Kamis, 31 Maret 2011
Ihhsyereeem
1. DRAKULI
Bulan purnama.
Malam telah larut. Angin terdengar menyayat di antara sisa gerimis yang tertabur becek. Wangi aspal basah memuat ke segala arah, meriangkan paru-paru hewan malam. Saat itu begitu hening. Benar-benar senyap Suara-suara gaduh pun seakan lenyap. Dingin yang menggigit, membuat sekelompok penjaga malam menarik erat sarung dekilnya.
Berani taruhan pasti tak ada orang yang berani ke luar jalan meski ia seorang hansip teladan sekalipun. Sebab malam itu terasa lain dengan malam-malam sebelumnya. Apalagi kemarin malam di jalanan pas belakang rumah kompleks rumah Lupus, terdengar kabar ada sepotong tangan yang melayang-layang dan mengetuk-ngetuk pintu rumah penduduk.
Ceritanya gini. Bukan nakutin, lho, cuma nyeremin aja. Saat itu. tengah malam, rumahnya Pak Fahmi diketuk seseorang. Pak Fahmi lagi tidur sendirian. Keluarganya lagi menginap di rumah Nenek. Dan pas pintu dibuka, ternyata nggak ada orang. Yang ada malah sepotong tangan melayang-layang. Pak Fahmi langsung pingsan. Dan waktu pingsan, perut dia malah dikitik-kitik tangan itu. Hiiiii..! Ya, jadinya Pak Fahmi pingsan sambil ketawa kegelian.
Hihihi.
Dan apakah di malam yang sesunyi ini potongan tangan akan muneul lagi? Siapa tau. Yang jelas di bioskop dekat pasar sekarang lagi memutar film Santet. Yee, apa hubungannya? Ada! Lupus tadi sore nonton film itu. Dan sekarang ia sama sekali nggak bisa tenang di tempat tidur, ngebayangin film barusan. Lebih-lebih Lupus juga denger cerita soal tangan yang suka melayang-layang itu. Ia kuatir kalo-kalo tangan itu, malam ini, datang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Duh. jam berapa, ya? Lupus melongok ke jam weker di atas meja belajar. "Ya. amplop! Setengah dua!" Dan matanya masih belum bisa terpejam!
Tok. tok. tok!
"Hah! Huaaaaa!!! T-tomat, eh, t-toge, eh,t-tong sampah, eh, t-toy soldier, aduh! T-to-loooong...!" Lupus langsung membenamkan kepalanya di balik bantal,
"Pus, Pus! Ada apa? Buka pintu, Pus!"
Mendengar suara maminya, Lupus langsung terbang membuka pintu. Mukanya pucat.
"Ada apa, sih? Bikin kaget aja," sembur maminya, sambil langsung sibuk meneari-cari sesuatu di kamar Lupus. "Mami pinjem selimut kamu, dong. Tumben malam ini kok dingin banget. Kamu kan punya selimut tebal dua."
Lupus masih berdiri kaku. Ia lampir tak bisa berkata-kata. Tegang banget.
"Udah, ya? Selamet bobo. Kok, udah malam kamu belum bobo juga? Lagi belajar?" ujar si Mami sambil menyelempangkan selimut tebal di bahu, dan melangkah ke luar.
"M-mi, L-lupus ikut tidur sama M-mami, ya?"
Mami menghentikan langkah. Menatap heran ke arah Lupus. Lalu di sudut bibirnya tersungging senyum kecil, "Apa-apaan, sih, kamu? Udah gede, juga. Si Lulu aja berani tidur sendirian. Masa kamu takut? Biasanya kan juga sendiri. Makanya kalo mau tidur baca doa dulu."
Mami berlalu dan menutup pintu kamar Lupus. Tinggal Lupus yang langsung mengunei pintu kamar, dan buru-buru terjun ke dalam selimut tebalnya. Meringkuk dengan perasaan waswas. Matanya dipejamkan erat-erat. Kemudian berdoa, "Bismillah..."
Tok tok tok!
"Hiyaaaaaa!!!"
"Hei, Lupus! Kenapa kamu berteriak?" terdengar suara Mami lagi.
Lupus menghela napas lega, dan terbang lagi membuka pintu. Aduh, si Mami bikin kaget aja!
"Mami cuma mau tuker selimut, kok. Yang ini kekecilan."
Lupus diam. Bibirnya gemeletuk. Dengkulnya masih terasa lemes.
"Kenapa kamu, Pus. Kaget? Kaget apa takut?”
Masa udah gede takut? Malu, ah. Ntar diketawain setan, lho."
"Huaaaaaaaa..."
Sementara suasana di luar kian meneekam. Gerimis kecil kembali turun. Angin semilir menderu-deru. Tak lagi terdengar suara hewan malam. Hanya angin yang terus menyayat.
Dan sekitar dua ratus lima puluh meter dari kamar Lupus, rumput ilalang bergoyang liar di tas tanah merah luas. Yang sekelilingnya ada tembok hitam berlumut. Terdengar langkah-langkah pelan, seolah enggan mengganggu ketenangan malam. Langkah-langkah pelan Pak Gali, seorang penjaga kuburan. Ia santai aja berjalan dengan topi lebar, jaket plastik besar dan lentera redup di tangannya.
Pak Gali memang seorang yang agak aneh. Ia membisniskan tanahnya yang luas untuk disewakan sebagai kuburan. Ia dulu memang seorang yang punya tanah warisan luas di daerah itu. Seorang jawara yang playboy. Betawi asli. Ayahnya bekas seorang tuan tanah kaya-raya. Tapi karena Pak Gali tak bisa menghargai kekayaan, ia banyak dililit ulang. Ia sering berjudi, dan berfoya-foya. Suatu kegiatan klise yang sering dilakukan orang-orang bodoh. Yang tersisa dari Pak Gali sekarang ini, setelah tua dan agak insap, hanya utang-utang dan rumah sederhana, dengan tanah yang luas. Yang karena ia tak tau untuk diusahakan apa, maka dibikin semacam taman makam. Menyewakan tanahnya untuk kuburan. Suatu bisnis ganjil yang mungkin nggak terpikir oleh orang lain. Tadinya tanah itu memang untuk kuburan keluarga aja. Tapi karena cukup luas, tiba-tiba timbul ide untuk disewakan sebagai kuburan warga sekitar situ yang berminat.
Hidup Pak Gali sepenuhnya tergantung dari bisnis sewa tanah kuburan itu. Mulanya, kalo ada yang meninggal dan mau dikubur di tanahnya Pak Gali, suka ngasih uang ala kadarnya aja untuk perawatan. Sekarang, setelah Pak Gali belajar ilmu dagang dikit-dikit dari anaknya, ia mulai menggunakan tarif khusus. Malahan kalo ada orang sakit parah dan naga-naganya bakal "isdet", Pak Gali menawarkan pembayaran dengan sistem uang muka. Down Payment. "Kalo nggak, nanti keburu diserobot orang. Wah, ntar nggak kebagian kuburan kan repot,” alasan Pak Gali.
"Kalu mau yang murah juga ada kok," tawar Pak Gali lagi, "tapi sewanya ya tetap harus kontan, nggak bisa kredit."
Lagian kalo bayarnya kredit, menurut Pak Gali, anggota badan yang dikubur juga dikredit. Mula-mula tangannya, lalu kakinya, dan seterusnya dan seterusnya. Hiliihi.
Itu masih nggak seberapa Pak Gali pun meniru cara penjualan rumah BTN dengan membuat bermacam tipe. Seperti tipe 2l, tanahnya lebih kecil dan harganya juga lebih murah. Makanya Pak Gali suka menyarankan agar memesan tipe 45 saja, "Selain tanahnya lebih luas, juga bisa dibikin paviliun."
Hihihi.
"Atau mau pesan yang di hook juga bisa," ujarnya masih bersemangat, "Cuma harus ada biaya tambahan. Lebih mahal. Adanya kan di tikungan jalan, orang jadi gampang kalo mau ziarah."
Pak Gali pernah juga dapat pesanan dari orang kaya yang minta kuburannya dipakein AC. Katanya biar nggak gerah. Tapi Pak Gali gak yanggupin, karena biaya operasionainya mahal. Akhirnya kuburan itu cuma dipasangin kaca nako aja. Kan udaranya tetap bisa keluar-masuk. Dan penghuninya pun nggak kegerahan.
Selain fasilitas-fasilitas tadi, Pak Gali juga menyediakan kuburan untuk orang-orang penakut. Yaitu dengan memasang pagar teralis di sekelilingnya.
Dan reneananya Pak Gali juga akan memasang interkom di setiap kuburan, biar komunikasi bisa lanear. Hahahalia...
***
Sementara suasana di situ tetap meneekam. Dan konon Pak Gali udah sering banget ketemu makhluk-makhluk ganjil. Kemarin dia nemu tiga, kemarinnya lagi, nemu lima. Dan besok pasti nemu tujuh biji lagi. Ya, selalu ganjil. Nggak genap.
Dan ketika genap delapan kali Pak Gali mengelilingi tanah perkuburannya itu, ia masih mendapatkan cahaya lilin yang membias dari ruang depan rumahnya. Ia membuka pintu perlahan. Karena si Drakuli, anak semata wayangnya masih asyik membaca.
Drakuli memang rajin banget. Kalo belajar pun sampai lewat tengah malam. Anaknya terkesan pendiam, tapi otaknya lumayan eneer. Dia masih kelas satu SMA, dan sekelas sama adiknya Lupus, Lulu.
"Masih belon tidur, Drak?" tegur Pak Gali.
"Belon, Be. Lagi nanggung."
"Hm, Babe tidur dulu, ya? Jangan lupa lilinnya dimatiin kalo mau tidur."
"Iya, Be."
Si Drakuli ini paling seneng membaca di bawah temaram cahaya lilin. Padahal daerah situ udah masuk listrik, tapi biar ngirit, Pak Gali jarang memakai jasa listrik. Keluarga aneh itu kayaknya memang lebih suka suasana suram. Drakuli pun sudah terbiasa sederhana.
Rumah mereka pun ditata aneh. Di ruang tamu, terpajang sebuah lukisan besar alam pemandangan perkuburan di lereng gunung yang meneekam. Di sepanjang rak bufet, berderet koleksi tengkorak milik Pak Gali. Sementara jendela-jendela besar itu ditutup gorden yang terbuat dari kain kafan bekas orang meninggal.
Drakuli sendiri punya puluhan gigi orang mati yang diawetkan dan tersimpan rapi di laci meja belajarnya.
O ya, ibunya Drakuli yang cantik, meninggal waktu melahirkan Drakuli dan dikubur pas di belakang pintu rumahnya. Kata Pak Gali, "Biar kalo mo ziarah nggak jauh-jauh."
Drakuli sebenernya punya tampang yang lumayan kece. Hanya karena rambutnya yang lebat dan agak berantakan males disisir, jadinya terkesan serem. Belum lagi alisnya yang tebal, warisan bapaknya. Ibunya yang cantik, konon, emang hasil gombalnya Pak Gali yang playboy. Dan kecantikan ibunya, nurun ke Drakuli. Ibunya pernah jadi kembang di kampung Betawi situ. Sayang, meninggal pada usia yang amat muda.
Dan kenapa anaknya dinamakan Drakuli? Dulu waktu ibunya hamil, pernah ngidam pengen nonton film Drakula, tapi belum kesampaian. Makanya anaknya dinamakan Drakuli Dul Somad bin Gali Dul Somad.
Sudah sejak kecil Drakuli selalu bermain-main di kuburan. Masa kecilnya memang nggak jauh dari suasana seperti itu. Misalnya kalo main petak umpet sama teman-temannya, Drakuli sering nekat masuk ke dalam kuburan, dengan menggalinya lebih dulu, biar nggak mudah kena. Kadang emang sampai dua hari ia nggak ketemu-ketemu.
Dan setelah besar, kalo pikiran lagi suntuk, Drakuli sering jalan-jalan cari angin ke kuburan malam-malam Atau membaca buku-buku cerita sambil tidur-tiduran di atas kuburan. Ditemani lilin kecil yang diletakkan di atas batu nisan. Itu ia lakukan di tengah malam. Makanya jangan heran kalo tingkahnya itu sering memaneing rasa terkejut orang-orang yang kebetulan lewat situ. Hingga lari terbirit-birit. Dikira anak setan.
Selera bacanya juga cukup bikin jantung copot. Buku Frankenstein karya Mary Shelley adalah favoritnya. Ia udah baca ulang berkali-kali. dan nggak pernah bosen.
Pernah juga ada anak-anak badung ngajak duel Drakuli. Drakuli dikeroyok dan dikejar-kejar sampai ke kuburan dekat rumahnya. Tapi Drakuli tiba-tiba menghilang. Ya, dia ngumpet ke salah satu lubang kuburan yang sengaja disiapkan Babenya untuk jaga-jaga kalo ada pesanan mendadak. Diem-diem ia memakai sobekan-sobekan kafan bekas, dan muneul dengan tiba-tiba di hadapan anak-anak itu.
Kontan anak-anak badung itu ngibrit dan nggak balik-balik!
***
Malam ini, barangkali sudah cukup penat dia membaca. Drakuli duduk-duduk di bawah pohon kamboja yang pernah dipake bunuh diri tetangganya.
Drakuli memang lagi dirundung sedih. Sebabnya ia sudah tiga bulan gak bayaran sekolali. Emang sih, akhir-akhir ini objekan babenya lagi sepi. Paling kalo ada yang sakit, cuma gatel-gatel sama masuk angin doang.
Minggu kemarin ada tetangga Pak Gali di ujung gang yang sakit parah. Wah, Pak Gali udah girang banget. Tapi pas ditanya tentang kabar orang tersebut, ternyata sakitnya udah mendingan.
"Yaaa, kok mendingan?" ujarnya kecewa tentu, tanpa sadar. Dan jelas membuat semua orang menatap heran ke arahnya.
Dan Drakuli tetap tak mau tau. Ia terus merengek-rengek minta uang sekolah.
“Be, bayaran, dong. Kan udah tiga bulan nunggak."
"Sabar, Drak," ujar babenya yang biar galak tapi sayang banget sama anaknya. "Lo kan tau sendiri, kalo orang-orang di sini pada sehat semua? Order Babe lagi sepi. Sewa tanah bulan lalu kan abis buat bayar utang Babe."
'Tapi saya jadi malu sekolah, Be,"
Naaa, kalo lo tau begitu, bantuin Babe cari order. Lo tanyain kek sama temen-temen sekolah lo. Kali-kali aja ada yang sakit. Biar deh, buat anak sekolah Babe kasih korting lima puluh persen!
“Ah, enggak enak, Be. Kesannya gimanaaa, gitu. Ntar dikira saya makan temen lagi."
"Kalo gitu terserah, deh. Lo doain aja minggu-minggu ini ada yang mati, biar lo bisa bayaran kolah."
"Ah, Babe!"
2. IH, SYEREEEM!
MAMi baru aja selesai slholat isya, ketika Lulu narik-narik roknya. "Apa-apaan sih ni anak? Kalo robek, mau kamu gantiin?"
Lulu dibentak begitu, langsung mengkeret di pojokan.
Mami menghela napas. "Ya, kalo ada perlu ngomong, dong. Gak usah pake narik-tarik rok segala. Ayo sekarang ngomong, ada apa? Adda, deh, pasti gitu jawabnya. Huh! Dasar anak zaman sekarang emang suka aneh-aneh."
"Ini, Mi..."
"Ini apa? Ini Budi?"
"Bukan." Lulu menjentikkan jari jempol dengan telunjuknya sambil tu wajah dibikin memelas.
"Apaan, tuh? O, kamu mau ngajakin ngadu suit? Boleh, boleh..."
"Aaaaah, Mami. Masa Mami nggak ngerti, sih? Duit, Mi, duii'"
"Duit? Duit apaan?"
"Lulu mo' minta duit jajan besok, Mi. Tapi karena Lulu ada perlu, maka mintanya sekarang."
"Perlu apaan, sih?"
"Lulu kan disuruh Pak Guru nganter surat buat orangtuanya temen. Anak itu udah beberapa hari gak masuk sekolah tanpa keterangan yang jelas. Dan surat itu mesti disampein sekarang juga, Mi"
"Lha, lantas duit itu untuk apa?"
"Untuk Lupus."
"Lupus?"
“Abis dia gak mao nganterin Lulu kalo gak kasih duit lima ratus perak, Mi."
“Kurang asem! Mana anak itu!" u|ar Mami mbil buru-buru melipat mukenanya.
"Eeee, t-tapi Lulu ikhlas kok, Mi," talian Lulu buru-buru. "karena Lulu juga belon tau persis rumahnya anak itu. Nanti si Lupus yang Lulu suruh nanya-nanya alamatnya."
Si Mami mengernyitkan dahi. Ia sebenernya heran banget ama Lulu yang ngebela-belain ngasih duit jajan nya untuk Lupus. Tapi Mami gak sempet tanya-tanya lebih jauh lagi, karena Lulu udah keburu menyeret Lupus ke luar. "Ayo, Pus."
Lupus pasti hepi banget, cuma nganterin ke rumah si Drakuli, diupahin lima ratus perak. Andai Lulu nawar tiga ratus pun sebetulnya Lupus masih mau. Tapi Lulu sama sekali gak nawar waktu Lupus bilang, "Bayar ongkos anter lima ratus!"
“Cepet, Pus. Ntar keburu malem."
“Sabar, dong, Lu. Tangan gue gak usah ditarik-tarik, dong. Emangnya maling?"
Mereka pun berjalan menembus kepekatan malam.
Setelah kira-kira berjalan setengah jam, mereka tiba di depan bentangan tembok tua yang berlumut. Suasananya meneekam Untung masih bulan purnama. Jalan setapak sekitar situ masih keliatan.
Lupus diem-diem memperlambat langkahnya, dan menguntit di belakang rambut Lulu. Ia ternyata masih kebayang cerita tangan yang melayang-layang di udara. Jangan-jangan tu tangan ada di belakmg lagi. "Huaaaa!"
"Eh, kenapa. Pus?" Lulu kaget.
"Ah, enggak. Rumahnya masih jauh nggak, sih?"
"Enggak. Ini kan ada alamat nya di amplop, Dekat kuburan."
"Kuburan?"
"Iya, dan kita udah sampe di dekat kuburan yang dimaksud."
"Ha?'" Lupus tereekat, "L-lu. d-duit lo yang lima ratus gue pulangin, deh. Atau kalo mau duit j-jajan g-gue besok juga boleh lo ambil. Asal sisain seratus perak buat b-beli p-permen k-karet...”
"Kamu ini gimana, sih? Kan dikit lagi nyampe masa mau pulang? Mendingan kamu cari-cari orang buat tanya-tanya di mana rumah Drakuli. Kan perjanjiannya begitu."
'T-tapi k-kalo orang yang gue tanya tau-tau m- mukanya r-rata, gimana?"
"Ya, jangan cari yang mukanya rata, dong!”
Lulu terus menyeret tangan Lupus, mendekati pintu gerbang kuburan. Lulu pernah denger, kalo mau ke rumah Drakuli harus lewat pintu itu. Dan jam-jam segini, pintu gerbang itu belum digembok sama bapaknya, Pak Gali. Sementara Lupus tuulai keluar keringat dingin.
Lulu menyusup ke celah pintu gerbang kokoh yang agak terbuka sedikit. Pintu itu kelihatan kokoh dan berat. Besi-besinya udah pada karatan. Lumut basah tumbuh melapisi permukaan pintu. Lupus ragu mengikuti. Tapi ketika sosok Lulu menghilang dibalik pintu itu, Lupus buru-buru menyusul. Ya, daripada sendirian?
“Lu, apa nggak ada jalan lain?"
"Ada, tapi jauh. Lewat belakang. Dan katanya lebih serem. Banyak ilalang tinggi-tinggi."
“Hiii."
Lulu terus berjalan.
"Lu, a-apa gak sebaiknya surat itu kita antar besok siang aja? Karena malam ini saya mau belajar, Lu. Ada ulangan besok."
Lulu tak menanggapi. Ia terus saja menerobos masuk ke kegelapan malam. Pohon besar-besar tumbuh di sekeliling. Lulu merasa surat itu harus diantarkan sekarang. Dan lagi, Drakuli adalah temen baik Lulu. Lulu gak mau membiarkan surat peringatan tujuh belas Ag.. eh, surat peringatan dari wali kelas ini gak sampai ke tangannya. Masalahnya sebentar lagi kan mau semesteran. Banyak ulangan-ulangan pemanasan diadakan tiap harinya. Kalo sampe sering bolos, Drakuli bisa gak diizinkan ikut ulangan semester. Padahal kan Drakuli anak yang cukup cemerlang otaknya.
Perjalanan yang dirasa Lupus seperti berabad-abad itu belum juga berakhir. Di kejauhan emang tampak sinar kecil. Lupus berharap, moga-moga itu taman ria. Banyak orang berkumpul, main perosotan, ayunan...
"Pus, ayo dong tanya-tanya," pinta Lulu memecah kesunyian.
"Nanya ke siapa?"
"Siapa, kek, setan, kek."
"Hus!"
Kalo gak malu sama Lulu, terus-terang Lupus pengen nangis. Bibirnya terus komat-kamit baca doa supaya gak teringat hal yang menyeramkan. Tangan melayang-layang itu, misalnya. Duh Tuhan kenapa harus ada kuburan sih di dunia ini? ratap Lupus
Beberapa kali mereka kesandung batu nisan. Memang agak gelap di balik gerbang sini. Hamparan tanali merah yang penuh gundukan-gundukan bertebaran di mana-mana. Pohon-pohor kamboja pun tumbuh liar di mana-mana. Menyerupai makhluk hitam besar mengeiikan. Cahava kecil, nampak masih agak jauh. Di ujung sebelah barat.
"Idih, kok ada yang bertuliskan nama kamu
Pus?" olok Lulu memecah kebekuan, sambt
menunjuk ke sebuah batu nisan.
Lupus kaget. "Sialan! Nggak lucu, ah!"
"Atau kalo kamu mau sekalian pesan tempat sama bapak nya Drakuli, bisa juga, Pus," Lulu terus menggoda.
“Lulu! Bisa diem nggak sih, kamu?Amit-amit. Lo aja pesen tempat sana!” sungut Lupus. "Lagi pula jangan sebut-sebut nama temen lo di sini. Kesanya gimanaaa... gitu."
"Gimana? Kenapa dengan Drakuli?"
“Lulu!"
Sesampainya di ujung jalan setapak, mereka melompati beberapa kuburan. Alamat yang ada di amplop belum juga mereka temukan. Padahal Lupus udah gak tahan. Bener-bener mau pipis.
Lagi pula di sekitar situ baunya rada gak enak. Apek. Lulu beberapa kali menyoroti semak-semak gelap yang menimbulkan suara yang meneurigakan dengan senternya. Kresek-kresek..
Nama jalan setapak yang tertulis di surat itu pun kayaknya belum nampak. Aduh, luas sekali sih pekuburan ini?
'"Aneh, temen lo kok betah di tempat beginian?" Lupus mulai menggerutu.
“Tenang, Pus. Bapaknya kan penggali kubur..."
"Lulu!"
Lho, saya bicara apa adanya."
Lupus bersungut-sungut. "Pasti serem sekali ya tampang bokapnya temen lo itu?"
“Ah, kalo diliat anaknya secakep Drakuli, ya paling sial bokapnya pasti lebih kece dari si Boim."
Bulan purnama tertutup awan di langit. Jadinya suasana gak begitu terang. Jadinya rumput ilalang yang bergoyang-goyang ditiup angin terlihat bak sebarisan setan lagi menari.
Lagi serem-seremnya, tiba-tiba muneul bayangan hitam mengerikan, Lupus dan Lulu menjerit tertahan "Hiyaaaaaa!" Lalu denga segera mengambil langkah seribu. Tapi makhluk hitam itu tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh. Dan Lulu langsung menghentikan langkahnya. Ia mengenali suara itu "Drakuli, ya? Apa-apaan si kamu?" Lulu berbalik menghampiri makhluk itu dengan geram. Lupus makin tercekat. "Eh, Lu lu..." Lupus menghentikan langkahnya juga. Ia hendak menahan Lulu. Tapi lututnya gemeteran. jantungnya serasa mau copot.
Lulu makin mendekati bayangan hitam yang berambut acak-acakan, berjubah hitam dan menyeramkan. Dan dengan cuek, Lulu berkacak pinggang.
"Stop, Drak. Gak lucu."
Drakuli masih terbahak-bahak. Ia memegang perutnya sambil berguling-guling. “Takut, ya? Takut? Hahahaha..."
Kali ini Lupus baru yakin kalo itu memang temennya Lulu.
"Bagus, ya. Coba kamu dengar, Drak. Gue capek-capek jauh-jauh datang mau nganter surat ini buat bapak kamu, kok malah begitu sambutannya? Sama sekali nggak lucu. kampungan. Di mana rasa terima kasihmu?" Lulu misuh-misuh.
“Iya, di mana, ayo?" Lupus ikut-rkutan. Drakuli berhenti tertawa. Diam-diam Lupus kagum juga sama Lulu yang gak punya rasa rakut.
"Surat? Surat dari siapa?"
"Dari wali kelas. Kenapa kamu sering gak masuk belakangan ini?"
Drakuli diam. Ia melepas jubah hitamnya yang bau. Lalu menjumput batang rumput liar, dan nenggigit-gigit pangkalnya yang terasa agak manis.
Lulu lalu memberikan surat itu pada Drakuli. Tanpa membaca, Drakuli memasukkan surat itu kantong bajunya. 'Trims, Lu."
Drakuli mengajak Lulu dan Lupus duduk di atas kuburan di bawah sinar bulan pumama yang kembali bersinar lembut. Lupus agak ragu meletakkan pantatnya di gundukan tanah itu.
"Nggak apa-apa," ujar Drakuh seolah tau apa yang dikuatirkan Lupus.
"Eh, iya, Drak. Ini kakak gue, Lupus," kata Lulu. Dan kepada Lupus, "Ayo, salaman Katanya mau kenalan."
Drakuli menjabat tangan Lupus erat-erat. Lupus berusaha tersenyum. "L-lupus."
Lalu hening.
"Gak apa-apa, ya, duduk di atas kuburan? Katanya kalo penghuninya gak rela kita bisa digerayangi. Betul nggak, Drak?" tanya Lupus.
Drakuli mengangguk.
"Hah? Kalo gitu saya berdiri aja, deh." Lupus langsung berdiri.
Drakuli tersenyum. "Kok berdiri?"
"Gak apa-apa. Lagi pula kalo kebanyakan duduk saya suka kesemutan, tuh."
Lupus benar-benar gak berani duduk lagi. Tinggal Lulu dan Drakuli cekikikan.
"Drak. kamu sebenernya kenapa sih gak masuk-masuk?" Lulu memulai percakapan. Dan ini membuat Drakuli kembali murung.
Ia meneeritakan kepedihannya "Objekan Babe lagi sepi, Lu. Jarang ada orang yang meninggal belakangan ini," kaunya sambil membuang rumput ilalang yang mulal terasa pahit.
Lupus yang tadinya berdiri, jadi ikutan duduk lagi. Agaknya ia tertarik dengan problem yang dihadapi Drakuli. Baginya, ini lucu sekali. Luar biasa sekali.
"Padahal Babe udah menurunkan harga tanah kuburan di sini. Masih aja belon ada yang mati-mati. Tadinya Babe malah mau kasih diskon segala. Lu."
Lulu terharu juga mendengar penuturan Drakuli. Tapi bagi Lupus, ini benar-benar lucu. Lucu betul. Ia sampai menahan ketawa mendengar cerita sedih yang menggelikan itu.
"Eh, kita masuk ke dalam rumah saya aja, yuk? Kita minum-minum sebentar. Oya, Babe tadi abis meneabut singkong yang tumbuh di atas kuburan Ibu. Yuk?" ajak Drakuli sambil bangkit. "Enak kan ngobrol sambil makan singkong goreng."
"Eh, Drak, mungkin Pak Guru mau memberi dispensasi kamu untuk ikut ujian. Soalnya anak secemerlang kamu, sayang kalo gak dipupuk," ujar Lulu sambil mengikuti Drakuli menuju rumahnya.
"Ya, mudah-mudahan, deh."
Memasuki rumah Drakuli, Lupus dan Lulu bener-bener merasa tegang. Keadaannya remang-remang. Hanya ada satu cahaya lilin di pojokan. Lebih-lebih ketika mengamati hiasan-hiasan dinding yang terdiri dari lukisan pemandangan alam kuburan, kelelawar besar, dan juga puluhan gigi orang mati yang sekarang ikut-ikutan dipajang di situ. Juga tulang-belulang yang dirangkai hingga membentuk rumah-rumahan. Di atas meja juga ada bunga warna-warni sisa orang berziarah yang kemudian dirangkai pada sebuah jambangan.
Belum lagi bau apek kain gorden yang nampaknya dari kain kafan bekas orang meninggal, dan bertahun-tahun gak dicuci.
Lupus makin bergidik. "Lu, jangan lama-lama, ya?"
Lulu sendiri asyik melototin boneka kuntilanak-kuntilanakan.
"Lu, jangan lama-lama, ya?" Lupus mengulangi permohonannya.
Lulu cuek. Dan Drakuli muneul membawa baki berisikan tiga cangkir air teh. "Wah, singkongnya belum mateng, Lu."
“Ah, gak pa-pa. Kita gak lama, kok," serobot Lupus.
"Lho, Lulu bukannya mau nungguin singkong mateng?"
Lulu tersenyum
"Oya, Babe lagi ngebersihin pacul di belakang," ujar Dakuli seraya meletakkan ketiga cangkir itu di meja mungil. "Ya, kalo malam malam begini Babe emang sibuk banget Meneangkuli tanah-tanah kuburan yang rada longsor Abis banyak kuburan yang nggak dilapisi batu kerikil dan pasir, sih. Hingga mudah longsor.
Sebentar lagi, Babe juga mau mengontrol semua kuburan, jangan-jangan ada yang bangun...."
"Bangun?" Lupus merapatkan dirinya ke Lulu
"Ya, kadang-kadang," ujar Drakuli sambil tersenyum geli, Memangnya kamu pikir gak pegal berbaring terus di lubang sekecil itu sepanjang hari?"
Tiba-tiba Pak Gali muneul. Lupus dan Lulu serempak memberi salam. "Met malem, Pak
"Malem..."
Pak Gali cuek mengganti baju dengan baju dinasnya di depan Lupus dan Lulu. Badannya nampak gagah dan kekar. Masih ada keliatan tatto gambar tengkorak di lengannya. Ia sudah siap mengontrol ke seluruh kuburan sambil membawa lentera dan kunei gembok pintu gerbang kuburan
"Eh, bertamunya mau sampe jam berapa?” tegur Pak Gali. "Kalo mau ampe malem, pintu gerbang kagak gue kunei dulu."
Pak Gali emang cuek. Dengan Lupus dan Lulu ia ber-lu-lu gue-gue.
“S-sebentar lagi juga pulang kok. Pak," ujar Lupus.
"Kenapa sebenrar? Kagak betah, ya?"
"Betah, Pak," timpal Lulu.
"Kok sebentar?"
“S-saya besok ada ulangan, Pak," ujar Lupus beralasan.
"O, ulangan."
Pak Gali menyisir rambutnya yang panjang, kemudian melilitkan sarung di pinggangnya. Kumis yang panjang dan tebal sebentar-sebentar dilinting. Kumpulan kuneinya ia masukkan ke dalam kantong celana, hingga terdengar bunyi gemerineing.
"Kalo mau ngobrol, ngobrol deh. Sekalian nunggu singkong goreng. Tapi sisain gue ya, jangan diabisin semua," kata Pak Gali sambil bersiap-siap berangkat.
"Bokap mau ngeceng dulu, Drak. Lo jaga rumah, ya? Oya, temen-temen lo pada bawa duit, nggak? Patungan dong buat beli rokok gue."
Lupus buru-buru mengeluarkan duit lima ratus peraknya dan segera disambar oleh Pak Gali. Makasih, ya?"
Pak Gali keluar sambil bersiul-siul
“Ya, begitu deh, bokap gue, Lu," ujar Drakuli.
Lalu Drakuli cerita-cerita tentang masa lalu bapaknya yang jawara dan playboy itu. Juga tentang ibunya yang tak pernah ia lihat, kecuali di foto. Juga tentang kesepiannya yang membuat ia sering bermain-main sendinan di tanah pekuburan.
Sementara jarum jam di tangan Lulu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Air teh pun udah tuntas. Mereka minta diri.
"Jangan bosen main ke sini, ya?" ujar Drakuli mengiringi tamunya pulang.
"Nggak," saliut Lupus cepat, "nggak sekali-kali lagi, deh. E-eh, maksudnya nggak ngebosenin kok tapi nyeremin."
Drakuli tersenyum sambil meninju pelan lengan Lupus, "Ati-ati ya, lewat sebelah situ. Pernah ada yang gantung diri."
"J-jadi yang aman lewat mana?" lagi-lagi Lupus tercekat
"Lewat mana. ya? Mending lewat sebelah sini."
"Aman?"
"Aman. Paling cuma nemuin tuyul doang. Hihihi..."
Lupus bener-bener kapok Walau diupah sejuta juga gak mau balik ke situ lagi.
Tapi di perjalanan pulang, Lupus jadi curiga juga sama Lulu. Kenapa Lulu begitu ngebela-belain nganterin surat dan berharap Drakuli agar masuk sekolah kembali besok. Sebegitu mulianyakah hati Lulu?
Rasa curiga Lupus mengurangi rasa takutnya pada kepekatan malam yang kelam. Apalagi Lulu amat berharap agar Drakuli benar-benar masuk besok. Lupus ingat omongan Lulu pada Drakuli, waktu Drakuli melepas mereka berdua di depan pintu gerbang. “Drak, lo bener-bener masuk kan besok?" harap Lulu.
Dan Drakuli mengangguk. "Mudah-mudahan Lu. Insya Allah."
Heran Baek banget ya, si Lulu? Apa ia naksir Drakuli? Ah, orangnya ternyata gak kece-kece amat. Serem, malah. Hati Lupus terus bertanya-tanya.
Dan ketika mereka sudah berada di jalan ramai, Lupus tak bisa membendung kecurigaannya lagi, “Kenapa sih, lo kok baek amat ama Drakuli?”
"Gak apa-apa. Besok ada ulangan kimia. Drakuli jago banget kimianya. Dan dia kan duduk pas di depan gue. Siapa yang mau ngebantuin gue kalo besok dia gak masuk? Gue kan paling sebel kimia," ujar Lulu kalem sambil ngeloyor meningalkan Lupus yang bengong di bawah temaram lampu malam.
3. "LUPLUPLUPUSING YA, LU?"
BURUNG dara liar itu sudah beberapa kali hinggap di dahan pohon jambu belakang rumah Lupus. Setiap kali hendak nginep di situ, dicurinya ranting kecil, batang sapu lidi, dan atap ilalang milik Mami untuk menambal sulam sarangnya. Mereka gak bosen-bosen membenahi sarang mungil itu.
Tadinya burung dara liar itu cuma ada dua ekor. Tapi kini sudah berkembang biak jadi empat ekor. Keempat burung dara itu jadi penghias alami kebun belakang rumah Lupus.
Mereka memberi nuansa baru.
Yang bikin heran, mereka ini datang dari mana, orang serumal pada gak tau. Bukannya gak mau tau-pernah Lupus ngabarin ke tetangga-tetangganya apakah ada yang merasa kehilangan burung? Eh, malah dikatain porno.
Ya, udah. Mending, didiemin aja.
Siang hari burung-burung itu mencari makan sendiri, jauh meninggalkan kebun. Kadang pagi-pagi sekali sudah berangkat dan pulang ketika di tipi pas muter pilem kartun.
Pagi itu, saat mau berangkat, mereka menyempatkan diri tuk bertengger di jendela kamar Lulu yang selalu terbuka lebar.
Wah, kayaknya Lulu lagi kontrasepsi, eh, konsentrasi tuh. Duduk di depan meja belajar sambil ngoret-ngoret kertas putih. Apa perlu digodain dulu? Misalnya, dengan mematuk-matuk kuncirnya yang kayak air mancur? Ah, jangan. Mending langsung cabut aja, daripada ntar ditimpuk apusan sama Lulu. Burung itu pun terbang. "Seandainya saya jadi burung itu, pasti saya gak sedih kayak gini," ujar Lulu perlahan, ketika melihat burung-burung terbang.
Lho? Ada apa dengan Lulu? Kenapa dia jadi sentimentil kayak gitu?
O, gak taunya dia lagi ada problem sama cowok yang baru ia taksir. Cowok itu sebetulnya nggak gitu keren. Dari samping mirip-mirip Tom Cruise, dari belakang kayak Tom Howell, tapi dari dekat setali tiga uang sama Tom and Jerry.
Tapi Lulu naksir berat. Padahal kalo dibanngin Boim, wah. mending... jangan dibanngin! Hihihi.
Kalo gak salah, cowok itu namanya Suryadimulya. Anaknya tinggi, tapi selalu muram. Di sekolah, dia dijuluki si anak muram. Tapi Lulu cinta.
Sebenarnya kalo lagi dapet masalah rutin kayak gini Lulu langsung nyeritain semua-muanya ke Lupus. Biar lega. Tapi kali ini mokal berat. Masa saban punya masalah selalu temanya tentang patah hati melulu? Kan gak seru. Kayaknya Lulu jadi payah banget. gitu, sampai kerjaannya disakitin cowok melulu.
Suryadimulya, meski anaknya suka muram tapi playboy. Mantan kobannya udah banyak banget. Lusi, Cindy, Ira, termasuk juga Lulu.
Tapi rasanya hati Lulu belon tenang kalo belom numpahin semuanya ke Lupus. Maka sejak bangun pagi tadi, ia cari-cari akal. Gimana caranya.
Akhirnya diputuskan, lebih baik nulis surat. Yang diem-diem akan ditaro di kamar Lupus, biar Lupus baca sepulang sekolah nanti. Kan saat itu Lulu lagi masuk siang.
Ia pun lega. Setelah beres-beres sebentar, ia meraih hunduk Snoopy-nya, dan menuju kamar mandi.
Tepat jam dua belas siang, Lulu buru-buru ke sekolah. Takut berpapasan dengan Lupus.
Lupus yang baru pulang ngeliat ada surat menempel di pintu kamarnya so pasti bisa nebak siapa gerangan pengirim surat bersampul belang-belang itu.
Sambil membuka baju seragamnya, Lupus males-malesan membuka sampul surat itu. Tapi eh, gak disangka ada terselip di dalamnya selembar uang seribuan.
Lupus jadi bersemangat. Buru-buru dibacanya isi surat itu.
"Pus...
Sori ganggu bentar.
I have something to tell ya..
Waktu malam Minggu kemaren kita kan nonton Twins di biotkop sania Suryadimiulya Rondonuwu Honitua Siyaranamual Ahmad (idih, nama belakangnya gak cocok banget).
Tau kan? Yang waktu ke rumah malam minggu kemaren kita kenalin ke kamu, tuh!
Terus tiba-tiba Suryadimulya Ron, eh, repot amat, kita sebut Surya aja, ya, Pus? Maklum, lahirnya di gerbong kereta 'kali.
Iya, Surya itu ketemu bekas pacarnya yang dulu. Rupanya si Surya ini masih cinta ama eks ceweknya itu. Gak tau kenapa, pokoknya saat itu dia begitu kelihatan gelisah.
Padabal dia lagi jalan sama saya. Pus.
Saya berusaha ngertiin dia, Pus. Walo saat itu sebetulnya saya sebel banget. Kenapa dia tiba-tiba jadi sentimentil. Tiba-tiba dia jadi mikirin masa lalunya.
Mungkin memang aneh, mungkin dia agak nyesel semua itu berlalu. Dan dia tersadar, tiba-tiba berusaha ngelupain semuanya. Tapi saya tau, dia gak bisa ngeboongin perasaannya sendiri. Dia saat itu jadi sentimentil. Saya ngerasa banget.
Saya tau kok.
Tapi saya pikir, tingkah dia manusiawi sekali, Pus. Mungkin saya juga akan begitu kalau dalam posisi seperti dia. Tadinya saya mau marah. Kalo nurutin perasaan, pengen rasanya ninggalin dia yang asyik dengan perasaan dia sendiri.
Saat itu dia bener-bener gak menghargai perasaan saya. Tapi saya tahan. Saya coba berpikir rasional. Akhirnya saya malah gak tega. Sayi pegang tangan dia untuk mengajak pergi melupakan masa lalunya.
Bener, Pus, saya gak marah. Saya akhirnya berusaha bersikap wajar lagi.
Tapi, Pus, ada yang bikin saya kecewa, sedih dan sebel banget. Yaitu waktu dia terus terang bilang, dia nyesel putus dengan pacarnya.
Rasanya saya pengen nangis.
Okelah saya hargai perasaan dia, tapi dia sama sekali gak menghargai perasaan saya.
Maka saya tulis surat ini ke kamu, Pus.
Saya butuh tempat berbagi cerita.
Dari adikmu yang mams,
Lulu
NB: Eh, iya. Tadi pas saya mau naro surat ini saya iseng-iseng ngerogoh saku celana jins-mu yang digantung di balik pintu. Ee, gak taunya ada duitnya dua ribu perak. Yang seribu saya pinjem, Pus. Yang seribu lagi saya masukin ke amplop surat ini. Kamu mesti terima kasih dong sam saya. Untung saya gak pinjem dua-duanya. Hihihi...”
Lupus jelas kesel. Dia pikir uang seribu yang ada di dalam amplop surat Lulu adalah uang pelicin, upah buat baca atau rangsangan biar mau ikutan mikir. Nggak taunya uang dia sendiri. Malah defisit seribu rupiah!
Namun sebagai kakak yang baik, memandang persoalan di atas, Lupus jadi kasihan. Sebandel bandelnya Lulu, ya, tetap bandel tu anak!
Tapi Lupus sayang. Lupus gak tega ngebiarin Lulu sedih. Apalagi sampai tuli-tulis surat segala, pasti berat bebann yang ia derita.
Lupus jadi gak begitu napsu maakan siang. Bukan apa-apa. Mami emang belon nusak apa-apa kecuali nasi putih doang di bakul.
“Kalo emang udah laper banget, ya digado dulu deh nasi putih itu, Pus," teriak Mami dari dapur, demi melihat gelagat anaknya mondar-mandir di depan meja makan sambil sesekali ngebuka taji.
Tapi Lupus gak begitu dengerin anjuran Mami. sebab ia langsung masup kaniar. Ia bertekad untuk meghibur adiknya yang terluka. Ia harus membalas suratnya sekarang...
“Lulu ..
Kamu sebenernya anak yang berbakat untuk bisa jadi orang yang tegar. Gampang kok syaratnya, asal kamu pus-ap, joging, dan sering-sering angkat barbel, pasti kamu bisa lebih tegar.
Hingga kamu jadi gak terlalu merengek-rengek (Biola 'kali, merengek-rengek!) kalo lagi sakit hati kayak gini.
Kamu harusnya tegar, Lu.
Jangan malu-maluin Lupus. Jangan bertelut hanya karena cowok. Kamu anak yang rnams. yang baik, dan kamu sekarang tau siapa Suryadi mulya Sirondamalam, eh, Rondamalu yang sebenarnya.
Lupain aja.
Oke, Lu. Jangan sedih lagi. Hadapi semuanya dengan senyum kamu yang manis. Atau kalo belum bisa tersenyum juga, dengerin deh cerita saya tentang Gusur yang berhasil naklukin rodeo.
Tau rodeo? ltu lho, sapi ganas yang selalu meronta-ronta kalo ditunggangi. Barangsiapa yang tahan menunggangi rodeo paling lama, akan dapat hadiah. Dan rata-rata orang-orang baru menunggangi e menit aja udah terpelanting. Tapi ketika Gusur tunggangi, ternyata selama 30 menit dia gak jatah-jatuh.
Apa Gusur hebat karena punya badan gendut?
Ternyata enggak, Lu. Taunya Gusur malah dianggap sodara sama sapi itu. Abis mirip sih, hihihi...
Ketawa dong, Lu! Ceritanya gak lucu ya?
Kalo gitu, kitik-kitik aja sendiri pinggang, kamu, Lu. Pasti kamu kegelian sendiri. Hihihi....
Selamat senja,
dari kakakmu yang kian manis.
Lupus
NB: Eh, iya Lu, tadi pas saya mau naro surat balesan ini, saya iseng-iseng ngacak-ngacak laci meja belajar kamu. Ee, ternyata ada coklatnya dua biji. Tapi kamu gak mesti berterima kasih sama saya, Lu, abis dua-duanya udah saya makan. Hihihi....”
Dan sore itu juga Lupus berniat ngebahagiain Lulu. Lupus merencanakan mengajak Lulu nonton film di bioskop. Atau kalo dia gak mau, ya nonton film kartun-lah di tipi.
Sore-sore Lupus udah mandi. Tidak lupa menggosok gigi. Abis mandi kutolong Ibu. Membersihkan temp.. lho-kok jadi nyanyi?
Setelah rapi, ia pun menunggu Lulu pulang di pintu depan. Sambil ngemil beras (buruuung, kali!), dan baca-baca majalah. Mami sampai pangling ngeliat anaknya sore-sore udah mandi.
"Tumben, Pus, udeh rapi. Mau ke mane, Mpok?" goda Mami.
"Belanja, Bu Erte!"
Si Mami masuk sambil terkikik-kikik
Sementara Lulu pun tiba. Lupus langsung siap-siap berdiri. Mau bikin surprais. Biar Lulu terharu.
Tapi, kok dia digoncengin cowok baru lagi? Siapa tuh?
Dan kayaknya dia sama sekali gak inget sama masalah tadi siang.
Cuek aja.
Malah tu cowok sempet bikin janji.
"Sampe entar malem, ya? Di bioskop KC."
Lulu mengangguk manis.
Eh, itu yang di depan pintu tukang kebun kamu, ya? Boleh juga tuh."
Lulu juga mengangguk
"Mari, Mang, saya pamit dulu," ujar cowok itu pada Lupus.
Lupus, yang dari semula udah keki, jadi tambah
keki disangka tukang kebon.
"Ya, mari, mari. Ngomong-ngomong udah lama, nih, jadi tukang ojek!" teriak Lupus kesal
Cowok itu ngakak.
Sementara Lulu langsung ngeloyor masuk kamar.
Lupus di luar masih gak habis pikir. Udah niat mau nolongin, eh, malah dikira rukang kebon Dasar!
"Puus, Puus," terdengar teriakan Lulu dari dalam kamar. "Kamu ngirim surat ke saya, ya? Emangnya kamu punya masalah apa, sih? Kamu pegang dulu deh, suratnya. Abis saya belon sempet ngebaca nih, mau cepet-cepet mandi, taku Rico keburu ngejemput!"
Ya. ampun!
Lupus bengong.
4. KELASKU ISTANAKU
PERNAH denger pepatah "Kelasku adalah istanaku"? Pasti belum Sebab pepatah ini memang belum diciptakan. Tapi bagi warga IIA2 di SMA Merah-Putih pepatah itu terasa ada. Dan sakti rasanya. Abis gimana gak sakti kalo IIA2 kelas yang semula butut, jadi makin but... eh-jadi serasa istana. Makin membuat betah para penghuninya. Apalagi letaknya yang strategis, mau ke man-mana dekat. Ke kantin, tinggal loncat, ke perpustakaan tinggal masup, ke laboratorium tinggal jalan, keluar saat belajar tinggal... disetrap!
Hihihi....
Kelas yang bikin iri kelas lainnya itu adalah kelasnya Lupus. KeIas itu selain amat jauh dari WC (ya, baunya kira-kira tiga kali naik bislah!), suasana sekelilingnya juga sangat sejuk. Banyak pohon akasia yang lebih seneng tumbuh dekat kelas "istana" itu. Kalo gak salah kemaren-kemaren cuma ada dua pohon akasia dan satu pohon asoka, sekarang sudah ada lima akasia, tiga asoka dan satu pohon kelapa "kongkow" di situ. Jadi tambah sejuk aja. Saat istirahat, banyak anak-anak kelas lain suka ikut-ikutan duduk di sana. Ngobrol sambil main catur jawa. Sementara itu Gusur pun memanfaatkan situasi ini. Dia membuka jasa penyewaan tiker yang dibawa dari rumah. Satu anak yang mau duduk dikenakan biaya seratus perak tiap jamnya. Sedang tiker yang pake AC dua ratus perak. Kalo yang ada tipinya dua ratus lima puluh. Dan yang paling mahal tiker yang ada kolam renang dan layar tancepnya. Tiap 1 jam enam ratus perak, harus kontan. Jadinya, sejak itu Gusur rada lumayanlah jajannya. Dan makin gendut idungnya, hihihi.
Sejak anak-anak menyadari banyak pohon-pohon yang betah tumbuh di sekitar situ, mereka menata taman kecil di depan kelas biar semarak. Biar enak dilihat. Pinggir-pinggirnya ditaburi batu-batu kecil berwarna. Sementara bagan belakang sebelah kirinya sengaja ditinggikan. Biar anyelir yang ada di atasnya menonjol. Jadinya di situ mirip-mirip taman makam, eh, taman bunga.
Meski sekali waktu Boim menyalahgunakan taman itu buat ngerayu Nyit-nyit, aiau Gusur yang ngejogrok berjam-jam nyari inspirasi, suasana nyaman tak berkurang. Dari situ juga tempat srategis untuk ngecengin cewek-cewek yang ber-olahraga.
Dan yang makin membuat iri anak kelas lain adalah. anak-anak IIA2 itu amat pinter menghias kelasnya. Sehingga kelas mereka bisa nampak "lain" dibanding kelas lainnya. Dengan modal swadaya anak-anak, kelas Lupus keliatan centil dengan cat dinding yang berwarna pink. Ini mereka lakukan berbarengan dengan Valentine beberapa waktu yang lalu.
Nampak centil lagi ketika Lupus mengusulkan agar kelas itu dilengkapi dengan aksesori yang unik-unik.
“Biar kita semua makin betah di sini," kata Lupus.
“Iya," kata Anto, "Dan nanti keluargaku akan kuajak nginep di sini."
Hasilnya peribahasa-peribahasa unik bertebaran menempel di dinding, dibuat dari kertas-kertas berwarna ceria.
Semua kocak-kocak. Seperti yang terrulis di dinding belakang, "Daripada nyontek dapat nilai tujuh, lebih baik tak nyontek tapi dapat nilai sembilan". Juga di dinding sebelah samping, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepi-Bersakit-sakit dahulu, baru mati kemudian" itu yang di depan, "Janganlah memandang orang dari wajahnya, tapi lihatlah dia dari kece tidaknya". Dan satu lagi, "Hidup sederhana bukan berarti banyak harta".
Di situ juga ditaroin kalender Garfield, ditambah beberapa boneka mungil menghias di ujung kanan papan tulis, sumbangan dari Fifi Alone dan Poppi. Di dinding bagian belakang, ada fiber-board, papan yang bisa ditempeli macam-macam hasil kreativitas anak-anak. Fungsinya seperti Majalah dinding.
Isinya, ada karikatur karya Lupus, ada puisi cinta Boim, ada foto-foto unik bikinan Gito. Dan inilah yang membuai Gusur makn betah menyatroni kelas Lupus. Lewat media itu, Gusur berekspresi mencurahkan isi hatinya kepada Fifi Alone. Fiberboard itu juga sering ditempeli, misalnya lukisan anak-anak yang terbaik, atau kertas jawaban ulangan anak-anak yang terbaik. Gak lupa, kertas ulangan fisika si Boim, yang selalu always dapet nilai delapan- "ngakak" alias tiga, juga dipajang. Ya, supaya Boim malu, dan lebih giat belajar. Tapi dasar Boim, doi cuek bebek aja.
Asyiknya, guru-guru pada gak keberatan dengan kreativitas anak-anak itu, walau akibatnya kelas Lupus jadi nampak lain. Gak seragam.
Malah ada beberapa guru yang ikut-ikutan betah mengajar di kelas tersebut. Mr. Punk misalnya. Biar jatah ngajarnya udah abis, beliau gak mau keluar.
"Anak-anak, zaya mengazar di zini razanya zeperti mengazar dalam iztana zadza. Zuazanany begitu gemerlap, betul-betul menyenangkan Zaya mau uzul zama kepala zekolah agar zaya ditugazkan mengazar dalam kelaz ini lebih lama. Pazti beliau mengizikan. Dan kalian tak keberatan bukan kalo tiap zam belazar fizika?"
Mampus lu!
***
Bagi anak-anak sendiri, kelas IIA2 selain membetahkan, di sana banyak peristiwa historis terjadi. Seperti Anto yang pernah pipis di celana lantaran gak sanggup ngerjain tugas mitamitik (baca: matematik, bego!). Tentu peristiwa itu gak mudah dia lupakan. Dijadikannya sebagai peristiwa sejarah, sebagai tempat berkaca diri, bahwa Anto kok pernah bersifat kayak anak kecil umur lima tahun. Akhirnya niat buat bebenah pun muncul ke permukaan Kini Anto telah berubah, dia mengaku sudah lebih dewasa. Seperti ujarnya, “setetah mengingat peristiwa menjijikkan itu saya bertekad untuk menjadi lebih dewasa. Kini saya gak lagi seperti anak lima tahun, tapi telah meningkat jadi kayak anak umur tujuh tahun...."
Bagi Aji nilai historisnya pada peristiwa ketika dia dipergoki karena bawa-bawa gambar orang telanjang. Dia sempat menggegerkan, dibawa ke kantor, diantar pandangan mata anak-anak yang mendecak. Aji kapok, insap. Ternyata memang tak boleh membawa gambar porno ke dalam kelas, tapi harus langsung diserahkan ke kantor Kepsek.
Lain Anto, lain Aji, lain lagi Boim. Bagi Boim nilai historisnya adalah peristiwa-peristiwa kecil yang selama ini dilakukan setelah pulang sekolah. Yaitu nulis surat cinta buat anak kelas satu yang masup siang, yang juga menempati kelas itu. Mungkin kalo surat yang dikirim Boim langsung dapet balasan. gak usah dibilang peristiwa sejarah. Tapi karena sampai sekarang ini belon ada satu surat balasan pun yang nongol, jadinya pantes dong dianggap monumental.
Eh, tapi Boim gak putus asa. Dia tetap ngirim terus. Dan akhirnya memang dibalas.
Isinya singkat saja:
“Kak, nama saya Slamet, dan teman yang duduk di samping saya Rosyid.
Lalu Kakak seneng sama yang mana?”
Hahaha... anak-anak ngakak. Abis ternyata Boim naro suratnya di bangku anak kelas satu yang cowok sih. Hahaha...
***
Pagi itu di rumah Lupus, Lulu lagi marah-marah. Lulu kalo marah suka gak liat sikon. Padahal dia lagi sikat gigi, akibatnya odol dari mulutnya beterbangan. Kayak orang main sulap jadinya.
“Pus, kenapa spidol warna saya dibawain semua? Itu kan spidol hadiah dari Decky. Saya aja makenya sayang-sayang, kamu malah ngebawa ke sekolah segala. Buat apaan sih bawa-bawa spidol segala?"
“Mo ada perlombaan menghias dinding kelas, Saya pinjem sebentar doang, nanti juga saya pulangin. Kamu kok jadi adik pelit banget sama kakaknya?"
“Ee, apa kamu sebagai kakak sudah pernah baik sama saya?"
“Sudah, waktu kamu pinjem crayon, saya kasih.”
“Crayon? Emangnya kamu pernah punya crayon?”
“Nggak. Makanya saya kasih. Hihihi...”
Lulu yang udahan kumur-kumur nggak suka diledek begitu. Dia berusaha merebut spidolnya dari tangan Lupus. Lupus lari ke ruang makan. Taunya di sana lagi ada Bu RT lagi ngobrol sama Mami.
"Lup... eh-Bu RT. Udah lama, Bu?"
"O, Nak Lulu. baru saja."
"Kirain udah lama...."
Lupus langsung duduk di antara Mami dan Bu RT, sambil nyomot sepotong roti. Sementara, Lulu mendongkol di pojokan.
"Wah, anak-anak di sini pada rukun-rukun ya?" komen:ar Bu RT sambil tersenyum manis pada Lulu. Lulu yang ditanya ngangguk sambil senyum basa-basi.
Ngapain sih Bu RT pagi-pagi udah ngajakin Mami ngerumpi? Huh, mengganggu jadwal berantem orang aja, batin Lulu.
"Kalo di rumah, ya ampun! Bayangin aja, i Goti sama Geno gak bisa ngeliat rumah sepi dikit. Langsung aja mereka main kejar-kejaran, jenggut-jenggutan. Masalahnya sih kadang sepele banget Nak Lulu, cuma rebutan apusan, tapi ya berantemnya kayak orang perang rebutan apusan gitu."
Lupus diam-diam langsung beringsut ke luar seraya monyomot tas dekilnya di meja, untuk pergi ke sekolah. Tinggal Lulu yang maki-maki dalam hati. Huh, kalau berantem gara-gara hapusan emang keterlaluan, tapi ini kan gara-gara spidol. Mau dibilang perang kek, nggak rukun kek, masa bodo teing. “Heh, Lupus, kamu tunggu nanti siang, ya, saya sentrum baru rasa!”
"Lulu, masa kakakmu mau disetrum?" tegur Mami tau-tau.
Hah?
Bu RT kaget, Lulu apalagi.
***
Di sekolah sudah banyak anak-anak yang siap-siap mau ngegambar dinding kelas.
Lomba hias-menghias ini diponson Svida, teman sekelas Lupus yang multi-milyuner. Svida menyediakan hadiah-hadiah menarik. Seperti juara satunya dapet hadiah mini-kompor (itu lho, kompor kecil yang buat kemping). Juara duanya dapet spidol sama kertas kado Garfield. Sedang juara tiga cuma dikasih penggaris, buku tulis, pulpen, tas, TV berwarna, tiket pesawar ke Bali, dan Tabanas.
Perlombaan ini memang sengaja diselenggaraka, kata Svida, guna menyambut Bulan Juli (idih, apa istimewanya?).
Untuk menghiasnya selain pake spidol, diperbolehkan juga pake cat tembok. Sayangnya ada satu anak yang terpaksa di-diskualifikasi alias dianggap gugur, yaitu Boim, karena ikut lomba tapi pake arang.
Karena kecintaan anak-anak pada kelasnya cukup gede, pesertanya lumayan banyak. Sementara Mr. Punk direncanakan kebagian tugas membuka lomba secara simbolis, dengan nyiramkan cat tembok ke muka Bo eh,.. ke muka kelas. Panitia juga menyediakan pita buat digunting. Sengaja dibikin, biar masup Berita Nusantara di tipi. Sayangnya panitia rada gegabah, yang dipasang bukan pita seperti biasanya, melainkan pita kaset. Jadinya panjang banget.
Acara lomba ini diramal bakal meriah, sebab sepasukan drum band Swara Mas Andhika ikut ngeramein juga. Sengaja Svida mengundangnya karena kehebatan yang dimiliki sang mayoret kala melempar tongkatnya tinggi-tinggi dan jarang balik-balik!
***
Sementara di jalan Lupus asyik membayang gambar apa yang mau dibikin di lomba nanti.
Hm, gambar apa, ya? Gimana kalo gambar pemandangan? Ah, kuno. Masa kayak anak kecil. Eh, tapi ngomong-ngomong soal gambar pemandangan, Lupus jadi inget sama Suro, okem pasar dekat rumah Gusur. Ceritanya biar serem, dia mentatto dadanya. Tapi gambarnya bukan tengkorak atau apaan gitu yang serem. Melainkan gambar pemandangan! Hihilu gimana mau ditakutin?
Sambil bersiul-siul gede (idili, bersiul kok gede?), Lupus iseng menghitung jumlah spidol yang ditilap dari tas Lulu. Ada lima, ya,cukuplah!
“Eh, apaan tuh yang keluar-masup?"
Lupus surprais banget ngeliat ada mobil sedan Capella baru parkir di depan pintu sekolahnya. Wah, setelah diintip, nggak taunya Kepsek lagi bingung memarkirkan mobil yang ternyata baru dia beli. Busyet, nyetirnya ati-ati banget. Takut nabrak 'kali, ya?
"Ee, Nak Lupus, tolong bantu Bapak memarkirkan mobil ini, ya?"
“Baik, Pak. Eh, maksud Bapak sayanya bantuin nyetir, gitu?"
“Bukan. Kamu bilangin aja kalo mobil Bapak parkir nanti."
Lupus yang baru kali penama jadi tukang parkir bingung juga. Ngasih aba-abanya gimana,
sih? Apa saya harus teriak-teriak?
“Ya, terus-terus... Pak!"
'Terus ke mana? Wong mobilnya belum distarter.”
Ya, ampun. Lupus keki, kenapa gak bilang-bilang sih, kalo belon starter? Saya udah semangat, nih!
“Gimana, Pak, udah bisa dimulai belum?"
"Sebentar, Nak Lupus, Bapak mau baca buku petunjuk dulu. Mau cari keterangan tentang gigi mundur. Ya, ya... sekarang mulai!"
"Mundur... mundur... terus, Pak, jangan ragu-ragu. Sedikit lagi, Pak." Brak! "Ya, stop. Udah nabrak, tuh!”
Pak Kepsek sempet kaget belakang mobilnya nabrak pintu gerbang. Tapi Lupus buru-buru menyarankan, "Abis gimana gak nabrak? Pelataran parkirnya pas-pasan banget sih."
Lagi pula biasanya guru-guru di SMA Merah Putih kan cuma naik motor aja ke sekolah. Anak-anak juga gak boleh bawa mobil pribadi. Dan Kepsek biasa-biasanya cukup puas diantar anaknya yang kuliah di Trisakti. Kok sekarang dia bawa mobil?
Eh, ini pertama kali lho ada mobil masuk sekolah Lupus. Wah, apa sebaiknya dimasupin Guiness Book of Records aja?
Kemudian Lupus secara iseng bilang, "Udah Pak. Perluas aja pelataran parkirnya, biar mobil Bapak bisa leluasa parkir."
Pak Kepsek jadi mikir, Ternyata doi menanggapi serius.
Iya, bener juga, ya. Abis daripada mobil saya gak bisa parkir. Wah, usul yang bagus sekali, pikir Kepsek.
“Hei, Nak Lupus. Ini dua ratus perak buat kamu. Yang seratus untuk upah parkir, seratus lagi buat usul kamu yang cemerlang itu."
Lupus bingung.
Tapi inilah awal bencana itu!
5. EMANGNYA KITA GAK BOLEH PROTES?
DAN itulah awal bencana.
Ketika Boim baru kembali dari kantor, melunasi tunggakan SPP yang udah tiga bulan. Anak-anak tegang berkumpul mendengar certia Boim.
“Ini bukan isu, bukan pula asu. Secara kebetulan Saya liat di papan program sekolah kita. Lo-lo kan pada tau, kalo kelas kita letaknya bersebelahan dengan pelataran parkir yang sempit....”
“Iya, tau. Lalu?" tanya anak-anak hampir serempak.
“Lalu saya pun bertanya pada seorang petugas adminisitrasi kantor, apa program itu memang akan dilaksanakan?"
“Lalu?"
“Lalu dia menggeleng seraya berkata, tidak tau, ya. Saya orang baru di sini."
“Lalu?"
“Lalu saya pun meminjam telepon di kantor, untuk menelepon ke rumah Nyit-nyit, kenapa dia tidak masuk hari ini?"
“Lalu?"
“Lalu yang menerima pembantu nya. halo, siapa , ya?"
"Botol! Lo jangan berbelit-belit dong! Lo niat cerita gak sih? Udah bela-belain pada denger juga!" bentak Gito galak.
"Iya, katanya berita penting!" sungut Meta
Boim gelagapan. "Iya, iya. Terus gini, seorang guru masup, dan saya bertanya tentang program itu. Katanya benar, Kepsek memang merencanakan akan memperluas pelataran parkir, dan kelas kita akan dibongkar. Kita akan dipindah ke kelas kosong yang deket gudang itu."
Anak-anak terkejut.
"Kelas gudang? Yang sempit dan bau itu?”
"Kamu serius?" ujar Meta.
Boim ngangguk.
Anak-anak pun mulai panik. Fifi Alone yang baru datang, bingung, bertanya pada Anto.
"Ada apa, To?"
"Ada berita gawat, Fi."
"Apa? Si Rita berjerawat? Ah, itu sih biasa. Salahnya sendiri, gak pernah merawat wajah sih. Gak seperti ikke yang selalu mandi susu, mandi madu, mandi... pokoknya mandi segala mandi deh, kecuali mandi keringai. Nah, hasilnya? Wajah ikke halus, kan?"
"Kamu ngomong apa sili, Fi? Ini berita gawat Kelas ktia mau digusur. Mau dibongkar. Kar!” omel Anto.
"Oo, jenggot si Gusur kebakar? Syukur atuh.”
Ya, ampun, Fifi. Penyakit budeknya gak ilang-ilang.
Dan anak-anak pun langsung mengada rapat kilat di kelas. Yang temanya, jelas menolak kelas dijadikan lapangan parkir. Tindak lanjutnya baru kelihatan tiga hari kemudian. Sehari setelah Kepsek mengumumkan secara resmi akan memperluas pelataran parkir. Dan otomatis, ada kelas yang dikorbankan, terpaksa dibongkar untuk dipindahkan ke kelas lain yang masih kosong. Katanya, ini untuk kepentingan bersama. Untuk kemajuan bersama. Karena kita kan gak boleh pura-pura menutup mata dengan adanya desakan modernisasi.
Anak-anak terdiam. Tak ada yang bereaksi apalagi kelas IIA2 yang jadi korban kena gusur.
Tapi di luar dugaan, saai istirahat pertama, anak-anak kelas Lupus itu berkerumun di muka kanttor Kepsek. Mengadakan unjuk rasa. Boim dan Anto sepakat mogok jajan (padahal emang gak punya duit). Meta, Ita, Utari, Fifi Alone, dan cewek-cewek lainnya, sepakat mogok ngegosip. Lupus nyari yang enak, mogok bicara (kalo bisik-bisik mah boleh). Sementara Gito, Aji, dan barisan cowok lainnya membawa spanduk yang memang sudah disiapkan dari rumah. Tulisannya, “Jangan korbankan kelas kami demi seonggok mobil baru".
Anak-anak memang sudah nekat. Apalagi ada dugaan, niat Kepsek memperluas pelataran parkir lantaran Capella barunya. Sejak Kepsek punya mobil, lapangan parkir jadi terasa sempit. Kapasitasnya tak lagi memadai. Sering mobil Kepsek parkir di luar pelataran. Mungkin karena takut hilang, Kepsek akhirnya berniat memperluas pelataran parkir. Dan itu berarti harus membongkar kelas IIA2.
“Keterlaluan deh Pak Kepsek!" jerit Fifi Alone.
“Masa kelas kita mo' dibongkar demi kepentingan pribadi?" Gito nyinyir di pojokan.
Gusur yang ternyata punya toleransi yang cukup tinggi, ikut mendukung kelas Lupus. "Pus, sajak protesnya dibacakan sekarang saja, ya?"
Lupus mengangguk. Gusur memang udah nyiapin sebuah sajak protes untuk mendukung demonstrasi yang diadakan di kelas Lupus.
Gusur tampil ke muka rombongan. Anak-anak memberi applaus. dan berdebar-debar menunggu
Gusur membacakan sajak protesnya, Sebuah sajak
yang katanya dibuat secara khusus berjudul...
“TOMAT!" teriak Gusur bersemangat.
“Kok tomat?" bisik Meta penasaran.
"Sst! Itu mungkin cuma perumpamaan. Nama-nya juga sajak, penuh perumpamaan. Isinya pasti gawat!" bisik Lupus.
Dengan gagah, Gusur mulai membaca sajaknya dengan suara serak tapi pasti.
Tomat, warnamu merah
Bentukmu bulat
rasamu asam manis
banyak dijual di pasar
O, tomat, aku tau kau menganndung
vitamin C
Saking begonya, anak-anak bertepuk tangan bangga dengan sajak Gusur. Tapi ada sebagian yang kebingungan dan celingukan, termasuk Lupus. Lha, ngakunya sajak protes, kok isinya gak ada yang bernada protes? Lupus mulai sadar, ternyata sajak Gusur yang berjudul Tomat, memang benar-benar tentang tomat.
"Dasar penyair gokil!" maki Lupus mangkel. Anak-anak lain pun tersadar Gusur segera diamankan ke belakang.
***
Hari itu anak-anak kelas IIA2 masih ngambek. Hingga utusan dari Kepsek, guru bahasa Inggris, mencak-mencak di kelas Lupus. Mr. Punk yang sebetulnya wali kelas IIA2 sudah beberapa hari ini tidak hadir.
"Kalian ini sebenarnya mau apa?" bentak Pak Frans.
"Kami minta keadilan, Pak!" ujar anak-anak.
"Kalian bicara soal keadilan. Keadilan apa, he?"
Anak-anak sebagian diam. sebagian ngedumel.
"Lupus! Kamu, jawab, keadilan apa, he?"
"Maap, Pak, saya lagi mogok bicara."
"Kamu, Gito?"
"Kelas kami jangan dibongkar, Pak!"
Anak-anak yang lain saling menimpali. Menyokong ucapan Gico.
"Jadi kalian keberatan kelas dibongkar?" tanya Pak Frans.
“Tentu saja, Pak!"
'Tapi ini sudah keputusan. Menurut petunjuk Bapak Kepala Sekolah, kelas harus dibongkar. Kita perlu pelataran parkir. Kita perlu agar orang luar melihat sekolah kita teratur. Coba kalian lihat pelataran parkir kita saat ini. Berantakan. Ini karena lokasi daripada pelataran parkir tersebut terlalu sempit. Kendaraan yang terparkir saling berimpitan. Kita perlu memperluas. Berpikirlah rasional, Anak-anak. Kalian kan dididik untuk berpikir maju."
“Ah, itu kan hanya dalih Pak Kepsek," ujar Anto berani. "Kami tau, Pak Kepsek begitu bernapsu memperluas, karena Pak Kepsek sudah punya mobil, dan mobil itu tak bisa masuk ke halaman parkir!" Wajah Pak Frans kontan merah padam
"Atas dasar apa kalian menuduh begitu?" suara Pak Frans meninggi.
“Dulu Fifi Alone pernah dilarang membawa mobil dengan alasan dilarang pamer kekayaan. Tapi ternyata..."
"Larangan Fifi membawa mobil ke sekolah untuk mendidik agar siswa tidak mewah-mewahan. Sekolah dibuat pamer kekayaan. Kami tidak mendidik siswa yang konsumtif."
”Tapi Kepsek sekarang bawa mobil."
“Itu untuk kelancaran komunikasi. Untuk kemajuan kita semua."
“Lho, tapi Pak Kepsek gak pernah keluar ruangan. Urusan sekoiah, lebih banyak dilimpahkan pada bawahan. Mobil hanya digunakan untuk pulang. Inikah yang Bapak namakan kelancar komunikasi?" ujar Aji.
Pak Frans nampak gelagapan. Anak-anak mulai mendapat angin, dan ramai berteriak-reriak.
"Diam! Kalian diam!" Pak Frans akhirnya nggak tahan. "Kalian tidak tau, tindakan ini bisa diajukan ke pengadilan sekolah. Kalian telah merusak stabilitas sekolah"
"Kata Bapak, sekolah kita demokratis. Setiap siswa boleh mengemukakan pendapatnya. Bapak juga bilang, kami dajar untuk berpikir rasional. Berpikiran maju. Kemajuan kadang-kadang justru berarti perbedaan pendapat," suara Meta terdengar merdu.
“Tapi kalian subversif. Kalian bisa dihukum Bisa diskors, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah ini! Apa pun alasannya, kelas ini akan dibongkar. Kalian boleh mengumpulkan aksesoris milik kalian, dan segera pindali kelas! Sejak dahulu Bapak memang tak suka melihat kelas kalian yang kayak Taman Kanak-kanak ini bentak Pak Frans sambil melangkah ke luar membanting pintu kelas. Bum!
***
Hari-hari esoknya dilalui dengan kemuraman. Beberapa anak yang duduk di bawah pohon seperti menikmati sisa-sisa surga. Karena pohon rindang ini pun akan ditebang.
Semua anak di kelas Lupus sedih. Dari jendela kelas, Meta, Ita, Utari sedih karena gak bisa lagi mensuplai cemilan ringan kala pelajaran kosong. Dari jendela kelas, Lupus, Gito, Anto gak bisa lagi ngecengin cewek yang berolahraga kala pelajaran menggambar bebas. Usaha sewa tikar Gusur pun terancam bangkrut.
Belum lagi kalo mereka ingat, begitu relanya mereka mengorbankan apa yang mereka punya demi kelas tercinta. Memodali sendiri membeli cat, mengerjakan nya siang-malam, menumbuhkan kecintaan yang dalam. Meraka tidak bisa mengiklaskan kelasnya bakal digusur. Kalau sekedar diwariskan ke adik kelas, masih tersisa bangga. Tapi kalo dibongkar?
Gosip-gosipan makin seru. Katanya anak-anak kelas IIA2 bakal kena skors. Tapi agaknya, anak-anak akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Walau kelas sudah rata dengan tanah, mereka tetap duduk di bangku kelasnya yang dulu, di atas puing-puing. Kadang mereka sangsi, mampukah mereka bertahan? Sebab yang dilawan adalah atasan.
"Kalah atau menang bukan soal lagi. Yang penting kita telah berbuat untuk sesuatu yang kita cintai," ujar Lupus memberi semangat.
Dan saat itu di bawah pohon yang rindang, Gusur tengah khidmat menulis puisi berjudul Ketimun. Ya, siapa tau bakal ada demontrasi lagi, pikirnya.
6. KELAS YANG HILANG
PAK KEPSEK ternyata orangnya keras juga. Sekali dibongkar, tetap dibongkar. Kelas yang asri dan indah, kini rata dengan tanah.
Tapi anak-anak ILA2 gak kalah kerasnya. Sekali diusir, tetap tidak mau. Tiga kali diusir? Ya, mau. Daripada benzol? Tapi hari itu anak-anak nekad gak mau dipindahkan ke kelas bekas gudang. Bukan karena kelas pengganti itu lebih sempit, bukan pula karena kelas pengganti itu tetanggaan sama rumah penduduk yang acap menyetel lagu dang-dut keras-keras saat jam pelajaran. Tapi lebih dari itu, banyak nilai-nilai yang terenggut dengan adanya pembongkaran kelas yang lama. Nilai yang tak bisa terbeli. Tak bisa diganti.
Dan itulah, kenapa anak-anak sekarang mengadakan aksi unjuk rasa. Meski kelas udah dibongkar, mereka gak mau beranjak pindah. Padahal bangku-bangku kelas semalam udah dipindah-pindahin sama penjaga, tapi ajaibnya pagi-pagi udah ngungsi lagi ke tempat semula. Lengkap dengan anak-anak yang duduk di atasnya.
“Malah asyik, serasa belajar di universitas Terbuka!" ujar Lupus
“Iya, dari sini kita bisa lebih leluasa ngecengin cewek yang berolahraga!" tambali Gito.
“Dan kita-kita juga bisa lebih gampang mensuplai cemilan-cemilan dari kantin. Tinggal tereak aja!" ungkap Meta, Ita, dan Utari.
Dan hasilnya? Semaleman Buim terpaksa harus dikerok pake tutup botol karena masuk angin.
Pun penjaga sekolah yang semaleman lembur mindah-mindahkan bangku, sempat terecnung ketika pagi itu dia melihat bangku-bangkunya sudah kembali ke tempat asal. "Mamah pan lihat sendiri semalem Papah kerja ngangkutin bangku?'' ujar Pak Penjaga kepada istrinya, sambil memandang dari jendela rumah mereka ke arah kelas Lupus. Rumah mereka memang masih di dalam pekarangan sekolah.
Ketika sang istri mengangguk, sambil tetap sibuk nyuapin anak semata wayang mereka yang baru berumur dua taon. Si bapak langsung nyamber,'"Lantas kenapa bangku-bangku itu bisa balik lagi? Apa Papah salah mindahin?"
"Pah, ingat pepatah 'Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah'. Mungkin waktu mindahin Papah kurang pelihara kaki?"
“Mungkin juga, Mah," kata sang Papah sambil meletakkan pantat di bale-bale.
“Eh, Pah, liat tuh Pak Kepsek dengan serombongan ajudannya seperti ingin menghampiri anak-anak.
"Wah, bisa gawat nih. Mah, sebaiknya kamu beres-beres barang berharga kita. Jaga-jaga kalau terjadi revolusi."
"Barang berharga yang mana, Pah."
"Itu lho, pukulan bel. Kalo barang itu sampai ilang, kan repot. Barang itu kan selama menyangga periuk nasi kita, Mah."
Sementara Kepsek Cs berjalan penuh wibawa di pihak oposisi rada kebat-kebit.
"Wah, wah, kita-kita bisa kena skors nih!" ujar Lupus cemas.
"Gak pa-pa, Pus. Asal dikasih pesangon," Anto cuek.
Gusur yang selalu menaruh simpati pada anak-anak kelas Lupus, segera beringsut mendekati bangku Lupus.
'Tenang, Pus. Jangan gelisah. Daku telah menyiapkan sajak untuk membantu demonstrasi lagi. Boleh daku bacakan sekarang?"
"Enggak!" bentak Gito dan Anto serentak.
Gusur langsung mingkem. Lupus jadi iba.
"Sajak kamu memang lebih bagus kalo dibacakan dalam hati, Sur!" kata Lupus menghibur.
Anak-anak pada diem. Meski begitu, muncul juga tulisan-tulisan bernada protes yang ditujukan pada penguasa sekolah itu. Ada yang ditulis atas kertas karton, ada yang dibentangkan pada selembar kain.
Anak-anak...," kata Pak Kepsek, "kami siap mendengar keluhan kalian semua."
Anto langsung berdiri.
“Eee, saya dari tadi pagi belum sarapan. Itulah keluhaan yang saya rasakan saat ini," teriak Anto.
“Kalo ikke kuatir pingsan, Pak. Abis di sini panas beeng sih," lontar Fifi Alone sambil kipas-kipas pake pinsil (idih, mana terasa!).
Hei, hei!!" sela Lupus. "Bukan itu yang dimaksudkan Bapak Kepsek. Beliau siap menerima keluhan kita semua akibat bongkar paksanya kelas kita itu. Bukan begitu, Pak?"
"Bukan... eh, iya. Iya betul. Tapi kami lebih senag kalo kalian mengirim utusan atau wakil untuk bertatap muka sambil minum cendol dengan kami," tawar Kepsek.
“Kalo gitu saya aja deh," sergah Aji.
“Ah, saya aja, Pus," protes Gito. "Kan lumayan minum cendol siang-siang begini."
“Nggak, saya. Saya. Saya!" anak-anak kontan berebutan untuk menjadi utusan.
“Udah. Jangan pada berisik. Katanya kita anti ribut. Kok pada berteriak-teriak begitu?" komentar Nyit-nyit yang sedari tadi diam.
“Kalian bisa mengirim utusan, orang-orang yang bisa kalian percaya dan bertanggung jawab. Jangan mengirim orang sembarangan untuk berdialog dengan kami pada masalah yang sangat penting seperti ini."
Anak-anak kembali diam. Sementara poster-poster bernada protes pun sudah berubah fungsi
Ada yang buat kipaskipas, atau jadi alas untuk duduk.
Akhirnya mereka sepakat untuk menugaskan Lupus, Fifi Alone, Meta, dan Gito sebagai wakil untuk menuju forum dialog. Temen-temen yang lain gak lupa memberi spirit serta doa secukunya.
"Mudah-mudahan permisi kita berhasil Pus," bisik Fifi Alone ketika berjalan menuju kantor Kepsek.
"Petisi, Fi, maksud lo?" ujar Gito.
"Iya, persetan."
Anak-anak di luar pun harap-harap cem-ceman dance, eh, harap-harap cemas.
Dan tepat pukui sepuluh, forum dialog dibuka. Di pihak Kepsek selain ditemani wakilnya, juga ditemani beberapa orang guru yang diduga setia setiap saat. (Deodorant, 'kali!)
"Kami bersama teman-teman yang lain merasa keberatan kalo kelas kami dipindahkan ke ruang pojok bekas gudang itu, Pak. Satu,” Lupus memulai membacakan tuntutannya
"Kedua, kami menuntut gami rugi yang sesuai.
"Maksudnya, kalo bisa kami dipindahkan ke kelas yang tak jauh berbeda dan kelas sebelumnya.
"Ketiga, kami kecewa dengan dibongkar kelas kami hanya untuk sebuah lapangan parkir.
"Keempat, kenapa pembongkaran itu begitu tiba-tiba.
"Kelima, naik haji bila mamp... Eh, maaf, Pak. Ini buku catatan agama saya kebawa. Ee, yang kelima kami merasa bertenma kasih bisa disempatkan bertemu dengan Bapak.
"Ya, kira-kira seginilah tuntutan yang kami ajukan, Pak. Dan terima kasih atas perhatiannya. Dag!"
Kepsek tercenung sebentar.
“Anak-anak, tuntutan itu kami terima, dengan catatan kalian tetap dipindalikan ke kelas yang baru. Kalian harus sadar bahwa pembongkaran kelas itu tidak semata-mata untuk kepentingan golongan, tapi untuk kepentingan perseorangan , eh, maksud saya untuk kepentingan kita semua.
“Kalian kan tau, sekolah kita belum punya lapangan parkir yang memadai Padahal lapangan parkir itu ternyata penting. Selain untuk parkir, bisa pula menambah devisa, dengan menjual karcis parkir. Bagi siapa saja, motor dan mobil yang mau diparkir, harus membeli karcis.
“Untuk itu kalian harus rela pindah ke ruang pojok sana, demi pembangunan sekolah kita.
"Bagaimana? Setuju? Baiklah, forum dialog kita tutup. Tup!"
Lupus cs gak sempet berbuat banyak, karena Kepsek langsung menyilakan meminum cendol, dan setelah itu pergi meninggalkan ruangan.
***
Ingat peristiwa tadi siang di sekolah, malamnya Lupus gak bisa tidur. Dia merasa alasan Kepsek terlalu dibuat-buat. Tapi apa mau dikata, nasi udah jadi kerak. Gak mungkin kelas yang udah dibongkar dibangun kembali. Tentu bakal mengeluarkan biaya banyak
Tapi ngebayangin belajar dalam gudang? Ih, emangnya ember.
Akibatnya pas pagi hari Lupus bangun kesiangan. Itu juga setelah Lulu yang gedor-gedor pintu kamar pake martil, dan baru bangun setel pintunya ancur.
"Hei, kamu emangnya gak sekolah, ya,” sembur Lulu. "Udah siang, tau!"
'Tau."
"Mandi sana."
"Sana."
"Eee, udah cape ngebangunin malah geledek. Mau ya digetok pake martil biar tidur lagi?”
Lupus diancem gitu mending ngeloyor kamar mandi.
Tapi, "Luluuuu...! Gayungnya kamu umpetin di mana?"
"Hihilii, sekali-sekali dong mandi gak pake gayung. Tapi jangan kuatir, Pus. Di situ udali saya taroin sendok kok. Kan lebih asyik tuh mandi buru-buru pake sendok.
"Hihihi.
"Lebin nikmat. Pus!"
Untungnya pas sampe sekolah anak-anak belum pada masup. Ya, taunya si penjaga sekolah sibuk ngangkutin bangku-bangku dan meja ke kelas baru itu. Abis kalo dipindahin malem-malem, doi kuatir siangnya pada pindah lagi ke atas tanah “sengketa" itu.
Dan ternyata kejadian ini juga menarik perhatian kalangan pers majalah remaja. Salah satunya adalah HAI untuk rubrik "Polah Sekolah". Mas Dharmawan yang keriting, kurus, item, dan (untung) idup itu pagi-pagi udah dateng.
Ia menunggu di gerbang sembari menenteng tustel dan tape recorder yang, entah karena pengen ngirit beli batere, power supply-nya pake aki motor yang dihubungkan ke tempat baterai. Sementara di jaket ijonya yang penuh kantong itu, terselip gulungan rol film, tisu, duit gocapan persediaan buat nelepon (siapa tau keabisan ongkos, jadi bisa minta tolong jemput mobil kantor), notes, dan sisanya selampe dekil yang udah seminggu belum kena sabun cuci.
Dan Fifi Alone tau betul siapa yang datang itu. Pasti mas wartawan! So pasti mo' wawancara ikke! Dan dengan gaya sok akrab, Fifi pun langsung ngajak mojok Mas Dharmawan, Sebelumnya, tentu saja dipesankan minuman dulu. Mas Dharmawan, mendapat sambutan meriah seperti itu, tentu saja girang banget. Apalagi dapat tawaran minum gratis segala, wah-bisa menghemat uang transport. Otaknya segera menghitung-hitung, hihihi-pu!angnya bisa naik patas nih! Maklum aja, kerja wartawan kayak begini, ibarat ayam. Abis, patuk, abis, patuk. Gak sempet mikir nyisain buat besok-besok.
Tapi pikirannya yang ngelantur segera dipupuskan. Dia ingat, ini dalam rangka tugas Gak bisa santai-santaian. Maka seperapat jam kemudian setelah berbasa-basi, mas wartawan itu langsu tancap, "Bagaimana sih dudnk persoalan yang sebenarnya sampai terjadi peristiwa ini?"
"Apa? Bedug? Ya, itu memang termasuk salah satu ikke punya hobi. Mukul bedug. Yang penting kan olahraganya. Lagian artis macam ikke boleh jauh dari masyarakat. Tau sendirilah, semua dari dia. Pendeknya ikke gak mau dicap som-som. Makanya pukul bedug pun ikke layanin. Dan ikke gak perlu takut dibilang punya selera rendah. Tau kan Merias Kukus? Itu aktor kita yang baru merebut Citra. Konon kabarnya dia orang yang sederhana. Suka jajan di warteg-warteg. Nah, ikke mau tuh yang kayak gitu. Tapi bukan berarti ikke gak punya duit. Kalo sekadar duit sih, di bank-bank orang udah banyak simpan. Ya, kan? kan?"
Mas Dharmawan bengong.
"Tapi, Dik. maksud saya soal demonstrasi itu..."
"Ooo... soal konsentrasi sih ikke emang paling jago. Bagitu kamera tike, yang ikke pikirin cuma satu: peran ikke. Ikke harus masuk ke ikke punya peran. Soal panasnya lampu, atau orang-orang yang nonton di lokasi syuting, itu sih kecil. Gak bakal deh ngerusak ikke punya kontrasepsi."
"Kontrasepsi?"
"Iya, Mas. Konfrontasi. Maaf deh, artis profesional memang kadang-kadang gitu. Lupa pada hal-hal yang kecil... apa tadi? Konfirmasi? Ya, betul, konsekuensi."
Sambil garuk-garuk rambutnya yang rada-rada keriting, mas wartawan tadi melanjutkan pertanyaannya. "Begini saja, apa benar demonstrasi itu disebabkan oleh citra guru yang kurang membaik di mata siswa?"
“Betul, Mas! Betul itu. Mas tau aja. Memang di FFI mendatang ikke punya niat bikin kejutan. Biar semua orang tau, ikke bukan artis kacangan. Memangnya Muchsin doang yang bisa merebut Citra? Eh, maaf, keseleo. Siapa itu yang kemarin nyabet gelar best Actress?”
''Cliristine Hakim, maksudnya?"
"Seratus buat Mas. Memang dia yang ikke maksud, Sutan Takdir Alyahbina. Sebagai sesama artis, ikke solider sama dia. Permainannya di film Depan Bisa, Belakang Bisa sungguh menakjubkan."
“Gawat, Nona. Sutan Takdir Alisjahbana bukan bintang film. Dia sastrawan kita. Penulis buku Grota Azura, Dian Yang Tak Kunjung Padaam...”
Fifi Alone terecnung sejenak. Lalu berkata serius, "Kalo gitu kecurigaan saya benar. Dia pasti seorang sastrawan!"
***
Gak lama kemudian kelas baru itu pun sudah diisi anak-anak ILA2. Tapi gak semua, masih ada yang nongkrong di kantin atau duduk-duduk di bawah pohon akasia.
Hari itu guru yang kali pertama masuk adalah Mr. Punk. Dia termasuk guru yang memiliki solidaritas tinggi. Buktinya begitu masup, lansung menceritakan rumus-rumus fisika.
Hihihi.
Anak-anak kontan gak siap. Mr. Punk sadar kalo semangat belajar anak-anak belon pulih benar. Gantinya, Mr. Punk mengajak anak-anak berdiskusi-ria.
“Zaya biza merazakan perazaan kalian zemua. Tapi ingat, Anak-anak, zezuatu yang kalian amat cintai belum tentu biza kita miliki abadi. Zekarang ini, lebih baik nikmati yang ada. Kita nikmati kelaz ini zebagai zezuatu yang luar biaza.
"Zaya pikir kalo kalian mau, kita juga biza mengecat dinding kelaz ini. Kita hiaz agar lebih indah daripada kelaz terdahulu
"Gimana, Anak-anak? Zaya pikir daripa kalian ingat-ingat maza lalu yang tak bakal kembali, lebih baik kita bangkitkan zemangat kita untuk membangun zuazana baru."
"Ee, sebenarnya niat seperti itu udah ada dalam benak kita semua, Pak. Kita-kita udah ngerencanain sampe kemungkinan yang paling kecil,” celetuk Lupus. "Tapi yang masih kami pikirin kenapa kok Pak Kepsek dalam melakukan sesuatu tidak pakai master plan yang bener. Tidak pake perencanaan jangka panjang."
"Beiiar itu, Puz, Bapak zecara pribadi juga menyezali zikap Kepzek yang bekerja tanpa perencanaan. Tapi zudahlah, itu kita lupakan aza. Lebih baik kita bizarakan zoal lain aza. Eh, zepertinya kurzi kelaz kita ini belum terizi zemua, ya?"
"Iya, Pak. Fifi Alone lagi asyik diwawancara wartawan buletin mesjid di kantin. Terus Boim, kalo Boim saya gak tau, Pak," kata Anto.
"Boim? Saya tadi ngeliat Boim di... masih duduk di bangkunya di atas puing-puing, Pak." kta Utari.
"Ya, Pak. Saya juga liat. Mungkin dia masih belon bisa ngelupain semua kenangan itu 'kali, Pak."
"Coba kaubujuk anak itu, Puz. Zuruh dia mazuk, jangan biarkan dia zendirian di zana merenungi zemua itu. Kazihan," kata Mr. Punk.
Lupus dan beberapa temannya pun ke luar untuk menghampiri Boim yang masih setia nongkrong di atas "tanah kenangan" itu.
"Im, sudahlah, Im. Lupain aja semuanya," bujuk Lupus.
Boim diam.
"Kita-kita tau perasaan kamu, Im. Kita-kita juga merasakan. Tapi kan kita udah dapet gantinya. Ya, meskipun kelas itu rada kecil, rada sumpek, rada bau en dekil kayak kamu. Tapi nanti kan bisa kita bagusin. Kita cat lagi.
“Yuk, Im, kita masup. Anak-anak udah nunguin."
Boim tak bergeming.
Anak-anak yang lain menatap haru pada kesetiaan Boim. Gak nyangka, jelek-jelek tu anak bisa setia juga.
"Im, ayo, Im. Jangan menambah duka di hati,” Meta, Ita, Utari ikut-ikut membujuk.
Boim menatap mereka satu per satu. Lalu berujar pelan,
"Saya harus tetap duduk di bangku ini, Teman-teman yang baik. Kalian kan tau, saya lagi ngincer anak kelas satu yang masuk siang. Waktu itu saya kirim surat lewat bangku ini. Dan anak itu janji bakal ngebales surat saya. Dia mau naro suratnya di laci meja saya. Makanya saya harus tetap, menunggu dan bertahan di sini. Kan sayang kalo sampai saya tinggal...."
Anak-anak pada melongo.
7. WORO-WORO MALIOBORO
TUIT, TUIT, TUIT...!
"Perhatian, perhatian! Para penumpang kereta api tut, tut, tut, siapa hendak turut eh, maksud kita penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogyakarta harap segera kumpul di atas kereta api! Ingat, jangan sekali-kali kumpul di atas gerobak sampah, ya, nanti katut!"
Dan segera para penumpang yang menyemut di pintu berbondong-bondong pada masuk stasiun.
"Hei, Boim mana, Pus?" tanya Anto sambil repot menggeret-geret tas kopernya.
"Tau. Katanya mau beli Akua."
"Sudahlah," tukas Gusur yang gak kalah repot menyunggi sejumlah tas plastik dan menenteng rantang susun. "Boim sejak dulu, sejak zaman belum enak, senantiasa bikin susah!"
"Hoiii...!" terdengar suara orang berteriak.
"Tuh, Boim."
"Tungguuu!"
"Ke mana aja sih, lo!"
"Eh, gue dapet cewek! Wah, kece banget. Dan dia juga mo ke Yogya, Pus."
"Kau ini hanya cewek yang diurus. Tak tau bahwa kereta sesaat lagi berangkat?"
"Sori, Sur. Lagi kalo dapet, lo kan selalu gue sisain..."
Mereka kemudian masuk ke dalam stasiun. O, ya, Lupus, Gusur, Boim, dan Anto ceritanya pada mo' ngisi liburan muter-muterin Yogya. Karena Anto ngakunya punya teman di sana.
"Jadi jangan kuatir deh, soal makan, tidur, en jalan-jalan gratis!" kecap Anto. "Lo-lo gak perlu ngeluarin duit banyak. Cukup transport pulang pergi saja ama sedikit duit buat beli oleh-oleh," promosi Anto.
"Bener ya, Nto. Soalnya gue emang gak punya duit sepeser pun. Buat beli karcis ini saja emak gue bela-belain ngegadein gigi emasnya," kata Boim.
"Apalagi daku. Engkongku, untuk mencari dana untukku, terpaksa menyebarkan edaran sumbangan dari rumah ke rumah," kara Gusur.
"Perhatian-perhatian!" terdengar ujaran dari pengeras suara lagi.
"Eh, cepetan. Kita udah dipangil-pangil, tuh," tukas Anto.
"Hei, perhatian! Jangan pada ngobrol, dong. Kita kan mo' ngasih pengumuman, nih! Perhatian dong, eh, perhatiin dong!"
Kontan penumpang khidmat, berdiri rapi, kayak upacara hari Senin, mendengarkan suara dari halo-haloan itu.
"Perhatian, ya! Bagi para penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogyakarta harap kumpul di Cirebon eh, maksud kita kumpul di jalur empat! .
"Tapi karena ada kesalahan teknis, kayak tipi, sampe saat ini kereta apinya belon bisa nongol!"
"Huuuu...!” Para calon penumpang, termasuk Lupus cs, pada teriak-teriak, protes!
"Telat lagi telat lagi!" dumel seorang bapak.
"Lagi-lagi telat-telat," timpal orang di sebelahnya.
"Lagi telat lagi telat," kata orang di belakang orang yang di sebelahnya bapak itu.
"Masa kereta api gak bisa nepati waktu, sih," umpat calon penumpang asal Tegal.
"Piye iki, kulo wis kangen karo Simbok!" teriak Mas asal Gunung Kidul.
"Perhatian, perhatian! Semua penumpang diharap tenang! Karena kereta api itu rodanya kempes dan sekarang lagi ditambel di bengkel las! Jadinya para penumpang punya waktu satu jam untuk menunggu. Nah, pergunakanlah waktu itu sebaik-baiknya. Dengan membaca, misalnya!"
"Huuu, kagak lucu...!"
"Eh, mending kita cari cewek yang tadi, yuk," usul Boim.
"Yuk," saut Lupus.
"Tapi..."
"Udahlah, Sur, daripada bengong di sini!" kata Anto.
"Eit, perhatian, perhatian! Jangan pada jauh-jauh, dong. Kereta apinya kali aja nongol.
"O, ya, para penumpang harap hati-hati ya menjaga barangnya masing-masing, sebab kalo ada yang ilang kita gak jamin jackson eh, itu kan Jermaine Jackson, ya? Maksudnya kalo kenapa-kenapa kita gak jamin gitu!"
Gak lama memang kereta api yang ditunggu-tunggu itu benar-benar nongol. Tapi masih terseok-seok jalannya.
"Ya, gak jadi nyari cewek, deh." Boim lesu.
"Hei, Nto, kita naik gerbong yang mana?" tanya Gusur heran demi melihat rangkaian gerbong yang panjang itu.
"Gerbong satu!"
"Eh, mendingan kita naik gerbong yang banyak ceweknya aja, Nto," usul Boim.
Ketika kereta benar-benar telah berhenti para penumpang segera berloncatan ke atasnya dan buru-buru mencari tempat duduk masing-masing.
Lupus cs pun bingung mencari-cari empat duduk di atas gerbong.
"Mana sih gerbong satu? Pus, mending kita tanya aja, deh."
Kebetulan ada seorang petugas di situ. Lupus segera menghampiri.
"Permisi, Pak, numpang tanya. Kalo gerbong satu itu di sebelah mana, ya?" tanya Lupus sopan.
"Gerbong satu? O, dari sini adik luruus saja. Jangan belok-belok. Gak jauh, kok. Ya, kira-kira lima ratus meterlah dari sini."
"Hm, makasih, Pak."
"Eh, inget, Dik, luruus saja...."
Hihihi, emangnya ada kereta api yang kagak lurus, Pak? Lupus cs kemudian menyusuri gerbong demi gerbong dan karena gak puas dengan jawabannya tadi mereka terus nanya-nanya. Sampe dikira tukang asongan.
"Eh, Dik, Dik," Lupus ditegur ibu-ibu, "anu, monyet-monyetannya itu dijual, ya?" sambil menunjuk Boim.
"Oh iya, Bu, dijual!" tukas Lupus cepat sambil menyorongkan Boim. Boim kebingungan. "Tapi ini bukan monyet-monyetan, Bu."
"Lalu apa, Dik?"
"Monyet betul!"
Hihihi.
Sementara pedagang asongan betulan yang ada malah menyusahkan gerak mereka berempat dalam mencari tempat duduk. Lihat saja abang tukang rokok itu, yang menjajakan rokoknya sambil berjalan berputar-putar ala peragawan Ibukota.
"Ayo, Bapak-bapak, oleh-oleh buat mertua galak! Ayo siapa lagi!" teriak penjaja kue lemper yang gak kalah lincah. "Kalo gak enak tinggal timpuk! Ya, siapa lagi!"
Dan Gusur dan Boim bener-bener kena timpuk!
"Nah, kayak gitu nimpuknya, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Gampang, kan?"
Ya, setelah melewati banyak cobaan akhirnya Lupus cs nemu juga tempat duduknya di gerbong satu.
"Perhatian, perhatian! Para penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogya sudah naik semua apa belum? Kalo udah, keretanya siap berangkat, nih!
"O, ya, kita semua atas nama panitia mengucapkan selamat jalan buat para penumpang semua dan sampe ketemu lagi dalam acara dan tempat yang sama. Bye!"
Tuit, tuit, tuit... glek!
"Perhatian, perhatian! Para penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogyakarta kota mohon maap, ya? Anu, peluit kita ketelen!"
Hihihi.
***
Kereta bergerak pelan meninggalkan stasiun dengan meninggalkan asap yang mengepul dan petugas yang di-gedik-gedik tengkuknya karena nelen peluit!
Sementara di dalam kereta semua penumpang sudah asyik dengan bermacam aktivitas yang mengasyikkan. Ada yang baca-baca, nyulam, nyuci, ngupi, ngetik, ngerumpi, nyetrika, mandi, ngejemur pakaian, gosok gigi, main tak lari, ngemil!
Sedang semenjak disodorin bantal oleh pramugara kereta, Gusur langsung ngorok. Anto asyik berdiri di gandengan dan loncat-loncatan. Boim?
Playboy tengik itu masih penasaran pengen ketemu cewek incerannya tadi.
"Iya, Pus, .daripada iseng mendingan kita cari cewek yang tadi," rayu Boim sambil memijit-mijit ujung jempol Lupus.
"Kece, gak?"
"Kece! Rambutnya panjang dan ada lengsung pipitnya lagi."
"Di rambut?"
"Di jidat! Ya, di pipi, dong."
"0, kirain di tenggorokkan."
Sedetik kemudian Lupus sudah mengikuti Boim.
"Kira-kira dia ada di gerbong berapa?" tanya Lupus.
"Wah, gue kurang tau, Pus. Tapi sebaiknya kita selusuri aja semua gerbong. Pasti ketemu!"
"Eh, kita kan udah sampe gerbong paling buncit, Im."
"Sabar, Pus." Boim terus celingak-celinguk. "Hei, itu dia!" Boim menghampiri seseorang cewek yang duduk di kursi pojok.
Lupus ngintilin Boim nyamperin cewek berambut panjang itu. Dia lagi asyik baca majalah.
"Wah, ketemu lagi, nih," sapa Boim ramah.
Cewek itu kaget menatap Boim. Lalu ke Lupus juga. Diratapi begitu, kedua cowok itu langsung pasang senyum.
"Ini temen saya," promosi Boim. "Saya cari ke mana-mana gak taunya di sini...."
"Kamu masih kurang, ya?" Tiba-tiba cewek itu berdiri dan menunjuk idung Boim. "Masa cuma ngangkat satu tas koper aja gak mau dibayar seribu, sih? Nih, kalo kurang. Pake bawa temen segala lagi. Emangnya saya takut!"
Kemudian tu cewek mengorek isi tasnya dan mengangsurkan lima ratusan leceknya ke tangan Boim.
Lupus melongo. Boim terkejut.
Lupus segera menarik lengan Boim pergi dari situ.
"Im, jadi lo tadi ngangkatin kopernya dia, ya?" bisik Lupus Kesel.
Boim mengangguk lemah. "Buat nambah-nambah uang saku, Pus."
"Huh, malu-maluin aja!" omel Lupus merampas duit lima ratusan dari tangan Boim.
"Hei... duit gue, Pus!"
" Bagi duda!"
***
Bersamaan munculnya mentari Yogya di pagi yang cerah, keempat anak itu muncul dari mulut Stasiun Tugu Yogya. Mereka disambut para abang becak yang berseragam jaket ijo dan berbaris rapi.
"Becak, Den," sapa mereka ramah.
"Nggak, Mas," jawab Anto.
Udara pagi Yogya begitu cerah. Kendaraan memang belum banyak lalu-lalang. Kebanyakan hanya ada andong dan becak saja. Di ujung Jalan Malioboro mbok-mbok bakul repot membenahi sisa dagangan bekas tadi malam. Masih sepi. Selain itu, belum nampak gadis-gadis Yogya yang sejak dari Jakarta bakal diincer Boim.
"Katanya di sini banyak ceweknya, Nto?" Boim memang ngebet banget dengan cewek Yogya sejak Anto cerita kalo di Jalan Malioboro tuh ceweknya ayu-ayu.
"Masih pagi. Belon pada keluar, Im."
"Boim hanya cewek yang ada dalam benaknya. Tak terpikirkan bahwa kita belum sarapan sejak pagi?" umpat Gusur. Rantang susun Gusur emang udah ludes.
"Ayolah, Nto, kita langsung ke rumah temenmu saja. Kita makan di sana."
"Nggak enak, Sur, masih pagi kan."
Sesampe di depan Kantor pos besar, mereka duduk-duduk melepas lelah. Sambil ngecengin anak-anak Yogya yang bersepeda-ria hilir-mudik di perempatan jalan yang memang cukup rame itu.
"Eh, ngomong-ngomong rumah temen lo jauh gak dari sini?" tanya Lupus.
"Deket. Dari sini kalo jalan paling cuma
setengah jam, Pus."
"Mending ke sana sekarang, yuk. Gue juga udah lapar, nih."
"Siang-siangan dikit, deh, Pus."
"Emangnya kenapa sih?"
"Gak pa-pa, sih, cuma kan nggak enak bertamu pagi-pagi. "
"Katanya dia temen baek sama lo. Eh, dia
temen lo waktu SMP atau bekas retangga lo yang pindah ke sini ?"
"O, bukan! Bukan temen SMP dan juga bukan bekas terangga gue, PUS."
"Jadi temen dari mana?”
"Dulu waktu gue kelas dua SD gue kan ikutan tur dari kampung gue. Nah, pas gue lagi jalan-jalan di Malioboro gue kenalan ama tu anak. Namanya Nyengin! Wah, anaknya baek banger, Pus. Gue dianter ke mana-mana."
"K-Kelas dua SD?"
"Iya. Gue masih inger banget!"
"J-Jadi udah sembilan tahun?"
"Iya. "
"Gila! Apa dia masih inget sama lo?"
"Gue yakin masih."
"Wah, bahaya nih. Kalo gitu kita sekarang langsung ke sana!"
Mereka segera bergegas menyusuri Jalan Ahmad Dahlan. Di perempatan belok Kanan. Terus dekat gapura belok kiri. Anto ternyata mempunyai daya inget yang kuat. Meski begitu Lupus tetap kuatir.
"Rumahnya yang mana, Nto?"
"Cari nomor 17!"
Lupus mencari-cari bangunan yang bernomor tujuh belas dibantu Boim dan Gusur.
"Naaa, ini dia!" teriak mereka. "Assalamualaikum, assalamualaikum. Nyeng, eh, siapa namanya, Nto?"
"Nyengin!"
"Nyengin... Nyengin...!"
Dari dalam muncul ibu gemuk. Dia heran melihat anak-anak teriak-teriak.
"Nggoleki sapa?"
"Anu, Bu, kita-kita temennya Nyengin!" jawab Anto.
"Iya, Bu," tambah Lupus. "Kami dari Jakarta. Baru saja sampe, Bu."
"Dari Jakarta? Nyari siapa? Unyeng-unyeng?"
"Namanya Nyengin, Bu," Anto meyakinkan.
"Nyengin..." Ibli itu berusaha mengingat-ingat. "O, Nyengin putrane Pak Enjum! Wah, mereka sudah pindah, Dik. Kalo ndak salah mereka pindah ke Wates, gitu."
"P-Pindahnya udah lama, Bu?" Anto bener-bener gak nyangka.
"Kira-kira dua tahun yang lalu-lah."
Lupus langsung nggak bisa ngomong apa-apa. Sementara Anto mulai gak enak sama anak-anak. Karena selain Nyengin, ternyata Anto gak punya kenalan lagi. Tambahan Gusur terus merengek-rengek minta makan.
"Daku lapar, Pus," rengek Gusur.
"Gue juga, nih," tambah Boim.
"Lo kira gue gak lapar?!" maki Lupus, "Dan apa lo pikir gue punya duit lebih?"
"Jadi gimana, dong?" Gusur terus merengek-rengek.
"Cari warteg!" tukas Lupus. "Soal pulang gampang. Karena perut lebih penting daripada pulang. Kita kan bisa jalan kaki, kalo kuat."
Matahari Yogya yang mulai membakar jalan-jalan beraspal tentu membuat anak-anak itu kian lelah saja. Sesampai di Malioboro mereka menemukan penjaja nasi gudeg di pinggir jalan. Tapi gak langsung pesen. Karena Lupus menawarkan langsung pulang ke Jakarta aja.
"Tapi, Pus," Anto yang dari tadi diem kini mulai buka mulut lagi, "si Nyengin itu katanya sering banget jalan di Malioboro ini. Dia juga punya kenalan yang jualan dompet dan sendal kulit di sini, Pus."
"Terus?"
"Kali-kali aja kalo kita bikin pengumuman dia bisa tau kalo kita ada di sini."
"Pengumuman ?"
"Iya, semacam woro-woro, gitu. Kita tulis di atas kertas karton, terus kita pasang di pinggir jalan, Pus. Di sini kan banyak orang lewat. Misalnya dia gak baca ya, kali-kali aja ada yang kenal ama kita dan berbaik hati mengajak makan serta nginap barang beberapa hari...."
"Ya, terserah."
Anto selanjutnya masuk toko buku untuk beli kertas karton dan spidol besar. Di bantu Gusur dan Boim, Anto menyelesaikan woro-woro itu. Menarik memang. Apalagi Gusur memberi ilustrasi seorang anak muda menenteng rantang sambil berjalan sendirian dan sebaris kata bertuliskan: Jangan biarkan mereka kelaparan!
Woro-woro dipasang di pinggir jalan pas di depan supermarket yang rame pengunjung. Hasilnya lumayan. Banyak yang mengerumuni woro-woro tersebut.
“Woro-woro Malioboro.
Sodara en Sodari ingin mendapat pahala tambahan?
Mudah. Ajaklah anak-anak manis di samping pengumuman ini nginep beberapa hari dan makan ala kadarnya. Nggak bakal menyesal. Selain anak ini baik-baik, mereka juga manis-manis. Terutama untuk Sodara yang bernama Nyengin. Ayo! Kamu hams bertanggung jawab menampung kami!
Salam manis,
Lupus –cs”
Hasilnya emang ampuh. Seorang gadis manis berambut panjang tersenyum manis pada mereka.
"Aduh, kaciaan. Imigran gelap, ya? Di rumah saya aja, yuk? Kebetulan pembantu lagi pada pulang."
Nama gadis itu Lia...
8. SALI KHA
PAGI yang cerah.
Salikha berjalan-jalan melenggak-lenggok di gang sempit rumahnya. Cukup lincah ia menapakkan kakinya di jalan yang becek itu. Maklum, musim hujan. Jadinya kalo gak ati-ati bisa kepeleset. Kampung tempat tinggal Salikha emang padet. Sering cuma diuruk pake ancuran batu bata aja kalo hujan dateng.
Tapi aktivis para penghuninya dinamis sekali!
Tengok aja. Masih pagi penuh embun begitu para ibu sudah keluar rumah. Ada yang langsung SKJ (Senam kesegaran Jas-ujan eh, Jasmani!), ada yang nimba aer, ada yang ngeluarin ayam serta bebek peliaraan, ada yang nganterin anaknya ke sekolah, ada juga, ya, termasuk gadis-gadisnya ngerumpi di MCK sambil nyuci bareng!
Ada juga sih yang langsung nyetop tukang ketan buat sarapan. Seperti Mpok Uti.
Wow, namun ada yang lebih lain daripada yang lain. Liat Bu Indun! Masih pagi ia udah dandan menor banget. Tentu saja para ibu, apalagi yang nyuci, jadi pada konsen!
"Wah, wah, Bu Indun pagi-pagi kok udah rapih, sih," tegor Mpok Uti yang asyik milih-milih ketan.
"Kan mo' arisan," jawab Bu Indun sambil membenarkan kondenya yang berukuran XL itu.
"Arisan bukannya ntar siang?" tukas Mpok Uti.
"Lho, apa salahnya kalo siap dari sekarang ? Inget dong kata pepatah, 'Lebih cepat itu lebih baik'. Kan gak enak kalo terlambat. Mpok Uti nggak tau sih bahwa arisan yang saya ikutin itu arisan tingkat tinggi."
"Tingkat tinggi? Arisan sama-sama ibu-ibu pejabat?"
"Bukan! Bukan sama ibu-ibu pejabat, tapi arisannya di lantai atas gedung pertemuan. Namanya aja arisan tingkat tinggi...."
"Hihihi, Bu, Bu Indun ada-ada aja."
Namun tiba-tiba obrolan terhenti. Juga aktivitas yang lain. Tak terdengar kecipak air, tak ada suara tangan menggilas.
"Eh, eh, itu kan si Lika," bisik seorang gadis yang rambutnya digelung handuk.
"Tambah cakep aja, ya ?" bisik yang lainnya.
Salikha yang muncul dari mulut gang diliatin begitu segera saja melempar senyum manisnya.
"Mo' ke mana pagi-pagi begini, Neng?" sapa Mpok Uti terpana.
"Kerja, Mpok."
"Kerja? Kerja di mana, Neng?"
"Di Department Store."
"Wah, hebat ente. Dapat beras juga, dong?"
"Ah, nggak, Mpok!"
"Lho, lakinya Ati kerja di departemen kok dapet beras? Tau tuh, di departemen apa sih namanya. Aye lupa, tuh. Tapi dia dapet beras tiap bulannya, Neng."
Hihihi, ada-ada saja Mpok Uti. Ya, lain dong. Kalo yang dapet beras itu departemen pemerintah. Kalo Department Store kan punya swasta. Beberapa ibu yang pada nyuci di situ jadi pada ngikik. Sementara Salikha senyum-senyum saja.
"Sogo, ya? Kerja di Sogo?"
"Ah, bukan, Mpok. Masa gadis kayak saya bisa keterima di Sogo?"
"Nyak, nyak, nyak...!"
Wah, tukang minyak ini bikin kaget aja. "Ayo siapa beli minyak tanah, mumpung masih pagi, masih anget. Gimana, Bu Indun? Tertarik dengan tawaran saya?"
"Nggak ah!”
"Lho, kemaren kan udah gak ngisi?"
"Saya udah gak pake minyak lagi, Bang."
"Lho, jadi kalo masak pake apa, Bu?"
"Saya udah nemuin bahan bakar baru."
"Bahan bakar baru?" Abang tukang minyak itu penasaran.
"Iya, campuran dari sampah plastik yang diadon kemudian saya campur dengan rempah-rempah.”
"Ah, yang bener? Trus hasilnya itu jadi minyak?" samber Mpok Uti tertarik.
"Boro-boro. "
"Terus jadi apa?" tukang minyak makin penasaran.
"Ya, jadi sampah lagi!" .
Tukang minyak itu pun ngeloyor pergi dengan sebel. Meninggalkan kerumunan para ibu yang tertawa terkekeh-kekeh.
"Bu," kata Salikha lagi masih geli, "saya permisi dulu, ya."
"Eh, iya, Neng. Mari, Neng. Ati-ati kalo naek bis cari yang kosong!" pesen Bu Indun.
"Iya, Neng, kalo mau cari bis yang kosong, cari aja bis yang lagi mogok! Dijamin nggak desak-desakan," timpal Mpok Uti.
Hihihi, para ibu kembali ngikik.
Salikha memang ramah. Hampir semua penghuni kampung itu kenal dia. Apalagi wajahnya lumayan kece. Idungnya lancip, kayak penggarisan segitiga.
Seperti tadi itu. Ia masih menyempatkan diri meladeni ibu-ibu yang mencegatnya. Padahal hari udah mulai siang. Salikha juga masih menyempatkan membalas sapaan para bapak, para anak, atau para pemuda yang kebetulan berpapasan.
Eh, ternyata tidak semua diladeni, ding.
Waktu Salikha melewati warung Mpok Inah, ada sapaan hangat untuknya. "Halo Lika. Sendirian aja nih."
Salikha cuek.
"Boleh Abang anter?"
Salikha malah mempercepat langkahnya.
Salikha emang sejak dulu gak demen ama Kodir.. Walau tiap pagi Kodir setia nungguin Salikha lewat. Dan yang bikin gondok Lika, justru sapaan Kodir itu. Dari dulu begitu-gitu terus. Gak ganti-ganti.
Tentu Salikha jenuh.
Kodir emang kuper. Bayangin aja, hampir setahun lebih Kodir selalu menyapa, "Halo, Lika. Sendirian aja, nih. Boleh Abang anter?" Dan Kodir tetap terus menyapa begitu biar Salikha jalan berdua dengan ibu atau adiknya. "Halo, Lika. Sendirian aja, nih."
Itu masih mending. Suatu pagi Lika pernah bareng sama serombongan ibu-ibu yang pada mo kondangan. Salikha berharap sapaan Kodir berubah. Tapi ternyata...
"Sendirian aja, nih. Halo, Lika."
Ya ampun, cuma dibalik!
***
Sore itu di kawasan pasar Inpres macet total.
Gara-gara sebuah angkutan pinggir kota ngelindes baju-baju dagangan seorang penjual kaki lima. Tentu saja pedagang itu mencak-mencak. Tapi sopir itu merasa gak salah.
"Lagian suruh siapa dagang di tengah jalan!" bantah si sopir yang didukung sang kenek.
"Tapi Abang harusnya bisa ngeliat, dong?" kelit pedagang sambil nunjuk-nunjuk ke dagangannya. "Kalo baju tangan pendek tuh seribu perak eh, maksud gue, kalo Abang tuh mesti tau di sini ada barang dagangan. Jangan maen lindes aja. Gue gak mau tau, Abang harus beli baju-baju yang Abang lindes!"
"Enak aja!" protes sopir. "Apa-apaan lo nyuruh gue beli baju anak-anak kayak gitu. Emangnya gue anak orok?"
Untungnya seorang Banpol yang biasa ngatur arus lalu lintas di situ segera datang mendamaikan.
Salikha yang lagi asyik nunggu bis ngerasa sebel banget ngeliat kejadian itu. Karena bis yang ditunggunya jadi gak nongol-nongol. Barangkali terhadang antrean mobil-mobil yang mulai rame membunyikan klaksonnya masing-masing. Ih, jadi inget malem taun baru....
Salikha masih terus menanti bisnya. Untung mobil-mobil mulai merambat. Tapi keringat mulai menetes dari keningnya yang nongnong. Dia kegerahan. Baju seragam kerjanya emang gak cocok dipake buat suasana kayak gitu. Selain bahannya bikin gerah, warnanya juga norak bin kampungan. Blus dalemnya yang berwarna kuning dibungkus jas pendek ijo dengan garis tipis kecoklat-coklatan. Sementara rok, sebahan dengan jasnya, berwarna merah terang!
Salikha sendiri mokal pake seragam begituan, tapi mo gimana lagi, wong kepaksa.
Untungnya Salikha kulitnya putih, wajahnya bersih, manis, maka gak begitu ketahuan noraknya.
Jadi jangan heran bila beberapa meter dari situ, ada cowok yang merhatiin terus. Salikha tau, tapi pura-pura cuek. Abis tu cowok masih seragam SMA. Pasti lebih muda dari dia. Segen ah, ngeladeni anak kecil.
Eh, tapi kayaknya kemarin dia juga ngeliatin gue, deh, tebak batin Salikha.
Dan kemaren-kemarennya lagi juga kok, Lik. Iya beberapa hari benurut-turut Salikha diliatin terus ama tu cowok. Nggak tau apa tu cowok sengaja ngebela-belain nunggu dia pulang, atau emang kebetulan.
Terus terang Salikha lama-lama jadi suka ngeliat senyum tu cowok yang emang manis. Senyum yang selalu tersungging di wajahnya kalo Salikha kebetulan ngeliat ke arah dia.
Apalagi anaknya cukup rapi, kagak urakan dan kagak Kuper kayak Kodir! Bodinya gede. Pasti dia sering nimba, pikir Salikha yang lantas inget sama sumur di depan rumahnya.
Dan rambutnya... kayak Jason Donovan! Salikha sering liat poster Jason di temp at jualan kaset di Department Store temp at dia kerja.
Kece dong? Lumayan dibanding Kodir.
Tu cowok juga sering bawa map unik bergambar Milli Vanilli yang dijadiin tas. Buku sekolahnya cuma ada beberapa biji.
Yang engesankan Salikha, tu cowok sering ngebantuin nyetop Metromini. Wah, seorang jentelmen sejati, nih, tebak Salikha lagi.
***
Minggu depannya Salikha dapet shift malem. Berangkat kerjanya kagak pagi-pagi lagi. Berarti Salikha terbebas dari sapaan Kodir yang monoton itu. Tapi Salikha juga gak bisa ketemu sama si "Jason" itu. Soalnya Salikha kalo shift malem, masuk kerjanya baru jam tiga sore dan pulangnya jam sembilan malam.
Diam-diam Salikha merasa kehilangan. Gak ada si "Jason" berarti gak ada yang nyetopin Metromini.
"Ah, kenapa kerja pake shift segala sih," gerutu Salikha. "Aturan bisa ketemu ama tu cowok!"
Tapi emang peraturan kerja di Department Store. Gonta-ganti shift. Seminggu pagi, seminggu sore. Kalo dipikir-pikir emang nyusahin kerja dengan sistem shift. Bagi Salikha bukan cuma gak bisa ketemu ama si "Jason", tapi lebih dari itu ia juga tak punya kesempatan mengembangkan potensi dirinya. Secara gak langsung, Department Store tersebut telah memiliki waktu sepenuhnya yang dimiliki Salikha. Artinya Salikha terpaksa mengabdi sebagai pramuniaga yang baik pada Department Store itu. Bayangin aja, kesempatan buat ngasah otaknya lewat kursus atau les lainnya jadi gak ada. Karena gak mungkin Salikha mendapatkan tempat kursus yang jadwal kuliahnya seminggu pagi, seminggu lagi sore.
Salikha jadi sebel banget dengan sistem shift itu. Pernah Salikha kepengen mengembangkan bakatnya yang lain. Kebetulan waktu SMA dulu Salikha pernah juara dalam lomba T ari Kreasi se-Jakarta. Dia emang pingin masuk sanggar. Kali-kali aja bisa jadi penari top. Soal biaya dia udah punya dari gaji yang ia peroleh dari Department Store. Tapi, lagi-lagi, terbentur waktu. Tak ada sanggar yang buka seminggu pagi seminggu lagi sore!
Salikha pernah serba salah. Kalo dia gak kerja, dia butuh duit karena emang bokap-nyokapnya udah pensiun. Tapi kalo terus kerja, sepenuhnya waktu yang dimiliki hanya untuk Department Store.
Barangkali bagi gadis yang gak mau maju, ya tak ada masalah. Tapi bagi Salikha, ini jelas masalah. Pernah dia minta dispensasi agar diberi waktu yang tetap. Misalnya kalo masuk pagi ya, seterusnya pagi. Kalo masuk sore, begitu juga. Tapi kata sang manager, itu menyalahi aturan!
Kini Salikha benar-benar merasa kehilangan. Namun di lain pihak, si cowok itu pun diam-diam nunggu sampe malam. Ada rasa kesal ketika Salikha tak jua muncul.
Ke mana, ya? Cowok itu berusaha mencari ke halte di dekat bioskop. tak ada. Tapi gak mungkin deh dia nunggu bis di sini, raba hati "Jason ".
Atau dia...? Ah, sebodolah!
Ya, akhirnya tu cowok yang ternyata bernama Gito, temen deketnya Lupus, gak terlalu berharap ketemu Salikha lagi. Frustasi barangkali. Dia asyik nongkrong nungguin bis sendirian.
Tapi pas lagi asyik ngitungin jumlah cewek berbaju kuning-ijo yang lewat hari itu di depannya dari jauh, tiba-tiba muncul sosok Salikha. Gito kaget, eee... kok ada lagi?
Tanpa sadar, mungkin karena perasaan rindu yang dipendam, Gito menghampiri Salikha.
"Dari mana aja baru keliatan?"
Sejenak Salikha terbengong. Gito jadi mokal sendiri.
"Eh, maap. Maksud s-saya..."
"Ah, gak dari mana-mana. Kamu sendiri dari mana, udah lama gak nongol?" Salikila yang tadinya gak begitu peduli, karena Salikha nganggep tu cowok anak kecil, jadi mendadak suka. Perasaan suka ini timbul setelah beberapa hari Salikha merasa kehilangan. Gara-gara shift.
"Lho, saya tiap hari ada kok di sini," tukas Gito antusias. "Sekolah saya kan di situ di jalan situ. "
"Ooo, saya juga punya temen..."
"Siapa namanya? Kamu punya temen yang sekolah di SMA Merah Putih juga?"
"Bukan! Dia bukan sekolah di situ. Saya punya temen yang tau kalo di jalan itu ternyata ada sekolahan. "
9. GILA BETUL!
GITO agak gelisah di kursi kelas. Bukan karena hari itu adalah hari pertama di bulan puasa. Kayaknya dia ada janji. Lupus yang duduk di depannya malah lagi asyik surat-suratan ama si Pitak, anak baru pindahan dari Ujung Pandang. Nama sebenernya Fita, tapi Lupus lebih suka memanggil si Pitak. Ya, dia emang suka seenaknya ganti nama orang. Padahal Fita gak pitak, lho. Anaknya malah lucu. Apalagi kalo cerita. Suka ketawa. Dan lebih lucu lagi, suka bawa coklat Toblerone warna putih. Lupus suka dikasih ujung-ujungnya.
Pluk! Segumpal kertas mungil jatuh menimpa kepala Lupus. Lupus membaca:
“Sebel deh, tadi malem waktu sholat tarawih, yang duduk di sebelah gue nyontek melulu!
Fita”
Lupus ngikik sambil melirik ke Pitak. Lalu membalas,
“Ada-ada aja si Pitak.
Eh, ntar malem sholat tarawih bareng, yuk? Terserah elo mau milih yang mana. Al Azhar I, Al Azhar II, atau Al Azhar II I (kayak cinepiex aja, ya?), kita cari materi ceramah yang seru, dan raka'at yang sedikitan. Eh, tapi Nyit-nyit yang duduk di sebelah lo jangan diajak. Dia kalo teriak 'Amiiin' keras banget. Malu-maluin. Lagian enak kok sholat tarawih di sana. Pulangnya suka dapet sendal yang lebih canggih...
Mau, ya?
Lupus”
Si Pitak mengangguk. "Tapi pulang sekolah nanti anterin ke toko buku, ya? Mau cari buku buat referensi tugas paper," desis si Pitak.
Lupus mengangguk.
Kelas nampak lengang. Guru biologi kayaknya lagi males ngajar. Lapar kali. Ia hanya menyuruh Poppi mencatat di papan tulis. Semua anak sibuk mencatat. Semua anak repot menahan kantuk. Ya, soalnya udah cukup siang. Jam setengah satu. Setengah jam lagi bel pulang berdentang. Walau bulan puasa, sekolah memang jalan seperti biasa. "Mengisi puasa dengan belajar itu berpahala," alasan Kepsek.
Tapi setelah jam satu nanti, mereka gak bisa langsung pulang. Karena jam dua siang ada praktikum biologi. Sampai jam tiga. Berarti sepanjang siang ini mereka bakal bosen banget ngecengin guru biologi.
Walah!
Lupus sampe suntuk duduk di bangkunya. "Mana gurunya kalo jalan kayak Donal Bebek lagi!" umpat Lupus melihat Ibu Biologi mondar-mandir meriksain anak-anak yang malas mencatat.
"Heh, bulan puasa batal lo ngatain orang!" tegur Dicky yang duduk di sebelah Lupus.
"Aduh, iya! Saya lupa. Saya harus minta maap sama bebek itu!"
"Hihihi...," Dicky ngikik.
Sementara Gito masih nampak gelisah. Ya, ternyata ia sudah janjian mau nganterin Salikha daftar kursus Inggris. Salikha hanya punya waktu istirahat dari jam dua belas sampe jam satu siang. Jadi waktunya udah mepet banget.
Kemarin, Gito pikir dia bisa kabur pas jam keluar main kedua. Tapi ternyata ada ulangan. Lagian biasanya guru biologi gak sampe abis ngajarnya. Biasanya jam dua belas anak-anak udah diperbolehkan pulang, tapi kali ini udah lewat setengah satu, belon pulang juga. Alasan Ibu, ntar kan ada praktikum. Jadi materi prakteknya diberikan sekarang aja, biar menghemat waktu praktek.
Gito pun nyari akal. Dia bertekad bakal bolos praktikum kalo berhasil kabur.
"Poppi, kamu catat sampai Bab V selesai, ya? Ibu mau ke Kantor sebentar," ucapan Ibu Biologi seperti memberi angin kepada Gito untuk cepat-
cepat melarikan diri. "Dan, Anak-anak, jangan pada ribut, ya?"
Ketika Ibu Biologi melangkah ke luar, Gito buru-buru membenahi bukunya.
"Pus, Pus, gue mo' cabut dulu. Ntar kalo Ibu nyariin, bilangin gue lagi ke WC, ya?" bisik Gito pada Lupus.
"Kalo nggak dicariin, gimana?"
Gito tertegun. Lalu menjitak kepala Lupus sambil buru-buru memasukkan tasnya yang mungil ke balik kemeja.
Ia pun menyelinap ke luar kelas.
"Apakah itu bijaksana, meninggalkan kelas selagi guru ke kantor?" Suara berat di belakangnya cukup bikin langkah kaki Gito terhenti di pimu kelas. Ia menoleh. Guru PMP yang lagi ngajar di kelas sebelah nampak berdiri di depan pintu kelas. Rupanya ia memperhatikan gerak-gerik Gito yang mencurigakan.
"Eh-anu, Pak, s-saya mau ke belakang sebentar," Gito tergagap.
"Sudah izin?" Kini guru sok tau itu melangkah mendekati Gito.
Gito jadi gelisah. Keringat dinginnya menetes dari balik kemeja. Ia takut Ibu Biologi keburu kembali dari Kantor guru.
"S-sudah, Pak. Tadi."
"Hm-" Guru itu kini menatap lekat-lekat pada Gito. Seakan tak percaya. Dia emang paling sebel sama anak-anak yang suka keluar kelas sebelum pelajaran usai. Dia yang sering memergoki anak-anak yang hobi nongkrong di kantin belakang. Gak percuma emang dia jadi guru PMP. Pendidikan Moral Pancasila!
Gito melihat, Ibu Biologi di kejauhan nampak keluar dari Kantor guru. Wah, alamat kacau balau, nih! Gito gelisah. Takut kepergok.
"Ya, pergilah. Tapi cepat kembali ke kelasmu, ya?" Keputusan guru PMP itu dirasakan tepat pada waktunya.
Gito pun tanpa pikir panjang langsung berbalik dan lari ke arah kanan.
"Hei, Gito! Pintu WC kan ke sebelah kiri!" hardik guru PMP.
Gito tak menoleh lagi. Dia pikir yang penting hari ini lepas dari kesulitan.
Dan hampir jam satu ketika ia berdiri di eskalator. Salikha nampak gelisah menunggu di lantai atas, dekat toko kaset. Lagu-lagu Debbie Gibson memberi angin sejuk di siang yang lapar itu.
"Hai, Lika!" Keringat menetes membasahi dahi, ketika Gito sampai di lantai atas. Udara AC yang dingin memberi kesejukan tersendiri buat Gito.
"Aduh, on time, ya?" sambut Lika.
"Sori, Lik. Abis pelajaran penuh sampe jam satu. Ini aja berusaha ngabur!"
"Ngabur? Sayang amat." Lika memandang kasihan pada Gito. Dipandangi begitu, Gito makin salah tingkah. Matanya, alisnya, bibirnya, aduh-Lika, kamu kok cakep amat? Tanpa sadar Gito meneliti setiap bentuk wajah Salikha.
"Tapi ini udah jam satu kurang. Kita gak punya waktu lagi, Git. Udah deh, besok aja saya ke sana sendiri," ujar Lika sambil melirik ke arah jamnya.
"Eh -jangan. Besok saya bawa mobil, deh. Saya anterin kamu."
"Terus kamu bolos lagi?"
Gito mengangguk.
"Jangan, Git. Sayang. Sekolah mahal-mahal. Kamu nggak tau, begitu banyak anak yang ingin bisa sekolah terus seperti kamu. Kenapa disia-siakan?"
"Sekali aja, kok."
Salikha menggeleng. "Biar saya aja. Saya bisa kok."
Gito menyandarkan diri di pilar yang menyangga gedung. Memandangi poster New Kids on the Block yang terpampang besar di depannya.
"Jadi sekarang nggak jadi, nih? Sia-sia dong," keluh Gito.
"Paling tidak, saya tetap ngucapin terima kasih sama kamu yang udah berniat baik sama saya. Saya juga kurang yakin, apa kursus di tempat yang kamu tunjuk itu tetap bisa ngasih dispensasi buat saya yang jadwal kerjanya nggak beraturan. Tapi kalo pun nggak bisa, semua nggak bakal sia-sia. Paling enggak kita kan udah berusaha. Seperti kamu, meski hari ini nggak bisa pergi, tapi kamu udah berusaha untuk datang. Itu harus saya hargai. Orang emang suka kurang bisa menghargai usaha," tutur Salikha.
Gito menatap Salikha. Ada perasaan sejuk mendengar penuturannya.
***
Gito menarik Lupus ke kantin.
"Serius, Pus. Gue naksir setengah mati sama dia. Orangnya dewasa, bijaksana, meski sederhana tapi wawasannya luas. Ia mau berkembang. Katanya ia kalo bisa mau cari kerja lain yang jadwal kerjanya tetap. Kamu bisa masukin dia ke majalah kamu, Pus?"
"Lo pikir gue direktur apa? Gue aja kalo ngedaftar kerja di situ belon tentu diterima," ujar Lupus.
"Aduh. Tapi saya cinta banget sama Salikha. Saya mau nolong dia."
"Alaaah, lo kan ama cewek selalu begitu. Cintanya sebentaran doang."
"Tapi dia lain, Pus."
"Terus, kenapa lo sekarang sedih? Ya, pacarin aja?"
"Dia bilang, gue masih terlalu kecil. Aduh, gue nggak dianggep sama dia. Padahal beda umurnya cuma satu tahun doang. Tega, ya?"
"Ya, mana mungkin lo yang masih suka hura-hura bisa cocok sama dia yang lebih mentingin kerja, masa depan, karier, belajar...."
"Ah, sial lo, Pus."
"Tapi ngomong-ngomong gue kan kemarin ketemu lo lagi berduaan di Department Store situ..."
"Eh, lo juga ke situ? Emangnya nggak praktek?"
"Gue ngabur juga sama si Pitak. Nemenin dia nyari buku. Nah, lo bandingin aja, orang-orang kayak kita yang lebih mentingin kencan daripada ikut praktek dengan si Salikha tersayangmu itu."
Gito tercenung. "Ya, kadang emang kitanya yang nggak bisa mensyukuri apa yang ada ya, Pus. Apa kalo posisi Salikha seperti kita, dia juga akan bersikap sama kayak kita?"
"Siapa tau. Tapi sudahlah. Itu guru PMP dan Ibu Biologi udah nungguin kita di kantor. Nggak tau deh kita berdua dihukum apa...."
"Kalo kalian malas sekolah, kerja aja di Department Store sana, biar puas ngecengnya!" hardik guru PMP, ketika Lupus dan Gito meletakkan pantatnya di kursi kantor guru.
Gito dan Lupus saling berpandangan bengong. Dan mulailah mereka suntuk dijejali nasihat-nasihat usang.
10. KENALlN: OLGA!
Lupus lagi asyik makan ayam goreng bersama Gito, ketika ada seorang gadis dengan cueknya masuk ke kedai itu sambil bersepatu roda-ria. Ia langsung memesan kentang goreng dan berlalu dengan cueknya. Lewat jendela kaca yang besar, Lupus bisa ngeliat betapa semangatnya gadis itu memasukkan satu demi satu kentang ke mulutnya, sambil meluncur lincah di atas sepatu rodanya.
"Liat apa, Pus?" tegur Gito.
Lupus diem aja. Dia masih ngeliatin cewek itu sampe bener-bener ilang di tikungan.
"Liat apaan, sih?" Gito penasaran ikut melongok ke jendela.
"Cewek. Gila betul!"
"Hull. Gue kirain ada tabrakan."
"Tabrakan?"
"Iya. Gue kira ada tabrakan."
"Emangnya ada?"
Gito mendengus, Lupus lalu menghabiskan sisa-sisa makanannya.
"Git, kumpulin tulang-tulangnya buat gue bawa pulang."
"Tulang? Buat apaan, Pus?"
"Buat adik gue, Lulu."
"Sadis amat lo ngasih oleh-oleh?"
"Dia suka. Mungkin untuk kucing kesayangannya atau buat Emi tetangganya yang cerewet. Atau lo juga punya niat mo' ngebawa pulang?"
Gito menggeleng keras.
Ketika mereka pulang, sekali lagi Lupus ngeliat cewek itu sedang asyik berpegangan pada becak di atas sepatu rodanya. . .
"Git, tuh ceweknya. Gila betul! Pepetin dia dong, Git!" seru Lupus bersemangat. Gito membanting setir, mendekati cewek berkuncir dua itu.
"Halo!" ucap Lupus ketika dekat.
Gadis itu menoleh. Lalu segurat senyum lucu menghias wajahnya.
"Halo juga."
"Ikut sini, yuk?" tawar Gito di belakang setir.
"Gak mau. Enakan gini," ujarnya sambil mengunyah batang-batang kentang goreng.
Gito langsung berbisik pada Lupus, “Tulis surat, Pus. Tulis surat. Tanyain, udah punya pacar belum ?"
"Kok gak tanya langsung aja sih?"
"Gak seru."
Lupus pun dengan daruratnya menulis surat di sepotong tisu mobil. Tulisannya ancur-ancuran gak kebaca. Isinya lucu:
“Hai, Cewek,
Kamu udah punya pacar belon? Kalo belon, idih... udah gede kok belon punya pacar, sih?
Hihihi...
Gito + Lupus”
Lupus dengan geli memberikan secarik tisu tersebut kepada cewek tadi.,
Cewek itu menerima sambil setengah kaget.
"Apaan, nih?"
"Surat. Bacanya di rumah aja!"
Lalu mereka pun berpisah di pertigaan jalan. Gadis itu dengan lincah masuk ke gang kecil, yang gak bisa dilalui mobil.
"Eh, Pus. Namanya cewek tadi siapa?"
"Gak tau."
"Ah, lo sih. Kenapa gak nanya? Ilang deh buruan kita!"
***
Pulangnya Gito mampir dulu ke rumah Lupus. Mereka berdua lagi mau ngerjain paper sosiologi. Temanya "Remaja Konsumerisme". Dampak negatif dari kemajuan sosial. Berdua tadi udah berkutet nyari-nyari bahan buat referensi. Tapi yang ketemu malah buku-buku komik macam kisah-kisah si Gully dan Lucky Luke.
"Eh, boleh nggak, ya, referensinya dari buku Lucky Luke? Jadi nanti ditulis, menurut komik Lucky Luke halaman 20, Lucky Luke berkata kepada Dalton Bersaudara..."
Gito terkekeh. "Ngaco aja lo, Pus!"
Gito memarkir mobilnya pas di deket pohon jambu. Lalu ia turun sambil menenteng-nenteng mesin tik di belakang Lupus. Berjalan melalui Lulu yang asyik menjemur pakaian.
"Sibuk nih, Mpok? Banyak cucian?" goda Gito pas Lulu ngejemur pakaian dalamnya. Lulu langsung kaget, dan menyembunyikan "jimat"-nya itu di belakang punggung. "Eh, ada tukang serpis mesin tik, ya?" ujar Lulu sambil menatap mesin tik yang dibawa Gito.
"Bukan tukang serpis, Lu. Pegawai kelurahan," ujar Lupus sambil menyerahkan tulang-tulang pada Lulu.
Masih ketawa-tawa ketika mereka masuk ke kamar. Lupus langsung membuka mesin tiknya, dan menggotong ke lantai. Buku-buku referensi dikumpulkan di samping. "Periksa dulu, Git. Jangan-jangan hurupnya ada yang jatuh di jalan,"
ujar Lupus sambil menghitung jumlah hurup yang ada di mesin tiknya.
Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara ketak-ketik memenuhi kamar. Dua anak itu suntuk banget ngebacain seluruh referensi.
"Room service!" teriak Lulu sambil mendorong pintu dengan bahunya. Dua tangannya membawa baki berisi dua gelas minuman segar dan sepiring pisang goreng.
"Aii, Lulu! Gak nyangka. Gila betul!" jerit Gito sambil berdiri. Lupa sama .tugas-tugasnya.
"Lu, lo kayaknya suka mendadak baik deh kalo Gito yang dateng," goda Lupus.
Muka Lulu jadi merah. Tapi dia berusaha cuek sambil memindahkan gelas-gelas dan piring dari bakinya.
Setelah selesai Lulu pun berjalan keluar kamar Lupus.
Kakinya baru melangkah ke dekat meja makan, ketika ada suara Lupus menjerit, "Lulu, lo masukin garem lagi ya ke es siropnya!!!"
Lulu pun ngibrit sambil terkikik-kikik.
***
Menjelang jam lima, mereka berdua udah mulai suntuk meneruskan tulisannya. Lupus merentangkan tangannya sambil senam-senam sedikit.
Sedangkan Gito lagi khusyuk banget melototin buku referensi.
"Gue nyalain radio, ya?"
Gito manggut, sambil pandangannya gak lepas dari buku.
Sesaat terdengarlah suara lincah penyiar dari radio.
"Selamat jumpa lagi di Radio Ga Ga. Kamu masih ditemenin Olga bersantai-santai di Minggu sore yang cerah ini. Lagu berikutnya khusus saya bingkiskan buat dua cowok blo'on bernama Gito dan Lupus, yang sempet nulis surat cinta ama saya di jalanan, dengan ucapan kalo lagi bikin paper jangan sampe melotot gitu dong matanya...."
Gito dan Lupus langsung berpandangan. Lho?
"Lagu buat kamu berdua ini berjudul Beautiful Girl dari Chacha Maricha... eh, siapa sih? Wah gue lupa, nih. Abis salahnya sendiri, di sini gak tercantum nama penyanyinya. Emangnya dikira gue apal? Di suruh ngapalin nama-nama pahlawan sendiri aja gue males, apalagi disuruh ngapalin nama penyanyi luar!
"Ya, s'lamet dengerin aja ya buat Gito dan Lupus! Sekalian tebakan: Mobil apa yang ada di pohon? Gak bisa kan? Jawabannya: Mo'bilang jambu kek. Mo'bilang pepaya kek... terserah. Hihihi... "
Gito langsung berdiri. "Pus, nggak salah lagi, pasti itu cewek yang tadi pake sepatu roda di jalan!" .
"Iya. Suaranya emang sama-sama cablak, ya?"
"Siapa namanya tadi?"
"Drakula? Eh-Alga? Sorga? Agua? Lega? Olga? Ya, Olga!"
"Olga! Ternyata dia penyiar! Kita ke sana, yuk? "
"Paper-nya ?"
"Entar adza. Buruan, keburu dia selesai siaran!"
Mereka berdua pun langsung membereskan kertas-kertas yang berserakan. Asal aja, yang penting keliatan rapi. Dan langsung meletakkan di atas mesin tik masing-masing. Setelah itu, langsung berlarian ke arah pintu yang ternyata sudah setengah dibuka oleh Lulu. "Room serv... aw!!!"
Gedubrak! Tak pelak, mereka menubruk Lulu yang kembali membawa dua gelas limun.
Air limun pun tumpah membasahi rok Lulu. Gelasnya berjatuhan. Untung kali ini dia pakai gelas plastik, hingga gak pecah.
"Ups. Sori, Lu, kita keburu-buru."
Lulu mencak-mencak jengkel sambil mengelap roknya yang basah.
Lupus dan Gito langsung melanjutkan pelarianya. "Sori, Lu, Kali ini kita gak sempet ngerasain air racun lo!"
"Ini sirop beneran, tau!" jerit Lulu jengkel.
***
Setengah jam kemudian Lupus dan Gito udah nyampe di Radio Ga Ga. Suasananya cukup ngeremaja. Beberapa mobil terparkir di sepanjang jalan yang rindang. Sekelompok anak muda bercanda dengan centilnya di kap mesin sedan-sedan mungil. Dentuman musik Arthur Baker yang nyanyi The Message is Love dari Blaupunk sedan, saingan dengan lagu-lagu dang-dut yang terdengar cempreng dari radio dua band milik tukang pangsit.
Gito dan Lupus pada kebingungan nyari pintu masuk ke studio. Soalnya mereka baru pertama kali ke situ.
"Eh, pintu masuk ke studio yang mana?" colek Gito pada seorang gadis yang makan rujak sambil bergoyang-goyang pinggul. Centil amat!
"He? Cari siapa?"
"Olga."
"Olga? perasaan tu anak udah pulang. Tapi cari aja ke dalem. Siapa tau kentutnya masih ada. Tuh, masuk lewat samping kedai. Yang ada tulisan "orang jelek dilarang masuk".”
"Thanks," Gito dan Lupus pun masuk sambil bersyukur, untung mereka bukan "orang jelek".
Ketika Gito dan Lupus melongok ke dalam, di ruang AC itu ada seorang cewek yang lagi asyik ketawa-ketawa di telepon. Seru amat. Sampe terpingkal-pingkal.
"Permisi," ujar Gito. Cewek itu kaget.
Sedang Lupus langsung ngambil tempat duduk di dekat asbak yang gede banget.
Cewek itu mengangguk. "Bentar, ya," ujarnya pada telepon. "Cari siapa?"
"Olga. Ada?"
"Olga? Sebentar, ya? Mbak Veraaa...," nyaring bener suara cewek itu.
"Ya?" Seraut wajah gadis ayu yang nampak agak dewasa muncul dari pintu bertuliskan "Kepala Bidang Siaran".
"Mbak, ini ada yang nyaruri Olga. Tu anak masih ada nggak?"
Mbak Vera tersenyum pada Lupus dan Gito "Ee, silakan duduk." .
“Lho, saya udah duduk, kok," ujar Lupus.
"Kalo gitu silakan berdiri." Lupus ketawa.
“Cari Olga, ya? Wah... saya juga lagi nyariin dia. Tu anak emang sableng juga. Harusnya dia
masih siaran sampe jam enam. Tapi tiba-tiba sekarang udah ngilang. Ini kan baru setengah enam, ya?" ujar Mbak Vera.
"Lh, jadi siarannya ditinggal?"
"Ya, itulah. Ditinggal begitu aja.. Yang kedengeran bunyi kresek-kresek. Mana dia kalo siaran jarang pak operator lagi, jadi suka pada nggak tau. Tau-tau udah ilang. Sepotong lagu pun nggak diputer.
"Emang gitu adatnya. Kalo lagi segen siaran, ya segen. Mbak yang sering kelinpungan. Tapi Mbak sayang dia. Anaknya kratif banget. Cara dia siaran ngakrab. Khas remaja. Lain dari yang lain. Makanya Mbak tetap mempertahankan dia. Kamu-kamu suka denger Olga siaran?"
"Eh-iya. Tadi."
"Nah - gimana? Konyol, kan?
"Wah, kok Mbak jadi ngelantur. Gini aja, kalo penting banget, kamu berdua bisa nitip pesen ke Mbak. Besok dia pasti dateng. Soalnya pas gajian. Dia paling rajin kalo giliran ngambil honor. Pulang sekolah, udah langsung ngejogrok di sini. Atau besok mau ketemu dia di sini?"
Gito dan Lupus diam sejenak.
"Alamat rumahnya Mbak tau?"
"Wah ada di bagian Administrasi. Udah ditutup. Tapi Mbak gambarin denahnya aja, ya? Ancer-ancer-nya."
Mbak Vera dengan gesit mengambil nota dan pulpen yang tergeletak dekat pesawat telepon.
Gito mempelajari sket yang diberikan oleh Mbak Vera.
Entah karena sketnya kurang jelas, atau emang Gitonya yang nggak ngerti medan, jam setengah sepuluh malam, mereka berdua baru berhasil menemukan rumah Olga. Ya, soalnya tadi mereka berdua sempet nyasar dan makan siomai dulu.
Rumah Olga sepi. Bangunannya nggak terlalu modern, tapi nampak nyaman. Halamannya luas banget. Banyak pohon-pohon berbagai jenis tumbuh pas di dekat pintu pagar yang terbuat dari kawat. Di depan garasi, Capella tua terparkir agak menjorok ke dalam.
"Lo duluan, Pus!" dorong Gito.
"Suasananya sepi banget, Git. Udah pada tidur kali!"
"Aah, baru jam setengah sepuluh. Paling lagi pada nonton Dunia dalam Berita."
Lupus memencet bel. Ning-nong.
Nunggu agak lama.
Pencet lagi. Ning-nong.
Lalu keluar segurat wajah ibu-ibu. Galak kayaknya. Lupus udah kaget aja.
"Cari siapa?" nadanya kurang bersahabat.
"Eh... O-olga, Tante!" Lupus tergagap.
"Ada perlu apa?"
"A-anu, Tante. Eh, mau pinjem apusan."
"Pinjem apusan? Malem-malem begini?”
Lupus jadi kaget sendiri. Gito memandang heran ke arah Lupus. Kok pinjem apusan?
"Olga sudah tidur. Besok pagi saja," putus tante gembrot itu. Lalu menutup pintu. Klik.
Lupus dan Gito saling mengangkat bahu. Lalu berbalik ke arah pintu pagar. Lalu dengan langkah gontai, mereka melimasi pekarangan rumah Olga yang luas. Sia-sia deh perburuan mereka hari ini. Mana udah ngebela-belain ninggalin tugas paper lagi.
"Hei! Ssst!!" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil pelan.
"Bunyi apa, tuh? Kamu kentut, Git?" ujar Lupus menutup hidung.
"Enak aja."
"Hei! Ssst! Lupus, Gito!"
Lupus dan Gito menoleh. Olala! Ternyata dari jendela samping, muncul wajah manis Olga. Yang tersenyum ke arah mereka sambil melambai tangan. .
"Olga!" Lupus dan Gito berteriak tertahan. Lalu menghampiri.
"Sst! Jangan keras-keras. Ngapain lo ke sini malem-malem?"
Lupus dan Gito cerita soal kunjungan mereka ke Radio Ga Ga.
"Besok aja temuin gue di Radio Ga Ga. Pulang sekolah."
"Eh, kamu gajian, ya?" tembak Lupus.
"Tau aja."
"Traktir, ya?"
"Gimana besok deh. Kalo ada sisa gue traktir. Kalo nggak ada kamu yang traktir gue. Soalnya gue lagi ngumpulin. duit buat beli jaket kulit."
"Iya, deh. Sampe besok ya, Ol?"
"Daag!"
Jendela itu pun tertutup.
Dan, kamu penasaran pengen kenal lebih deket dengan Si Olga ini? Sabar aja. Ada satu buku khusus yang bercerita tentang dia. Wah, gila betul!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar