Skip to main content

Minggu, 07 Juli 2013

Rumpi Kala Hujan


Suit Dulu!

HAI, ketemu lagi sama Lupus Kecil.

Ya, sebelum mulai main-main sama Lupus, dia mau ngasih tau dulu seperti biasanya, bahwa cerita ini kejadiannya ketika Lupus masih berumur tujuh tahun. Saat Papi masih ada, dan masih pelit. Saat Mami masih rajin belajar bahasa Inggris dan bereksperimen bikin kue. Saat Lulu masih pura-pura cadel, biar dimanja. Tapi untuk buku Lupus Kecil ke-4 ini, Lulu udah nggak pura-pura cadel lagi. Soalnya percuma, kata Lulu. Udah capek-capek cadel, Lulu tetap nggak disayang Mami, dan Papi masih tetap pelit.

Contohnya waktu suatu pagi Lulu main-main ke dapur, dan berkata pada Mami yang lagi asyik menggoreng, "Minta tempe goreng!"

Mami. malah marah, "Gimana cara yang baik untuk meminta, Lulu?"

"Saya minta tempe goreng," kata Lulu.

"Caranya begitu? Apa itu sudah cukup sopan?"

"Mami yang baik, saya minta tempe goreng, dong," kata Lulu lagi.

"Nggak bisa!" jawab Mami. "Ini sudah dekat waktu makan, tau!"

Tapi keakraban juga terjalin di antara Papi, Mami, Lupus, dan Lulu yang menghuni rumah mungil di suatu kompleks, tanpa pembantu.

Seperti suatu hari ketika makan malam sudah berakhir, Papi dan Lupus kerap sama-sama duduk menonton televisi sambil makan jagung goreng. Sedang Lulu, meski masih mungil, selalu ikut mencuci piring, gelas, sendok bekas makan.

Tiba-tiba Papi dan Lupus mendengar bunyi sesuatu yang pecah di dapur. Papi dan Lupus terkejut, dan langsung diam. Tapi setelah itu tak ada suara apa:-apa lagi di dapur.

"Hm, pati yang memecahkan piring itu Mami," tebak Lupus.

"Dari mana kamu tau?" tanya Papi.

"Karena," sahut Lupus, "Mami - nggak ngomel-ngomel."

Hihihi.

Ya, begitulah. Tiap hari, selalu ada kejadian konyol yang pasti bisa kamu nikmati sambil terpingkal-pingkal. Tiap hari, keempat anggota keluarga itu seperti saling mencoba untuk cari gara-gara kekonyalan.

Dan supaya kamu nggak bingung, situasinya memang disesuaikan dengan keadaan sekarang.

Nah, rasanya kamu pasti nggak sabar ingin mendengar cerita kocak mereka kali ini, ya? Ya, udah. Langsung aja....

1. Rumpi Kala Hujan

?PAGI itu hujan turun deras. Dan seperti biasa pagi itu di rumah Lupus ramai dengan. kesibukan-kesibukan. Ada Mami yang sibuk nampung air bocoran atap pake ember, sambil ngomel-ngomel, "Papi ini, disuruh naek ke atas genteng, kok, sampe sekarang gak naek-naek." Ada Papi yang sibuk dengan isi tas kantornya sambil cuek gak mo denger omelan Mami. Ada Lupus yang sibuk dengan buku-buku sekolahnya. Dan Lulu yang sibuk dengan kaus kakinya yang ilang satu.

"Hoi, Sodara-sodara sebangsa dan setanah air! Ada yang liat kaus kaki saya, nggak?" teriak Lulu sambil ngorek-ngorek tempat-tempat strategis bagi kaus kaki.

"Lulu, kamu carinya...," sergah Mami sambil kerepotan ngangkat ember dari dapur, "pake tangan dong, jangan pake mulut! ?

?"Betul!" ujar Papi, Lupus, dan Lulu.

"Jelas ini bukan masalah kecil, tapi juga bukan masalah besar..."

"Maksudnya?" tanya Papi.

"Nggak ada maksudnya. Mami cuma mau ngomong kayak gitu aja. Hmm, sekarang kita masuk ke dalam acara puncak yaitu pergi ke puncak. Eh, maaf, maksud Mami kita langsung mengupas masalah ini. Kalian siap? Eh, Lulu mau ke mana kamu?"

"Ke dapur, ambil pisau!" jawab Lulu cuek.

"Buat apa pisau?"

"Buat ngupas. "

"Aduh, ni anak kuper banget, sih. Ngupas masalah nggak perlu pakai pisau, kamu sini aja dengerin Mami ngomong. Ya, Sodara-sodara, kita lanjutkan lagi. Sekarang Mami persilakan Papi untuk berbicara."

"Baik dan terima kasih Papi ucapkan pada Mami yang telah memberikan kesempatan ini. Begini, Papi merasa berhak menggunakan payung, soalnya Papi mau pergi kerja dan mau nyari duit. Asal Sodara-sodara tau, Papi ini gampang pilek, dan kalo sampai pilek. berapa biaya yang bakal keluar untuk berobat, dan berapa uang yang hilang percuma karena Papi tidak kerja? Demikian alasan kenapa Papi ingin membawa payung."

?"Terima kasih, keluhan Mami tampung. Sekarang giliran Lupus."

"Lupus merasa berhak karena Lupus mau sekolah. Semua tau kan tujuan sekolah itu apa? Untuk menimba air eh, untuk menimba ilmu. Ilmu itu nantinya bakal Lupus pakai sebagai bekal hidup di masa depan.. Sekarang bayangkan, kalo Lupus keujanan dan kemudian sakit, gimana nasib masa depan Lupus? Lupus rasa, Lupus-lah yang berhak bawa payung itu."

"Keluhan ditampung dulu. Lulu, gimana kamu?"

"Kenapa saya ingin bawa payung, karena saya takut keujanan, titik!"

"Semua masalah Mami tampung, dan sebelum Mami ambil kesimpulan, Sodara-sodara sekalian diperbolehkan mengambil ubi goreng di dapur dan membuat teh manis."

Sementara semua asyik menikmati ubi goreng yang disembunyikan Mami di dapur, Mami sibuk menyusun kesimpulan.

"Ya, Sodara-sodara sekaligus" ujar Mami berwibawa. "Setelah mengingat, menimbang, dan membanting semua masalah, maka... "

?Tapi belum selesai Mami membacakan kesimpulan musyawarah tersebut, tiba-tiba saja hujan berhenti. Dan kontan saja Papi, Lupus, dan Lulu menghambur keluar. Mereka udah nggak peduli lagi dengan payung itu. Karena mereka kini lebih peduli dengan waktu. Papi, Lupus, dan Lulu pu?n terpaksa berlari sekuat-kuatnya menyusuri jalan agar tidak terlambat di tempat tujuan masing-masing.

"Hoi, ini payungnya gimana???" teriak Mami menjinjing-jinjing payung dan mengejar ketiga makhluk ajaib yang terus berlari itu.

Tapi mereka tak ada yang peduli.

2. Ih, Ada Kebakaran!

?MAMI lagi asyik belajar bahasa Inggris, waktu Lupus repot menyampul buku-buku barunya. Papi pusing dengan TTS koran sorenya dan Lulu lagi sandiwara-sandiwaraan dengan Barbie di kamarnya.

"It is a book. It is a pen. It is a radio and dan dit en desa desu...!" teriakan Mami menghafal bahasa Inggris terdengar sampe ke dapur-dapur.

Pengen tau kenapa Mami segitu ngotot pengen bisa bahasa Inggris? Gara-garanya, Mami selalu merasa kesulitan kalo ngikutin film cerita Barat yang bagus di tipi.

"Kan ada teksnya, Mi," ucap Lupus waktu Mami berniat minjem buku-buku bahasa Inggris bekas Papi sekolah dulu. Meski sudah bulukan dan kertasnya berwarna kuning karena dimakan zaman, Papi emang nggak berniat membuang buku-bukunya waktu di SMP dulu. Katanya, siapa tau berguna buat Lupus kalau sudah SMP nanti. Kan ngirit, tak usah beli buku lagi.

"Kalau di tipi, teksnya suka lain and suka telat," ujar Mami merespon Lupus, "jadinya malah ngeganggu! Kan kalo bisa bahasa Inggris kita nggak perlu repot-repot baca teksnya, tinggal liat adegan-adegannya atau pemainnya yang keren-keren.

"It is a dog." Mami mulai latihan lagi dan tampak tekun bange?. "Hello, Mr. Dog!"

"Lho, anjing kok disapa?" protes Lupus.

"Emangnya nggak boleh!"

"Bukannya nggak boleh, tapi nggak pantes."

"Oke, oke... Hello, Mr. Lupus!"

"Oh, ogut baik-baik aja."

"Hah, kok jawabnya kayak ?itu, sih. Bukannya I'm fine?" .

"Lupus kan lagi repot nyampul, jadinya nggak bisa ngomong Inggris, barangkali Pa pi bisa," tukas Lupus beralasan.

"Oh, no, no! Papi very vusing, nih!" sergah Papi yang lagi konsentrasi penuh ke TT'S-nya. Lagian Papi kuatir Mami nyerocos macem-macem kalo udah ditemenin belajar bahasa Inggris.

Papi pernah nyaranin supaya kursus aja, tapi setelah Mami minta dibayarin, Papi nyesel juga. Soalnya, bayaran kursus bahasa Inggris untuk ibu-ibu cukup mahal.

Kalo soal kegiatan yang mesti ngeluarin duit, Papi emang rada irit. Tapi iritnya Papi beralasan juga. Uang gaji Papi kan terlalu pas untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Kemaren-kemaren ini Papi sempat girang juga. Menurut pengumuman, mulai bulan depan ini gajinya bakal. naik lima belas persen. Namun sayang, kabar gembira itu umurnya pendek. Harga BBM dan tarif listrik tiba-tiba ikutan naik juga. So pasti segala-galanya jadi pada naik. Alhasil gaji Papi yang masih Insya Allah naik itu terasa biasa-biasa aja.

"This is book cat. Hello, write dog in the kitchen?" ujar Mami makin ngaco aja.

Dan selagi Mami masih asyik mengucap-ucap kata bahasa Inggris, di luar terdengar langkah orang-orang berlarian ke sono kemari, mereka teriak-teriak panik.

"Suara What itu, PUS?" tanya Mami.

"Tau," jawab Lupus pendek. Ia melongok. dari jendela.

Sedang Papi yang pusing ngadepin TTS, beranjak ke depan ngeliat dan pengen tau.

"Ada apa, kok pada lari-larian?" tanya papi pada seorang pemuda yang ikutan lari lewat depan situ.

?"A-ada permen baru! Eh, bukan, a-ada kebakaran, Pak!"

"0, kebakaran. Makasih ya, Dik," jawab Papi tanpa ekspresi. Maklum beliau masih pusing mikirin soal TTS.

"Ada what, Pi?" tanya Mami setelah Papi sampe dalam rumah.

"A-anu... apa tadi ya, 0 ya cuma kebakaran."

"Hah! Kebakaran! Yang bener?!!" sergah Lupus. "Kebakarannya di mana?"

Papi yang tadinya nggak ngeh, jadi sadar kalo pertanyaan Lupus menyangkut hal yang begitu penting. Ya, soal kebakaran!

Sedetik kemudian Papi langsung menghambur ke dalam dan memerintahkan semua orang siap-siap dan segera memberesi barang-barang penting.

"Ayo cepaaat...!" Perintah Papi mengagetkan dan menambah seru suasana. Lupus buru-buru membenahi buku-buku baru lalu mengambil rapot dan ijazah TK-nya.

"Mi, belajar bahasa Inggris-nya ditunda dulu, kita harus beresin apa-apa yang berharga!" teriak Papi di kuping Mami. .

"Iya, iya, Mami tau, cuma lagi penasaran pengen tau kebakaran dalam bahasa Inggris itu apaan?" ujar Mami sambil sibuk banget membuka-buka kamus tebal.

?"Fire! Fire!" teriak Mami girang.

Semenit kemudian keluarga Lupus sudah siap dengan bopongan masing-masing. Papi mengajak mereka menuju ke ujung jalan. Dan sampe di sana Papi coba menitipkan barang-barang bawaannya ke salah satu rumah dekat situ.

"Pak, tolong titip barang-barang ini, saya mau mengangkuti barang-barang lainnya," ujar Papi minta izin sama yang punya rumah.

"Boleh aja. Eh, ngomong-ngomong ada apa ya sampe pada ngungsi begini rupa?" ujar yang punya rumah yang kebetulan berbaik hati.

"Oh, Bapak belon tau, toh. Ada kebakaran di sana!" ujar Papi sambil menunjuk ke arah rumahnya.

"K-kebaka ra n...!" pekik orang itu kaget bukan main. " Anak-anak..., ayo kita harus ngungsi... ada kebakaran!" teriak bapak itu kepada lima orang anaknya yang masih kecil-kecil.

"Lho, Anda mo? ngungsi juga?" tanya Papi heran ngeliat yang punya rumah tiba-tiba pengen ngungsi juga. "Trus barang-barang kami ini gimana?"

"Itu urusan Bapak,. mau ditaro di sini kek, nggak kek,. yang jelas saya sama keluarga mau ngungsi!"

?Tapi ketika Papi masih bengong membopong barang bersama Lupus, Lulu, dan Mami yang masih sibuk komat-kamit baca buku bahasa Inggris, entah kenapa kepanikan yang begitu hebat tiba-tiba reda begitu saja. Orang-orang udah nggak teriak kebakaran-kebakaran lagi. Dan nggak ada lagi orang panik ngebopong-bopong barang. Cuma Mami aja yang sesekali teriak, "fire... fire...!"

"Lho, kenapa tiba-tiba sunyi, Pi?" Lupus ikutan heran. "Orang-orang nggak panik lagi. Apa kebakarannya udah mati? Eh, ngomong-ngomong kebakarannya sebelah mana, sih?"

Papi dan Lupus kemudian penasaran dan menghampiri sekerumunan orang-orang yang ada di situ. Tampak Pak RT tengah memberikan pengarahan.

"Sodara-sodara ini gimana, sih. Masa cuma gerobak bakso aja yang kebakar paniknya kayak orang kebakaran jenggot. Mau panik sih boleh-boleh aja, tapi liat-liat dulu dong, sejauh mana bahaya itu. Kayaknya Sodara-sodara pada mau nyari selamat sendiri, deh," ujar Pak RT di depan warganya yang berkerumun.

"Gerobak baksonya udah bisa diselamatkan dan saya harap Sodara-sodara segera kembali ke rumah masing-masing. Jangan sampe ada yang ketinggalan," putus Pak RT sambil membubarkan kerumunan.

Papi dan Lupus saling pandang.

"Yuk, kita balik ke rumah," ajak Lupus.

"Eh, sebentar dong, n tukas Papi. "Tunggu yang punya rumah ini dateng dulu. Kasihan kalo ditinggal, ntar dimasukin maling, lagi.

?"Yaaa, gini aja deh, Pi, " usul Lupus, "Lupus kan masih harus menyampuli buku-buku baru, Mami kudu nerusin belajar bahasa Inggris lagi, sedang Lulu sudah waktunya tidur. Jadi gimana kalo Papi tunggu di sini sambil ngisi TTS?"

"Write, write...," kata Mami setuju.

"Allright, allright, Mi," ralat Lupus.

Dan tinggallah Papi menunggu rumah orang itu sendirian sambil mengamati TTS yang baru keisi tiga soal!

3. Besar Pengorbanan daripada Kejutan

?TUMBEN, hari itu sepulang sekolah, Lupus nampak lelah sekali. Rasanya Lupus pengen banget buru-buru makan siang, trus tiduran sambil baca-baca buku. Dan ketika. Lupus membuka tudung saji, di meja cuma ada nasi plus kornet goreng.

"Uh, kernet lagi, kornet lagi! " batin Lupus.

Bosen emang, soalnya sejak Mami sibuk belajar bahasa Inggris, tiap siang Mami jadi masak komet terus. Soalnya kan kornet itu mudah dimasak dan dihidangkan. Tapi buat anak kayak Lupus yang doyan banget makan, tentu dia cepet bosen kalo tiap hari makan kornet.

?Lupus menyendok nasi dengan malas.

Sedang Mami lagi asyik bercakap-cakap di dapur. Ada tamu, nampaknya. Apa itu benar-benar tamu? Sebetulnya tidak. Mami saat itu sedang mengajak. ngomong seorang calon pembantu rumah tangga yang Mami pesan dari Tante Umi. Ya, setelah bertahun-tahun tanpa pembantu rumah tangga, Mami baru merasa perlu. Soalnya, kata Mami, dia sekarang lekas lelah. Dan mulai punya banyak kesibukan lain. Lupus, Lulu, maupun Papi sendiri jelas gak suka sama keputusan Mami mau mengambil pembantu.

"Lupus jadi tak bisa menikmati masakan Mami lagi," komentar Lupus.

"Lulu takut pembantunya jahat, dan meracuni makanan Lulu,n ungkap Lulu.

"Pemborosan besar-besaran!" komentar Papi.

Tapi toh Mami tetap bersikeras mau mengambil pembantu. Dan hari itu pembantu yang dipesan sudah datang.

"Jadi kamu sudah cukup punya pengalaman bekerja?" ujar Mami dengan wajah menyelidik. "Coba kamu tell me lagi kalau ada hal-hal yang baik mengenai dirimu."

"Telmi,i itu apa, Nyonya?" tanya si pembantu.

"Tell me itu mencerita kan."

?Calon pembantu rumah tangga itu berpikir sebentar. Lalu dengan mantap ia menjawab; "Saya sudah pernah dipecat tiga belas kali!"

"Lho, apa segi positifnya hal itu?" tanya Mami heran.

"Ada, Nyonya. Paling tidak saya bukan tipe orang yang mudah menyerah," ujar pembantu itu enteng.

Mami geleng-geleng kepala, dan memutuskan tidak akan mengambil pembantu.

Dan Lupus baru saja hendak melemparkan badannya ke sofa sehabis makan, ketika Mami tau-tau datang mengagetkan.

"Lupus!"

"Eh, takodel-kodel, takodel-kodel!" Lupus terkejut.

"Apaan tuh takodel-kodel?"

"Bukan apa-apaan, Mi. Lupus kaget. Lagi Mami kenapa suka ngagetin orang, sih?"

"Oho, Mami memang lagi demen bikin kejutan, Pus. Kamu mau Mami kejutin again?" ujar Mami riang.

"Nggak mau!"

"Ya, udah. Kamu sudah eat?"

"Ya, kornet itu lagi."

"Jangan ngeledek. Tapi sebetulnya tadi Mami masak besar juga. Look at this!" Mami mengeluarkan sambel goreng ati dari lemari. "Dan kamu boleh mencicipi dulu, karena sekarang ini Mami pengen bikin kejutan buat Tante Ila. Surprise...."

"Tante lia? Mami ingin mengagetkan Tante Ila sekarang juga?"

"Bukan. Bukan dengan mengagetkan. Tapi Mami ingin membuat kejutan dengan mengirim sambel goreng ati kesukaan Tante Ila ini. Nah, sehubungan dengan itu Mami minta tolong kamu untuk mengantarkan masakan ini pada Tante Ila. Please, home delivery" Mami mengeluarkan rantang sambel goreng ati dari dalam lemari.

Lupus langsung tak bersemangat. Padahal ia pengen makan sambel gorengnya.

"Tapi Lupus kan belon pernah pergi ke sana sendirian. Lupus juga nggak tau harus naik apa bila ingin ke sana," ujar Lupus sambil mengambil piring, dan melahap sambel goreng ati pake nasi hangat

"Don't worry, Pus. Kalo kamu muncul di sana sendirian, ini kejutan juga namanya! Iya dong, Tante Ila pasti akan terkagum-kagum melihat kamu muncul sendiri. Kita jadi punya dua kejutan. Pertama, kemunculan kamu. Kedua, masakan Mami. Gimana, setuju?"

Lupus masih belon bilang apa-apa.

Piringnya kini sudah bersih.

?"Apa lagi sih yang kamu pikirkan? Ongkos? Gampang itu, ini Mami beri secukupnya," Dan Mami langsung memasukkan berapa uang ratusan ke dalam genggaman tangan Lupus.

Tapi Lupus masih belon mengambil keputusan untuk pergi. Dia masih bingung. Karena ia masih capek. Karena untuk bisa sampe rumah Tante Ila dia harus tiga kali ganti kendaraan umum. Kalo soal kejutannya sih, bukan cuma Mami yang suka, Lupus juga hobi banget bikin kejutan. Lupus sampe pernah ngumpet di atas pohon jambu seharian hanya untuk mengejutkan Mami. Lupus pernah juga sembunyi di kolong tempat tidur Mami sambil bersuara cit, cit, cit. Berpura-pura mirip tikus. Akibatnya Mami kaget sekali, dan Lupus benar-benar terkejut karena Mami memukulnya keras-keras dengan sapu lidi. Lupus dikira raja tikus!

Ya, tapi setelah dipaksa-paksa Mami terus, dan diancam bakal tak diizinkan nonton TV sampai malam, akhirnya Lupus menetapkan untuk berangkat juga ke rumah Tante Ilaa. Dia akan membantu menyampaikan kejutan Mami. Tapi yang tetap jadi masalah adalah, soal jarak antara rumah Lupus dan rumah Tante lia. Wih, untuk anak seukuran Lupus itu termasuk jauh banget! Bayangin, rumah Tante Ilaa itu adanya di Jalan Merdeka Barat dekat Museum Gajah. Sedang rumah Lupus berada di kawasan Slipi.

Jadinya gimana, dong? Kalo nggak berangkat nggak enak sama Mami. Tapi kalo berangkat - Lupus takut nyasar. Lupus benar-benar bingung.

Sementara Mami yang tadi ke kamar, udah muncul lagi.

"Lho, masih belon jalan juga?" Mami menegur Lupus yang lagi bengong.

"Ini baru mau jalan," kata Lupus memutuskan untuk berangkat ke rumah Tante Ila.

Lupus segera naik mikrolet yang bakal membawanya sampai di perempatan jalan besar yang dilalui bis PPD. Soal naik mikrolet sendirian Lupus udah biasa. Tapi untuk naik bis PPD, Lupus belon gitu apal nomornya.

Lupus kudu naik bis PPD nomor 210 atau 213, jurusan Rawamangun atau Kampung Melayu. Kemudian turun di Bendungan Hilir untuk menyambung lagi dengan naik bis nomor 10, 1? atau bis tingkat nomor 70. Sayangnya ketika Lupus sampe di perempatan jalan ia malah naik bis nomor 46 jurusan Cililitan. Ini saking dia terburu-buru. Bis itu jelas tidak lewat Bendungan Hilir.

"Pak," tanya Lupus ketika sudah di atas bis, "bis ini -lewat Bendungan Hilir nggak?"

"Oh, nggak, Dik. Kalo kamu mau ke Bendungan Hilir turun aja di Komdak trus nanti nyebrang dan cari metromini nomor 604 jurusan Tanah Abang."

Lupus kaget juga waktu tau bahwa dia telah salah naik bis. "Eng, terima kasih, Pak."

Setelah sampe depan Komdak Lupus lebih ati-ati lagi. Dia bertanya dulu pada seorang penjual rokok sebelum benar-benar naik. Bukan apa-apa, karena Mami ngasih duitnya pas-pasan banget.

"Kalo mau ke Benhil setau saya naik bis Mayasari 403, deh," ujar tukang rokok itu.

"Bukannya metromini, Bang?"

"Bukan."

Wah, wah, gimana sih bapak yang tadi itu. Katanya naik metromini, tapi sekarang kata tukang rokok naik Mayasari. Lupus merasa nggak enak sama Mami kalo sampe telat menyampaikan kejutannya ini.

Sebenarnya Lupus nggak perlu bingung. Karena bis Mayasari dan metromini sama-sama lewat Benhil. Untungnya pas Lupus lagi bingung-bingungnya, ia ketemu seorang anak yang dikenalnya. Sambil menepuk punggungnya keras-keras, Lupus berkata "Hai Andi, mau ke mana kamu?

Tapi alangkah malunya Lupus, ketika menoleh ternyata anak itu bukan Andi! "Oh, sori," kata Lupus tersipu-sipu, "saya kira temen saya si Andi. Maaf, ya?"

"Nggak apa-apa, saya maafin," ujar anak itu rada sebel. "Tapi kalo seandainya saya Andi, kenapa kamu menepuknya begitu keras?"

Lupus cuma nyengir.

Tapi buntut-buntutnya ? mereka jadi akrab ngobrol. Dan Lupus langsung bertanya tentang problemnya.

?"0 iya, metromani 604 lewat Bendungan Hilir, Pus," tukas anak itu.

?Dan setelah pisah sama anak itu, akhirnya Lupus benar-benar tiba di Bendungan Hilir. Dipegangnya masakan maminya, masih anget! Lupus pengen sampe di rumah Tante Ila sebelum masakan itu dingin.

Maka ketika tiba-tiba nongol bis tingkat nomor 70 dia segera saja naik. Padahal bis itu penuh sekali. Lupus terjepit-jepit.

"Hei, ini anak kecil ngapain main-main di bis!" tegur sang kondektur. "Mau ngamen, ya?"

"Nggak, Bang. Saya mau ke rumah tante saya di Merdeka Barat."

"O, kalo gitu naik aja ke atas, di bawah penuh."

Tapi di atas penuh juga. Akhirnya Lupus dapat tempat dengan berdiri di tangga. Dahinya keringatan. Kakinya pegel-pegel. Untuk sebuah kejutan memang diperlukan pengorbanan.

"Museum! Museum!"

"Stooop!"

Lupus turun. Lalu anak kecil itu melenggang menyusuri jalan menuju rumah Tante Ila. Dilapnya keringat di dahinya. Dipijitnya kakinya yang pegel. Tapi Lupus merasa itu nggak akan ada artinya bila dibanding dengan kekagetan tantenya nanti. Lupus membayangkan ekspresi wajah Tante Ila yang terbengong-bengong begitu melihat kedatangannya. Dan Tante Ila juga akan surprise sekali kalo tau bahwa Mami mengirim masakan sambel goreng ati kesukaannya.

"Assalamualaikum...!" Lupus memberi salam pas sampe depan pintu rumah Tante Ila.

"Waalaikumsalam, masuk, tidak dikunci."

Lupus membuka pintu. Ia mendapati Tante Ila sedang duduk di ruang tengah sambil menyuapi anaknya. Ekspresinya biasa aja menyambut kedatangan Lupus.

Lupus heran sekali, kenapa Tante Ila tidak terkejut. Kenapa dia tidak kaget. Aneh, bukankah Lupus baru kali ini datang sendirian ke sini?

"Tante, kenapa Tante tidak kaget melihat Lupus datang ke sini sendirian?" tanya Lupus yang ngerasa ada sesuatu yang nggak beres.

"Bagaimana Tante bisa terkejut, Pus, kalo Mami kamu sudah tiga kali menelepon ke sini memberitahukan bahwa dia akan membikin kejutan dengan mengirim masakan yang dibawa oleh kamu," tukas Tante Ila sambil terus menyuapi. anaknya.

Lupus bengong, tapi Tante Ila tersenyum manis, dan menyudahi suapannya kepada si mungil.

"Jangan kuatir, Pus, meski ulah Mami bikin Tante nggak surprise lagi, tapi paling tidak Tante jadi sempat beli es krim vanila khusus untuk kamu. Mau?"

Lupus mengangguk senang.

4. Ihik, ihik...

?SEKARANG-SEKARANG jangan coba-coba ngilik-ngilik lobang idung Happy pake sapu lidi atau ngitik-ngitik pinggang dia pake garisan segi tiga. Pasti dai marah banget. Happy lagi nggak mau diajak becanda. Happy lagi ngambek gara-gara tadi dia dikata-katain sama serombongan anak-anak yang ketemu di jalan, "Dut dut lang... ada orang gendut! Hei, ada orang gendut pergi sekolah. Tolong, ada orang genduut...!"

Akibatnya Happy sebel banget dan jadi sensitif. Kalo dideketin anak-anak dia menjauh. Karena anak-anak banyak yang terus mau mendekat, akhirnya Happy terus menjauh, sampe-sampe dia kebagian duduk di lapangan basket! Hehehe.

Pokoknya Happy berubah sembilan puluh derajat, deh. Yang tadinya di kelas selalu periang, kini selalu murung. Waktu Bu Guru masuk memberi pelajaran, Happy juga nggak minat. Bawaannya males. Ini gara-gara Happy masih sedih dikatain gendut tadi.

"Oh, mengapa mamaku dulu melahirkanku dalam keadaan gendut? Mengapa Mama memilih bayi yang gendut untuk dibawa pulang? Mengapa oh, mengapa...?" Happy bertanya-tanya dalam hatinya yang juga gendut.

"Happy, mengapa kamu melamun?" tegur Bu Guru.

"Iya, mengapa begini, ya?" tanya Happy pada dirinya sendiri.

"Mengapa begitu, Hap?" tanya Bu Guru lagi.

"Mengapa begini?" balas Happy lagi.

"Mengapa kita bisa mendengar?" Ibu Guru ngomong lagi.

"Kalo nggak bisa mendengar berarti budek, Bu."

Hehehe, jadi kayak iklan di RCI1 aja. Untungnya Bu Guru segera sadar.

"Happy, kenapa kamu?"

"Nggak apa-apa, Bu. Saya gendut-gendut aja eh bukan, saya sehat-sehat aja, nggak kurang suatu apa," Happy menjawab sambil sedih.

"Bener nih, nggak apa-apa?"

" Bener."

? Tapi anak-anak ngerasa sekali kalo ada perubahan pada diri Happy. Dan Lupus yang selalu ingin tau itu, pas istirahat menemui Happy.

"Kamu lagi ada masalah, ya?"

"Iya." kata Happy mengangguk. Dia kalo sama Lupus nggak bisa bohong. "Saya sedih dikata-katain gendut sama anak-anak. Saya males gendut, Pus...."

"Kamu bosen gendut? Wah, kebetulan!"

"Kebetulan gimana?"

"Saya bosen kurus, kita tukeran aja!"

"Emangnya bisa?" Happy bengong.

Lupus buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Eh iya, Hap, kalo kamu mau kurus kamu ikutan diet aja."

"Diet?"

"Artinya saya nggak tau, tapi mami saya di rumah lagi diet. Dia sekarang jadi jarang makan. Dia katanya mau ngurangi berat badannya."

" Ah, mami kamu lagi ngirit kali," tukas Happy.

"Kalo ngirit sih udah dari dulu, Hap. Tapi dia bener-bener ngurangi makan demi badannya. Kalo kamu mau, ntar ke rumah aja nanya-nanya ama Mami apa itu diet dan bagaimana Mami diet."

?Pulang sekolah jadinya Happy mampir ke rumah Lupus dulu. 'Tapi ternyata maminya lagi pergi keluar sebentar. Tinggal ada Lulu yang masih asyik melototin tipi di ruang tengah sambil makan popcorn. Kebetulan saat itu siang-siang di tipi ada acara sirkus. Sebelum-sebelumnya Lulu memang belum pernah ngeliat acara sirkus. Jadinya Lulu keliatan takjub sekali melihat ada pemain sirkus yang berjalan di atas seutas tali.

"Mami ke mana, Lu?" tanya Lupus sambil mengajak Happy masuk.

"Ke Blok M," Lulu menjawab singkat, sambil matanya tak lepas dari layar kaca. Lupus jadi penasaran, ingin tau apa yang ditonton Lulu.

"Wah, kamu kagum ya sama kehebatan orang itu berjalan di atas tali ?" komentar Lupus.

"Oh, jadi ada talinya, to? Kirain nggak ada," Lulu pun langsung meninggalkan tipi dengan muka kecewa.

Lupus jadi bengong.

"Yuk, kita nunggu Mami di beranda depan aja, Hap," ajak Lupus.

Happy mengikuti ajakan Lupus.

"Mami kamu nggak lama perginya, kan, Pus?"

"Enggak. Mami kalo pergi nggak pernah lama. Soalnya nggak ada yang jaga rumah."

Lupus duduk di bangku.

Kebetulan tetangga sebelah lagi ngobrol sama tetangganya. Iseng-iseng kedua anak itu nguping.

"Saya selalu mendapat kesulitan membangunkan anak saya yang berumur enam tahun di waktu pagi. Kadang-kadang saya sampe ngerasa putus asa, lho, Jeng."

"Oh," kata tetangganya yang satu lagi kalem. "Saya sih sekarang udah nggak masalah lagi soal bangun-membangunkan seperti itu. Kalo emang udah waktunya sekolah, saya cuma tinggal melemparkan kucing ke tempat tidur anak saya."

"Lho, bagaimana itu bisa membangunkan anak Jeng?" tanya tetangga yang satu penasaran.

"Soalnya," jawab tetangganya, "dia tidur bersama anjingnya."

Lupus dan Happy ngikik.

Dan dari kejauhan muncul Mami sambil membawa belanjaan yang lumayan banyak. Mami abis beli keperluan sehari-hari untuk satu bulan. Makanya Mami kelihatan lelah sekali. Lupus dan Happy buru-buru menghampiri Mami, dan membawakan keranjangnya.

"Eh, ada Happy."

?"Iya, Tante. Selamat siang."

"Siang. Uh, Mami mabuk darat, nih," kata Mami kepada Lupus dan Happy. "Mami selalu mabuk darat kalau naik bis tingkat dan duduk menghadap ke belakang."

"Kenapa Mami nggak mengajak tuker tempat sama orang yang duduk di depan Mami aja?" ujar Lupus sambil sibuk mengangkuti belanjaan.

"Itu dia, Mami udah mikir ke situ. Tapi ya bagaimana, tak satu orang pun yang duduk di depan Mami." .

Happy bengong.

Tapi setelah sama-sama istirahat, Lupus langsung mengutarakan maksud kedatangan Happy ke situ. Kebetulan Mami bersedia diajak ngomong-ngomong soal gendut dan permasalahannya.

"Saya malu gendut, Tante," ujar Happy memulai percakapan. "Saya sering diolok-olok."

"Ah, itu biasa, Hap. Nggak apa-apa, kok.. Kamu tau, dulu juga ada seorang gadis yang bertubuh agak gemuk. Dia suka minder dalam pergaulan. Tapi akhirnya dia berhasil menumbuhkan rasa percaya dirinya. Jadi orang gendut itu bukan berarti harus rendah diri. Kalau otaknya pinter, biar gendut, orang akan menghargai. Dan dia bertekad harus ?bisa jadi orang sukses. Dia juga berusaha menurunkan berat badannya. Dan kini dia sudah jadi perempuan yang cantik dan langsing. Happy tau siapa gadis itu?"

"Ee, gadis itu adalah Tante?" tanya Happy semangat.

"Tante? O, tentu saja bukan," tukas Mami cepat. "Masa Tante gendut, sih. Amit-amit. Bukan! Bukan Tante. Tante dulu ramping sekali. Malah seumur kamu dulu, Tante pernah dipilih jadi ratu kecantikan sedesa. Dan Tante juga pernah jadi cover majalah dinding, lho. Hihihi...."

"Happy kira gadis itu Tante," ujar Happy kecewa.

Lupus jadi kasian nge?liat Happy.

"Gadis gendut itu teman ??sekelas Tante. Dia sekarang sudah langsing. Dan kamu bisa, kok, seperti dia, asal mau ngurangi jatah makan kamu. Memang berat, Hap, tapi kalo mau pasti bisa, kok. Kalo Happy cantik yang seneng kan Happy juga. Kali aja nanti Happy bi?a jadi cover majalah juga seperti Tante dulu."

"Happy akan berusaha, Tant?," ujar Happy lirih.

Lalu Mami ngasih tau soal diet.

Dan waktu Happy mau pulang, Lupus nganter sampe depan pintu. Lupus ikut membangkitkan semangat Happy agar mau diet. Lupus juga berjanji akan melukis wajah Happy sebagai hadiah.

"Tapi kamu harus diet, Hap."

"He-eh. Trus kapan lukisan itu jadi?"

"Minggu depan'"

***

Happy kemudian bener-bener melakukan diet. Sekarang Happy nggak pernah lagi main-main ke kantin. Kalau lewat jam tujuh malam, Happy sudah tak mau makan lagi. Mau berangkat sekolah juga, Happy hanya makan roti sepotong. Happy sudah bertekad untuk mengurangi kegemukan badannya. Yang tadinya makan sehari delapan kali, belum termasuk ngemil, kini cukup dua kali.

So pasti itu merupakan perjuangan berat bagi Happy. Tapi daripada dikata-katain gendut, ya mending diet.

Dan hari itu pas seminggu Happy berdiet. Happy lalu mencari-cari Lupus untuk menagih janjinya. Salah satu yang mendorong semangat Happy berdiet memang janji Lupus itu. Sayangnya ketika ditemui Lupus belon bawa apa-apa.

"Wah, saya lupa, Hap," kata Lupus enteng.

Happy jelas kecewa. Dia merasa dibohongi Lupus. Dan mendadak Happy langsung melangkah menuju kantin untuk pesen makanan.

"Saya mau udahan dietnya, abis kamu bohong!" teriak Happy ketus.

Lupus kaget. Apalagi ngeliat Happy bener-bener mesen berupa-rupa makanan. Happy makan gila-gilaan karena dia udah seminggu lebih nggak makan di kantin.

?"Hap, kamu jangan gitu, dong. Saya kan lupa, nanti kalo inget pasti deh saya lu?pa lagi eh, maksud saya nanti kalo inget pasti saya gambarin," rayu Lupus.

Sayangnya Happy terus aja makan. Lupus jadi ikutan makan.

Pulang sekolah Lupus masih terus berusaha membujuk Happy agar meneruskan dietnya. Karena biar baru seminggu, udah keliatan hasilnya. Jadinya sayang kalo nggak diterusin. Idung Happy memang mulai kurusan!

"Saya nggak mau diet lagi. Biar gendut nggak apa-apa. Di rumah, saya juga udah niat mau ngabisin isi kulkas!" tukas Happy sambil ngemil Chi ki rasa beras kencur.

Tapi waktu mereka berdua hendak menyeberang jalan untuk menuju jalan ke kompleks perumahan, tiba-tiba muncul serombongan anak-anak menghampiri Happy dan mengolok-olok..

"Hei, dut dut lang kecapi pentil, si gendut pulang sambil ngemil! Dut dut lang wayang golek, si gendut pulang langsung tergolek! Dut dut lang burung walet, gendut tidur nggak bisa ngulet! Hahaha...."

Happy nggak nyangka bakal diledek, dia kaget dan hampir menangis. Anak-anak kecil itu memang keterlaluan. Lupus buru-buru membujuk.

"Tenang, Hap, makanya kamu terusin aja diet kamu. Seminggu lagi pasti kamu kurus. Kamu nanti nggak bakal diledek-Iedek lagi."

"Iya deh, Pus. Tapi jangan lupa lukisannya, ya?" ujar Happy lemes.

"Diet kan banyak gunanya. Bisa ngurangi lemak, juga bisa ngurangi jatah makan kamu yang gila-gilaan. Lagi kalo langsing lebih mudah dilukisnya, Hap."

Happy mengangguk setuju.

?Tak lama kemudian tau-tau serombongan anak-anak kecil tadi lewat lagi. "Tenang, Hap, cuekin aja," ujar Lupus. .

Ternyata kali ini bukan Happy yang diledek, melainkan Lupus!

"Rus rus lang kecapi pentil, si Lupus kurus kayak lobang pentil! Rus rus lang siti sirik, Lupus kurus kayak tiang listrik! Rus rus lang sayang disayang, Lupus kurus ? tiup angin pasti melayang! Hahaha...."

Lupus meringis. Sementara Happy ngikik berat.

"Hahaha," tawa Happy meledak.

"Sial, saya harus buru-buru makan dan ngabisin isi kulkas, nih. Ya biar saya cepat gendut dan nggak diledek-ledek lagi," kata Lupus sambil langsung lari terbirit-birit menuju rumahnya.

Sedang tawa Happy semakin meledak-ledak.. .

"Hahaha... dor, dor, dor! Hahaha...."

***



Mami dan Lulu yang saat itu lagi asyik makan siang bareng tiba-tiba dikagetkan dengan kemunculan Lupus yang tersuruk-suruk dalam keadaan murung 60 derajat!

"Eh, Kak Lupus kenapa, tuh?" Lulu sampe meletakkan daging ayamnya untuk menatap Lupus yang mencangking tas di pundak dengan lemes melangkah menuju kamar.

Mami pun nggak kalah heran. Ya, Semenjak jadi orangtua Lupus, barangkali baru kali ini ia melihat anaknya pulang sekolah dalam keadaan nggak bagus seperti itu.

Ada apa. dengan anak saya, ya? Hati Mami bertanya-tanya.

Ibu muda yang kadang paling bawel di rumah itu pun lalu beranjak untuk melihat kondisi anak lelakinya. Ia meninggalkan piring makannya yang isinya masih lumayan.

Di piringnya masih ada sepotong daging ayam, sepotong tempe goreng, sekumpulan emping kering, dan setumpuk nasi putih. Tak lupa semangkuk sop parkir di sebelah piringnya. Ia begitu rela meninggalkan semua itu demi anaknya.

"Bentar ya, Lu," kata Mami pada Lulu. "Nitip daging ayamnya, ya?" Mami lalu mindik-mindik ke kamar Lupus. Lupus tadi langsung masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi.

Di deket pintu, Mami merapatkan daun pisang eh, daun kupingnya, agar bisa tau sedang apa Lupus di dalam. Dan Mami terperanjat!

?"Lu, sini..." Mami cepat memanggil Lulu.

"Ada apa, sih?" Lulu yang lagi makan daging ayam penasaran.

"Dengerin sini... eh, itu daging ayam Mami, bukan?"

"Bukan. "

"Ya udah, dengerin sini."

Lulu ikut merapatkan daun kupingnya ke pintu kamar Lupus. Dan Lulu pun terperanjat!

"Lupus menangis?" tanya Lulu.

Apa iya anak segede Lupus menangis? Ada apa? Apa karena Lupus malu dikatain kurus stama anak-anak? Bukan. Itu kan kejadiannya udah kemaren-kemaren. Dan Happy juga masih tetap diet. Jadi kenapa Lupus?

Ya, ini pasti gara-gara waktu di sekolah tadi. Lupus diledekin anak-anak sekelas gara-gara ulangan matematikanya dapat nilai empat! Sebelumnya jarang banget Lupus dapat nilai segitu. Makanya ia shock berat. Apalagi Lupus dapat nilai segitu, bukan tanpa belajar yang tekun. Semaleman Lupus sudah membahas soal-soal latihan yang diberikan Ibu Guru.

Beberapa soal yang dikerjakan Lupus ternyata nggak komplet jawabannya. Menurut Lupus, ini hanya kesalahan kecil aja. Tapi Ibu Guru nggak mau tau. Hanya empat jawaban soal yang dianggap layak dari 10 jawaban soal yang ada. Lupus jadi sebel sama Ibu Guru, karena dirasanya nggak berperikemanusiaan. Tapi yang paling bikin sebel lagi adalah anak-anak.

"Wah, payah, Lupus dapat kursi terbalik!"

"Hei, kenapa Lupus dapat kursi terbalik, karena selama ini Lupus selalu nggak kuat untuk membalik kursinya. Hahaha."

"Hari ini Lupus juara dari... bawah!"

Anak-anak terus meledek Lupus. Tadinya anak-anak nggak tau kalo Lupus dapat empat. Tapi Pepno tau-tau menarik kertas ulangan Lupus dan berteriak, "Liat, Lupus dapat nilai empat!" Teriakan Cabe Keriting ini betul-betul ampuh. Anak-anak langsung pada ribut.

Dan anak-anak terus saja meledek sampe Lupus hampir mau menangis.

"Yaaaa, nangis. Lupus mau nangis.... " teriak anak-anak waktu melihat Lupus menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Lupus nangis. Dia kan anak laki, Mi?" tanya Lulu yang abis menguping itu tiba-tiba.

Mami mendesah sebentar.

"Semua orang boleh menangis, Lu," ujar Mami kemudian. "Kamu, Mami, dan juga Lupus. Karena semua orang punya air mata. Nah, sayangnya kita suka menganggap kalo anak cowok nangis berarti nggak jantan. Padahal nggak. Cuma cengeng, hihihi. Eh, maksud Mami, itu anggapan yang salah. Kenapa orang menangis? Karena ada dorongan emosi dari dalam," jelas Mami panjang-lebar.

Lulu mengangguk-angguk.

Merasa Lulu serius mendengarkan, Mami jadi melanjutkan ocehannya, "Sebetulnya menangis itu sehat, lho. Kalo nangis sambil lari pagi, gitu. Hehehe. Maksud Mami gini, menangis sehat karena air mata yang keluar membawa kotoran-kotoran dari dalam tubuh. Ya, seperti kalo kamu abis olahraga aja. Kan suka keluar keringet. Dan nangis itu nggak boleh ditahan-tahan, bisa bikin jerawatan."

"Jadi, Lulu boleh menangis juga?"

"Boleh. Asal ada sebabnya."

"Kira-kira Kak Lupus nangis karena apa, Mi?"

"Wah, Mami nggak tau. Tapi pasti dia akan cerita kalo perasaannya udah enakan."

Baru saja Mami selesai bicara, tiba-tiba Lupus muncul dari balik pintu sambil mengusap sisa air matanya.

"Kamu masih menangis?" tanya Marni pelan dan mengusap rambut Lupus lembut.

?Lupus tak menjawab. Isaknya memang masih terdengar.

"Kalo memang masih, menangislah, Pus. Nggak usah malu sama kita, deh. Menangis itu sehat, Iho."

"Ihik.... ihik.... Lupus udah tau, kok."

"0, jadi kamu ngedenger obrolan Mami, to?"

Lupus mengangguk pelan.

Sambil mengusap kening anaknya Mami berkata, "Kamu udah nggak mau nangis lagi? Kalo engga? nanti cerita sama Mami dan Lulu sebab-sebab kamu menangis, ya? O ya, gimana kalo sebelum cerita, kita makan siang dulu? Kamu kan belon makan."

Lupus lalu diajak duduk di meja makan. Selain ingin meneruskan makan siangnya yang tertunda, Mami dan Lulu juga penasaran pengen buru-buru mendengar kisah Lupus. Tapi belon sempat mereka menyuap kembali, Lupus tau-tau menangis lagi.

"Ihik... ihiik...."

"Wah, mentang-mentang Mami bilang menangis itu sehat, sekarang kok Lupus jadi seneng menangis, ya," komentar Marni sambil melirik ke Lulu.

"Iya, nih," jawab Lulu.

"Ihik.... Ihik... tapi nangis yang ini bukan karena Lupus pengen sehat... ihik... ihik...."

?"Lho, karena apa?"

"Karena daging ayam untuk makan siangnya udah abis semua! Ihik... Ihik...!"

"Oo...." Marni dari Lulu melongo bareng.

5. Di Pucuk Pohon Cemara

MENJELANG Natal toko-toko di pinggir jalan meriah dengan kertas warna-warni, balon-balon, dan lampu kecil-kecil yang terang-benderang. Jalan-jalan penuh oleh rombe-rombe yang menggelayut di bawah batang pohon peneduh. Orang-orang hilir-mudik menikmati malam sambil berjalan-jalan menonton isi etalase toko yang gemerlap itu.

Ya, semua orang saat itu sibuk sekali. Ada yang repot menyiapkan undangan pesta, bikin kartu ucapan selamat, nyusun parcel, atau mengerjakan apa aja yang mampu membuat orang bergembira pada malam Natal nanti.

Apalagi pesta Natal segera tiba.

Robert, teman sekelas Lupus yang kebetulan merayakan Natal, jauh-jauh hari sudah membayangkan hadiah Natal yang akan diberikan saudara-saudaranya untuk dia. Biasanya, adik-adik ayahnya selalu memberikan hadiah Natal kepada Robert. Kadang mereka membelikan mainan, sepatu baru, baju baru, atau mengirim kue tarcis, kue bronis, dan kue-kue enak lainnya. "Wah, mudah-mudahan Natal tahun ini akan lebih banyak. hadiah yang saya terima nanti."

"Nggak baik mikirin hadiah apa yang akan kamu ?rima, Rob," ujar mamanya menasihati, sewaktu mereka akan berangkat ke kebaktian di gereja. "Kamu harus belajar mengerti bahwa kebahagiaan sejati itu datangnya dari kemauan untuk memberi."

"Baiklah," kata Robert sambil mengenakan kaus kakinya, "mudah-mudahan banyak hadiah yang akan diberikan saudara-saudaraku nanti."

Wah, tapi nggak semua orang bergembira. Ya, mendung tampak menggelayut di mata Alfred malam itu. Dan Lupus yang kebetulan lagi nongkrong di sana kelihatan murung pula. Ada apa dengan Alfred?

O ya, Alfred juga teman sekelas Lupus yang merayakan Natal. Alfred tergolong anak p?ndiam. Makanya baru kali ini kita ?empat berkenalan dengannya. Meski begitu orangnya lumayan baik.

"Begitulah, sejak Papa sakit dan dirawat berbulan-bulan di rumah sakit Cisarua, kami seperti tak siap menghadapi Natal," Alfred mendesah.

"Maksudmu, di rumahmu tak ada kue?" tanya Lupus iba.

"Hmm, jangankan kue, Pus, pohon Natal aja kita nggak punya. Semua perabotan rumah abis terjual untuk membiayai penyembuhan sakit Papa. Mama sekarang ada di sana, menunggu Papa," Alfred memainkan ujung singletnya.

Lupus hanyut terbawa air, eh maaf, maksudnya hanyut mendengar cerita sedih Alfred.

"Malam ini saya sendirian di rumah, kalo kamu mau tidur di sini, saya senang sekali, Pus. Adik dan kakak saya juga ikut ke sana menunggu Papa..."

"Sebetulnya saya mau aja, AI," ujar Lupus pelan. "Tapi saya belon bilang Mami. Ntar dia kebingungan lagi anak kesayangannya nggak pulang. Kapan-kapan aja, ya."

Kedua anak itu tak saling cakap-cakap lagi. Alfred asyik memelototi rembulan yang menyorotlcan sinar lembutnya ke halaman rumah. Lupus juga. Anak ini, entah kenapa, jadi ikut-ikutan pendiam macam Alfred.

Dan tak lama kemudian Lupus minta diri pada Alfred. Hari memang sudah mulai gelap.

?Alfred mengantar sampe muka rumah.

Malam itu jadinya kontras sekali. Di jalan-jalan begitu gemerlap, tetapi di rumah dan di hati Alfred nyaris sepi sekali. Tak ada tanda-tanda hari Natal akan tiba.

Dan di jalanan, Lupus diem-diem merenungi nasib Alfred. Lupus berasa ingin menolong Alfred. Tapi pegimane, ye? Hati Lupus bertanye-tanye.

Tanpa terasa Lupus berjalan sambil ngelamun, tau-tau ia sudah masuk ke rumahnya.

Langsung disambut maminya, "Wah, ternyata kamu pulang juga, Pus. Mami tadi udah girang aja, dikirain kamu mau nginep di rumah temanmu. Soalnya Mami cuma punya tiga potong dendeng gepuk untuk Mami, Papi, dan Lulu makan malam."

Lupus jadi sebel.

Bersamaan dengan kedatangan Lupus, seorang lelaki tua tukang minta-minta memberi salam di depan pintu.

"Siapa itu, Pus? Temanmu?" tanya Mami sambil menyiapkan ,makan malam.

"Bukan," Lupus langsung ngeloyor ke kamar.

Mami pun melongok ke luar.

"Ibu," kata pengemis itu memelas, "saya belum makan selama dua hari. Apakah Ibu bisa memberi saya makan?"

?"Bisa aja. Tapi makanan saya nggak banyak. Dendeng gepuk buat saya aja harus dibagi dua dengan Lupus."

"Aduuh, tolonglah, Bu. Beri saya apa saja."

Mami berpikir sebentar. "Eh, Bapak keberatan nggak. makan nasi dan sayur sop sisa malam sebelumnya?"

"Nggak apa, Bu, saya bersedia."

"Baik- kalo gitu datanglah ke sini lagi beok pagi,. ujar Mami sambil menutup pintu.

***

Di dalam kamar, sebelon bobo, Lupus teringat lagi pada keluhan Alfred. Alfred yang sendirian menjaga rumah. Alfred yang ingin merayakan Natal tapi nggak punya apa-apa. Alfred sahabatnya yang pendiem....

Lupus belon memejamkan mata biarpun jam dinding sudah berdentang sepuluh kali. Dia malah iseng-iseng membuka pintu jendela kamar untuk membiarkan udara ?alam masuk membelai wajahnya. Mata Lupus tiba-tiba beradu pada sebuah pohon cemara di halaman sana!

?Pohon cemara itu begitu menarik minat Lupus, dan sedetik berikutnya ia langsung mendapat akal.

Lupus langsung meloncat lewat jendela, ia mindik -?mindik jalan keluar. Kenapa Lupus mindik-mindik, toh, pohon cemara itu ada di halamannya? Ya, soalnya pohon cemara itu salah satu pohon kesayangan Mami.

Mami memang suka pada tanam-tanaman. Pokoknya pada sesuatu yang bisa ditanam Mami senang. Tiang listrik, tiang telepon, tiang jemuran aja ada di halaman itu, soalnya semua itu bisa ditanam, dan menurut Mami itu semua termasuk tanam-tanaman.

?Tapi selain tiang-tiang yang ditanam Mami, di sana ada juga tertanam aneka macam bunga dan tanaman, dari bunga mawar, melati, asoka, palem merah, sampe ke cemara yang kini menarik minat Lupus....

Dengan hati-hati dan bersusah payah, Lupus memotong bagian atas pohon cemara yang tingginya hampir satu meter itu. Lalu dengan selimut tidurnya, anak bandel itu membungkus pucuk cemara. Tapi sedetik kemudian, Lupus dikagetkan suara Mami, yang merasa mendengar sesuatu yang mencurigakan.

"Hei, suara apa itu di halaman?" teriak Mami.

"A-anu..." Lupus gugup.

"Suara apa, kucing apa bukan?" teriak Mami lagi.

"Bukan, eh, kucing ding!" tukas Lupus gagap.

"Bener kucing?" tanya Mami lagi.

"Bener. "

Ya, hampir aja Lupus ketauan. Dan kalo Mami sampe tau bahwa Lupus memotong pucuk pohon cemara kesayangannya itu, Lupus bisa kena hukum dikurung di dalam kamar mandi seumur idup!

Untunglah Mami nggak sampe tau.

Eh, tapi ngomong-ngomong, untuk apa Lupus tega memotong pucuk pohon cemara punya Mami itu? Apa mau balas dendam soal dendeng gepuk?

Lupus cuma tersenyum, tak sabar menunggu hari esok.

***

Sore-sore sekali Lupus, dengan mengendarai sepeda, membawa pucuk pohon cemara itu ke rumah Alfred. Alfred yang lagi bengong di beranda, girang ngeliat Lupus nongol.

" AI...!" teriak Lupus dari kejauhan.

"Hai, Pus...!" balas Alfred dari kedekatan.

Di depan pintu halaman, Lupus meninggalkan sepedanya begitu saja. Buru-buru ia menghampiri Alfred.

"Al, tebak apa yang saya bawa!"

"Wah, apa tuh?"

"Ayo, tebak."

"Saya nggak tau."

Lupus kemudian membuka bungkusan pelan-pelan. Maka menyembullah pucuk pohon cemara itu....

"Pohon Natal untuk kamu!" teriak Lupus.

"Hah! Ya ampun, dari mana kamu dapat ini, Pus?"

"Dari kebun saya, dan ini saya petik khusus buat kamu, Al."

?"T-terima kasih banyak Pus," Alfred terharu menerima pucuk. pohon cemara itu. Matanya berbinar-binar. Dia lalu membawa pucuk pohon cemara itu ke dalam rumah. Lupus mengikutinya.

"Akan saya pasang di dalam kamar saya, kamu setuju?" teriak Alfred girang pada Lupus. Lupus mengangguk-angguk senang.

Dan sebelum Alfred meletakkan pucuk pohon cemara itu, ia berdoa sejenak. Foto papanya yang tergantung di dinding kamar serasa tersenyum melihat anak. kecilnya bahagia. Alfred berdoa demi kesembuhan papanya dan rasa gembiranya saat itu.

Alfred lalu mengajak Lupus menghias pucuk pohon cemara itu dengan kertas warna-warni. Kebetulan Alfred juga menyimpan bola lampu kecil yang punya warna aneka macam, serta lilin-lilin sisa Natal tahun kemarin. Pucuk pohon cemara itu dibungkus penuh dengan segala hiasan.

Hasilnya, sebuah pohon Natal yang cantik....

?Natal tinggal beberapa hari lagi. Mama dan keluarga Alfred masih belum ada di rumah. Semua masih menunggu papanya di rumah sakit, di Cisarua sana. Dan Alfred bukannya nggak mau ikut menjaga papanya di rumah sakit, dia hanya ingin bermalam Natal di rumah, sambil jaga rumah!

"Kamu jangan takut. Pada malam Natal nanti, saya akan minta izin pada Mami untuk menginap di sini. "

"Mudah-mudah diizinin ya, Pus."

Lupus lalu memandangi pohon hasil karyanya yang kini tampak cantik sekali. Hatinya senang bisa membuat Alfred girang.

"AI, sekarang saya pulang dulu. Tadi saya ke sini nggak bilang, takut Mami nyariin."

?"0 ya? Kamu anak yang baik- pasti disayang mami kamu, ya?"

Lupus cuma tersenyum kecut.

"Iya, deh. Tapi jangan lupa malam Natal nanti, ya, Pus!" Alfred membukakan pintu pagar buat Lupus.

"Beres!"

Dalam perjalanan pulang, Lupus berjanji akan membantu mengadakan pesta Natal di rumah Alfred. Ia akan mengabari Pepno, Andi, Iko Iko, dan anak-anak yang lain. Alfred sendiri bebetulnya pengen mengundang anak-anak, tapi dia malu karena di rumahnya nggak ada apa-apa. Tapi Lupus sudah memikirkan hal itu. Tiap anak yang mau datang, diwajibkan membawa kue sendiri-sendiri. Dan kue apa saja, asal enak!

Happy harus diundang!

Tapi pas Lupus mau memarkir sepedanya di belakang rumah, ia mendengar Mami marah-marah nggak keru-keruan.

"pasti kamu yang memetik pucuk pohon cemara itu!" Lulu dituduh Mami memotong pucuk pohon cemara kesayangannya itu.

"Bukan, Mi."

"Pasti kamu. Abis siapa lagi, dong. Masa iya Mami nyalahin Lupus? Lupus-nya kan nggak ada. Yang ada cuma kamu, jadinya kamu yang pantas Mami salahin. Lagian waktu kemaren itu, Mami memergoki kamu memetik mawar merah untuk kamu sematkan di kuping bonekamu. Iya, kan? Nah, pasti pucuk pohon cemara itu juga ?mu yang potong! Ayo, ngaku!"

"Mami kok nggak pelcaya, cih," ujar Lulu ngambek. Lulu kalo ngambek- cadelnya suka kumat. Biar dimanja. "Kalo bunga mawal itu ya, tapi kalo pucuk po'on cemala nggak."

"Ah, pasti kamu! Eh, seandainya kamu yang motong, untuk apa? Untuk si Barbie, ya?"

"Kok pake ceandai-ceandainya, cih."

"Oh, jadi nggak pake seandainya? Jadinya beneran kamu yang motong pucuk pohon cemara itu? "

"Baik- Lulu yang motong. Tapi mana buktinya?"

"Buktinya nanti saja. Yang penting nuduh dulu. Lalu dipaksa mengaku. Jadinya kamu mesti mengaku dulu, baru nanti Mami lacak bukti-buktinya."

Di saat kritis begitu tiba-tiba Lupus muncul.

"Mi..."panggil Lupus lemah.

"Alaa, anak laki jangan ikut-ikutan. Ini urusan anak perempuan," hardik Mami ketika Lupus muncul di situ.

?"Tapi, Mi..."

"Sudah, kamu masuk saja sana. Ini urusan penting, menyangkut kehidupan sebuah tanaman, tau!"

"Lupus tau...."

"Pasti kamu nggak tau!"

"Tau!"

"Nggak!"

"Tau!"

"Nggak!"

Akhirnya Lupu? diem. Dia ngerasa nggak enak telah bicara keras pada maminya. Mami juga diem. Dia ngerasa nggak enak telah membentak-bentak anak lelaki nya... tanpa memukul. Hehehe.

Dan Lulu juga ikutan diem. Soalnya dia merasa nggak enak dituduh motong pucuk pohon cemara.

"Sebenarnya Lupus yang pantas dimarahi, Mi..," ujar Lupus membuka percakapan kembali.

"Lho, memangnya?"

"Ya, Lupus yang memotong pucuk pohon cemara itu."

"K-kamu... ?"

Lupus mengangguk.

"K-kamu yang memotong pucuk pohon cemara itu?"

Lupus mengangguk lagi.

?"K-kamu yang sengaja memotong pohon yang hampir tiap hari Mami sirami itu?"

Lupus masih mengangguk.

"B-benar kamu yang memotong?"

Lupus bosen mengangguk.

"J-jadi kamu... yang... huaa... ihi? ihik..."

Mami menangis sesenggukan. Wajar aja, soalnya Mami amat menyayangi segala macam tanaman yang ia rawat tiap hari itu.

"Sudahlah, Mi, jangan diem, eh, jangan nangis. Lupus mengaku salah. Dan nggak bakal mengulang untuk yang kedua kalinya, Mi. Tapi Mami belon tau untuk apa Lupus memotong pucuk cemara itu, kan?"

"Ya, untuk apa? Ihik... ihik... "

"Untuk hadiah Natal Alfred!"

Mami menghentikan isakannya, memandang ke arah anak lelakinya yang nampak bicara dengan tulus. "Alfred?"

"Ya, Alfred amat membutuhkannya. Pohon Natalnya sudah usang, sementara ia belon sanggup membeli yang baru. Papanya sakit, berbulan-bulan dirawat di rumah sakit di Cisarua. Mama Alfred menunggu di sana. Alfred sekarang sendirian di rumah. Ia sama sekali nggak punya apa-apa untuk menyambut Natal tahun ini. Tidak ada kue-kue, tidak ada hadiah Natal, bahkan tidak juga pohon Natal.... "

?Mami dan Lulu mendengar kisah itu dengan khusyuk.

"Lupus. minta maaf pada Mami yang udah kehilangan pucuk pohon cemara. Juga minta maaf sama Lulu yang udah diomelin Mami. Pucuk pohon cemara itu memang berharga bagi Mami, tapi ia juga amat berarti bagi Alfred. Makanya Lupus berniat memberikannya sebagai hadiah kepada Alfred. Nanti kan pucuk pohon cemara itu tumbuh lagi, Mi. Lupus akan rajin menyiraminya tiap sore, dan memberi pupuk. Lupus janji..."

"Ihik... ihik...," Mami dan Lulu kini bareng sesenggukan.

"Lho kenapa pada menangis? Masih kesel sama pucuk pohon cemara?"

"Bukan... ihik... ihik..."

"Jadi apa, dong?"

"Kami terharu dengar cerita kamu itu... ihik... ihik..., " jawab Mami dan Lulu barengan lagi.

"Oh, kalo gitu Lupus ikutan ihik... ihik... dong! "

Mereka terharu. Mami malah berniat mau membikinkan kue-kue manis untuk dititipkan ke Lupus, kalau nanti Lupus menginap di sana untuk menemani Alfred pada hari Natal.

6. Si Papi

KALO ada lomba pemilihan ortu terpedit, barangkali papi Lupus bisa kepilih jadi juaranya. Papi memang orang yang paling pedit di antara orang-orang yang ada di rumah Lupus. Lupus aja jarang sekali dibeliin mainan. Lupus jadi sebel.

"Abis," tukas Lupus, "tiap Lupus minta apa-apa nggak pernah dikasih. Iya kan, Lu?"

"Iya. Lulu juga. Kemaren Lulu minta duit buat beli baju Barbie aja diomelin. Katanya, ngapain boneka pake baju segala? Mending duitnya buat beli nasi goreng Papi di kantor. Sebel, ih!" ujar Lulu.

?"Eh, kamu tau nggak- kenapa Papi jadi pedit begitu?" kata Lupus lagi.

"Wah, Lulu nggak tau, tuh."

"Apa dia nggak sayang sama kita-kita?"

"Mungkin."

"Atau, memang bener-bener nggak punya duit?"

"Nggak mungkin."

"Nggak mungkin gimana, Lu?"

"Papi kan kerja!"

"Jadi Papi bener-bener pedit?"

Mami yang asyik selonjoran sambil baca majalah, ikut ninmbrung.

"Tidak! Papi tidak pedit," protes Mami. "Buktinya, semua yang Mami miliki ini diberi gratis oleh Papi. Dulu-dulu semasa pacaran memang iya, kalo Papi membelikan Marni gaun, ia mengharuskan Mami untuk mencicil! Tapi sekarang Papi sudah berubah. Ia tidak pedit lagi."

"Sama Mami memang tidak pedit. Tapi sama kami... "

"Lho, kalian kan juga sering diberi oleh-oleh, kalo Papi dapat sebuah jeruk dari Oom Pimpa. Dan, kalo nggak salah, Papi kan pernah berjanji pada kalian untuk mengajak jalan-jalan ke pantai akhir pekan ini?"

"Itu sudah tidak masuk itungan, Mi. Lupus nggak yakin kalo Papi bener-bener mau ngajak kita-kita jalan-jalan ke pantai. Dulu Papi pernah mau ngajak jalan-jalan ke Taman Safari, tapi nggak jadi. Kata Papi, takut Lupus dimakan harimau. Padahal itu kan bisa-bisanya Papi aja. Untuk masuk ke Taman Safari kan nggak perlu ngeluarin biaya banyak Mi," ujar Lupus panjang-lebar.

"Waktu itu Papi benar-benar nggak ada waktu, Pus," bela Mami.

"Ah, minggu lalu juga gitu. Katanya Papi mau ngajak jalan-jalan ke Taman Ria M?onas. Eh, pas sampe sana Taman Ria-nya udah dibongkar. Dan tanpa dosa Papi bilang begini, 'Bukan salah Papi, Iho!' Setelah Lupus selidiki, nggak taunya Papi memang sengaja membawa kita ke situ, karena tau udah dibongkar," ujar Lupus lagi sambil bersungut.

"Ya sekarang kalian paksa aja supaya Papi nggak pedit lagi. Dia kan sudah janji untuk mengajak jalan-jalan ke pantai," putus Mami.

"Pasti Papi sudah menyiapkan. berjuta alasan untuk membatalkan janjinya," Lupus tak berminat.

"Jangan pesimis, nanti Mami bantu merayu!" .

Dan saat itu Papi emang lagi nggak ada di rumah. Ia lagi ikut rapat Pak Lurah, yang lagi ngasih penyuluhan pajak di kantor kelurahan.

"Nah, Bapak-bapa? akan lebih baik lagi kalo kita membayar pajak dengan tersenyum" ujar Pak Lurah menutup wejangannya.

Tiba-tiba, Papi yang tadinya tak semangat mendengar penyuluhan itu, jadi lega.

"Aduh, syukur," ujar Papi pada bapak-bapak yang ada di sebelahnya. "Tadinya saya kira pajak itu harus dibayar dengan uang. "

Papi pun pulang.

Dalam perjalanan pulang, Papi menyempatkan diri menengok mobil tuanya yang ia masukkan ke bengkel Pak Achyat. Mobil tua Papi itu belakangan ini sering mogok-mogok. Papi jadi kesel. Jadi meski nanti bakal keluar biaya besar, terpaksa mobil itu Papi masukkan bengkel. Papi langsung menemui Pak Achyat untuk menanyakan mobilnya.

"Ternyata," kata Pak Achyat, "kesulitan Bapak lebih besar dari yang saya kira."

"Kenapa?" Papi penasaran.

"Tadinya saya kira mobil Bapak memerlukan aki baru. Tapi ternyata aki Bapak-lah yang perlu mobil baru."

Papi jadi mingkem.

?Sementara di rumah, Lupus dan Lulu telah bertekad untuk terus menteror Papi dengan tagihan-tagihan yang disusun begitu rinci dan tersusun.

Begitu Papi sampai ke rumah, langsung disambut Lulu, "Pi, ke pantainya jadi, kan? Tinggal empat hari lagi, Iho!"

?Papi tak menjawab. Ia masih mikirin aki-nya yang perlu mobil baru.

Dan waktu mau makan, giliran Lupus yang neger, "Pi, jangan lupa ke pantainya, ya?"

Keesokan paginya, saat Papi mau berangkat kerja, Mami tak mau kalah, "Iya, Pi, jangan sampe nggak jadi lagi ke pantainya!"

Dan teror itu berlangsung tiap hari, tiap saat, tiap kesempatan. Papi bener-bener kewalahan. Naga-nagany? pa pi kudu menepati janjinya itu.

Malam itu, sebelum Papi memejamkan mata, Mami mengingatkan kembali akan janji Papi untuk mengajak anak-anak jalan-jalan ke pantai.

"Anak-anak tadi titip salam sama Mami, kata mereka, jadi kan pergi ke pantai hari Minggu nanti?"

"Enak aja!" Papi merasa nggak tahan mengeluarkan ganjelan hatinya. "Memangnya pergi ke sana itu nggak pake biaya, ya? Kamu tau, kan mobil Papi masih di bengkel dan perlu... eh, aki Papi masih di bengkel dan perlu mobil baru! Coba dong, Mami bayangin, belon nanti ongkos bensinnya, ongkos tiketnya, ongkos jajannya, ongkos beli oleh-olehnya. Mami ini gimana, sih. Sekarang kan lagi zaman susah, masa kita ?enak-enakan pergi ke pantai. Prihatin kek. Berdoa supaya zaman susah ini bisa berakhir."

"Lho, tapi kan Papi sudah janji sama anak-anak," Mami emosi.

"Ah, nanti juga mereka lupa."

"Tidak Untuk kali ini mereka tidak akan lupa!"

Betul. Karena besok paginya sebelum Papi berangkat ke kantor, Lupus dan Lulu mencegatnya.

"Selamat pagi, Pi," salam Lupus dan Lulu.

"Ingat, hari Minggu tinggal tiga hari lagi, lho."

Kalo dicegat begitu Papi cuma mengangguk-angguk aja. Tapi mengangguk-angguknya Papi bukan berarti setuju. Di perjalanan, Papi berusaha mencari jalan keluar untuk menggagalkan acara jalan-jalan ke pantai. Iseng-iseng Papi membuka koran paginya. Ah, cuma berita biasa aja. Rutin. Malah kebanyakan iklannya. Tapi... eh, apa ini? Papi meneliti kolom surat kabar bagian bawah. Di situ ada berita tentang seorang anak yang terseret air laut ketika sedang berenang di pantai. Papi berteriak, aha! Ini bisa dijadikan alasan yang tepat! Ya, pasti anak-anak akan kuatir terseret juga.

Pulang kerja Papi langsung cepat mencari Lupus, Lulu, dan Mami.

"Lihat, ada anak terseret ombak waktu dia lagi main-main di pantai," ujar Papi sambil melemparkan kerannya di depan idung Lupus. "Sayang sekali, padahal Papi udah memutuskan untuk jadi pergi ke pantai pada hari Minggu nanti. Bener-bener sayang. Kalian nggak ingin terseret ombak juga, bukan?"

Lupus, Lulu, dan Mami memandang ke koran yang dilempar Papi.

"Sayang. Ya, bener-bener sayang," tukas Lupus, "kita-kita tetap akan menuntut untuk pergi ke pantai."

"Hah? Apa kalian nggak takut keseret ombak?" Papi terkejut.

"Jelas takut. Tapi ombak pantai yang akan kita kunjungi dengan ombak pantai di berita ini jelas berlainan. Pantai yang akan kita tuju ada di Ancol, sedang orang ini terseret oleh ombak pantai yang ada di luar Jawa. Apa Papi tak membaca berita ini secara lengkap?"

Papi cepat-cepat mengambil koran itu. Lalu dibacanya kembali pelan-pelan. Baris per baris.

"Hari Minggu tinggal dua hari lagi, Iho!" ancam Lupus.

?Papi yang tengah kewalahan ternyata masih mempunyai satu jalan keluar. Ia dengan cepat mengunjungi pasar loak untuk membeli koran atau majalah apa saja yang ada berita tentang orang yang terseret di pantai.

Papi pun mengobrak-abrik toko loak.

"Buat apa sih, Pak?" tanya penjual heran.

"Buat kliping!"

"Ini ada, Pak," ujar seorang penjual sambil menyerahkan sebuah majalah yang sudah bulukan. "Ada berita tentang orang lagi kelelep!"

"Wah, ini sih bukan di pantai, Mang, tapi di kali. Tolong cariin yang di pantai, dong."

Mereka pada sibuk lagi.

"Na, ini dia, Pak," ujar penjual yang lain.

"Mana?" Papi membaca sekilas. Sedetik kemudian ia menggeleng. "Saya butuh berita tentang yang di pantai Jakarta saja, bukan yang di Aceh."

"Waduh, buat apa, sih, Bapak nyari majalah yang ada berita tentang orang yang kelelep di pantai? Bapak detektip yang menyelidiki pembunuhan, ya?" tanya penjual yang lainnya.

"Udah deh, jangan banyak tanya, Mang. Saya butuh sekarang juga, .nih. Kalo ada, saya berani bayar mahal."

Para pedagang koran dan majalah bekas jadi sibuk berat melayani pesanan'Papi. Karena Papi berjanji bakal membayar mahal, mereka nggak keberatan meluangkan waktunya untuk membongkar semua koleksi dagangannya.

Hampir dua jam, Papi baru mendapatkan sebuah koran yang ada beritanya tentang orang terseret ombak. Dan asal tau aja, koran itu terbitan tahun 1960!

Papi langsung cabut ke rumah.

"Hei, kalian liat ini ada orang terseret ombak." ketika sedang main-main di pantai! Ini bukan lagi pantai yang di luar Jawa melainkan di Ancol. Masihkah kalian bersikeras untuk pergi ke sana?" teriak Papi begitu sampai di rumah.

Lupus, Lulu, dan Mami merubung koran pembelian Papi itu. Tapi demi melihat kapan terbitnya koran itu, Mami segera berkomentar, "Pada tahun segini pantai itu memang belum terawat, Pi. Papi ini kalo mau cari alasan yang wajar, dong. Bilang lagi nggak punya duit, kek. Terserah. Yang jelas, kita-kita tetap akan pergi ke pantai pada hari Minggu nanti. Kita bertiga akan memakai uang tabungan masing-masing."

"Ya," ujar Lupus dan Lulu pula, "karena Papi nggak berminat ikutan, jadi dapat tugas jaga rumah!"

?"J-jadi kalian tetap akan pergi?"

"Iya!" jawab mereka serempak.

"Papi gimana?"

"Ya jaga rumah!" teriak Lupus, Lulu, dan Mami bareng.

"Jangan gitu, dong. Papi ikutan, deh. Biarlah Papi bayar pake uang sendiri. Boleh, ya?"

"Jangan! Apa Papi nggak takut akan keseret ombak? Di koran ini kan berita tentang bapak-bapak yang tak bisa berenang dan terseret ombak," olok Lupus, Lulu, dan Mami sambil cepat masuk ke kamar masing-masing.

***

?Tapi aneh, seminggu setelah itu, Papi jadi baik banget. Bagi-bagi duit ke anak-anak. Ah, tapi tak usah heran. Karena Papi mau ulang tahun. Tapi tentu saja anak-anak tak ada yang ingat. Karena dulu-dulunya, sedari Papi kecil, ultahnya nggak pernah dirayain. Mami sendiri selaku istrinya juga .nggak tau-menau, dan memang tak berusaha tau. Tapi entah kenapa taon ini Papi ingin ultahnya dirayain rame-rame. Dan tujuan Papi membagi duit ke anak-anaknya, tentu agar mereka pada ngasih kado.

?"Terserah kalian mau beli kado apa, yang penting pada hari ulang tahun nanti kalian harus bawa kado."

Lupus dan Lulu bingung memandangi duitnya yang minim banget.

Mami juga dikasih duit lebih. Selain buat beli kado, juga buat beli kue tart, nasi kuning, serta peralatan ultah lainnya. Mami memang harus menyiapkan segala sesuatunya dari sekarang, karena Papi ingin pesta ultahnya itu betul-betul meriah.

O iya, ngomong-ngomong, kenapa taon ini Papi ingin merayakan ulang tahunnya? Gara-garanya begini. Papi ingin bagi-bagi rejeki ke anak-anak dan istrinya. Karena Papi baru dapat duit banyak.. Papi dan beberapa teman kantornya sukses bisnis jual-beli kulit ketupat sama kulit kambing buat bikin beduk waktu Lebaran tahun yang lalu! (Hehehe.) Makanya dompetnya kini nampak gendut. Berisi duit, tentu saja. Mobilnya aja udah bisa dipake lagi, meski tidak beli mobil baru. Tapi ada mesin yang harus diganti, dan harganya lumayan.

Papi jadi bersiul-siul terus. Kemaren aja dia sempat-sempatnya menemui sales penjual rumah dan berkata, "Saya ingin rumah di luar kota, yang jaraknya dengan tetangga terdekat paling nggak satu kilometer. "

?"Oh, saya mengerti. keinginan Bapak.. Saya bisa carikan nanti," kata penjual itu. "Bapak ingin hidup sederhana. Begitu, kan?"

"Bukan," kata Papi, "saya ingin belajar menyanyi."

Sementara itu Lupus dan Lulu keliatan masih kebingungan memilih kado yang cocok buat Papi. Mereka nggak tau harus beli kado apa, karena mereka nggak tau pasti apa kesukaan Papi, apa benda yang diinginkan Papi. Soal makanan, apa saja Papi lahap, tanpa memikirkan jatah anak-anaknya. Soal barang, Papi terkenal irit, hingga kadang-kadang untuk nonton film seri tipi aja, Papi suka nebeng nonton ke tipi tetangga?, biar irit listrik..

"Jadi kira-kira apa ya, Lu?" tanya Lupus.

"Ini aja, beli pipa cangklong."

"Papi kan g?ak ngerokok, Lu."

"Ya, suruh ngerokok aja dulu. "

Lupus nggak setuju kalo Papi dibeliin pipa cangklong. Tapi apa, dong? Lupus terus berusaha mikir.

"Kalo Papi kita beliin dasi kupu-kupu, gimana?" usul Lupus.

"Dasi kupu-kupu? Kan Papi nggak punya jas?"

?"Ya, Papi suruh beli jas dulu!"

Kini giliran Lulu nggak setuju.

"Jadi beli kado apa, dong, Lu?" Lupus jadi pusing.

"Nggak tau. Lulu juga nggak tau mesti beli apa. "

Mereka terus berusaha menebak-nebak kesukaan Papi. Melihat gerak-gerik Papi yang kadang imut-imut kadang amit-amit, kayaknya cocok deh, kalo Papi kita beliin mobil-mobilan, " tukas Lupus kemudian.

"Ah, nggak mungkin."

"Lho, waktu kecil dulu papi kan nggak pernah punya mobil-mobilan."

"Tapi Lulu tetap nggak yakin kalo Papi suka mobil-mobilan. Papi kan udah gede, Pus!"

"Jadi beli apa, dong!"

"Beli cangkir antik!" Lulu dapat akal lagi.

"Cangkir antik?"

"Ya, Papi pasti suka kalo kita beliin cangkir antik, karena cangkir-cangkir di rumah udah pada gompal semua!"

Sementara Mami juga udah mulai sibuk menata rumah. Menempel-nempel dinding. Menghias-hias bufet. Menggantung-gantung balon. Sampai akhirnya Papi merasa risi sendiri, ketika pas pulang kantor memergoki Mami lagi sibuk di sudut ruang menempel tulisan Selamat Ulang Tahun, Semoga lekas Sembuh. Sebab, hampir semua sudut rumah diisi dengan hiasan bikinan Mami, Keahlian Mami waktu TK dulu dikeluarin abis-abisan.

"Ya ampun, kenapa rame begini, Mi?" tegur Papi sambil meletakkan tas kantornya di meja. Aduh, karena tak berhati-hati, tas itu hampir menindih kue bronis.

"Biar meriah dong, Pi. Biar ultah Papi berkesan."

"Tapi Mami nggak perlu menempel-nempel serbet, keset, sumbu kompor ?i dinding itu."

"Abis, anggaran untuk beli kertas hiasnya kurang sih, Pi."

Dan sore hari menjelang ultah Papi, Mami mulai repot milih-milih baju yang pantas buat dikenakan. Sambil membawa dua buah blus, Mami bertanya pada Papi, "Hmm, kira-kira pake yang biru atau ijo ya, Pi?"

"Terserah Mami, deh. "

"Ya, terserah Papi, dong. "

"Lho, Mami kan yang mau pake. "

"Tapi Papi kan yang ulang tahun."

"Kalo Papi yang ngasih saran, nanti nggak surprais lagi dong, ngeliat penampilan Mami."

?"Iya, deh. Kalo yang biru, gimana?" Mami tetap ngeyel.

"Bagus. "

"Tapi yang ijo juga bagus lho, Pi."

"Jadi Mami mau pake dua blus sekaligus?"

"Bukannya gitu, Pi. Mami cuma minta pendapat Papi kira-kira yang lebih cocok yang biru atau ijo, gitu."

"Kalo menurut Papi yang biru."

"0, jadi Papi milih biru."

"Iya."

"Yakin biru?"

"Yakin."

"Nggak. nyesel?"

"Nggak."

"Padahal bagus yang ijo lho, Pi."

"Iya, deh, kalo gitu yang ijo aja."

"Lho, katanya sudah yakin biru. Gimana sih, Papi?"

"Kalo Papi sih," tiba-tiba Pa pi berdiri sambil pasang muka kesel, "Mami mau pake blus biru, blus ijo, atau nggak pake blus itu terserah. Yang penting, sekarang jangan ganggu-ganggu Papi lagi. Papi mau ulang taon, tau!"

"Iya, sori, Pi."

Papi yang niat semulanya mau hepi itu emang jadi repot. Apalagi Mami yang tadi baru konsultasi baju, kini sudah muncul menanyakan perihal kue tart.

"Di atas kue itu mau ditaro lilin apa obor, Pi?" tanya Mami tanpa rasa berdosa.

"Jelas lilin dong, Mi, masa obor."

"Kali aja Papi nggak puas kalo cuma niup lilin. Jadi mesti diganti obor."

Dan demi menyenangkan hati Papi yang gila irit itu, Mami pun dengan bangga cerita ke Papi, bahwa belakangan ini Mami sudah berhasil menekan pengeluaran belanja sehari-hari. Caranya, Mami tak mengirim cucian lagi ke tukang. cuci, tapi mencuci baju kotor sendiri.

"Coba bayangkan, Pi," ujar Mami bangga, "Mami sudah mengirit lima ribu rupiah, karena Mami mencud sendiri pakaian-pakaian kotor kita."

"Wah, bagus itu," jawab Papi bangga.

"Coba Mami cuci sekali lagi, biar kita untung sepuluh ribu!"

Mami jadi sebel.

***

Tapi pada malam harinya, setelah magrib, Papi merasa akan bahagia. Ya, anak-anak akan datang dengan kado yang dirindu-rindukannya. Siapa sih yang nggak seneng kalo ultah dikasih kado?

?Apa iya Lupus dan Lulu datang bawa kado?

"Hei, Papi, selamat ulang tahun, ya! S?moga panjang umuri" tukas Lupus yang tiba-tiba muncul itu.

"Selamat ulang tahun juga, Papi. Semoga Papi baiknya nggak cuma pas ultah aja," timpal Lulu.

"Lho, kok kalian nggak bawa kado?" ujar Papi kecewa, karena sepertinya, tak seorang pun di antara anak-anaknya yang membawa bungkusan.

"Abisnya sampe detik ini Lupus masih nggak bisa menetapkan kado apa yang cocok buat Papi. Lupus nggak tau, apa kesukaan Papi, sih."

"Iya, Lulu juga,. Pi, dari kemaren Lulu cuma bisa mengira-ngira aja."

"Jadi kalian nggak beli kado buat Papi?" Papi kecewa.

Keduanya menggeleng.

Papi lantas berpikir.

"Kalian mau beli kado, kan, kalo udah tau apa kesukaan Papi?"

"Jelas mau, dong."

"Oke, kita sekarang ke Plaza, dan nanti akan Papi kasih tau apa kesukaan Papi itu," putus papinya.

?"Lho, kue tart dan segalanya yang udah Mami siapkan ini gimana, Pi?"

"Simpan, buat ultah Papi taon depan! Malam ini kita makan di luar aja."

Aduh, kasian betul nasib Mami. Padahal malam itu Mami juga udah pake blus biru dan ijo sekaligus!

7. Yogya

SEBETULNYA, tentang kota Yogya Lupus udah tau dari dulu-dulu, walau taunya cuma dari majalah, koran, atau televisi. Dan Lupus tau kalo Yogya tuh kaya akan kebudayaan, banyak daerah-daerah indahnya, dan hebat soal seninya. Yogya memang terkenal dengan seniman-seniman bekennya, seperti pelukis Affandi, penata tari Bagang Kussudiarjo, atau budayawan Emha Ainun Najib. Lupus, kalo misalnya besar nanti kesampaian jadi seniman, rasanya pengen tinggal di Yogya. Karena di kota Gudeg ini masih banyak kegiatan seni yang digelar, dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Indonesia? .

Makanya ketika sekolah Lupus akan mengisi hari liburan kenaikan ini dengan pergi ke Yogya, Lupus langsung aja ngedaptar. Beberapa temen Lupus, seperti Pepno, Iko Iko, Andi, Uwi, Happy juga pada ikut. Dan yang bikin Lupus tambah seneng adalah waktu Mami dan Papi ngizinin.

"Jadi Lupus boleh ikut piknik ke Yogya, Mi?" tanya Lupus seperti nggak percaya.

"Ya, Mami sih boleh-boleh aja asal Papi udah ngizinin'" ujar Mami bijak.

"Papi juga nggak problem kok, asal kamu nggak minta ongkos'" tukas Papi.

Ya, untungnya Lupus punya tabungan yang cukup untuk membayar biaya piknik ke Yogya itu.

Dan menjelang hari keberangkat?n, Lupus, Pepno, dan Iko Iko repot menyusun rencana untuk selama di Yogya nanti.

"Saya nanti akan jalan-jalan sepanjang Jalan Malioboro sepuas-puasnya," ujar Lupus.

"Lho, kok cuma jalan-jalan di Malioboro doang, sih?" tanya Pepno.

"Abisnya saya taunya cuma Jalan Malioboro doang, sih. Kalo nanti saya tau nama jalan-jalan yang lain pasti akan saya telusuri juga."

" Ah, kalo saya sih pengen main-main ke Keraton Yogya," kata lko Iko.

"Ngapain main-main ke Keraton, Ko?" tanya Pepno.

"Ya liat barang-barang peninggalan, dong!"

"Di rumah saya juga banyak barang-barang peninggalan. Ada barang peninggalan nenek saya, ada barang peninggalan pembantu saya, pokoknya banyak deh, " kata Pepno.

"Lain dong, Pep. Barang-barang peninggalan di Keraton itu ada nilai sejarahnya, sedang barang-barang peninggalan di rumahmu itu nggak ada nilainya sama sekali."

"Yee, kata siapa nggak ada nilainya. Buktinya, sarung peninggalan nenek kema??ren pagi saya tukerin ayam negen dapet dua biji."

Yang jelas Lupus da? temen-temennya itu udah nggak sabar menanti hari keberangkatan mereka. Dan keesokan harinya, ketika rombongan sudah bergerak menuju Stasiun Gambir, perasaan Lupus bener-bener meledak-ledak kegirangan. Soalnya bagi Lupus dan temen-temennya, ini perjalanan jauh pertama tanpa kawalan orangtua.

Sekolah Lupus menyewa satu gerbong untuk seluruh peserta piknik. Wah, asyiknya perjalanan sampe sulit dibayangin. Ya, bayangin aja kalo sejak mereka masuk ke dalam gerbong suara tawa dan canda sudah membahana ke mana-mana. Sampe-sampe penumpang yang ada di gerbong sebelah menyangka ada pesta ulang tohun di kereta! Tapi untungnya gerbong Lupus berada paling belakang, jadinya nggak semua penumpang kereta merasa terganggu dengan kebisingan yang ada.

?Lupus terus saja bernyanyi-nyanyi dibantu Iko Iko untuk suara dua, Uwi suara tiga, dan Peptao suara kodok!

"Naik kereta api tut, tut,tut... siapa hendak kentut, kebelakang saja, supaya orang-orang nggak semaput.... Hahaha."

Selain nyanyi Lupus cs ini juga main tebak-tebakan. Dan semua orang yang ada di situ berusaha menebak tebakan Lupus.

?"Ya, ayo siapa yang bisa nebak saya kasih hadiah makan-minum sepuasnya di Yogya. Item, lincah banget, tapi bergelembung-gelembung?"

"Wah, apaan tuh?"

"Ini ya, Pepno ketumpahan cet!"

"Salah. Ayo, ada yang bisa nggak?"

"Nggak!"

"Jawabnya, MC Hammer disko di dalem aer ...! Hahaha." .

"Ah, saya juga punya tebakan," teriak Pepno sambil mengangkat tangan. "Apa persamaannya saya sama Tommy Page?"

"Hei, nggak ada samanya sedikit pun!"

"Ada."

"Apaan?"

"Sama-sama keriting."

"Yee, Tommy Page rambutnya nggak keriting, bego!"

"Keriting, kalo dia ke salon," tukas Pepno nggak mau kalah.

Sementara gerbong yang diisi oleh anak-anak sekolah Lupus masih riuh, kereta terus saja melaju menuju kegelapan malam. Kereta yang ditumpangi Lupus ini namanya kereta Senja Utama jurusan Jakarta-Yogya. Kereta Senja Utama kali itu penuh bukan main. Biasa, karena liburan. Tapi yang nggak biasa, hampir tiap gerbong penuh ?dengan penumpang, sampe lorong-lorongnya pun diisi orang-orang yang bergeletakan nggak kebagian tempat duduk.

Nah, pas jam sembilan lewat dikit, pas anak-anak udah kecapekan dan bekal kue abis total, Lupus mulai laper. Dia mengajak Iko-Iko dan Pepno untuk makan ke gerbong restorasi yang berada di bagian depan. Ketiga anak ini berjalan pelan-pelan, melang?hi tubuh orang-orang yang bergeletakan di lorong-lorong kereta. Suasana tiap gerbong emang penuh sesak. Hampir tak ada satu jengkal pun lantai gerbong tersisa. Semua penuh manusia, penuh barang bawaan, kayak mau lebaran. Sebetulnya Lupus nggak enak melangkahi orang-orang itu, tapi mau gimana lagi. Dan ternyata nggak semua orang bersedia dilangkah-langkahin.

Ada seorang pemuda yang nggak mau mingser waktu Lupus mau lewat.

"Pe?misi, Mas," ujar Lupus mohon lewat.

?"Pada mau ke mana, sih. Udah tau kereta penuh pake jala?jalan segala lagi. Hah, pada mau ke mana, nih?"

"Ee, mau makan, Mas."

"Makan, makan, kan di rumah bisa. Kenapa tadi di rumah nggak makan dulu?"

"Tadi di rumah udah makan, tapi sekarang lapar lagi, Mas."

"Terserah deh, laper lagi kek, keroncongan ke?k yang penting saya nggak mau bangun untuk memberi jalan. Badan saya capek, saya mau tidur. Kalo kalian mau tetap lewat, ya loncat aja!"

Lupus, Iko Iko, dan Pepno bener-bener bingung. Tapi kalo mereka mau balik lagi juga nggak mungkin. Karena orang-orang yang ada di gerbong sebelumnya tadi juga keliatan kesel waktu Lupus melangkahi mereka. Sementara mau terus ke restorasi juga nggak mungkin. Trus apa Lupus harus ngendon di situ di antara orang-orang yang bergeletakan dan tanpa ada ?atu pun yang dikenalnya? Sementara perut juga sudah meronta-ronta. Akhirnya ketiga anak ini cuma bisa saling tatap. Tak tau harus berbuat apa. Lupus bener-bener bingung berada di tengah-tengah gerbong yang penuh dengan orang-orang yang sama sekali nggak dikenal. Beginilah kalo nurutin kemauan perut.

?"Gimana nih, PUS?" tanya Pepno memecah keheningan.

"Saya nggak tau mesti gimana, Pep, " ujar Lupus lemes.

"Sial banget ya kita," timpal Iko Iko.

"Eh, supaya perjalanan ini nggak hambar, gimana kalo kita tetap nyanyi-nyanyi, Pep, Ko?" tawar Lupus.

"Hmm, boleh, boleh. "

"...NaK kereta Api, tut tut tut... siapa hendak kentut, di sini aja, sekalian kita bisa pada semaput!" Lupus, Pepno, dan Iko Iko dengan cueknya bernyanyi-nyanyi di situ sambil mengegol-egolkan pantatnya.

Orang-orang di situ jelas pada heran ngeliat ada tiga anak mungil-mungil berdiri di situ sambil nyanyi-nyanyi. Dan mereka tambah heran aja ketika Lupus tiba-tiba mengajukan sebuah tebakan kepada semua orang yang ada di sekitar situ.

"Ayo, iseng-iseng berhadiah... yang bisa jawab saya traktir makan di gerbong restorasi. Ya, daripada bengong, mending kita main tebakan. Ayo, ikan apa yang nggak bisa berenang?"

"Ikon mati!" teriak seorang bapak yang ngegelesot di kolong bangku ngejawab pertanyaan Lupus dengan antusia?.

"Salah."

?"Ikon Fawzi," teriak pemuda yang tadi nggak ngasih lewat ikut-ikutan ngejawab.

"Salah juga."

"Ikon apa, dong!" teriak semua penumpang yang ada di situ.

"Ikon sarden! Hahaha," jawab Lupus sambil terbahak diikuti Pepno dan Iko Iko.

Mereka pun bernyanyi-nyanyi lagi.

"...NaK kereta Api, tut tut tut... siapa hendak kentut, jangan sini, nanti kita bertiga semaput! Hahahaha," Lupus, Pepno, dan Iko lko berusaha meriangkan dirinya dengan bernyanyi-nyanyi dan melemparkan tebak-tebakan ke orang-orang di situ. Dan agaknya berhasil.

Ya, suasana gerbong tempat Lupus terjebak menjadi sangat riuh. Dan tampaknya para penumpang di situ mulai senang dengan kehadiran Lupus dan kawan-kawan. Mereka jadi pada girang-gemirang. Yang ngantuk, tapi nggak kebagian duduk bisa terhibur. Yang duduk tapi bisa tidur juga keliatan sik-asyik.

"Ayo dong, kasih tebakan ke kita-kita lagi!" teriak orang-orang di situ mohon supaya Lupus, Pepno, dan Iko Iko memberi hiburan lagi.

"Cepet kasih tebakan ke kita-kita, jangan sampe perjalanan ini menjemukan!"

?"Oke, oke, tenang, tenang, Sodara-sodara," Lupus seperti penyanyi rock yang diminta menyanyi lagi. "Tapi tolong nanti bantu kami bertiga supaya bisa sampe ke gerbong restorasi, ya. Karena perut kami udah pada laperrr...."

"Bereeeesss!"

"Ya, tebakannya gampang aja. Dengerin baik-baik. Ada sebuah bunga. Nah, kalo ada orang yang berdiri di bawah bunga tersebut selama lima menit aja, pasti tewas! Nah, pertanyaannya, siapakah nama orang itu?"

"Huuu ..."

"Maaf, maaf, maksud saya, bunga apakah itu?" .

"Jadi kalo kita berdiri di bawah bunga tersebut selama lima menit langsung tewas? Hmm, pasti bunga matahari!"

"Salah!"

"Bunga bangkai!"

"Salah!"

"Bunga... low rubuh!"

"Salah!"

"Jadi bunga apa, dong?" sergah seluruh isi gerbong pengen tau.

"Bunga teratai!"

"Ko? bunga teratai?"

"Iya dong, kan bunga teratai tumbuhnya
di atas air. Nah, coba-coba aja berdiri di bawahnya selama lima menit, pasti tewas!"

"Hahaha... bisa aja tu anak-anak. hahaha.... "

Semua isi gerbong terbahak-bahak. Mereka bener-bener merasa kehibur dengan kedatangan Lupus, Pepno, dan Iko Iko itu.

"Oke, Sodara-sodara, sekarang bantu segera kami melewati gerbong di depan ini untuk bisa sampe ke gerbong restorasi!"

"Sip!" teriak pemuda yang sebelumnya nggak memberi jalan yang bakal dilewati Lupus. "Sodara-sodara..., mohon pengertian sedikit. Tiga anak sedang mencari orangtua mereka, dan menurut mereka, orangtua mereka itu berada di gerbong restorasi, jadi tolong mereka diberi jalaaan... grak!"

Mendengar seruan yang mahalantang, orang-orang di gerbong seberang pun langsung berdiri dan memberi jalan pada Lupus, Pepno, dan Iko Iko!

"Permisi, Bapak-bapak, Ibu-ibu, Adik-adik, Kakak-kakak..," ujar Lupus, Pepno, dan Iko Iko sambil membungkukkan badan menuju gerbong restorasi.

"Silaken, silaken... tapi balik awas!" tukas beberapa orang yang terpaksa berdiri atau bangun dari lesehannya di lorong gerbong itu.

"Lho, kok balik awas?"

?"Ya, dong. Permohonan lewat itu kan cuma buat sekali jalan!"

"Aduh, dibolehin deh, Sodara-sodara. Nanti kita hibur dengan tebakan-tebakan seperti Sodara-sodara yang ada di gerbong sana itu. Asyi? kan?"

"Nggak mau. Kita-kita di sini bukan tipe yang suka hura-hura seperti orang-orang di gerbong sana itu!" teriak orang di gerbong yang baru aja dilewati Lupus.

"Apaaa... kita dituduh hura-hura!!!" teriak orang-orang di gerbong sebelah.

"Ya, kalian emang suka hura-huraaal!!" tukas orang-orang di gerbong itu.

Ya, pada akhirnya isi kedua gerbong jadi pada saling bertengkar mempertahankan argumentasi masing-masing. Sedang Lupus yang jadi biang perkara buru-buru cabut ke gerbong restorasi. Kereta Senja Utama Jakarta-Yogya jadi tambah riuh. Masinis juga ikut-ikutan meniup peluit kenceng-kenceng!

Lupus, Pepno, dan Iko lko kini udah berada di gerbong restorasi. Di sana mereka disambut senyum manis pramugara en pramugari kereta.

"Mau pesen apa, Adik-adik manis..., kecuali yang ini," sapa seorang pramugari cewek ramah, dan menunjuk Pepno. Yang ditunjuk langsung merengut, karena nggak dianggap manis.

"Ini, Mbak, pesen nasi goreng tiga...," jawab Lupus nggak kalah ramah.

Setelah puas makan, Lupus, Pepno, dan Iko-Iko teringat pada temen-temannya yang berada di gerbong belakang. So pasti mereka nggak bisa balik ke sana lagi. Karena jaraknya jauh amat Ada sekitar enam gerbong. Dan mana enak jalan-jalan naik kereta piknik dari sekolahan tapi nongkrongnya di gerbong restorasi.

"Kita harus balik ke sana, Pus!" anjur Pepno.

"Tapi gimana caranya? Apa kita merayap lewat samping gerbong?" ujar Lupus.

"Orang-orang di situ pasti pada gak mau ngasih jalan lagi. Abis, mereka kan merasa terganggu banget duduknya."

"Lagian, mereka pada geletakan di mana-mana. Duh, masa iya sih. kita terus di sini sampai di Yogya nanti..."

Akhirnya mereka duduk menunggu di pojokan kayak anak ilang.

"Lho, kok masih pada nongkrong di sini? Nggak dicariin ortu kalian?" sapa pramugari kereta ramah lagi.

"Kita nggak boleh lewat, Mbak, sedang gerbong kita berada paling belakang. "

"Oo, jangan kuatir. Sebentar lagi kereta berhenti di Cirebon. Nanti pas kereta berhenti, kalian bisa turun ke stasiun, dan pindah ke gerbong belakang."

"Bener, Mbak?"

"Bener. "

"Wah, makasih banyak. 0 ya, kira-kira berapa lama lagi kereta ini sampe di Cirebon?"

"Setengah jam lagi."

"Sebagai ucapan terima kasih atas informasinya, mau kan Mbak menebak tebakan saya? "

"Apa?"

"Ini, apa bedanya teman saya ini, Pepno, dengan orang gila?"

"Menurut saya sih nggak ada bedanya. Hihihi."

"Salah. Bedanya, kalo Pepno ngeliat kapal terbang akan diem aja, tapi orang gila akan teriak, kapal minta duit, kapal minta duit..!"

"Hahaha, bisa aja!"

***

Semenjak menghilangnya Lupus, Pepno, dan Iko Iko, gerbong yang ditumpangi temen-temen sekolah Lupus jadi terasa adem ayem. Adem dari suasana ceria-meria dan ayem dari tawa anak-anak yang membahana. Dan anak-anak itu jadi pada nggak betah menikmati perjalanan macam begitu.

Apalagi Happy, orang yang paling demen ngakak. Melihat suasana begitu, dia langsung protes ke Guru Pembimbing.

"Bapak Guru yang kami hormati," tukas Happy lantang sambil berdiri di atas kursinya, "sejak menghilangnya Lupus, Pep?o, dan Iko Iko, yang katanya pada mau makan ke gerbong restorasi, kami di sini merasa kesepian. Amat kesepian. Kami mohon agar Bapak bisa mengatasi perasaan kami ini. Misalnya dengan mengutus beberapa anak yang tak begitu berguna untuk mencari Lupus, Pepno, dan Iko Iko!"

"Ya, ?pak Guru yang saya hormati," tukas Uwi ikut-ikutan unjuk bicara. "Mulanya saya pikir tiga anak itu mau makan di gerbong restorasi sambil jalan-jalan eh, taunya hampir dua jam lebih mereka nggak nongol-nongal. K-kami kuatir kalo mereka...huu huu huuu...!"

"Kuatir kenapa, Uwi?" tanya anak-anak spontan pengen tau.

"Kuatir kalo mereka dituker sama tas koper"

"Huuu...," anak-anak berseru.

"Eh, tapi saya bener-bener kuatir atas lenyapnya diri Lupus, Pepno, dan Iko Iko, lho. Nggak percaya, ya udah!" Uwi ngambek.

"Tenang, tenang, semua dapat tanda tangan eh, maksud Bapa? kalian tenang aja dulu, nggak usah bengak-bengok begitu. Bapak sendiri juga kuatir akan keselamatan mereka, tapi Bapak tak bisa berbuat apa-apa. Tiap gerbong penuh sesak hingga Bapak tak bisa lewat. Tapi Bapak yakin kalo Lupus bisa menjaga diri. Kalian tenang dulu. Nanti kalau kereta berhenti, baru Bapak bisa mencari mereka."

"Berhentinya di mana, Pak?"

"Di Yogya. "

"Huuuu..."

"Tapi, Pa? saya kuatir, nih!" ujar Uwi pengen nangis.

"Iya, saya juga." Happy ikut sedih.

"Apalagi saya!" Andi ikut-ikutan.

"Andi?" sergah anak-anak heran. "Kamu juga kuatir atas ilangnya Lupus? Tumben..."

"Jelas tumben, karena peluit saya dibawa dia."

"Huuu... !"

Dan anak-anak terus saja protes. Mereka pengen Lupus, Pepno, dan Iko Iko ada di antara mereka kembali biar bisa bercanda-canda dan main tebak-tebakan lagi.

"pokoknya kami ingin Lupus ada di tengah-tengah kami lagi! Titik!" ujar Happy berapi-api.

"Ngga? mereka kudu ada di tengah-tengah saya!" tukas Uwi nggak kalah berapi-api.

"Yang jelas mereka itu harus berada di tengah-tengah kita, bukannya berada di tengah-tengah Uwi dan Happy!" teriak anak-anak yang lain.

"Betul! Setuju! Oke! Nunut! Karena tanpa Lupus, perjalanan kita jadi hampa...."

"Ya, tanpa Pepno juga. Karena tanpa dia kita nggak punya anak yang bisa diolok-olok..!"

"Ayo dong, tenang lagi, anak-anak," potong Guru Pembimbing. "Lupus, Pepno, dan Iko Iko pasti selamat. Mereka pasti cuma terjebak di gerbong restorasi. Mereka sulit kembali ke gerbong kita, karena setiap gerbong penuh dengan orang tiduran atau lesehan di lorong-lorongnya. Mereka jelas kesulitan untuk melewatinya. Pokoknya kalian jangan kuatir, karena sebentar lagi kereta ini bakal berhenti di Stasiun Cirebon."

"Lho, trus apa hubungannya?"

"Ya, ketika kereta berhenti di Cirebon, pastilah Lupus, Pepno, dan lko Iko pindah ke gerbong kita."

"Kalo mereka nggak pindah?"

?"Kita semua yang pindah ke gerbong restorasi!"

"H?oreee...!" Anak-anak melonjak-lonjak kegirangan.

Gerbong kereta yang semula sepi itu riuh lagi. Dan kereta Senja Utama Jakarta-Yogya kembali semangat bergerak menyusuri rel panjang yang seakan tiada bertepi.

***

Sementara itu Lupus yang ditemani Pepno dan Iko Iko malah mulai keliatan betah berada di gerbong restorasi. Ya, ini gara-gara pramugari yang manis dan selalu setia menemani Lupus mengobrol. Pramugari kereta itu baik banget, suka ngasih kue-kue kecil ke Lupus. Dan walau kereta tinggal beberapa menit lagi masuk ke Stasiun Cirebon, Lupus tampak terus aja asyik ngobrol-ngobrol.

"Mbak kok mau sih kerja di kereta, begadang tiap malam dan melayani penumpang yang mau makan?" tanya Lupus.

"Abis mau gimana lagi, dong. Kan namanya aja tugas. Lagi, kerja di kereta itu enak kok.." ?

"Enaknya apa aja?"

"Hmm, yang pertama kita bisa naik kereta tanpa membayar."

?"Yang kedua?"

"Kita nggak perlu repot-repot ngantri karcis di loket segala!"

"Hahaha, itu sih sama aja, Mbak."

Kereta Senja Utama itu tanpa terasa sudah masuk ke Stasiun Cirebon. Tapi Lupus tetap nggak bereaksi untuk pindah ke gerbongnya. Sedang Pepno dan Iko Iko udah gelisah dari tadi pengen buru-buru pindah ke gerbongnya semula, tapi mereka nggak enak kalo meninggalkan Lupus begitu saja. Mereka harus menunggu. Tapi kalo tiba-tiba keretanya berangkat lagi, gimana?

"Ayo, Pus, kita pindah ke gerbong kita. Pasti anak-anak akan kaget melihat kita muncul," sergah Pepno.

"Bener, Pus, saya udah kangen banget sama anak-anak, pengen ketawa-ketawa bareng lagi," timpal Iko Iko.

"Sebentar. Dikit lagi, nih."

"Aduh, nanti kalo keretanya jalan kita nggak bakal bisa segerbong dengan anak-anak lagi, Pus. Kamu kan tau kalo kereta penuh orang dan kita nggak bisa lewat."

"Iya, Pus, kamu gimana sih, tadi pengen cepet-cepet pindah sekarang kok malesan."

Tapi akhirnya Lupus mau juga. Dia terpaksa berpisah dengan pramugari yang baik budi dan tidak sombong itu. Sebenarnya Lupus pengen tau cerita banyak tentang pramugari itu, tapi demi mengingat temen-temen sekolahnya ia terpaksa harus berpisah.

"Eh, kira-kira anak-anak pada kaget nggak. ya?" tanya Lupus kemudian ketika ia sudah di luar kereta untuk balik ke gerbongnya semula.

"Pasti kaget!"

"Ya, mereka akan girang sekali dengan kemunculan kita. Dan gerbong yang sepi itu pasti akan rame lagi dengan kedatangan kita-kita, Pus."

"Kalo gitu kita cepet-cepetan, yuk."

Ternyata gerbong yang diisi temen-temen Lupus itu sudah begitu rame. Suara tawa membahana di mana-mana. Cekikik Happy juga terdengar nyaring. Tawa Uwi juga gemah ripah. Lupus, Pepno, dan Iko Iko menduga kalo kemeriahan itu pastilah untuk menyambut kedatangan mereka. Tapi dugaan Lupus, Pepno, dan Iko Iko keliru berat.

"Halo, temen-temen...!" sapa Lupus, Pepno, dan Iko Iko.

Eh, anak-anak pada cuek bebek banget. Bahkan mereka terus saja cekakak-cekikik.

" A-apakah kemeriahan ini untuk menyambut kedatangan kami?" tanya Lupus, Pepno, dan Iko Iko penuh harap.

"Tadinya sih begitu. Ya, tadi-tadinya kita memang mengharapkan kedatangan kalian bertiga untuk bisa menghibur kita-kita di sini, ternyata setelah kita coba-coba menghibur diri sendiri taunya bisa. Jadinya kita sudah bisa ketawa-tawa tanpa harus ada tebak-tebakan atau canda-candaan dari kalian lagi. Iya nggak, temen-temen?"

"Iya, hahaha...."

"Tu, kan.... Jadi kalian sudah tak diperlukan lagi. Ha ha ha. Sori ya, saya mau ketawa-tawa dulu. Hahaha."

Tinggallah Lupus, Pepno, dan Iko Iko bengong total. Sedang roda kereta api mulai bergerak lagi. Hati Lupus ingin rasanya menemui pramugari yang manis tadi untuk sekadar ngobrol-ngobrol, tapi...

***

Singkat cerita, Lupus dan kawan-kawan udah sampe di Yogya. So jelas Lupus langsung cabut untuk jalan-jalan ke Malioboro yang katanya sering didatangi oleh wisman maupun wisdom. Lupus emang berniat kalo sampe Yogya dia mau langsung ke Malioboro. Guru Pembimbing yang memimpin perjalanan itu memang memperbolehkan anak-anak jalan-jalan sepuas-puasnya, asal nggak jauh-jauh dari tempat menginap dan kudu balik lagi pada jam yang udah ditetapkan. Kalo sampe ada yang melanggar aturan, anak-anak dijanjiin hukuman lari-lari kecil ngiter-ngiterin pot kembang di depan penginepan sebanyak sepuluh kali! Hihihi.

Dan yang ngintilin Lupus jalan-jalan di Malioboro siapa lagi kalo bukan sohib-sohib deketnya, Pepno dan Iko Iko. Kedua anak ini selama perjalanan piknik emang jadi lengket banget ama Lupus. Apa karena mereka pernah sama-sama terjebak di gerbong restorasi? Bisa jadi. Sesampe di Malioboro, Lupus nggak henti-hentinya memandangi tukang-tukang dagang yang menjajakan kerajinan-kerajinan tangan tradisional yang unik dan lucu. Lupus memang suka sekali dengan benda-benda seperti itu. Ada dompet kulit yang permukaannya dilukis batik atau digambari pemandangan. Ada gelang-gelangan warna-warni terbuat dari rajutan benang jait. Ada sepatu atau tas kulit, ada juga makanan-makanan khas Yogya selain gudeg, seperti emping, geplak, atau keripik sukun. Tapi Lupus belum membeli apa-apa. Bukannya nggak tertarik atau nggak bawa duit, melainkan Lupus pengen jalan-jalan dulu melihat segala-galanya.

Dan Lupus akhirnya bener-bener tertarik ketika ia melihat seorang pelukis potret di emperan Malioboro. Pelukis itu bener-bener nyenbik, punya rambut gondrong ala anak metal dan tampak serius mengerjakan sisa lukisannya.

"Pus, di sini banyak banget orang Jawanya, ya?" tukas Pepno membuyarkan konsentrasi Lupus yang sedang mengamati pelukis nyentrik itu. Lupus jelas nggak nanggapi.

"Saya salut banget ama anak-anak kecil di sini," Pepno masih saja ngoceh, "kecil-kecil ngomong Jawa-nya udah lancar banget. Ibu saya aja yang udah gede gitu kalo ngomong Jawa sama Mbah masih belepotan."

"Ya, namanya aja orang asli sini, Pep," ujar Iko Iko, "mereka juga pasti salut sama kamu kalo tau kecil-kecil udah pinter bahasa monkey... abis.. kamu asli monk... hei, jangan nyubit dong, Pep!" Iko Iko meringis dicubit Pepno. Sementara Lupus masih terus asyik mengamati pelukis nyentrik itu. Lupus kemudian mengajak Pepno dan Iko Iko untuk mendekati pelukis jalanan yang duduk di pojokan di teras toserba yang cukup ramai itu.

?"Mo ke mana sih, Pus?" tanya Pepno dan Iko Iko.

"Itu, ngeliat orang ngelukis potret."

Tapi ketika Lupus cs sampe di depannya, sang pelukis itu buru-buru menutup gambar dengan kain panel kuning. Sepertinya ia takut kalo lukisannya diliat orang. Padahal, mestinya pelukis potret akan seneng kalo gambarnya dikagumi orang-orang Tapi ini malaht sebaliknya.

"Mau apa kalian?" tegur pelukis nyentrik itu sambil kemudian menyalakan puntung rokoknya.

?"M-mau liat-liat..., Mas," jawab Lupus terbata-bata.

"Liat-liat apa?" sergah si nyentrik itu lagi.

"Liat-liat Mas melukis."

"Lho, saya nggak lagi melukis, kok. Kalo mau liat-liat sana aja, di sana juga ada yang melukis."

"T-tapi tadi kita ngeliat kok kalo Mas melukis."

"Jadi kalian sudah melihat gambar itu?"

"Sedikit. Memangnya kenapa kalo kita ngeliat gambar itu, Mas?"

"Hmm, nggak. Nggak apa-apa."

Suasana hening sejenak, karena Lupus merasa nggak enak udah mengganggu ketenteraman si nyentrik ini. Tapi diem-diem dia jadi penasaran dengan gambar yang ditutup kain panel kuning itu.

"Kalian anak-anak Jakarta, ya?"

"Iya. Eh, kok Mas tau?"

"Abis, keringetnya bau Monas, sih."

"Hehehe, bisa aja."

Suasana yang - tadinya hening dan serba kikuk itu mulai terasa hangat. Pelukis nyentrik ini agaknya mulai menerima kedatangan Lupus cs yang mau liat-liat itu.

"Mas, maaf ya, kalo bole? tau itu gambar siapa, sih? Kok pake ditutup-tutup seperti itu. Apa emang nggak boleh diliat?" tanya Lupus kemudian.

"Hmm, niatnya memang nggak boleh diliat sembarang orang, tapi saya percaya kok sama kalian kalo kalian bertiga pasti anak baik-baik."

" Alasannya?"

"Karena kalian lagi pada nggak sakit, kan?"

"Ah, Mas seneng becanda juga rupanya. O iya, sekarang kasih tau dong tentang lukisan itu. Kayaknya ada udang di balik rempe?yeknya, deh." Lupus masih penasaran.

"Memang ada. Tapi janji, kalian nggak boleh cerita-cerita ke orang-orang."

"Iya, kita berani janji, deh. Lukisan siapa, Mas?"

"Lukisan seorang copet!"

"Hah?"

"Kalian nggak usah kaget. Copet ini sering kali beroperasi di Jalan Malioboro ini. Sasarannya ya para wisatawan seperti kalian ini. Juga dompet para turis asing. Saya sering kali mem?rgokinya, tapi saya nggak berani menangkapnya. Untuk melaporkan ke polisi juga susah, karena pencopet ini licin sekali seperti belut. Dan ia pandai menyamar. Kadang-kadang menyamar jadi tukang parkir, jadi tukang bikin gelang-gelangan, jadi tukang ngamen, wah, pokoknya dia itu bener-bener copet profesional, deh. Malahan dia pernah juga lho menyamar jadi pelukis potret seperti saya ini."

Lupus cs tertarik mendengarkan cerita pelukis gondrong yang nyentrik ini.

"Lalu tujuan Mas menggambar wajah dia?"

"Ya, kebetulan saya pernah memotret dia dari kejauhan. Dan tujuan saya ya supaya saya inget wajah dia. Supaya saya bisa hati-hati dan nggak kecopetan. Karena saya pernah juga kecopetan. Dan nantinya gambar ini akan saya foto kopi lalu saya tempel di sepanjang jalan dengan tulisan besar di bawahnya: Awas Copeeet!"

"Wah, seru juga, ya," tukas Pepno dan Iko lko.

"Tapi gambar ini sekarang belon jadi, jadi kalian nggak boleh melihatnya. 0 iya, berapa hari kalian ada di kota Yogya ini?"

"Mungkin tiga hari, Mas."

Kalo gitu kalian besok ke sini lagi aja. Pasti gambar pencopet ini sudah kelar. Dan kalian akan saya beri satu... untuk jaga-jaga. Mau?"

"Wah, mau banget, Mas."

"Oke deh, sekarang kalian pergi dulu, saya mau istirahat dan beres-bere dulu."

Pelukis gondrong yang nyentrik ini sempat mengantar Lupus, Pepno, dan Iko Iko sampe ke sebrang jalan. Karena rencananya Lupus, Pepno, dan Iko Iko pada mau makan bakwan Malang dulu sebelum balik ke penginapan.

"Asyik juga ya jalan-jalan ke Yogya ini kita bisa dapet pengalaman-pengalama?n unik dan berharga," kata Lupus ketika sudah duduk di kursi tukang bakso. "Seperti cerita tentang pencopet profesional itu."

"Iya, saya juga suka, Pus. Apalagi pelukis itu begitu ramah dan baik.."

"Lukisannya bagus-bagus lagi. Rambutnya juga keren."

Sedetik berikutnya Lupus cs sudah menikmati bakwan Malang yang mereka pesen. Tapi pas pada mau bayar Lupus, Pepno, dan Iko Iko keliatan pada bingung.

"Lho, kok dompet saya nggak ada," ujar L?upus sambil memeri?a semua sakunya.

"Eh, s-saya juga, Pus," kata Pepno panik..

"Hah! Punya saya juga ilang, Pus!" teriak Iko Iko nggak kalah panik..

Untungnya Pepno masih punya beberapa lembaran seribuan yang disimpannya di sa?ku celana bagian depan. Hingga mereka bisa terhindar dari maki-makian tukang bakwan Malang andai mereka bener-bener nggak bayar.

"Gila! bener-bener gila, ternyata kita tertipu," umpat Lupus sambil menepuk dahinya berkali-kali.

"Iya, taunya copetnya dia sendiri."

"Pantes, sepintas lalu gambar itu mirip sekali dengan wajah dia," tegas Lupus.

"Hei, kalo gitu kita cepat ke sana lagi, yuk!"

Ketiga anak yang tertimpa sial itu buru-buru balik ke emperan toko tempat pelukis nyentrik berambut gondrong itu mangkal. Sayangnya mereka udah nggak menemukan si gondrong itu, mereka cuma menemukan sedikit tulisan pengumuman di atas kain planel kuning: Peluki? potret pindah ke tempat baru yang lebih aman dan damai....

***

?Lupus dan teman-temannya berjanji akan lebih hati-hati sekali bila mereka ketemu dengan pelukis jalanan lagi. Prinsip Lupus untuk berhati-hati itu bagus juga, sayangnya itu nggak berlaku buat para pengamen jalanan. Buktinya sekarang Lupus tengah terpaku pada keunikan dan kenyentrikan serombongan pengamen jalanan. Para pengamen itu memang mempunyai daya tarik luar biasa. Gaya dan cara mereka berpakaian mirip dengan kelompok musik beneran, mereka juga melengkapi dirinya dengan berbagai alat musik. Ada gitar, biola, harmonika, gendang, bas betot, dan simbal drum! Lagu yang mereka bawain juga asyik punya. Mereka hapal banyak lagu. Mulai dari lagu Barat metal sampe ke lagu anak-anak. Memasuki kedai demi kedai, para pengamen itu langsung membentuk formasi, sehingga k.eliatan kayak orang nyanyi di atas panggung. Nah, gimana Lupus nggak tertarik?

Lupus jelas-jelas tertarik dengan tontonan ini. Ia nggak ragu atau malu mengikuti para pengamen nyanyi dari kedai satu ke kedai yang lain. Bagi Lupus yang penting terhibur dan... gratis! Udah gitu Pepno dan Iko Iko juga demen, jadinya tiga anak ini klop banget sebagai fans berat para pengamen jalanan itu.

Tapi Lupus nggak sadar kalo ini sebetulnya merupakan kesialan berikutnya? Karena mereka bertiga lupa akan waktu yang ditetapkan Guru Pembimbing untuk jalan-jalan. Hari itu hari terakhir Lupus jalan-jalan di kota Yogya, dan Guru Pembimbing memberi batas waktu jalan sampe jam empat. Sedang saat itu sudah jam empat lewat seperempat!

?Ketika para pengamen masuk ke sebuah kedai besar yang ada jam dinding di dingnya (iya dong, kalo di jidat bukan jam dinding namanya!), Pepno tanpa sengaja melihat ke arah jam itu.

"Astaga!!!" teriak Pepno kaget, sampai orang-orang di situ juga pada kaget. "Udah jam empat l?wat!"

"Emangnya kenapa kalo jam empat lewat?" tanya Lupus nggak sadar.

"Kita bisa ketinggalan kereta, Pus!" teriak Pepno lagi.

"Hah!" Lupus menepuk jidatnya. "Kenapa sampe lupa, ya?"

"Iya, kita keasyikan, sih!" tukas lko Iko nggak kalah kaget. "Bisa kacau, nih!"

Para pengamen merasa terganggu dengan kekagetan ketiga anak ini, tapi belon sempat mereka melabrak, Lupus cs udah keburu cabut.

"Semprul, kowee...!" teriak para pengamen.

"Pus, mau dikasih kue, tuh," ujar Pepno yang berlari di belakang Lupus.

"Bego, kowe tu artinya kamu!"

Sepanjang pelarian taunya Lupus cs menarik perhatian orang. Karena selain larinya cepet banget, mereka nggak tau mau lari ke mana. Mereka lupa jalan ke stasiun. Jadinya pada sradak-sruduk. Mereka bertiga udah cukup jauh mengikuti perjalanan karier para pengamen nyentrik itu hingga akhirnya pada lupa jalan, tapi saat itu juga mereka dituntut untuk cepat sampe ke sta?iun.

"Lewat sini, Pus!" teriak Pepno.

"Ngga? lewat sini" teriak Lupus.

"Kayaknya lurus, deh!" teriak Iko Iko.

Wah, kacau. Mereka bener-bener bingung.

"Meski begitu kita jangan sampe memperlambat keadaan, artinya jangan sekali-kali ada yang jalan. Heh, heh, heh..., " saran Lupus yang mulai ngos-ngosan.

"Ya, kita jangan sampe terlambat. Biar salah jalan terus aja lari. Hih, hih, hih," timpal Pepno juga ngos-ngosan.

"Tapi sekarang kita harus belok ke mana, ke kiri atau kanan? Hah, hah, hah," tukas Iko Iko nggak kalah ngos-ngosan. "Masa dari tadi cuma lari di tempat aja, sih!"

"Kita tanya tukang warung rokok itu aja!" usul Lupus, "...dan ingat, jangan ada yang jalan atau berhenti!" .

Waktu sampe di depan tukang rokok, mereka terus saja berlari. Ketiga anak ini bertanya sambil lari.

"Bapak penjual rokok....!" teriak Lupus sambil terus lari. "Kalo mau ke stasiun harus lewat manaaa...?"

?Bapak penjual rokok jelas heran ngeliat anak bertanya tapi sambil lari.

"...lian luuus ajaaa.... Ampe pan antor poos elok iriii...!" jawab bapak penjual rokok berusaha teriak supaya Lupus yang udah jauh itu denger jawabannya.

"Akasiiih...!" jawab Lupus.

Dan Lupus cs mempercepat larinya. Dia nggak peduli sama orang-orang yang heran ngeliamya atau sama napasnya yang udah senen-kemis. Di depan kantor pos orang-orang nggak cuma heran?, tapi juga pada berkomentar.

"Mau apa mereka, ya?" tanya seseorang.

"Saya pikir mereka sedang dikejar anjing, mereka terus saja berlari padahal anjingnya sudah keabisan napas di ujung gang sana," jawab orang di sebelahnya.

"Ah, paling-paling mereka pada mau be'ol" sergah orang yang ada di belakangnya.

"Saya nggak percaya," kata orang pertama.

"Kalo nggak percaya iku?t saja mereka."

"Boleh!"

Dan orang itu pun langsung lari mengikuti Lupus cs. Sementara Lupus cs sendiri dengan cueknya melintasi orang-orang di jalan, melompati barang-barang dagangan, menghindari pagar-pagar jalan, dan sesekali salto biar mempercepat pelarian. Satu jam kemudian mereka sudah sampe mulut stasiun. Dan orang yang mengikuti Lupus tampak keliatan puas, dalam hatinya berujar, "Saya tadi mau bilang kalo mereka itu pasti mau ke stasiun. Ternyata bener."

"Abang becaaaak...!" teriak Lupus. "Kereta ke Jakarta udah berangkat belooon?"

"Nggak auuu...!" teriak abang becak. Padahal Lupus masih ada di sampingnya.

Pas sampe di ruang tunggu stasiun, ternyata Bapak Guru Pembimbing dan temen-temen Lupus masih ada. Lupus girang bukan main, meski napasnya mau copot.

"Kalian dari mana kok lari-larian?" tanya Bapak Guru.

"D-dari jalan-jalan, Pak," jawab Lupus tersengal-sengal. Sedang Pepno dan Iko lko langsung roboh dengan kokoh.

"K-k.ok belon pada berangkat?" tanya Lupus lagi.

"Keretanya b?lon ada, Pus. Tapi Bapak udah tau kalo bakal terlambat. Buktinya, Bapak tenang-tenang aja waktu jam empat tadi kalian belon muncul."

"J-jadi sekarang gimana, dong?" Lupus terus bertanya meski akhirnya dia ikut roboh menyusul cs-nya, juga dengan kokoh.

?Guru Pembimbing dan temen-temen yang lain cuma tersenyum aja ngeliat kelakuan Lupus.

"Kalian tenang aja. Barang-barang kalian udah disiapin dan dibawain Uwi dan Happy. Kita tinggal tunggu kereta dateng," jelas Guru Pembimbing.

Sementara itu dari corong pengumuman terdengar suara lagi.

"Perhatian-perhatian... para penumpang kereta api jurusan Yogya-Jakarta harap nyante-nyante aja dulu," ujar petugas Perumka itu, "karena kereta nya diperkirakan nongol jam tujuh malem nanti, itu pun kalo nggak ada halangan apa-apa. Para penumpang sekalian nggak usah risau, karena kalo nggak terlambat, bukan kereta namanya...."

Lupus, Iko Iko, dan Pepno dalam pingsannya mendengar pengumuman itu seperti mendengar salam para pengamen saat mereka mulai menyanyi, konyol dan akrab....

8. Kodok! Kodok!

?SEJAK aw?a1 bulan Puasa, hujan lebat turun terus-menerus. Di belakang kompleks rumah Lupus bahkan sampe banjir. Banjir yang ada itu sebetulnya tak cuma dikarenakan hujan, tetapi juga karena adanya waduk kecil yang kini sudah tak sanggup lagi menampung air ujan. Waduk kecil itu meluap dan airnya menggenangi perkampungan.

Untungnya rumah Lupus tak ikut kebanjiran. Tapi bukan berarti mereka tak kena getahnya. Sebagian penghuni waduk itu merajalela ke mana-mana. Salah satunya yang pernah ditem?ui Mami sore itu!

Ya, waktu Mami lagi asyik salat Asar di kamarnya, ia dikagetkan oleh benda kecil yang meloncat-loncat. Semula Mami mengira Lupus menggoda dengan robot mainannya. Tapi ketika diperhatikan lebih seksama (biar lagi sembahyang kalo ada yang aneh-aneh mata Mami masih sempet plirak-plirik), ternyata benda kecil itu adalah kodok. Mami berusaha tidak menjerit, ia terus melanjutkan salatnya. Karena sayang kalo batal. Tapi ketika kodok beil itu loncat ke idung Mami, dia kontan langsung menjerit. Riiittt..!

"Ya ampun, ini kodok bukan, ya? Hah, masya Allah, bener-bener kodok. Ammiiin...! Eh, tolooong...!" teriak Mami kayak orang kesurupan. Tubuhnya menggerinjal-gerinjal menahan geli campur kesel.

?"Tolong, ada kodok- tolooong...!" Mami cepat keluar kamar. Dan mukenanya dicampakkan nya begitu saja. Sedang kainnya terseret-seret di kakinya.

"Ada apa, Mi? Kenapa teriak-teriak segala, sih?" tukas Lupus yang lagi asyik tiduran sambil baca-baca.

"Tolong, Pus, di kamar ada kodok. Dia meloncat ke idung Mami. Dasar kodok nggak tau diri, orang lagi sembahyang diganggu gugat eh, digangguin. Tolong usir dia, Pus!"

"Kodok yang binatang?"

"Lha iya, emangnya ada kodok yang bukan binatang?"

"Ada, Mi, itu yang buat motret."

"Itu kodak- bego! Udah cepat usir sana, Mami kuatir dia meloncat ke mana-mana lagi...!"

"Iya, sabar, dong. Lupus kan perlu bantuan tenaga, Mi."

Dan tak lama, Lupus pun muncul ditemani Pepno dan Lulu. Mereka segera masuk ke kamar Mami untuk menangkap kodok yang kini bersemayam di kamar Mami. Tiga anak itu mengamati tiap sudut dengan hati-hati sekali. Mami yang masih ketakutan cuma berani ngeliat dari lobang kunci.

?"Mungkin di bawah bufet, Pus!" instruksi Mami dari luar.

"Nggak ada, Mi, " jawab Lupus dari dalam.

"Di kolong tempat tidur?"

"Juga nggak ada."

"Di balik lemari, barangkali."

"Nggak ada juga, tuh."

"Di... di mana dong, Pus. Cepat temukan kodok nakal itu. Tanggung, salat Mami tinggal satu rakaat lagi. Mau diterusin, nih!"

Ketiga anak itu kemudian mengendap-endap lebih sigap. Dan ternyata tiga anak ini kini berpura-pura jadi detektif tangguh, seperti Mission lmpossible.

"Hati-hati, jangan sampe kodok itu mendengar langkah kita, " ujar Lupus yang kini berada di atas tempat tidur mengawasi medan, sebagai bos!

"Baik- Bos, " kata Pepno yang kebagian peran sebagai kapten. " Aku sembunyi di balik meja rias ini. Aku merasa dia akan muncul dari sini."

"Lalu apa tugasku, Bos?" tanya Lulu yang dari tadi mengendap-endap mlulu.

"Kamu catat aja tempat-tempat yang dirasa mencurigakan. Nanti laporkan ke saya."

"Sip, Bos."

Suasana di dalam kamar jadi terasa menegangkan. Sementara Mami yang bosen ngintip dari lobang pintu, jadi ketiduran ?rena kelelahan, tidur di sofa sambil megangin mukena.

"Bos, ada tiga tempat yang paling mencurigakan," lapor Lulu. "Pertama, kolong meja rias, kedua, kolong lemari, ketiga, kolong tempat tid?r."

"Ya, terima kasih atas laporannya," jawab Lupus berwibawa. "Pepno, bagaimana hasilnya?"

"Sasarannya mulai keliatan, Bos!"

"Yang bener?"

"Bener."

"Ada di mana dia?"

"Di kolong meja rias!"

"Oke, siapkan penyerbuan!"

Lupus, Lulu, dan Pepno pun mengepung kolong meja rias. Tangan mereka membentang siap menangkap kodok buronan itu. Kodok kecil itu muncul, tanpa meloncatloncat, melihat ke arah tiga detektif itu. Tapi ketika para detektif hendak menyergap, si kodok melompat tinggi dan mendarat di atas tempat tidur. Para detektif merasa terkecoh. Mereka segera menghambur juga ke atas tempat tidur. Lalu menomproknya. Tapi luput lagi. Kodok itu loncat ke atas meja rias. Para detektif terus memburu. Dan mereka langsung ikut meloncat juga ke atas meja rias. Akibatnya semua bedak- lipsti? dan alat-alat kecantikan Mami berantakan nggak keruan. Tapi semuanya jadi masa bodo demi sasaran yang mereka incer: kodok!

"Hei, sulit juga menangkap buronan kita itu!" tukas Lupus penasaran.

"Iya, Bos, kita harus mengatur siasat."

?"Bos, dia sekarang nangkring di atas vas bunga!" lapor Pepno.

Si bos mikir sejenak lalu berujar, "Salah seorang dari kita harus nyamar jadi kodok.. Ya, baiklah, saya yang akan menyamar jadi kodok. Kalian jaga-jaga jangan Sampe sas?aran luput."

"Luput? Luput kan kamu, Pus?"

"Gue Lupus, bego!"

Kemudian si bos pura-pura jadi kodok lalu melompat-lompat me?dekati si kodok asli. Tampaknya upaya ini hampir berhasil. Karena idung bos sudah berhadapan langsung dengan idung kodok. Tapi gimana cara menangkapnya? Lupus nekat mendekap dengan tangannya. Eit, kodok itu melejit lagi! Kodok itu berlari ke arah pintu. Bos yang sudah merasa dirinya jadi kodok ikutan melejit ke pintu. Tapi dasar belum pengalaman, jidat bos membentur pintu. Akibatnya, Mami yang sejak tadi ketiduran di sofa deket-deket situ, jadi terbangun mendengar suara benturan.

"Uh!" sergah Mami tersadar. Mami mengucek-ucek matanya dan kembali ngintip lagi.

Dan Mami kaget bukan main pas tau isi kamarnya jadi berantakan. Belon sempat Mami menanyakan keheranannya itu, Lupus ternyata berhasil menangkap sang kodok.

?"Horeee... dapat!" Lulu dan Pepno girang. "Selamat, Bos."

Ketiga detektif ini pun langsung keluar membawa hasil tangkapannya, tanpa mempedulikan Mami yang terheran-heran.

"K-kamar Mami kenapa jadi begini, Pus?" tukas Mami lemes.

"Kodoknya nakal, Mi. Tapi jangan kuatir, dia sudah ketangkap sekarang."

Setelah men?engar jawaban anaknya yang cuek itu Mami langsung terjerembap di pintu kamar. Marni kayaknya kaget banget melihat kamarnya yang kayak kapal pecah. Abis gimana nggak kaget kalo cuma disuruh nangkap kodok kecil, tempat tidur sampe acak-acakan, meja rias tumpah ruah, isi lemari berhamburan. Wajar dong, kalo Mami lemes!

Sementara di belakang rumah ketiga detektif pem?uru kodok itu tampak ragu-ragu ? membuang hasil tangkapannya.

"Ternyata kodok ini bisa membuat kita asyik. Gara-gara dia, kita bisa mengisi hari ini dengan bermain detektif-detektifan. Bener-bener menyenangkan. Puasa jadi tidak terasa," ujar Lupus pelan. "Bagaimana kalo besok kodok ini kita susupkan lagi ke dalam kamar Mami?"

"Setuju, Bos!"

Sedang Mami yang terkulai lemes itu malah jadi langsung k.etiduran. Padahal dia belon salat Asar.

9. Lupus Curang

?BULAN puasa kali ini, Papi lagi tugas ke luar kota. Dan selama bulan puasa, memang banyak kegiatan yang Lupus lakukan untuk mengisi waktu. Biar puasanya tak terasa. Misalnya, Lupus sama teman-temannya merencanakan bikin operet lebaran untuk merayakan hari suci itu di kompleksnya. Dan bersama Pepno serta teman-teman yang lain, Lupus suka mendatangi rumah-rumah tetangga untuk minta sumbangan.

Biasanya setelah memberi salam, Lupus dan teman-temannya mengutarakan maksud kedatangan mereka. Dan kali ini Lupus mendatangi rumah Pak Juhana Ulkusna, yang suka ikut aktif dalam kegiatan kompleks.

"Jadi gitu, Pak..."

Pak Juhana, yang masa mudanya dipanggil Oom Joni, masuk ke dalam mengambil sejumlah uang.

?"Silakan memilih," kata orang itu sambil meletakkan selembar sepuluh ribuan serta beberapa uang logam seratusan rupiah di atas meja. Kayaknya Pak Juhana mau mengetes kemurahhatian Lupus.

Ternyata Lupus mengambil uang logam seratusan perak dan berkata, "Mami saya selalu mengajar saya agar mengambil uang yang nilainya lebih kecil. Dan kalo Pak Juhana nggak keberatan, uang kertas ini saya ambil untuk membungkus uang logam, supaya nggak ilang di jalan."

Pak Juhana tertawa mendengar akal bulus Lupus.

"Dasar anak sekarang!" ujar Pak Juhana sambil tertawa.

Tapi karena kesibukan itu, Lupus dan Pepno tak jarang datang terlambat ke sekolah. Mereka selalu mencari-cari alasan, ketika ditegur guru.

"Saya mimpi pergi ke luar kota naik pesawat, Bu," ujar Pepno. "Saya jalan-jalan ke banyak tempat, hingga akhirnya. saya kesiangan."

"Dan kamu, Pus? Apa alasan kamu?" ujar guru itu memandang sebal pada Lupus.

"S-saya pergi ke lapangan terbang untuk menjemput dia, Bu," kata Lupus sambil me?nunjuk Pepno. "Ya, itulah sebabnya saya jadi terlambat."

Hihihi... tapi alhamdulillah, Lupus tamat puasanya. Dan operetnya pun berjalan meriah. Lupus dapat hadiah baju baru, sepatu baru, dan celana jins baru dari Papi yang baru pulang dari luar kota. Ya, pulang dari tugas luar kota, Papi mendadak baik hati. Tidak pelit-pelit lagi. Soalnya Papi baru dapat objekan besar. Mami aja sampai dibelikan baju dua potong. "Ini didobel sama Lebaran tahun depan lho, Mi," ujar Papi.

Lulu juga dapat boneka dan baju-baju bagus.

Hingga Lebaran berjalan amat mengesankan bagi keluarga Lupus. Dan kacang sisa Lebaran di atas meja yang hari itu diletakkan Mami, sama sekali nggak menarik minat Lupus. Abis gimana mau menarik, kalo kacangnya kacang panjang! Mami memang ada-ada saja. Kalo orang-orang, kacang Lebaran-nya kacang tanah biasa yang digoreng. Eh, Mami bikin dari kacang panjang dipotong-potong.

"Mana ada yang mau makan, Mi, kacang kayak begitu," protes Lupus waktu melihat Mami bikin kacang aneh itu.

"Kalo nggak ada yang makan, ya kebeneran. Biar awet," jawab Mami cuek..

?Tapi meski begitu Lupus akhirnya doyan juga. Cuma hari ini bawaannya males aja ngegadoin kacang itu lagi.

Suasana setelah baran mulai terasa sepi. Tamu-tamu udah nggak ada. Mau menamu juga udah keabisan saudara atau kerabat. Apalagi libur sekolah Lupus masih lama. Akhirnya, sisa-sisa Lebaran itu cuma disi Lupus dengan berbengong ria aja. Dan sudah sejak tadi L?upus gelisah, nggak tahu apa yang mau dikerjakan.

Untungnya di meja itu selain ada kacan?g panjang, juga ada koran langganan Papi. Iseng-iseng Lupus membaca koran tersebut. Mata Lupus tertumbuk pada sebuah pengumuman lomba.

Lomba Kliping!

Buat kamu-kamu yang demen mengkliping, silakan mengikuti lomba ini. Terbuka bagi siapa saja, asal kamu-kamu masih sekolah di SD, SMP, atau SMA.

?Bagi kamu-kamu yang sukses meraih juara pertama, kami menyediakan hadiah sebesar Rp100.000,- dan tiket pesawat pulang-pergi dari Bandara Soekarno-Hatta ke Terminal Kalideres!

Buruan ngedaptar, waktunya tinggal seminggu lagi, lho!

Lupus jelas berminat. Bukan apa-apa. Bukannya Lupus demen mengkliping atau apa. Ini cuma lantaran waktu rame-rame berita Perang Teluk yang duh? itu, Mami rajin banget ngeguntingin dan nempelin berita-berita itu. Nah, Lupus berniat akan menyusun klipingan-k1ipingan milik Mami itu. Ya dong, daripada nggak dipake!

Dan tanpa membuang waktu lagi Lupus langsung aja membongkar-bongkar laci bufet. Kemudian dikumpulin satu-satu. Setelah itu disusunnya serapi mungkin. Setelah beres semua, Lupus pun segera mengirimnya ke panitia lomba. Tinggal tunggu ?tanggal mainnya aja, batin Lupus.

Sementara keesokan harinya waktu Mami meriksa-meriksa laci bufet, ia sempat kaget melihat koleksi Perang Teluk-nya lenyap.

"Lupus, kamu liat nggak?"

"Kayaknya nggak, deh."

?Seminggu kemudian, rumah Lupus kedatangan serombongan orang yang berpakaian rapi jali.

"Mari masuk.!" ujar Mami. "Petugas pemungutan iuran tipi, ya?"

"Oh, bukan. Kami ini Panitia Lomba Kliping Tingkat Sekolah. Kita mau nanya, apa betul ini rumah Lupus?"

"Betul, ini rumah Lupus. Dan kebetulan juga saya maminya."

"Oh, Anda mami Lupus? Wah, selamat. Anda memiliki anak yang kreatif."

"Kreatif? Itu jelas. Karena saya juga kreatif, pasti dia nurunin saya. Tapi anak saya itu kreatif dalam hal apa?"

"Oh, jadi Ibu belon tau? Lupus memenangkan lomba kliping!"

"Lomba kliping?"

"Ya, Lupus keluar sebagai juara pertama! Oh ya, boleh kami bertemu dengan Lupus?"

"Boleh. T -tapi, apa betul anak saya itu menang Lomba K1iping?" Mami masih tak yakin.

"Bener, dia adalah pemenangnya."

"Itu dia anak saya, " tukas Mami. sambil menunjuk Lupus yang baru keluar dari kamar mandi. Ia baru pulang ujan-ujanan naik sepeda keliling kompleks.

?"Nak Lupus, kami mengundang kamu untuk datang besok pada upacara pembagian hadiah."

Lupus sempat bengong.

Tapi sedetik kemudian, dia tau bahwa dia ternyata keluar sebagai juara. Lupus melonjak kegirangan.

"0 ya, klping Perak Teluk itu kamu yang susun, kan?" tanya panitia lomba itu sambil menyerahkan undangannya.

"Ya jelas saya, dong. Abis siapa lagi," jawab Lupus sumringah.

Mami jadi memandang curiga sama Lupus.

"Jangan lupa besok datang, ya?" ujar panitia itu.

Setelah orang-orang rapi jali itu cabut, Mami langsung menghampiri Lupus.

"Pus, ternyata klipingan Mami itu kamu kirim ke perlombaan, ya? Wah, wah, kamu ngaku yang nyusun lagi. Pus, itu kan punya Mami!"

"Lho, itu kan nggak kepake."

"Kata siapa?"

"Buktinya ada di laci bufet."

"Enak aja nggak kepake, harusnya Marni yang berhak atas hadiah itu. Pokoknya Mami besok akan ikut."

Besoknya pas Lupus dan Mami ke sana, acara upacara pembagian hadiah lomba kliping itu sudah rame didatangi orang. Ketika nama Lupus disebut sebagai pemenang, orang-orang pun bertepuk tangan bersaut-sautan. Mengelu-elukan Lupus.

"Elu... elu... elu!"

Lupus melangkah jumawa. Mami yang berdiri di tepi panggung menatap gondok ke anaknya.

Setelah dikasih selamat dan menerima hadiah, Lupus juga dipotret berkali-kali. Diselamati.. Dan banyak anak-anak sebaya Lupus mengerumuninya sekadar bertanya, ngobrol, atau minta foto bareng.

"Wah, kamu hebat deh, bisa ngumpulin kliping sampe komplet begitu. Tolong ajarin kita-kita, dong."

"Iya, ceritain ke kita dong, kenapa kamu bisa menang?"

"Terus, kenapa sih kamu senang topik tentang Perang Teluk? Jelasin, dong!"

"Klipingan kamu itu diambil dari koran apa aja?"

"Berapa lama kamu kumpulin?"

"Tolong ceritain garis besar isi klipingan kamu itu. Kita-kita te?rtarik nih."

Berondongan pertanyaan itu terus-menerus menghujani Lupus. Lupus jadi kebingungan dan Lupus Nama sekali nggak bisa ngejawab. Wajahnya pucat. Lupus malu banget.

"Eh, kamu kok diam aja? Kamu pendiam, ya?" tanya seorang anak.

"Jangan gitu dong, jelasin ke kita-kita dulu, baru boleh pendiemm," tukas anak lainnya.

"A yo dong, jawab pertanyaan-pertanyaan kita," paksa cowok, berbadan bongsor.

Lupus makin bingung. Karena dia nggak tau apa-apa. Lupus sama sekali nggak ngebaca isi kliping itu. Dia cuma menyusunnya dan mengirimnya.

"Mi, tolong Lupus, dong..." Lupus merajuk ke Mami yang dari tadi emang berdiri di samping Lupus biar kena kepotret.

"Talong apa?" Mami berlagak bodoh.

"Tolong jawabin pertanyaan-pertanyaan mereka." Lupus memelas.

"Lho, kliping itu kan kamu sendiri yang nyusun," Mami menyindir.

"Duh, tolong dong, Mi. Nanti semua hadiahnya buat Mami, deh," bisik Lupus.

" Bener?" Wajah Mami cerah.

"Eh, bagi dua, ding!" potong Lupus cepat.

"Kok bagi dua?" Mami protes.

"Iya, Lupus kan udah capek-capek ngirim."

Mami setuju.

"Hmm, begini, Adik-adik," ujar Mami menjelaskan, "anak saya ini memang pemalu. Dia nggak bisa ngomong di depan banyak orang. Biar Tante yang ngejelasin, ya?"

Sementara Mami dikerubung banyak orang karena ngejelasin perihal kliping yang menang itu, Lupus duduk sendirian di pojokan. Benar-benar sendirian. Mami emang udah nggak perlu berdiri dekat-dekat Lupus biar kena kepotret lagi.

***

Dan keesokan harinya, Lupus pulang sekolah agak cepat, jam sepuluh kurang dikit. Ketika Mami lagi sibuk dengan adonan kue lidah kucing di dapur, ia melihat bayangan Lupus melesat lewat pintu dapur. Mami menoleh cepat, lalu melongokkan kepalanya dari dapur.

"Lupus pulang agak cepat. Apakah Lupus sakit?" ujar Mami.niru iklan di tipi.

"Pilek, Bu!" ujar Lupus pendek.

Mami tertawa.

"0 ya?"

"L-Iupus pulang cepat, k-karena bisa menjawab pertanyaan Ibu Guru, Mi, dengan tepat."

"Pertanyaan apa?"

"Pertanyaan: siapa yang meletakkan permen karet di bangku Happy."

Mami tertawa, seraya meletakkan adonan kuenya di meja. Ia melihat wajah anaknya itu agak pucat. Mami pun mengecek suhu badan Lupus dengan punggung tangannya yang belepotan. "Wah, panas. Cepat ganti baju di kamarmu, Mami mau cuci tangan dulu."

"Kuenya udah mateng, Mi?"

Mami menatap Lupus. "Kamu ini, sakit-sakit masih mikirin kue aja. Sana ganti baju dulu."

?"Mami selesaikan bikin kuenya aja dulu, Mi. Sakit Lupus bisa menunggu, kok."

"Hei, cepat sana naik ke kamarmu!" hardik Mami. "Ini kue untuk arisan besok pagi, tau!"

"Oo, dikira bikin kue Lebaran lagi."

"Enak aja. Emangnya mau Lebaran berapa hari?"

Lupus naik ke kamarnya. Pupuslah harapan bahwa ia bakal lebih banyak makan kue dibanding Lulu yang baru akan pulang satu jam lagi nanti. Di kamar, Lupus menukar baju dan merebahkan diri di ranjang empuk. Cahaya matanya memang redup. Ia demam, setelah kemaren keujanan abis keliling-keliling bersama ke rumah teman-temannya. Mau bersalam-salaman. Maklum, abis Lebaran.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah Mami menuju kamar. Sambil membawa obat, Mami tersenyum hangat. "Minum obat ini dulu, Pus. Nanti sore kita ke dokter."

"Ke dokter?"

"Iya. Apa kamu belum pernah tau kalo anak yang sakit itu harus dibawa ke dokter?" goda Mami tersenyum.

Dan sorenya mereka benar-benar ke dokter. Lupus mengenakan baju hangat, diantar Papi dan Mami. Lulu dititipkan di rumah Tante Ira di depan rumah. Lulu tadinya mau ikut, tapi ditolak Lupus, karena niat Lulu ikut hanya mau menakut-nakuti, "Awas, Kak- jarum suntiknya gede banget, lho!"

Mereka naik mobil Papi ke dokter. Lupus gemeteran duduk di antara papi dan maminya. Dia takut membayangkan jarum suntik. Dan di perjalanan, Lupus mencoba mempengaruhi Papi, "Pi, apa Papi nggak merasa rugi bawa Lupus ke dokter segala. Bayarnya kan mahal?"

Mami yang duduk di sebelah Papi, cepat menyerobot, "Papi lebih merasa rugi lagi kalau kamu harus dioperasi."

"Dioperasi?" Lupus terkejut.

"Ya, kalau kamu membiarkan sakit kamu itu tanpa diobati dokter, pasti akan menjadi parah. Dan kalau parah, kamu haru? dioperasi. "

"Tapi kan Lupus cuma demam biasa. Mimum obat dari Mami juga sembuh."

"Kamu. jangan salah, Pus," ujar Papi. "Obat yang dibeli Mami itu kan mahal. Sedang kalau kamu dibawa ke dokter, Papi tak perlu mengeluarkan uang lagi. Semua ditanggung kantor. Sekali suntik- pasti sembuh."

Lupus terdiam. Disuntik! Itu hal yang dari tadi bikin hati Lupus kecut. Setiap kali ke dokter, hati Lupus terasa kecut. Baru mencium bau rumah sakit aja, rasanya pengen lari tunggang-langgang.

"Siap? nama anak manis ini?" tanya dokter yang putih bersih itu ketika memeriksa badan Lupus dengan stetoskop. Lupus yang sejak masuk ruangan tadi pasang muka perang, cuma terdiam.

"Lupus, Dok," jawab Mami.

"O, Lupus. Kamu kecapekan ya, Pus? Terlalu semangat Lebaran-nya?"

"Kemarin dia kehujanan, Dok. Abis keliling sama teman-teman sekolahnya," jelas Mami.

"O ya?" ujar Dokter seraya menyuruh Lupus menjulurkan lidah nya. Lupus langsung menurut, dan Dokter memeriksa lidah Lupus dengan senter yang kecil.

Tapi ketika Dokter selec;ai memeriksa, Lupus tetap menjulurkan lidahnya. Dokter heran. "Sudah, Pus. Sekarang kamu boleh menutup mulutmu kembali."

Lidah Lupus tetap menjulur.

Mami menegur.

"Kenapa kamu tetap menjulurkan lidah?" tanya Dokter.

"Enggak apa-apa. Lupu! lagi sebel aja," ungkap Lupus sambil bersungut.

Dokter tertawa. "Sebel kenapa?"

?Lupus tak menjawab. Tapi Papi nyeletuk, "takut disuntik."

"O ya? Kamu kan tak perlu disuntik, kalau tidak mau," ujar Dokter seraya menuju meja kerjanya. "Saya bisa menuliskan ?resep..."

Wajah Lupus cerah seketika. "Betul, Dokter?"

"Ya, tentu saja. Tapi itu jika papimu mau mengeluarkan uang untuk membeli obat," lanjut Dokter.

"Maksud Dokter?" Papi mengerutkan kening.

"Karena masalahnya persediaan obat di poliklinik kita lagi kosong. Jadi Bapak harus menebus obat di apotek."

"Apa tidak bisa kalau disuntik saja?" Papi jadi kecut.

"Bisa sekali. Itu memang lebih baik karena biasanya dengan suntik, demam anak-anak akan lebih cepat turun, dibanding harus minum obat sehari tiga kali," kata Dokter sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Kalo begitu disuntik saja!" tukas Papi cepat.

Lupus rasanya mau menjerit.

"B-beli obat aja, Pi. L-Iupus masih punya tabungan, kok,. untuk beli obat," ujar Lupus gugup.

"Ah, sudahlah, Pus. Kamu kan udah gede. Masa disuntik aja takut? Lagian, kamu kan paling malas kalo disuruh makan obat, Pus. Jadi lebih baik disuntik saja. Cuma sebentar kok dan kamu bisa lekas sembuh," komentar Mami.

Ya, memang tak ada pilihan lain. Lupus memang harus disuntik. Setelah tangannya dipegangi Papi, Lupus dipaksa berbaring lagi di tempat tidur. Mau disuntik, Lupus buru-buru cari akal.

"S-sebentar, Pak Dokter," ujar Lupus ketika meliat Dokter sudah menyiapkan alat suntiknya. "Apa Pak Dokter tak punya alat suntik yang lebih canggih dari itu?"

"Maksud kamu?" Dokter menjawab heran.

"Masa Pak Dokter tak tau. Saya liat di tipi katanya di Australia sekarang ada alat suntik pengganti khusus buat anak-anak yang takut disuntik. Yang tidak memakai jarum, dan tak menimbulkan rasa sakit. Yang rasanya hanya seperti kalau kulit kita dijentikkan," jelas Lupus panjang-lebar.

Ya, dokter itu tentu saja pernah mendengar ada alat seperti itu. Tapi poliklinik ini tentu tak memiliki alat suntik secanggih itu. Itu kan baru ada di Australia.

"Harusnya punya, dong!" ujar Lupus ngotot. "Kan berguna buat anak-anak yang takut disuntik."

?"Iya, tapi alat suntik seperti itu mahal harganya. Jarum suntik Pak Dokter lebih praktis, murah, dan sedikit menimbulkan rasa sakit," ujar Dokter tersenyum sambil menyuruh Lupus tengkurep.

"Nggak mau! Lupus hanya mau ke dokter yang punya alat suntik yang seperti di Australia."

?"Kenapa kamu tak pergi ke Australia aja, Pus?"

Lupus tetap ngotot. Papi membantu Dokter memaksa Lupus untuk tengkurep. Dan lagi asyik-asyik ngotot, tiba-tiba "Aouw!" pantat Lupus disuntik. Sakit sebentar, lalu lenyap.

"Nah, praktis, kan? Daripada harus capek-capek ke Australia?" ujar Dokter tersenyum, sambil menyimpan kembali alat-alat suntiknya.

Lupus terdiam. Bengong. Memegangi pantatnya. Ia tak menyangka akan berlalu secepat itu. Kini ia tak perlu repot-repot lagi minum obat tiga kali sehari. Kini ia bisa tidur nyenyak, dan terbangun keesokan paginya dengan wajah segar.

Ya, satu-sat?nya cara untuk menghilangkan takut adalah dengan menghilangkan perasaan takut itu sendiri. Jangan dipikirin. Jangan dibayangin.

Dan dalam perjalanan pulang, Lupus jadi mikir, kenapa tadi ia harus begitu merasa ketakutan, kalau segalanya kini begitu mudah berlalu.

Tapi untuk kembali ke dokter itu lagi, tentu Lupus mikir dua kali dulu, dong....

10. Kamu Maling, Kan?

?MASIH inget Iko Iko? Yang jelas dia bukan nama makanan, tapi nama teman Lupus yang punya penampilan payah. Gimana nggak payah kalo rambut Iko Iko yang rada panjang itu dibiarkan awut-awutan? Selain itu Iko Iko juga suka pake baju gombrong. Itu karena Iko Iko emang sering pake baju punya kakaknya kalo mau ke sekolah. Sebenarnya Iko Iko adalah anak sederhana yang pemalu. Dia memang anak orang nggak punya. Dia juga minderan. Dan saking payahnya penampilannya, Iko Iko ?paling nggak mau kalo diajak masuk ke su permarket atau jalan-jalan ke pusat pertokoan modern

Seperti siang itu waktu Lupus dan Pepno mengajak Iko Iko ke supermarket, Iko Iko menolak mentah-mentah.

"Males, ah," tukas Iko Iko.

"Emangnya kenapa, Ko?" desak Pepno.

"Saya suka dicurigain kalo masuk ke supermarket," Iko Iko menjawab sedih.

"Dicurigain sama siapa?" Lupus kali ini yang bertanya.

"Dicurigain sama Satpam, dikira maling."

"Ah, yang bener?"

"Bener. Saya kan pernah pergi ke supermarket sekali. Sampe di sana para penjaganya pada merhatiin saya terus. Mereka kuatir kalo saya ngambi1 sesuatu. Saya Jadi nggak enak."

Ya, potongan Iko Iko sepintas lalu memang mirip anak-anak jalanan. Tapi Iko Iko bukanlah anak jalanan yang suka mengutil barang-barang di supermarket. Iko Iko hanya anak baik yang kurang bisa menjaga penampilan saja.

"Anak sedekil saya memang nggak pantes main-main ke supermarket, Pus," tambah Iko Iko. "Apalagi pusat pertokoan."

Tapi, apa karena bujukan Lupus yang begitu yahud, atau mungkin karena ditemani Lupus dan Pepno, Iko Iko saat itu setuju saja untuk pergi ke supermarket. Mudah-mudahan aja orang nggak akan mencurigai Iko Iko yang memang kalo diliat-liat gayanya mirip-mirip anak berandalan.

Waktu mau masuk supermarket, Iko Iko menyempatkan diri beli majalah Kawanku di pengecer depan supermarket dulu.

"Denger-denger kamu suka nulis cerpen ya, Ko?" tanya Lupus waktu Iko Iko melihat lembaran cerpen di majalah yang baru dibelinya itu.

"Begitulah, Pus. Tapi cerpen saya belum pernah dimuat tuh. Padahal saya udah kirim ke Kawanku sebulan yang lalu."

Sementara supermarket siang itu cukup banyak didatangi pengunjung.

"Eh, belanja di supermarket itu enak nggak,. sih?" Iko Iko nanya ke Lupus karena dia memang agak jarang belanja di supermarket.

"Enak, Ko. Mau apa-apa kita tinggal cari sendiri."

"Nggak ada yang melayani?"

"Ya nggak."

"Lho, apa enaknya belanja tidak ada yang melayani?"

Akhirnya sambil terus ngobrol-ngobrol, Lupus, Iko lko, dan Pepno berkeliling mencari-cari barang yang d"nginkan. Meski Lupus dan Pepno sudah mendapat apa yang mereka inginkan, mereka tetap saja berkeliling-keliling. Jalan-jalan di dalam supermarket memang mengasyikkan bila dibandingkan dengan berjalan-jalan di dalam goa! Didalam supermarket kita bisa ngeliat-ngeliat makanan, minuman, buah-buahan, hiasan, bacaan, mainan, atau pengunjungnya yang kece-kece.

Hanya tanpa mereka ketahui, ada sepasang mata mengawasi bengis gerak-gerik Iko Iko

Ada apa dengan Iko Iko?

Yang jelas waktu Lupus dan Pepno ngantre di kasir untuk membayar, Iko Iko nggak ikutan. Karena Iko Iko nggak beli apa-apa. Dia langsung ngeloyor ke luar aja. Nah, pada saat itulah Iko lko diseret seorang petugas keamanan yang berpakaian preman.

"Maaf, kamu harus ikut ke kantor!" sergah petugas itu.

Iko Iko kaget. Lupus dan Pepno yang kebetulan udah selesai membayar juga kaget.

"Lho, kenapa teman saya ini, Pak?" tanya Lupus dan Pepno ketika sudah sampe kantor keamanan supermarket.

"Dia mencuri majalah!"

"Mencuri majalah? Orang dia beli di luar, kok," protes Lupus tegas.

"Situ jangan mentang-mentang teman terus membela, ya?" omel petugas.

"T-tapi s-saya bener-bener tidak mencuri, Pak," Iko Iko? berusaha membela diri.

"Tau tuh, Bapak, jangan asal menuduh, dong! Mana buktinya, kalo temen saya ini nyolong majalah?" Pepno ikutan ngebela.

"Lho, buktinya ya majalah ini. Dia langsung bawa ke luar tanpa membayarnya di kasir!"

"Pak, dia beli majalah di luar, bukan ngambil dari rak supermarket. Kalo Bapak nggak percaya, tanya aja sama tukang majalah di luar sana," usul Lupus kemudian.

Petugas itu berpikir sejenak, tapi akhirnya berkata, "Boleh, dan mari kita buktikan."

Lupus merasa kalo tukang majalah itu pasti masih inget ?ama Iko Iko yang tadi beli majalahnya. Lupus langsung buru-buru menghampiri tukang majalah itu.

"Pak masih inget kan kalo teman saya ini tadi beli majalah di sini?" Lupus berharap agar pak penjual majalah itu masih inget.

"Iya, Pak saya tadi beli majalah sama Bapak," Iko Iko berusaha meyakinkan juga dengan suara bergetar.

Bapak penjual majalah itu keliatan bingung memperhatikan Lupus, Iko Iko, Pepno, dan petugas keamanan supermarket yang merubungnya tiba-tiba.

"Waduh, saya nggak inget, Dik. Abisan yang beli majalah di sini banyak,. sih...," ujar penjual majalah itu tanpa merasa bersalah.

?"Masa Bapak lupa?" Lupu? agak ngotot.

"Iya, Pak, inget-inget dulu, deh. Kan belum lama," Pepno ikut nimbrung.

"Tapi Bapak bener-bener nggak inget, tuh. Apalagi orang yang beli majalah Kawanku banyak banget. Majalah itu kan lagi laris, abis ada cerita Lupus-nya..." (Dooooo!)

" Alaa, kalo itu sih orang-orang udah pada tau. Yang penting sekarang Bapak inget nggak kalo temen saya tadi beli majalah di sini?" Lupus tambah ngotot.

"Bapak nggak inget...." Bapak penjual itu menunduk sedih.

"Udah deh, jangan banyak alasan. Kalo emang nyolong ngaku aja. Pake nyari-nyari alasan lagi," sergah petugas keamanan itu kemudian sambil kembali membawa Iko Iko ke kantornya.

Iko Iko nggak bisa berkutik. Lupus dan Pepno juga. Mereka bener-bener nggak nyangka kalo bakal terjadi seperti ini. Yang kasihan jelas Iko Iko, karena kekuatirannya akan dicurigai terbukti kini.

"Sekarang kalian tak usah berkilah lagi. Dan kamu jangan sekali-kali ngambil barang di supermarket ini. Kali ini saya maapin, tapi lain kali awas!"

"Tapi dia nggak nyolong, Pak," kelit Lupus lagi.

? " Alaa, kamu ini keras kepala banget, sih. Udah jelas-jelas teman kamu ini maling," putus Satpam itu.

Wajah Iko Iko langsung tegang.

"Di majalah ini kan nggak ada cap supermarketnya, Pak," Lupus terus saja berkelit dengan suara tinggi.

"Khusus majalah memang nggak pake dicap! Sekarang kamu harus bayar dua kali lipat harga majalah itu. Biar kapok."

Untungnya Pepno bawa duit cukup. Dan dia langsung membayar apa yang diminta oleh petugas itu. Tapi Lupus kelihatan masih nggak bisa nerima.

"Enak aja bayar! Kita nggak salah, kok!"

"Kamu mau saya bawa ke menejer toko ini?" bentak Satpam kesal melihat Lupus.

"Boleh. Mana menejernya. Saya pikir dia pasti lebih pintar dari orang yang bisanya cuma nuduh aja!" ujar Lupus keras.

Si Satpam emosi, hampir memukul Lupus. Tapi dengan cepat Pepno menahan,

"Sudahlah, Pak. Maafkan teman saya. Ini saya bayar ganti ruginya!"

Satpam menerima uang itu. "Tapi bilang kepada temanmu, hati-hati kalo bicara. Saya nggak mau melihat anak itu berkeliaran di sekitar sini lagi."

"Yeee, yang sudi ke sini lagi siapa???".

?Lupus yang dibawa Iko Iko ke luar masih menyahut.

"Sudahlah, Pus," Iko Iko menenangkan.

Sesampai di luar Lupus dan Pepno merasa nggak enak sama Iko Iko. Karena mereka yang mengajak Iko lko. Tapi anehnya, Iko Iko sendiri cuek bebek aja.

"Kamu nggak sedih, Ko?" tanya Pepno sedih.

Sedang Lupus masih bersungut-sungut.

"Ah, nggak. Saya kan udah sering dicurigai seperti itu... di kelas aja saya dicurigai tukang nyontek. Di mana-mana orang yang punya potongan kayak saya dicurigai terus. Tapi nggak apa-apa, dengan begitu saya akan punya. semangat untuk memperbaiki keadaan dan penampilan saya, biar nanti-nantinya nggak dicurigai lagi...."

Iko Iko mungkin tenang punya pikiran kayak gitu. Tapi Lupu? sampai pulang, tetap tak habis pikir. Kenapa orang bisa mencurigai hanya karena ngeliat tampangnya yang berantakan?

Posting Komentar

Tampilkan Emoticon