan tidur.
Jadi buat apa memasang weker?
"Ya buat membangunkan saya yang tertidur, untuk kemudian mematikan bunyi weker tersebut. Masa nggak tau, sih? Setelah itu mau tidur lagi kek, atau mau langsung cibang-cibung, ya terserah saya dong!" begitu kira-kira jawaban Lupus.
Tapi siapa yang mau disalahkan? Saat itu di luar memang turun hujan dengan derasnya. Membuat udara menjadi begitu dingin. Begitu enak untuk menarik kembali selimut tebal dan meneruskan tidur. Seandainya sekolah sudah berakhir, dan semua anak sekolah bisa bangun siang-siang alangkah senangnya!
Dan Lupus. sempat keki juga. Soalnya sebelum tidur tadi malam, dia sempat menempelkan kertas besar di pintu kamarnya, nulis pesan buat Lulu agar dibangunkan pagi-pagi. Tapi kenyataannya adiknya itu tidak membangunkan. Ke mana makhluk sialan itu? Lupus segera membuka pintu kamarnya dan melongo membaca tulisan gede di bawah pesan yang ditulisnya semalam. 'Bangun, Pus, hari sudah siang. Katanya mau berangkat pagi - Lulu.'
"Luluuuuu....!" teriak Lupus keras-keras.
Pembantunya yang sedang membersihkan kamar sebelah, sampai tunggang langgang ketakutan. Kaget berat doi!
"Apaan sih pagi-pagi teriak-teriak begitu!" Lulu muncul sambil makan roti. Mulutnya belepotan coklat.
"Kamu kan tau, bukan begini cara ngebangunin orang!" sahut Lupus dongkol sambil menarik kertas yang ditempel di pintu.
"Habis, siapa suruh pintunya dikunci! Saya udah gedor-gedor, tapi kamunya nggak bangun-bangun!"
Lupus pun dengan cepat masuk kamar mandi. Mandi sebentar, lalu langsung berpakaian. Beberapa saat kemudian, dia sudah siap dengan tas sekolahnya. Mau langsung cabut. Lulu yang saat itu masuk siang, menahannya, "Eh, Pus, minum dulu dong kopinya. Biar nggak ngantuk. Saya lho tadi yang bikin. Spesial untuk kamu. Coba bayangkan, betapa baiknya saya...."
Lupus langsung menyambar kopi yang disodorkan Lulu dan meminumnya.
"Bah-rasanya kayak air sabun!" sahut Lupus sambil menjulurkan lidahnya.
"Sialan!"
Dan dengan tergesa-gesa Lupus langsung mencari becak di depan gang.
****
Tapi memang kalau orang lagi sial, biasanya ya keterusan sialnya. Buktinya sekarang bis yang menuju sekolah Lupus belum datang juga. Padahal sudah jam tujuh seperempat. Hanya ada waktu seperempat jam lagi untuk tidak terlambat. Mana guru fisika Lupus galak sekali. Namanya Pangribuan (bisa ditebak senditi deh, orang mana dia itu. Yang jelas bukan orang Jawa, lho!). Tapi anak-anak biasa memanggilnya dengan sebutan keren, Mister Punk. Orangnya tinggi, gede, item, dan kagak kece. Kalau marah, suaranya bisa menggelegar kayak halilintar. Sementara matanya seperti mata elang, menatap dari balik dahinya yang menonjol. Wah, pokoknya kayak Fankeinstein deh! Nggak ada anak murid yang berani ngelawak dalam pelajaran dia.
Dan kini Lupus malah terlambat masuk. Ulangan lagi.
Tok-tok-tok. Terdengar suara ketukan di pintu kelas.
"Mazuk!" perintah tegas dari Mr. Punk hampir mengagetkan seluruh siswa yang asyik dengan soal-soal fisikanya.
Kepala Lupus muncul dari balik pintu. Diikuti oleh pandangan seisi kelas. Lupus tersenyum lebar, tapi Mr. Punk tidak. Dia malah melirik ke jam tangannya. Jam delapan lewat dikit. Betapa nekatnya anak yang satu ini. Biasanya kalau murid sudah terlambat setengah jam dari bel masuk, tidak akan berani masuk ke kelas. Dan Mr. Punk yakin, jam tangannya tidak meleset, meski biasanya kadang memang telat beberapa menit. Tapi setidak-tidaknya tadi pagi, sebelum berangkat mengajar, dia sudah mencocokkan jam tangannya dengan tetangga sebelah. Jadi nggak mungkin salah lihat.
"Maaf, Pak, saya terlambat. Habis lalu lintas macet...," kata Lupus malu-malu.
"Hm, lalu lintaz tak pernah macet. Kau pazti bohong. Yang macet itu pazti mobilnya. Tapi zudahlah. Ziapa namamu? Lupuz, ya?"
Mr. Punk memang selalu menyebut huruf 's' dengan bunyi 'z'. Mungkin di kampungnya jarang ada es. Makanya item begitu. Haus melulu.
"Ya, Pak. Nama saya Lupus."
"Ya, zudahlah. Cepat .duduk zana dan kerjakan zoal ulanganmu yang di papan tuliz itu. Ingat. waktunya tidak banyak. Itu kan zalahmu zendiri ..”
Lupus segera mengambil tempat duduk dan mulai mengerjakan soal-soal ulangan itu.
Jam 08.20.
Lupus masih kebingungan menekuni soal-soal ulangan fisika. Baru satu dari empat soal yang diberikan yang dapat dikerjakan dengan baik. Sisanya, masih tanda tanya besar. Sialan, padahal semua rumus itu semalem sudah dihapalkan. Tapi, kok lupa lagi? Mana mata rasanya sepet banget. Nggak bisa terbuka lebar.
Lupus mencoba mencari bantuan ke sekelilingnya. Matanya berputar-putar bak maling profesiona!. Hampir semua anak lagi asyik dengan contekannya. Ada yang terselip di lipatan lengan baju, ada yang di balik rok, ada yang nekat di balik kertas ulangan. Tetapi, tetap aja wajahnya menunjukkan kebingungan. Karena fisika memang pelajaran paling menyebalkan. Sudah tahu rumusnya, belum tentu bisa mengerjakan. Makanya Lupus suka kagum berat sama Einstein yang jago fisika itu.
Pilihan pun jatuh ke tetangga sebelah. Saat itu Herumoko, yang duduk di sebelah, sedang asyik dengan contekannya.
"Her, tukeran dong kertas jawabannya. Saya baru ngerjain nomer satu dan tiga. Kamu yang lain bisa?" bisik Lupus pelan.
Heru. mengangguk, dan transaksi pun berlangsung. Tapi, seperti sudah dibilangin tadi, kalau orang lagi sial, memang suka keterusan sialnya.
Dan Mr. Punk pun melihat transaksi tadi.
Langsung aja nyamperin bangku Lupus yang di belakang. Sementara Heru sudah ketakutan setengah mati.
"Nah, zekarang saya mau tanya. Bagaimana caranya kertaz ulangan Heru biza tranzmigrazi kemari? Apa kau pikir kertaz itu biza pindah dengan zendirinya?" tanya Mr. Punk galak.
"Tentu saja tidak. Anda kan tak hendak mengatakan bahwa kertas ini bisa ngungsi dengan sendirinya karena tertiup angin. Sebab di sini kebetulan memang tak banyak angin, " sahut Lupus berusaha tenang. Padahal, tau sendiri, jempolnya aja sampai mengerut ketakutan.
"Nah, yukurlah kalau kau zadar akan hal itu. Dan kau tentu tahu hukuman apa yang akan kauterima? Oke, zilakan keluar. The sooner the better. "
Memang tak ada jalan lain. Lupus pun terpaksa keluar. Tak ada gunanya protes. Kamu tau, seorang guru itu punya kekuasaan absolut di kelas.
Di luar,. Lupus jadi mendadak ngetop. Anak kelas sebelah yang kebetulan lagi kosong pelajaran, langsung mengerumuninya. Langsung menanyakan soal-soal mana yang keluar. Sebab setelah kelas Lupus, kelas sebelahlah yang kebagian ulangan. Lupus jadi kebingungan sendiri. Ditarik ke sana kemari.
"Kamu jago juga, Pus. Bisa keluar duluan," puji Lia kagum.
Lupus cuma mengangguk-angguk.
“Kalau gitu, kasih tau dong jawabnya sekalian, biar nanti saya nggak bingung lagi...," rayu Lia.
"Aduh, gimana, ya? Kalau abis ulangan begini, pikiran saya suka mendadak suntuk. Nggak bisa mikir yang berat-berat. Jadi ya sori aja, ya?"
Lia. cemberut, dan yang mengerubungi Lupus makin banyak.
"Leave me alone...," keluh Lupus sambil lari ke kantin.
***
Pas keluar main kedua, Lupus pun menghadap Mr. Punk di ruang guru. Ceritanya mau minta grasi supaya diperbolehkan ikut ulangan susulan.
"Hm, bolehlah. Tapi lain kali jangan nyontek lagi, ya?" kata Mr. Punk tegas. Lupus mengangguk. Dan ketika pelajaran terakhir, Lupus sendirian berada di kantor. Mengerjakan soal ulangan yang tadi. Suasana di ruang guru itu memang sepi, karena semua guru sibuk mengajar.
Dan saat Lupus lagi mati-matian menyelesaikan soal-soal ulangannya, tiba-tiba seorang pesuruh masuk. Membawa tumpukan kertas ke meja Mr. Punk. Lupus yang lagi ngerjain soal di meja besar, segera menyapanya, "Eh, Pak. Bapak bawa apaan tuh?"
"Enggak tau nih. Kertas-kertas titipan Pak Pangaribuan. Katanya disuruh disimpan di mejanya.”
"Oo..., kertas hasil ulangan, ya? Taruhnya di sini aja, Pak. Saya memang yang dipesan menjaganya," kata Lupus ramah. Padahal kamu tau, Lupus pasti bohong. T api bapak pesuruh itu memang nggak tau. Makanya dia nurut aja. Lalu ngeloyor keluar.
Lupus langsung memeriksa kertas-kertas jawaban ulangan tersebut. Hm, bekas ulangan anak kelas sebelah! Lupus segera mempelajari kertas jawaban anak terpintar. Kebetulan masalah yang diberikan sama, hanya soalnya dibikin agak berbeda sedikit. Maka dalam waktu beberapa menit saja, dia sudah bisa menemukan penyelesaian soal-soal ulangannya. Huh, ternyata kali ini nasib saya lagi mujur. Nggak sial melulu, batinnya.
Maka dia pun cepat-cepat membereskan tumpukan kertas jawaban yang diobrak-abriknya. Dan merapikannya di bangku Mr. Punk. Setelah itu, dia kembali ke mejanya. Pura-pura asyik mengerjakan sambil menunggu Mr. Punk kembali.
Jam 12.00.
Mr. Punk memasuki ruangan guru. Mendapatkan Lupus yang tertidur di bangku pojok dengan asyiknya. Lupus memang ngantuk sekali setelah semalaman belajar.
"Hei, Lupuz. Bangunlah kau! Apa kau zudah mengerjakan zemuanya?"
Lupus langsung terbangun, dan buru-buru menyerahkan kertas jawabannya sambil meminta maaf karena ketiduran.
Mr. Punk memeriksa semua jawaban yang dikerjakan Lupus. Lalu mengangguk-ngangguk sambil tersenyum. "Hm, baguslah. Ternyata kau pintar juga, ya? Kenapa tadi kau nyontek? Itulah kalau orang tidak punya percaya diri. . .. "
Lupus langsung tersenyum girang.
"Nah, kalau begitu kau toh tak keberatan menolong zaya, kan? Zaya ada perlu zebentar dengan Bapak Kepala. Tolong kau perikza hazil-hazil ulangan teman-temanmu yang menumpuk di zana. Biza, kan? Zaya percaya lah pada kemampuanmu!"
Lupus terkejut, dan hendak protes.
"Tapi, Pak, ini kan sudah waktunya pulang...“
"Alaaah, zebentar zaja, kok. Buat orang-orang zepintar kau itu kan mudah zaja. Paling beberapa menit lah. Oke, zelamat bekerja. Terima kazih banyak zebelumnya."
Lalu Mr. Punk pun keluar dari ruang guru itu. Meninggalkan Lupus dengan setumpuk kerjaannya. Lupus habis memaki-maki. Goblok, kenapa tadi kertas jawabannya dibikin betul semua? Wah, akhirnya kesialan itu datang terus. Padahal dia tadi sudah punya rencana sepulang sekolah mau beli sepatu kets baru di Blok M. Udah capek-capek ngumpulin duit, terpaksa ditunda lagi.
Ini memang hari tersial buat Lupus. Hari Senin sialan! Dan Lupus nggak akan pernah lupa.
***
Jam 12.45.
Lupus berjalan gontai memasuki kelasnya yang nampak sepi. Busyet, buku-bukunya masih berantakan di bangkunya. Tasnya juga. Lupus jadi mengutuki teman-temannya yang nggak solider. Ninggalin semua barangnya tanpa terurus. Lupus pun melangkah masuk. Membenahi buku-bukunya yang berantakan. Lalu memasuk-masukkannya ke dalam tas. Tak sengaja matanya tertumbuk pada tulisan besar di papan tulis: BUAT LUPUS, SELAMAT ULANG TAHUN. Lalu suara sorakan terdengar dari seluruh jendela.
Lupus kaget setengah mati. Dan dari balik bangku, balik pintu, balik jendela, bermunculan Boim, Svida, Poppi, Ruri, Andang, Anto, Irvan, dan semua teman sekelasnya. Bersorak-sorak, "Horee... horee.... Ulang tahun ni ye."
Lupus jadi terharu sekali. Ya, Tuhan, dia sendiri lupa kalau dia ulang tahun hari itu. Ya, dia memang pelupa. Tapi semua temannya nggak lupa. Dan Lupus yakin, ibunya dan adiknya pasti sedang menyiapkan surprise besar buatnya setiba dari sekolah nanti.
"Selamat ya, Pus! Makan-makan dooong!" mereka pada berebutan mengucapkan selamat. Lupus jadi sibuk menghapus air matanya yang nekat mengalir. Ya, saya akan mentraktir semua anak. Biarlah nggak jadi beli sepatu kets yang diidamkan. Yang penting semuanya harus berbahagia hari ini, batin Lupus.
Dan surpraise terbesar terjadi ketika Poppi datang membawa kue ulang tahun yang besar. Yang bertuliskan nama Lupus.
"Selamat ulang tahun, Lupus. Kita bersahabat lagi sekarang...."
Lidah Lupus terasa kelu. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Hanya matanya yang menatap penuh haru. Dan tangannya yang kecil menyambut uluran tangan Poppi.
"Ya, Poppi. Kita sekarang bersahabat lagi. Tak ada yang lebih indah dari itu...."
Anak-anak pun bersorak-sorak riang.
"Kita ke mana nih makannya?" sahut Boim.
"Ke rumah saya aja. Siapa tau ibu saya sudah menyiapkan makanan yang banyak, " jawab Lupus.
Semua setuju.
Dan Mr. Punk muncul di pintu. Terheran - heran melihat anak-anak kelas Lupus belum pada pulang. Malah pada sibuk bersorak-sorak.
"Hei, ada apa ini?"
"Ini lho, Pak. Lupus kita ulang tahun," sahut Svida riang.
"Ha? Makan bezar rupanya kita. Kupikir ada kapal meledak. Rupanya kawan kita ulang tahun. Zelamat ya, Puz."
Lupus menyambut ucapan selamat dari Mr. Punk. Dan mereka pun berduyun-duyun ke rumah Lupus. Irvan dan Roni sudah menyiapkan dua mini-bis. Semua ikut, tak terkecuali Mr. Punk. Semua bernyanyi gembira sepanjang jalan, meski duduk berjejalan serasa sarden.
***
Di rumah, ibu Lupus tak mengira bakal kedatangan tamu sebanyak itu. Makanya makanan yang memang dipersiapkan untuk ultah Lupus kurang. Lupus segera menyuruh Lulu, yang kebetulan bolos sekolah, membeli makanan di restoran terdekat. Lupus memberikan semua uangnya.
Dan siang itu Lulu berlari-lari ke restoran. Selalu deh, kalau seseorang itu lagi happy, pasti ada orang lain yang merasa sedih. Ya si Lulu itu. Bayangkan, siang-siang panas-panas begini asyik jogging ke restoran.
Tapi Lulu rela. Dia senang bisa memberikan sesuatu kepada kakaknya yang tercinta di hari bahagianya. Met uhah ya, Pus....
- Blogger