Skip to main content

Minggu, 07 Juli 2013

Lupus Kecil


SELAMAT PAGI....

"KUKURUYUUUK...."

"Kukuruyuuuk .. petok, petok, petok... kukuruyuuuk.... "

Hari masih pagi sekali. Baru jam lima. Tapi ayam-ayam sudah mulai ramai. Saling bersahut-sahutan. Ada yang keras, ada yang sedang-sedang saja, dan ada juga yang fales, tak enak didengar. Mereka semua kompak. Teriak satu, teriak semua. Berkokok satu, berkokok semua. Bertelur satu, bertelur semu... eh, enggak ding. Yang jantan kan enggak bisa bertelur, ya?

Pokoknya, setiap pagi, mereka pada koor membangunkan siapa saja. Dan mereka belum mau berhenti kalau jendela rumah di situ belum terbuka, belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

"Kukuruyuuuk... kukuruyuuuk... kukuruyuuuuk...!Hoiii..!"

"Ya, ya... saya sudah bangun. Selamat pagi, ayam-ayam...." Tiba-tiba muncul kepala mungil dari balik jendela rumah itu. Sambil tersenyum manis. Kemudian memandang matahari pagi yang masih bersinar malu-malu. Ayam-ayam pun turut tersenyum. Suasana jadi ceria. Apalagi burung-burung ikut bernyanyi. Pagi itu benar-benar indah.

"?Cit...cit...cit...," Wah, suara burung-burung itu benar-benar merdu. Kenapa mereka tak rekaman kaset saja, ya?

Anak laki-laki itu pun membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Biar udara bisa bertukar. Biar udara pagi yang sejuk masuk ke kamar. Nanti akan dihirupnya banyak-banyak. Ah... segar sekali.

Dan ayam-ayam sudah mulai mencari makan. Mencari makannya tidak jauh-jauh. Di situ-situ juga. Lain dengan orang tua kita yang cari makannya mesti pergi ke kantor dulu, padahal di kantor belum tentu ada makanan. Paling-paling mesin tik dan arsip-arsip. Aneh juga ya, orang tua kita itu.

Matahari sekarang sudah tidak malu lagi bersinar. Karena sudah masuk jam tugasnya. Dia sorotkan kuat-kuat sinarnya ke bumi biar terang. Eh, matahari pernah kesal juga lho, waktu dibilang kurang perlu bila dibanding bulan. Sebab, katanya, kalau siang hari itu sudah terang, jadi apa gunanya matahari?

?Sedang malam kan gelap gulita, jadi bulan lebih perlu... hihihi. Ada-ada aja, ya?

Hei, lihat! Burung-burung itu mulai melesat ke sarang masing-masing. ".. .dan saya harus melesat ke kamar mandi...," pikir anak yang tadi.

Byur, byur, byur! Terdengar suara jebyar?jebyur dari kamar mandi. Semangat. Mandi memang perlu semangat.

Gedubrak! Eh, bunyi apaan, tuh? Ya, ampun, kalau membuka pintu kamal mandi tidak usah pake semangat dong. Akibatnya, ya, engselnya copot dan menimpa anak lelaki tadi. Kelihatannya benjol. Tapi, kok anak itu cuek bebek? Malah bersiul-siul melenggang ke kamarnya. Tapi, apa yang terjadi setelah anak itu masuk kamar dan menutup pintu? "Adaaaoooo... kepala saya, sakiiiit!!" anak itu menjerit keras.

Hihihi... rupanya dia tadi malu kali. Takut diketawain adiknya. Hihihi....

Sekarang si kepala benjol sudah siap dengan baju seragamnya. Seragam apa? Seragam silat? Hus! Jangan ngaco, ya? Masak... sekolah pakai baju seragam silat? Salah dong. Yang betul seragam renang... hihihi. Ya, anak itu ternyata memakai baju seragam sekolah. Putih-merah. Sebab dia sudah kelas satu ? SD. Umurnya sudah tujuh tahun. Jadi sudah wajib sekolah.

Mau tau namanya? Yah, sebentar. Kita sama-sama kenalan aja. Eh, ternyata anak laki-laki benjol itu bernama Lupus.

Lupus?

Iya, Lupus. Anak yang punya rambut tebal, bermata bulat, punya hidung lucu itu memang bernama Lupus. Kata dia, gampang kok ngenalnya. Kalau kamu lagi jalan-jalan, terus ketemu anak kecil dan kamu tanya namanya, dia menjawab "Lupus", nah, berarti dia itu Lupus.

Ya, dia itu anak jujur. Nggak pernah mengaku-ngaku Udin, Adang, atau Enjum. Dia cukup bangga kok dengan namanya yang secomot itu.

Lupus ini punya satu saudara. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Jadi ibunya punya saudara dua. Satu Lupus, satunya saudaranya lagi. Saudaranya Lupus jadi saudaranya ibunya juga. Saudaranya itu anak kedua dari dua bersaudara. Saudaranya Saudara-saudara, saudara siapa? Aduh... kenapa jadi begini ya, Saudara-saudara?

Maksudnya gini, lho. Lupus itu punya adik. Adik itu saudaranya Lupus. Jadi antara adiknya Lupus dan Lupus saling bersaudara. Saudaranya saudara... aduh! Mulai lagi tuh! Nama saudara Lupus itu Lulu. Anaknya perempuan... eh, maksudnya dia anak perempuan. Umurnya baru enam tahun. Sekolah di Taman Kanak-kanak. Wajahnya manis mirip kakaknya. Hidungnya mancung, tidak mirip kakaknya. Sedang hidung saya, kata Lupus pesek tidak mirip adik saya. Weee... bolehnya ngiri!

Nah, sekarang dua bersaudara itu tengah menuju ke sekolah. ?Sekolah Lupus dan sekolah Lulu berdekatan. Saking dekatnya, jadi sering senggol-senggolan. Dan ke mana-mana, sekolah itu, selalu berdua. Akrab 'kali, ya?

Lupus dan Lulu tidak pernah minta diantar. Pulangnya juga tidak minta dijemput. Tapi sekali-sekali mereka juga naik becak ke sekolah. Pernah lho Lupus mengejar-ngejar becak dari jalan depan sekolahnya sampai gang depan rumahnya. Abang becak sempat heran. Ada apa, nih? Taunya, "Saya cuma mau ngirit dua ratus rupiah saja kok. Boleh kan, Bang?"

Hihihi.

Lupus selalu ada-ada saja ternyata. Dia selalu ada bila di situ banyak kembang gula. Anak ini suka sekali kembang gula. Tau kembang gula? itu lho, makanan yang terbuat dari kembang, yang di atasnya ditaburi gula!

Hihihi.

?Dan sekali caplok, mulut Lupus bisa memuat lima atau enam kembang gula. Bukannya serakah, biar rasanya bisa meriah kayak taman-ria, ujar Lupus.

Walau baru kelas satu, Lupus ini sudah hobi membaca. Dia sudah pandai mengeja. Seperti i-en-i-ni dibaca 'ini'. Be-u-bu de-i-di dibaca 'budi'. Kalau disambung jadi, 'Ienini Beubudeidi," kata Lupus.

Sedang si Lulu belum kenal huruf, tapi sudah tau gambar. Lulu pandai sekali menebak gambar. Sekali waktu disodorkan gambar bebek. Lulu dengan cepat menjawab: bebek! Gambar panda: panda! Gambar ayam juga dijawab: ayam! Sedang gambar gorila, dia langsung... menangis. Wao! Wao! Wao! Kalau sudah menangis, Lulu susah berhentinya. Dia baru berhenti kalau kepingin tertawa. "Abits," kata Lulu, "cucah cih ketawa cambil nangits. Hihihi."

O ya. Lulu memang- masih cadel. Masih belum bisa menyebut huruf "s" dan "r" dengan baik. Padahal umurnya sudah enam tahun, lho. Mungkin ini karena lidahnya Lulu emang pendek atau gara-gara kebiasaan ibunya yang ikut-ikutan ngomong cadel waktu Lulu masih kecil. Tapi nggak apa-apa, asal saat nangis jangan cadel aja. Nggak enak didengar sih!

?Ah, tapi masa iya sih anak umur enam tahun masih cadel? Hihihi..., ini memang rahasia. Sebetulnya sejak setahun Yang lalu Lulu sudah tidak cadel. Tapi karena dia memang anak manja, jadi ngomongnya tetap dicadel-cadelin. Biar tetap disayang Ibu. Kita sih pura-pura nggak tau aja, ya?

Iya. Dan sekarang kita lihat dulu apa? kesukaan Lupus di sekolah. Ternyata punya hobi menggambar. Bakatnya udah kelihatan, memang. Seperti saat senggang, ia sering kali menggambar dinding kelasnya. Diurek-urek sesukanya. Ad?a kuda lari, ada ayam, ada pemandangan. Tapi itu jelas tidak baik.

Sudah pasti Lupus kena tegur Ibu Guru. "Kenapa kamu mencoret-coret dinding kelas kita itu, Lupus?"

"Saya mencoretinya kalau buku gambar saya habis, Bu," jawab Lupus. Ya, lebih dari itu tidak. Tidak pernah Lupus menggambar dinding, kalau buku gambarnya masih banyak yang kosong.

Tapi sekali waktu pernah juga. Ketika Lupus ingin menggambar kereta api yang panjaaaang sekali. Setelah menggambar lokomotif di kertasnya, dia menyambung gerbong keretanya ke dinding kelas dan terus... ke lantai. Mungkin Lupus akan terus ke luar kelas, berdiri di gang, untuk menyelesaikan gambar gerbong terakhirnya.

Di sekolah Lupus termasuk anak yang disenangi. Karena orangnya periang dan tidak cengeng. Lupus paling berani kalau disuruh menyanyi di depan kelas. Biasanya tiap disuruh menyanyi dia pasti menyanyikan lagu kesukaannya, Gudul Pacul.

?"Gundul-gundul pacul cul gembelengan

Gundul-gundul pacul cul gembelengan..."

Selalu lagu itu. Pernah, mungkin karena Ibu Guru merasa bosan, Lupus disuruh menyanyikan lagu yang lain. Misalnya, lagu Halo-halo Bandung

Maka Lupus pun langsung maju ke depan kelas, dan bernyanyi:

?"Halo-halo Bandung dung gembelengan

Halo-halo Bandung dung gembelengan..."

?Hihihihi... anak-anak pun pada tertawa. Karena Lupus menyanyikan lagu Halo-halo Bandung dengan irama Gundul-gundul Pacul.

Lupus di rumah juga suka mendengarkan radio. Biasanya pas sore-sore, saat radio memutar lagu anak-anak. Tapi tak cuma lagunya, warta berita juga Lupus suka.

Suatu hari Bapak pernah membelikan radio mungil buat Lupus. Warnanya merah. Bentuknya pun indah. Lupus begitu gembira. Setiap hari, disetelnya radio itu. Tapi kata Ibu, sebaiknya jangan dibawa tidur. Kasihan, nanti radionya capek. Tidak istirahat-istirahat.

"Malahan," kata Lupus, "radio ini selalu Lupus selimuti biar hangat. Biar tidurnya nyenyak. Sampai-sampai dia ngorok terus. Kresek, kresek... begitu, Bu."

Berbeda dengan Lulu, Lupus memang agak keras kepala. Dia selalu yakin apa yang dikatakannya selalu benar. Pernah ditanya, binatang apa yang paling kecil di dunia? Jawabnya: gajah. Aneh, kan? Tapi dia tak mau tau. Pokoknya jawaban itu harus dianggap betul. Biar bagaimanapun juga Lupus tidak mau mengganti jawabannya. Kalau masih keberatan juga, kata Lupus, lebih baik pertanyaannya saja yang diganti, dicocokkan dengan jawabannya. Pasti nanti betul.

Yah, itulah Lupus.

?Yang setiap hari selalu ceria. Mungkin sebagian dari kamu sudah pernah mendengar - cerita dia setelah besar. Setelah kelas dua SMA Merah-Putih. Nah, ini memang catatan saat Lupus masih kecil.. Wow, ceritanya nggak kalah seru. Kebetulan sore itu dia ada janji dengan Pepno, sahabat kentalnya, untuk bermain sepeda keliling kompleks. O ya, Lupus memang suka main sepeda. Tapi sayangnya, dia malas genjot. Jadi kalo kepingin main sepeda, dia suka pinjam kakinya Lulu buat genjor. Hihihi....

Iya, deh. Kita lihat saja tingkahnya yang aneh-aneh. Mudah-mudahan dia tidak jatuh lagi. Habis Lupus ini hobi banget mengangkat roda depan sepedanya, untuk bergaya. Maka tak heran kalau kamu akan menemukan pulau-pulau kecil di betis atau lengannya yang bekas luka.

Dia itu sebenarnya nakal tidak, tidak nakal tidak. Bingung, ya? Lupus memang suka bikin bingung kok. Tapi kalau kamu sekarang sudah mulai suka melihat kekonyolan-kekonyolannya, berarti kamu bisa jadi teman baik dia.

Nah, selamat berkenalan, anak manis!

1. Dapat Kamar Baru

?Lupus kecil sudah merasa besar. Ia ingin punya kamar sendiri. Tidak lagi disatukan sama Ibu dan Bapak di sebuah kamar besar di pusat rumah. Tidak lagi bersebelahan dengan ranjang Lulu yang bentuknya mirip rumah boneka.

itu bagus, kata Bapak. Seorang anak, apalagi laki-laki, memang harus tidur terpisah dari orang tua. Belajar berani. Belajar mandiri, mengatur kamarnya sendiri. Dan Ibu pun mengabulkan permintaan Lupus. Di rumah Lupus memang masih tersisa beberapa kamar kosong, yang biasanya untuk menaruh barang-barang atau menerima saudara yang menginap.

Lupus jelas girang. Permintaannya dituruti. Diledeknya Lulu yang juga ingin dapat kamar sendiri, tapi tak diizinkan Ibu. Alasannya, di samping masih terlalu kecil, Lulu suka mengigau kalau malam. Suka kepingin pipis. Lupus merasa menang, lantas senang. Lulu cuma diam saja dicibiri Lupus.

Maka seharian itu, Lupus sibuk menata kamarnya. Rak buku yang baru dibelikan, kayaknya jadi pusat perhatian Lupus. Sebab Lupus yang punya koleksi buku cerita yang banyak itu agak bingung, di mana dia meletakkan robot-robotan dan mobil-mobilannya? Soalnya mereka-mereka itu belum kebagian tempat.

Setelah ditimbang-timbang, akhirnya Lupus memilih semuanya. Robot, mobil, dan buku sama pentingnya. Lagi pula robot-robot itu nanti tak bakal kesepian. Dia bisa baca buku Ketika Lupus, kalau lagi iseng.

Maka setelah urusan rak buku selesai, Lupus kembali sibuk mengatur letak tempat tidur, letak kipas angin, letak meja belajar dan lemari pakaian. Bagaimana agar semua bisa masuk, dan terletak manis di kamarnya. Mang Unang, yang suka memotong rumput itu, ikut membantu menggotong-gotong. Uh, ternyata mengatur kamar sendiri itu mengasyikkan. Lupus sampai lupa makan siang, kalau tidak lekas-lekas diingatkan ibunya

"Sudahlah, Pus. Nanti bi?a diteruskan. Sekarang kamu makan siang dulu."

Ibu Lupus memang orang yang baik hati. Tapi menurut Lupus, ibunya itu termasuk ibu yang lucu juga, walau kalau lagi marah tampangnya galak sekali. Ibu Lupus bersama ibu-ibu tetangga lainnya, suka ikut kegiatan semacam Dharma Wanita. Lupus sendiri kurang begitu tau, apa nama kegiatan itu sebenarnya. Pokoknya, mereka suka menggadakan kumpul-kumpul, seminar menjadi ibu yang baik, atau sekadar mengobrol. Kegiatan itu biasanya berpusat di balai pertemuan, dekat lapangan tenis. Kalau lagi iseng, sambil nonton Bapak main tenis, Lupus suka mengintip ibunya yang ikut seminar. Pernah Lupus mendengar ada suatu pertanyaan yang diajukan oleh ibu pembina, "Ibu-ibu sekalian, apa yang harus Ibu-ibu lakukan bila mengetahui anak Ibu secara teratur mencuri uang dari anggaran rumah tangga ?"

Sejenak ruangan balai pertemuan hening.

Tapi tiba-tiba ibu Lupus menjawab lantang, "Kita curi lagi uang jajannya!"

Ibu pembina pun terheran-heran. Sedang Lupus tertawa terpingkal-pingkal di luar.

Tapi menurut Lupus, ada untungnya juga Ibu ikut perkumpulan seperti itu. Paling tidak, Lupus pernah mendengar pesan yang disampaikan kepada para ibu-ibu: harus memberi kebebasan bermain bagi sang anak. Bahwa bermain-main bukanlah hal yang "mewah", melainkan keharusan yang mutlak bagi anak-anak.

Makanya Ibu selalu memberi peluang lebar-lebar bagi Lupus untuk bermain. Tapi sayangnya, Lupus suka terlalu sore pulang ke rumah.

Saking penasarannya, suatu waktu ibu Lupus bertanya kepada Lupus. "Sebetulnya kamu itu main apa sih sampai sore begini baru pulang?"

"Main yang jauuuuh sekali...," jawab Lupus sambil ngeloyor ke kamar mandi. Hihihi, dia takut kena jewer.

Tapi itulah. Pada dasarnya, ibu Lupus memang ibu yang baik. Tiap sore, masih menyempatkan diri minum teh dan kue bersama Bapak, Lupus, dan si mungil Lulu.

"Saat sore itu, biasanya mereka bercerita-cerita kejadian yang dialami siangnya. Biasanya mulai dari Lulu, "Bu, Kak Luputs, celalu kalah dong kalo main halma cama Lulu."

"O ya? Memangnya kamu sudah bisa melangkahkan biji-biji halma itu?"

"Bica, Bu. Kalo Kak Luputs cudah memulai langkahnya, keltats halma itu langcung Lulu balik aja. Jadinya Kak Luputs kalah, kan, Bu?"

Ibunya tertawa, sambil menguap lebar. Uaaah, hari yang melelahkan.

Bapak Lupus juga termasuk bapak yang baik. Tapi yang paling menyebalkan bagi Lupus, Bapak ini orangnya pelit sekali. Jarang mau beroyal-ria memberi uang jajan kepada Lupus. Pernah Lupus mau ikut acara piknik di sekolahnya, dan ia minta tambahan uang jajan ke Bapak sambil sebelumnya berbaik hati dulu memijit kaki Bapak. Tapi setelah capek memijit, dengan entengnya Bapak berkata, "Tambahan jajan? Seratus perak cukup, kan?"

Idih, Bapak. Seratus perak sih buat beli roti kecil juga pas-pasan. Kan rencananya Lupus mau beli oleh-oleh, jajan es krim, beli kue, wah... macam-macam deh.

?Tapi Bapak tak memberi. Alasannya, jangan jajan sembarangan. Nanti sakit perut. Bawa aja bekal nasi goreng dari rumah. Kan beres.

Lupus pun bersungut-sungut, dan ngambek nggak mau mijit kaki bapaknya seminggu penuh.

Tapi sore ini Lupus? sudah baikan lagi. Gara-gara dikasih kamar baru. Lulu yang tak dapat kamar dari tadi diledek terus sama Lupus. Tapi Lulu pura-pura tak mendengar. Dia masih asyik bercerita ke ibunya,

"Bu, Lulu tadi abis dali luma Lita, dong. Di cana main lompat-lompatan. U, celu deh. Lita sampai jatoh, kakinya beldalah, teluts dikacih obat melah. Tapi Lita main lagi. Lulu juga dikacih bubul kacang ijo sama maminya Lita. Enak lho, Bu. Manits. Anak-anak pada belebutan. E, Loni mukanya kena bubul, Bu. Dia nangits. Semua diomelin mami Lita. Iiih, maca Ibu tidul, cih? Lulu cebel... cebel... cebel...."

Olala. Rupanya saking capeknya mendengar cerita Lulu, ibu Lupus tertidur. Bapak dan Lupus juga. Suara dengkur tidur mereka saling bersautan mesra.

***

Dan sekarang hari sudah gelap. Meski acara televisi belum habis, tetapi sudah dimatikan dari tadi. Hari ini, rupanya semua merasa letih. Merasa ingin lebih awal masuk dan terlelap di tempat tidur.

Lupus pun kini, udah berada di kamar barunya. Ini malam pertama dia tidur sendirian. Mula-mula biasa-biasa saja. Tapi lama-lama, suara gesekan daun di luar yang tertiup angin, mengusik Lupus yang tak kunjung dapat memejamkan mata.

Suara itu terdengar mengerikan. Untuk sekadar mengusir takut, Lupus pun memandangi koleksi robot-robotannya. Satu demi satu. Tapi robot-robot yang biasanya nampak bersahabat itu, kini tidak. Sorot matanya tajam. Apalagi boneka E.T.-nya. Jarinya yang merah seakan menyala-nyala. Bergerak -gerak.

Bulu roma Lupus mulai berdiri satu-satu. Ia semakin menenggelamkan diri ke dalam selimutnya yang tebal. Ah, tapi apa ini? Seperti ada yang mengilik-ngilik telapak kakinya.

"Hiyaaa...!!!" dan ia pun melonjak kaget ketika salah satu robot-robotannya jatuh dari atas rak. Ia langsung terbirit-birit berlari ke luar kamar.

Lalu dengan mengendap-endap, masuk ke kamar ibu-bapaknya yang tak terkunci. Pelan-pelan, ia naik ke atas tempat tidur Lulu yang mungil. Lalu tidur melingkar di bawah kaki Lulu.

Lulu yang ternyata belum tidur, tak bisa menahan cekikikannya. Ia pun tertawa cekikikan. Hihihi... makanya kalo penakut jangan sok tau....

2. Baca Berita

?SORE hari biasanya saat yang paling menyenangkan buat anak-a?nak. Saat sengatan matahari mulai mereda dan angin bertiup sejuk. Tapi yang paling penting, pada saat seperti itu, tukang-tukang bakso, siomai, es dong-dong mulai menampakkan batang hidungnya. Mulai berteriak-teriak ribut menjajakan dagangannya. Mulai menyemarakkan suasana senja.

Dan pada saat itu pun biasanya anak-anak manis baru terjaga dari tidur siang. Mengucek-ucek mata dan menyambut kicauan tukang bakso dari balik jendela.

"Neeeeng, bakso, Neceng. Selagi ada, selagi ada. Soalnya Abang hanya lewat sebulan sekali. itu juga kalo nanti Abang masih punya modal buat jualan. Ayo, selagi ada...," sambutan tukang bakso begitu hangat, ketika anak-anak manis mulai menampakkan batang hidungnya dari balik gorden.

?Sebagian anak memang ada yang hobi jajan bakso, siomai, atau es dong-dong. Tapi sebagian lagi ada yang langsung berlari-lari ke lapangan bola. Bermain kejar-kejaran atau petak umpet.

Tapi Luput, suka bosan bermain-main di luar. Sore hari begini, dia paling suka mendengarkan siaran radio. Biasanya saat radio menyiarkan lagu untuk anak. Tapi tak selalu lagu anak-anak, lagu dang-dut pun Lupus suka. Suka ikut-ikutan berdendang sambil goyang pinggul.

Bagi Lupus?, paling asyik mendengarkan radio sambil tidur-tiduran di kolong mesin jahit. Sambil menempelkan radio di telinganya. Katanya, dengan begitu dia bisa lebih akrab dengan penyiar dan penyanyinya.

Dan sore itu, acara seperti biasa dibuka dengan salam perjumpaan dari sang penyiar. "Selamat sore, adik-adik manis. Selamat berjumpa lagi dengan Kak Wita. Di sini Radio Republik Indonesia..."

"Eh, bukan," sambar Lupus cepat. "Di sini radio saya. Enak aja."

Sang penyiar cuek, terus aja ngomong. "Sore ini pasti adik-adik sudah mandi semua. Siap dengarkan lagunya, ya?"

"Eh, Lulu. Kamu nggak ikutan denger. Sebab kamu belum mandi," sergah Lupus ?lagi. Lulu bengong, sambil ngeluyur ke belakang.

"Dan setelah mandi nanti, kamu juga belum tentu boleh mendengarkan siaran radio. Soalnya tadi kamu nggak mau ikut patungan buat beli batu batere," lanjut Lupus.

Radio, bagi Lupus memang sebagai hiburan yang menyenangkan. Bentuknya. kecil, tapi bisa memuat banyak suara orang di dalamnya. Ada suara anak-anak, ibu-ibu, dan suara ?kakek-nenek juga ada. Ini yang membuat Lupus tambah geregetan.

Pernah sekali, saking penasarannya, Lupus mengin?tip ke ?alam radio itu, sambil berharap agar bisa melihat orangnya. Atau kemudian mengocok-ngocoknya supaya orangnya bisa jatuh keluar.

Dan malam ini, Lupus memang lagi penasaran sekali. O ya, perlu kalian ketahui meski masih kecil, tapi Lupus itu sebetulnya paling suka mendengar siaran berita di radio. Namun nampaknya kini dia belum mendapatkan siaran itu. Padahal dia ?udah mengubah gelombang dan ujung ke ujung. Dia sempat bertanya pada Lulu, yang dijawab dengan gelengan. kepala. Lupus kesal. Ditepuk-tepuknya radio itu. Lupus berpikir, barangkali penyiarnya ketiduran atau sudah tak mau lagi membacakan berita di radio Lupus. Lupus pernah menyuruh Ibu agar membuatkan minuman untuk pembaca berita di radionya. Dia khawatir penyiar itu kehausan. Tapi Ibu sampai sekarang belum pernah melayani. Lupus kasihan kalau pembaca berita sampai terbatuk-batuk, kala membacakan beritanya.

Siaran benta belum juga ditemukan. Lupus makin penasaran. Dia tahu, saat itu baru pukul setengah tujuh malam. Dan sebetulnya siaran berita akan bisa didengar tepat pukul tujuh malam. Tapi dasar Lupus, menganggap itu cuma alasan penyiar saja. "Mentang-mentang radioku sudah agak jelek, jadi si penyiar itu nggak mau lagi singgah untuk membacakan berita di sini," gerutu Lupus.

Lupus tambah jengkel, kemudian membuka tutup radio itu. Tentu saja setelah sebelumnya tak lupa mengocok-ngocoknya dulu. Ditariknya kabel-kabel yang berseliweran dalam radio itu. Kali-kali aja si penyiar bersembunyi di sini. Lalu dicongkelnya peralatan dalam radio itu, hingga membuat isi radio berantakan. Lulu yang tadinya tak begitu memperhatikan, kini ikut-ikutan merusak dan sesekali menginjak-injak badan radio.

Kini radio itu sudah tak jelas lagi bentuknya. Tapi Lupus puas. Biar pembaca siaran berita itu tak datang lagi ke sini. Rupanya Lupus mengajak marahan dengan sang penyiar. Lalu Lupus mengamit lengan adiknya, sambil berkata, "Lu, kamu mau mendengarkan berita, ya? Kak Lupus juga bisa kok. Sebentar, ya?" kata Lupus sambil berlari ke belakang mengambil corong minyak.

Corong tadi diletakkan di depannya, dan Lupus duduk bersila. Di depannya juga ada setumpuk kertas yang ia dapatkan dari mana-
mana. Sedang Lulu memperhatikan kakaknya dengan senang.

"Lu, kamu mesti menyetel lebih dulu, sebelum bisa mendengarkan siaran berita," kata Lupus. "Dan sekarang kamu nggak usah repot-repot memutar gelombang radio."

Lulu lantas memegang jempol kaki Lupus dan memutarnya sedikit, terus ngomong , "Tel... gitu ya, Kak?"

"Eh, jangan diajak bicara, ini kan radio....," bantah Lupus. Lulu mengangguk geli sambil mengulangi memutar radio barunya.

Dengan suara diberatkan, Lupus mulai bergaya, "Selamat malam, Saudara-saudara. Di sini siaran berita. Dan radionya siaran langsung. Yang tidak dengar pasti rugi," kata Lupus.

?"Cayang, Ibu cama Bapak belum pulang, ya? Kalau tau pacti cenang, " kata Lulu tiba-tiba.

Lupus acuh saja, dan terus ngomong, "Berita-berita tidak penting. Seorang ibu dan anaknya kemarin sore telah berhasil menyeberang jalan dengan selamat," Lupus mulai baca berita sambil diselingi batuk-batuk kecil, "Uhuk-uhuk!"

"Yaaa... Kak. Macak belita tidak penting," protes Lulu heran.

"Ini kan radio siaran langsung, jadi beritanya lain dong dengan di radio biasa," kata Lupus sambil memelototi Lulu. Maksudnya jangan terus diajak bicara. "Awas, Lu, kalo nanya lagi."

"Maaf, Saudara-saudara. Tadi ada sedikit gangguan teknis. Sekarang dilanjutkan lagi, ya?"- Lupus minta maaf sama pendengar yang lain. Eh, saat itu ada juga lho pendengar yang lain selain Lulu. Ada cicak, kecoak, empat ekor nyamuk, seekor kucing, dan dua boneka Lulu. Jadi Lupus merasa perlu untuk minta maaf.

"Di stadion utama Senayan, sejak kemarin sore hingga pagi tadi tidak ada yang bermain sepak bola, hingga saya tidak tahu berapa golnya dan siapa wasitnya. " Lupus mulai lagi, dan betul-betul tidak penting. Lupus memang pi?tar menghibur adiknya. Lulu sudah kepingin ketawa, tapi takut ditegur. Jadi Lulu mau tak mau mesti menutup mulutnya, biar nggak berisik.

"Sementara itu, kebakaran besar sampai sekarang masih belum terjadi, hingga tidak dapat diketahui berapa jumlah korban yang jatuh dan jumlah kerugian yang diderita."

Lupus lalu membalikkan kertasnya sambil memandang ke arah pemirsa.

"Saudara-saudara yang manis-manis, sekarang berita olahraga, ya?" Lupus menawarkan. Tapi tidak ada jawaban. Lulu pun tidak berani bilang apa-apa. Takut dimarahin. Lalu Lupus ngomong, "Kalo saja diam saja berarti ya."

"Ini berita olahraga tidak penting," kata Lupus. "Kolam renang Senayan pada sore hari mulai dikuras dan diisi kembali pada pagi harinya. Siangnya baru boleh direnangi. Seorang perenang loncat indah ketika meloncat tidak berani nongol dari kolam renang. Sebab ketika ia sudah meloncat ke kolam, celana renangnya tertinggal di atas!"

Lulu setengah mati menahan tawanya hahaha...! Tapi ia lupa menutup mulutnya.

"N?ah, sekarang acara siaran berita sudah habis. Saudara-saudara, kini kita masuki acara Taman Indria bersama Bu Kasur. Aduuuh, tapi sayang sekali, acara ini tidak dapat disiarkan lantaran kasurnya masih dijemur. Maaf, ya? Lebih baik diganti dengan acara Gemar Menggampar... aduuuh, salah lagi. Maksud kami, Gemar Menggambar. Bersama Pak Tino Sidin. Sekali lagi mohon maaf, Saudara-saudara, sebab Pak Tino Sidin-nya belum datang, karena ban mobilnya kempes, Tapi beliau kirim salam, 'Bagus... bagus?...,? katanya.

"Tapi jangan kecewa. Masih ada satu acara lagi, yaitu Ayo Bernyanyi bersama bufet. Eh, maaf, maksud kami Bu Fat akan mengajak bernyanyi bersama-sama dengan iringan hansip. Biasnya sih diiringi piano, tapi karena pianonya lagi rusak, terpaksa deh, hansip. Reng..."

Lupus langsung bernyanyi Satu-satu Aku Sayang Ibu.

"Ya, terima kasih ,perhatian Saudara-saudara. Bagi Anda Penduduk yang berada di wilayah Indonesia Timur, ya semoga baik-baik saja. Jangan suka berantem. Besok siaran lagi kok. Dan bagi penduduk di wilayah Indonesia Barat, lebih baik ke Timur aja. Di sana masih kosong kok. Enak lho, di sana dikasih tanah dua hektar, rumah, pacul. Eh, tapi jangan lupa ya dengerin siaran radio saya..."

Tepat pada saat Lupus mengakhiri beritanya, terdengar suara bel tamu berdentang.

"Ibu pulaaaang...," teriak Lulu menyongsong ke depan. Tapi Lupus tetap duduk di tempatnya, sampai kedua orang tuanya muncul dari pintu depan.

"Aduh, Lupus! Apa-apaan ini? Kenapa radio Bapak jadi berantakan begini," seru bapaknya ketika melihat radionya tergeletak tak berbentuk. di lantai. "Pasti kamu yang merusaknya, ya? Ayo kemari!!!"

"Saudara-saudara," lanjut Lupus tenang, "ini bal u berita penting..."

3. Kue Hari Minggu

?HARI MINGGU memang hari yang ditunggu-tunggu. Oleh siapa saja. Terutama oleh anak-anak sekolah. Sebab hari Minggu merupakan hari libur yang menyenangkan. Hari yang bisa diisi dengan hal-hal yang mengasyikkan. Seharian bermain di lapangan bola, atau piknik ke taman hiburan. Bagi anak yang belum sekolah, hari Minggu mungkin terasa sama dengan hari-hari lainnya. Sebab mereka tak punya hari libur. Kasihan, ya?

Bagi Lupus, tentu ?aja hari Minggu juga merupakan hari yang istimewa. Selain bisa bermain sepuas-puasnya, di hari Minggu. Ibu Lupus tak bosan-bosannya praktek bikin kue. Ibu Lupus memang paling suka mencobai resep-resep makanan yang ada di majalah-majalah, koran-koran, atau di buku. Semua resep rasanya pernah dicoba, kecuali resep dari dokter.

Lupus sering juga membantu ibunya membuat kue-kue itu. Tapi Ibu tidak suka dibantu Lupus. Ibu biasanya lebih mengharapkan agar Lupus menunggu saja di dipan daripada ikutan membantu di dapur. Ya, sebab dengan seringnya Lupus membantu, maka sering pula kue hasil praktekkan Ibu tak jadi. Adonan yang sudah betul dan siap dimasak, kadang-kadang diaduk kembali oleh Lupus. Tidak dengan sendok atau garpu, tapi dengan tangannya. Ibu terang marah-marah. Resep yang telah dipelajari semalaman dirusak oleh tangan mungil si Lupus yang nakal. Atau kue yang berbentuk kupu-kupu, tiba-tiba diterbangkan oleh Lupus. Atau kue yang berbentuk kucing-kucingan yang mungil, oleh Lupus tidak boleh ditaruh di oven. Lupus nggak tega. ?Kasihan, katanya. Kalo sudah begitu Lupus langsung diusir secara paksa oleh ibunya dari dapur.

Hari Minggu ini, seperti hari Minggu lainnya, sejak pagi Lupus sudah tak sabaran menunggu kue hasil eksperimen ibunya itu. Tapi Lupus tak berani lagi ikut-ikutan nimbrung di dapur. Cuma sesekali saja mengintip Ibu dari jendela dapur. Dan kamu semu. kan tau, menunggu sesuatu adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Makanya, daripada duduk dengan gelisah di dipan dekat dapur, Lupus lebih baik jalan-jalan keluar sebentar. Cari kesibukan.

Di depan, tak ada anak-anak yang sedang bermain. Tetangga kanan-kiri rupanya lagi pada asyik berlibur ke. luar. Mungkin ke kebun binatang, mungkin ke pantai.

Lupus pun bermain-main sendirian.

Sedang asyik-asyiknya bermain, sebuah becak berhenti tepat di dekat Lupus. Penumpangnya turun, seorang laki-laki setengah baya. Dia mengucapkan salam kepada Lupus.

Lupus berdiri.

"Permisi, Dik. Numpang tanya. jalan ke rumah Pak Bambang ke mana, Dik?"

Lupus berpikir sejenak, lalu dengan nada yakin, dia berkata, "Lurus saja, ikuti jalan ini. Kalo ada belokan ke kiri, belok aja, Pak. Dan kalo ada belokan ke kanan juga belok!"

Laki-laki itu mengerutkan dahi. "Lho yang betul lewat mana'?"

"Kan Bapak sudah besar. Sudah tau mana yang betul dan mana yang salah. Masa gitu aja nggak tau..."

Laki-laki itu pun pergi dengan wajah bingung.

***

?Bosan bermain-main di depan, Lupus pun masuk kembal! ke dalam rumah. Tapi ternyata ibunya masih belum selesai membuat kue. Uh, kok lama sekali, ya? Biasanya nggak gini-gini amat?

Lupus memang tak tau kalo ibunya di dapur tengah dalam kesulitan menerjemahkan resep kue yang berbahasa Prancis. Ibu Lupus sedang menduga-duga, apa kalo bikin kue Prancis garamnya harus garam Prancis, bukan garam Inggris?

Yah, sebetulnya Ibu Lupus memang tak pernah mengerti bahasa Prancis. Tapi lantaran seluruh resep yang ada sudah pernah dicoba, maka Ibu nekat membeli buku resep masakan berbahasa Prancis. Akibatnya, ya itu tadi. Selain kebingungan masalah garam, Ibu juga kurang mengerti takaran tepungnya, takaran menteganya, telurnya berapa, digoreng atau direbus. Hampir semua nggak ngerti. Cuma tau gambarnya saja.

Ya, Lupus memang tak tau itu.

Dia pun menghampiri adiknya yang asyik bermain boneka Barbie. Lucu-lucu deh. Ada rumah-rumahannya, ada tempat tidurnya, ada mobilnya. Semua serba mungil. Tapi ternyata Lulu belum punya jam-jaman Barbie, makanya dia memakai jam betulan.

Melihat Lupus datang, Lulu yang sedang mengutak-atik jam dinding, langsung bertanya, "Kak, kalo jalum pendeknya ke angka cepuluh, dan jalum panjangnya ke angka dua belats,. itu apa tuh, Kak?"

"Lagi nggak kompak, kali. Hihihi...."

Lulu tertawa. "Idih, kakak ngaco...."

"Ibu juga ngaco, Lu. Masa dari tadi bikin kue nggak jadi-jadi, ya?"

Lulu tak menjawab. Kembali asyik mengutak-atik isi kulkas mungilnya. Di dalamnya ada telur, pisang, botol susu, buah-buahan...

"Lu, kali ini pasti Ibu menyajikan kue yang paling enak. Sebab udah siang begini, kuenya belum jadi juga. Mungkin persiapannya lebih matang lagi, ya, Lu?"

Lulu cuma mengangguk.

?Lupus pun tiduran di dekat Lulu. Hihihi... saking laparnya. perutnya sampai bunyi. Lupus, memang sengaja tidak sarapan tadi pagi. Dia memang penasaran dengan kue bikinan ibunya itu. Lupus berniat ingin makan kue sebanyak-banyaknya.

Lagi asyik membayangkan. tiba-tiba tercium bau sesuatu.

"Eh, Lu. Apa kamu nggak nyium bau kue itu? Hm... lezatnya...." Lupus mendengus-denguskan hidungnya.

"Kue yang mana, Kak? Yang barucan itu Lulu habis buang angin, Kak," jawab Lulu pelan.

Lupus kaget.

Sementara ibunya terus berkutet dengan resep Prancis-nya itu. Aduh, sampai berkeringat . Tapi Ibu pantang putus asa. Mesti dicari jalan keluarnya, pikir ibu Lupus. Kemudian dia masuk ke ruang kerja Bapak. Mengambil kamus Prancis. Diartikan kata demi kata. Akhirnya disimpulkan. Bahwa untuk Minggu ini, kue terpaksa harus beli dari pasar. Hihihi... .

Ya, selanjutnya ibu Lupus diam-diam lewat pintu belakang menuju pasar. Dia tak mau melukai hati anaknya, yang setia sejak pagi tetap menanti. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada kue Prancis, beli di pasar pun jadi!

?Sementara itu, di luar ada tamu ingin bertemu dengan ibu Lupus.

"Permisi ya, Nak. Ibu ada?" tanya tamu itu pada Lupus.

"Oh, ada. Tapi beliau tak bisa diganggu-gugat. Sebab sedang sibuk. Saya yang anaknya saja tak boleh bertemu kok. Atau besok ?saja,ya, Pak?" kata Lupus.

"Ini penting sekali, Nak. Sebentar saja," ujar tamu itu.

"Bagaimana ya, Pak. Sepertinya sih tak bisa," jawab Lupus lagi. "Atau jangan-jangan kedatangan Bapak ini Cuma ingin mencicipi kue bikinan Ibu, ya? Wah, bolch-boleh saja kok. Tapi jangan lebih dari dua potong, ya? Bapak kan sudah besar, jadi tak usah banyak-banyak, ya? Saya yang masih kecil ini y mg harus diberi kesempatan makan kue banyak-banyak. Biar cepat besar.

"Eh, tapi kue itu sekarang belum matang, Pak. Bagaimana kalo Bapak pulang saja dulu. Dan bila sudah matang, saya beri kabar. Setuju ?"

Tamu itu bengong.

"Oh, Bapak tak mau diberi dua potong, ya? Kalo begitu ditambah deh, Pak. Bagaimana kalo dua seperempat potong? Mau dong, ya?"

Tamu itu tak menjawab. Malah ngeloyor pergi.

?"Huh, ditawari kue nggak mau. Payah!" umpat Lupus.

Tak lama kemudian ibu Lupus keluar sambil membawa sepiring kue yang habis dibelinya di pasar. Lupus gembira sekali. Sebelum mengambil kue-kue yang terbungkus rapi itu, dia mencium pipi ibunya kanan-kiri. "Lupus salut deh sama Ibu. Kue-kue ini pasti sangat enak. Ibu memang jago kalo bikin kue."

Lupus langsung mencomot tiga. Satu dimasukkan ke mulut, satunya ke kantong dan satunya lagi dipegang di genggamannya. Dalam waktu sekejap, ketiga kue itu sudah ludes masuk ke perutnya.

?"Lupus betul-betul nggak nyangka, kue ini begini enak. Bahkan paling enak dibanding kue-kue yang Ibu bikin sebelumnya. Tak seperti Minggu lalu. Rasanya enak tapi lengket. Atau Minggu sebelumnya, yang, keras dan bila digigit harus ditarik pake tali ?upaya putus.

"Kali ini betul-betul luar biasa. Gimana kalo Minggu besok, Ibu bikin kue yang seperti ini lagi, Bu?"

Ibu Lupus cuma mengangguk lemah.

4. Ulang Tahun

?ADA seorang teman Lupus. Namanya Pepno SH. Anaknya masih kecil. Sekecil Lupus. Badannya rada kurus. Berkulit hitam, dan berambut agak ikal. Kalau habis berlari-larian ujung hidungnya suka berkeringat. Seperti embun di pagi hari.

Lupus sering bermain-main dengan dia.

Seperti juga kamu, Lupus pertama heran. Kenapa si Pepno ini kecil-kecil sudah punya gelar SH? Nggak taunya itu nama bapaknya: Simin Harjo, yang biasa disingkat SH. Hihihi... lucu, ya?

Nah, sore tadi si Pepno berlarian datang ke arah Lupus yang tengah bersiap-siap pergi mengaji. Ia berbisik, "Pus, besok datang ke rumahku, ya? Aku ulang tahun. Eh, tapi jangan lupa bawa kado dong. Biar balik modal."

"Ulang tahun?" Lupus bertanya heran. "Ulang tahun apa?"

?Ih, Lupus norak, ya? Masa ulang tahun aja nggak tau?

Tapi kalian memang mesti maklum kalau ternyata memang ada anak yang belum tau apa itu ulang tahun. Karena di sebagian keluarga, ada. yang menganggap kalau ulang tahun itu tak perlu dirayakan. Apalagi kalau orang tuanya pelit, seperti bapaknya, si Lupus. Merayakan ulang tahun dianggap pemborosan saja, katanya. Makanya, Lupus nggak apa itu ulang tahun.

Mata Pepno yang bulat dan lucu itu menyipit.

"Ulang tahun apa? Ya ulang tahun saya." Pepno ternyata bingung juga menjawab pertanyaan Lupus.

"Ulang tahun itu apa?" Lupus masih belum mengerti juga. "Ulang tahun itu adalah tahun yang diulang," ujar Pepno setengah ragu. Ya, habis bagaimana dia harus menjelaskan. "Kata mama saya, setiap tanggal 21 April itu ulang tahun saya."

"Lha? Kenapa harus tanggal 21 April?" tanya Lupus. "Tidak tanggal 10 Nopemnber atau 32 Januari saja?"

"Tau tuh. Mama sukanya tanggal 21 April sih. Gitu aja, Pus. Jangan lupa besok sore. Dadaaah. ..."

"Eh, tapi dijemput, ya?"

***

?Pulang mengaji, Lupus mendapatkan ibunya sedang asyik mengobrol dengan Tante Ani, tetangga sebelah. Menjelang magrib, kala urusan rumah tangga sudah diselesaikan semua, ibu Lupus sering duduk-duduk di taman mengobrol dengan tetangga sambil minum teh. Bapak sih jarang ikutan nimbrung. Kerjaannya sepulang? kantor tidur melulu.

"Dulu, anak saya si Lulu, suka sekali mengisap jempolnya, Jeng. Tapi sekarang sudah tidak lagi," ucap ibu Lupus sambil menuangkan teh buat Tante Ani. Lupus yang bandel, sempat juga menguping dari balik pohon asoka.

"O ya? Bagaimana cara mengatasinya, Jeng?"

"Mudah saja, Jeng. Jempolnya, suka saya beri yang pahit-pahit. Jamu, misalnya."

"Lalu, setelah itu bagaimana reaksinya, Jeng?"

"Sekarang, ia mengisapi jari kelingkingnya."

Hihihi... Lupus tak bisa menahan ketawanya. Ini jelas membuat ibu Lupus berang. "Hayo, Lupus! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan suka mencuri dengar pembicaraan orang tua!"

?Lupus keluar sambil tertawa-tawa kecil.

Dan dia segera bilang ke ibunya bahwa besok ia diundang ke. Ulang tahun Pepno.

"Ulang tahun yang keberapa?" tanya Ibu.

Wah, keberapa, ya? Lupus bingung. Soalnya dia tak tanya tadi. "Eeeng... suit sepentin kali, Bu!"

Ah, Masa sweet seventeen? Ibunya tak percaya. Ibunya berkata, kalau tak salah Pepno lahir berbarengan dengan pohon pisang yang ditanam Bapak di kebun belakang.

"Wah, jadi si Pepno ?udah tua dong, Bu," ujar Lupus heran. Ya, karena pohon pisang yang dimaksud Ibu itu sudah reot. Pelepah pisangnya sudah berwarna cokelat. Disentil juga roboh.

"Pepno lain dong dengan pohon pisang. Pohon pisang memang cepat besar dan tua. Tapi Pepno kan tidak," jelas ibunya.

"Oo... mungkin karena Pepno jarang disiram dan diberi pupuk ya, Bu?" simpul Lupus.

Yah, mungkin sekarang Pepno umurnya sama dengan Lupus. Tujuh tahun. Sekarang, Lupus pun mengira-ngira, kado apa yang cocok buat Pepno.

"Eh, gimana, Bu, kalo beli buku tulis saja buat kadonya Pepno?" usul Lupus.

"Ah, jangan. itu terlalu murah. Lebih baik potlot aja!"

?Tapi ternyata Pepno tidak cuma mengundang Lupus. Lulu pun sudah diberi tahu. Pepno juga berpesan agar Lulu membawa kado.

Lulu mengusulkan agar Pepno diberi boneka saja.

Lupus jelas menolak. "Pepno kan anak laki-laki. Masa mau dia diberi boneka?"

"Kalo dia nggak mau, kan bica buat Lulu aja. "

Pertengkaran Lupus dan Lulu sebetulnya bakalan seru. Tapi Ibu buru-buru melerai. Ibu cuma mau membelikan satu kado saja. Dan akhirnya diputuskan, Pepno akan dibelikan pistol-pistolan air saja

***

?Sorenya pistol-pistolan air yang cukup unik itu siap dibungkus. Sebelum dilapisi kertas kado yang cantik, Ibu membungkusnya dengan beberapa kertas koran.

"Kenapa mesti begitu, Bu?" tanya Lupus.

"Biar kelihatan besar. Nanti kan Pepnonya senang."

Pistol-pistolan air itu memang jadi kelihatan besar sekarang. Apalagi setelah dibungkus kertas kado yang bermotifkan warna-warni. ?Jadi kelihatan tambah cantik. Wah, si Pepno pasti senang.

Tapi, astaga! Pistol-pistolan ini belum dicoba. Lupus cemas. Ya, bagaimana kalau ternyata pistol-pistolan air ini macet? Bisa malu dong. Kok ngasih hadiah nggak bisa dipakai?

Maka diam-diam Lupus pun membuka kado yang udah terbungkus rapi itu. Gulungan koran yang membuatnya gemuk, kini berserakan di lantai. Lupus tak peduli. Yang penting pistol ini mesti dicoba dulu.

Setelah dibuka, pistol air itu diisi air. Dan ditembakkan ke arah pot-pot bunga. Kadang-kadang, rambutnya pun dibasahi oleh pistol-pistolannya itu. Lupus senang, berarti pistol mainan ini tidak macet.

Lagi asyik-a?yiknya mencoba, Ibu datang. Ibu habis membeli pita. Untuk kado dan untuk rambutnya Lulu. Biar kedua-duanya cantik.

Jelas saja Ibu ngomel melihat ulah Lupus.

"Aduh, Lupus. Kenapa kadonya dibuka begitu?"

"Habis tadi belum dicoba, Bu. Lupus khawatir kalo pistol-pistolan ini macet."

Ibu akhirnya membungkus kado itu lagi. Cuma kali ini ditambahi pita biar cantik.

?Kado ini ternyata tidak mau kalah saingan sama rambut Lulu yang senantiasa berpita. Lupus pun ikut-ikutan meminta dipakaikan pita. Tapi Ibu melarang. Lupus nekat. Ia mengambil kaset dan mengeluarkan pitanya yang panjang. Kemudian digulungkan ke rambutnya. Lupus ternyata juga tak mau kalah saingan.

"Hihihi... pitaku lebih panjang!"

***

?Sore itu di rumah Pepno sudah ramai. Banyak juga temannya yang datang. Pepno memang mengundang semua teman-teman mainnya.

Rumahnya sendiri tampak semarak. Dihiasi balon-balon, kel tas Warna-warni, dan juga kue tart besar berlilin tujuh yang begitu menarik perhatian Lupus.

Pepno memakai baju baru. Warnanya merah, dan dimasukkan ke dalam celana panjangnya yang juga baru. Pepno jadi kelihatan ganteng. Kayak sekoteng.

Tapi perhatian Lupus tetap tak lepas dari kue tart besar yang dilapisi cokelat itu. Oi, pasti enak sekali rasanya. Lebih enak dari kue bikinan Ibu. Ah, mudah-mudahan saja kue itu tidak hanya sekadar buat pajangan.

?Selanjutnya acara dibuka dengan nyanyi-nyanyi bersama. Sambil bertepuk tangan meriah. Kadang anak-anak bernyanyi saling adu cepat. Mungkin dengan harapan yang duluan selesai nyanyi bakal segera mendapat potongan kue tartt.

Kemudian disusul dengan acara-acara menarik. Di antaranya seperti mengoper gelas yang diisi air, sambil diiringi musik. Bila gelas itu berada di t1ngan seorang anak dan bersamaan dengan matinya musik, berarti anak tadi mendapat hukuman. Boleh nyanyi, boleh baca puisi. Boleh juga berjoget sepuas hati.

Mereka kelihatan suka dengan permainan itu. Kecuali Lupus Ia cuma berharap agar jadwal pemotongan kue tart itu dipercepat saja. Rasanya lezatnya kue itu sudah sampai di lidah saja. Oi, pasti enak sekali. Lupus sama sekali tidak memperhatikan permainan oper-mengoper gelas. Maka ketika ia mendapat gelas berisi air yang semestinya diserahkan ke teman di sebelah, Lupus malah meminum airnya.

Anak-anak pada terheran-heran.

Lupus pun terpaksa dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.

Tanpa ragu, Lupus pun membacakan puisi karyanya sendiri,

?"di laut sudah pasti ada iar

di air belum tentu ada laut

di rumah sudah pasti ada pintu

di pintu belum tentu ada rumah

di meja sudah pasti ada sepotong kue

dan kuenya belum tentu dipotong..."

?Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus pun tiba, Pepno memolong, kue tart jadi beberapa bagian. Potongan pertama untuk maminya, kedua untuk papinya, ketiga untuk adiknya, keempat untuk kakaknya, kelima untuk neneknya, keenam untuk kakeknya....

"Lha, untuk saya mana, ya?" pikir Lupus cemas.

Lupus khawatir kalau-kalau kue itu memang buat keluarga Pepno saja. Wah, bisa gawat nih! Lupus sebel, kenapa tuan rumah kadang cuma menyediakan kue yang mahal-mahal untuk pajangan ?aja? Bukan untuk dibagikan pada tamunya.

Tapi ternyata dugaan Lupus meleset. Kue tart itu juga dibagikan kepada teman-teman yang lain. Tentu termasuk Lupus. Lupus mendapat bagian yang lebih besar. Karena baca puisinya bagus. Lupus sangat girang sekali. Dia memakan sedikit demi sedikit. "Biar enaknya lama."

?Tapi kapan ya, bisa makan kue enak lagi? Lupus pun merenungi. Hingga kemudian dia bangkit menghampiri maminya Pepno dan membisiki, "Tante, bagaimana kalo ulang tahunnya Pepno tiap seminggu sekali aja, Tante?"

5 Ke Sekolah

?PAGI-PAGI sekali Lupus sudah bangun. Maklum, kalau tidak bangun pagi-pagi, dia bisa terlambat pergi ke sekolah. Dan kalau sampai terlambat ke sekolah, Lupus bisa kena setrap. Kalau sampai kena setrap, Lupus bisa disuruh berdiri di pojokan kelas sepanjang pagi. Kalau sampai disuruh berdiri di pojokan kelas, Lupus bisa malu. Kalau sampai malu... ah, makanya, Lupus lebih baik tidak terlambat ke sekolah.

Tapi sebetulnya, Lupus masih suka dibangunkan ibunya daripada bangun sendiri. Pernah sesekali Lupus berpesan pada ibunya agar jangan dibangunkan. Akibatnya Lupus baru bangun ketika jam dinding di rumahnya berdentang sembilan kali. Makanya Lupus hingga sekarang lebih suka dibangunkan saja. Lupus sendiri heran, kenapa dia susah bangun pagi. Padahal menurutnya, dia tidak pernah tidur terlalu larut. Paling-paling jam sembilan dia sudah masuk kamar. Cuma, ya di kamar dia suka keasyikan baca buku cerita hingga larut malam.

Kegiatan Lupus setiap pagi selain bangun tidur, biasanya ngulet-ngulet sedikit. Tau ngulet, kan? itu lho, senam gaya ulet. Ya, habis senamnya kan di tempat tidur. Lupus kadang juga suka lari pagi. Berkeliling-keliling kompleks perumahan sebanyak satu kali. Larinya kadang-kadang pelan, kadang-kadang cepat Lupus suka lari cepat kalau kebetulan dikejar sama anjing tetangga yang galak. Setelah lari pagi, biasanya Lupus mandi. Tak lupa sikat gigi, kalau kebetulan ditunggui Ibu. Habis itu handukan. Yah, terpaksa handukan ini diharuskan jadi kebiasaan. Karena Lupus setelah mandi suka lupa handukan. Masih basah kuyup, langsung pakai baju seragam. Kan jadi basah semua, ya, bajunya. Setelah urusan mandi selesai, Lupus sarapan. Untuk sarapan ini tak biasa makan nasi. Tapi cukup lontong sayur saja. Tapi kadang-kadang, dia juga makan roti.

Sehabis makan roti, biasanya masih ada sedikit waktu untuk sekadar mengobrol dengan adiknya Lulu, atau dengan ibunya yang sedang mengolesi roti buat Bapak di meja makan.

"Bu, semalam Lupus mimpi dikejar-kejar raksasa. Uh, tegang deh. Lupus lari sekuat-kuatnya," celoteh Lupus seru.

Ibunya memandang sebentar. Lalu dengan pelan berujar, "O, pantas kasurmu basah semua. Mungkin itu cucuran keringatmu, ya, Pus," sindir ibunya menahan tawa.

Lulu sudah cekikikan saja di ujung meja. Ih, ketauan. Lupus pasti ngompol. Lupus memang paling bisa berdalih kalau dia ketauan ngompol. .

Tapi Lupus pura-pura tak mendengar sindiran ibunya. Dia malah mengalihkan pembicaraan. "Eh, tapi kemarin Lupus di sekolah dapat hapusan potlot. Bagus deh, Bu. Bentuknya seperti mobil-mobilan. Wangi lagi...."

? "Ah, kamu dapat nyuri, ya?" sergah ibunya ketika Lupus menunjukkan penghapus barunya.

"Enggak, Bu."

"Kamu dapat dari mana?"

"Dapat nemu di tempat pinsilnya Pepno yang sedang terbuka, Bu. Bagus, ya?"

Dan Lupus pun langsung melompat turun dari kursinya ketika ada suara teman memanggil.

"Lupus berangkat, Bu, Pak. Sampai ketemu nanti siang, ya?"

"Lupuuuus, penghapus itu..."

Ibunya berusaha menahan, tapi Lupus sudah berlarian menyambut teman-temannya.

***

?Si Pepno, teman Lupus yang baru berulang tahun itu, kebetulan juga sekelas dengan Lupus. Tapi herannya, tiap hari Pepno selalu terlambat tiba di sekolah. Sampai guru-guru sudah bosan menghukumnya.

Lupus suka heran. Apa di rumahnya Pepno sulit dibangunkan kalau pagi hari? Kalau memang sulit, Lupus punya cara yang tepat untuk membangunkan anak nakal di pagi hari. Banjur saja dengan seember air dingin. Atau kalau cara itu dirasakan repot, karena akan membuat kasur basah, getok aja kepala si anak itu dengan batu bata. Wah, pasti dia akan lekas bangun.

Ah, tapi mungkin saja maminya Pepno tidak sampai hati melakukan itu. Karena Pepno memang agak disayang. Jadi mana mungkin maminya mau membangunkan dengan cara itu.

Jadi harus dicarikan cara lain. Misalnya dengan ?memasang jam weker tepat pukul enam pagi.

"Tapi, sebetulnya kenapa sih kamu suka terlambat?" tanya Lupus penasaran.

"Sebetulnya bukan salah saya, Pus," ujar Pepno. "Yang salah gurunya."

"Lho, kok gurunya?"

"Abis mereka datang terlalu cepat sih...."

Lupus bengong. Ah, masa iya?

Iya, kata Pepno. Dan Lupus tak percaya. Sama seperti tak percayanya Lupus pada cerita-cerita Pepno yang lainnya. Kalau duduk sebangku di kelas, Pepno memang suka cerita macam-macam. Tentang kucingnya yang katanya bisa menghilang, tentang kelincinya yang bisa berbicara.

Tapi Lupus tak pernah percaya.

Pagi ini pun, nampaknya Pepno mulai mau bercerita lagi.

? "Pus, semalam aku ditinggal di rumah sendirian. Habis, Papi sama Mami pergi ke dokter mengantar adikku. Aku nggak takut, Pus. "

"Ah, aku tak percaya, Pep," ujar Lupus seperti biasanya.

Pepno mulai sibuk meyakinkan. " Aku betul-betul sendirian di rumah, Puso Hanya bibiku saja di dapur, Mang Iip di ruang tamu, Mbok Minang di serambi, dan kakekku di kamar. Aku lunya sendirian nonton tipi, Pus.... "

Lupus cekikikan.

Dan di samping Pepno, Lupus juga punya temen yang lucu. Namanya Uwi. Kata Lupus, Uwi ini mukanya kayak belalang. Panjang dan lancip. Tapi Uwi bilang, Lupus kayak marmut. Gemar merengut. Kalau sudah main ledek-ledekan begitu, Lupus dan Uwi cuma ketawa bareng.

Lupus suka Uwi, karena anak perempuan nakal ini sebenarnya cerdas. Paling asyik diajak main tebak-tebakan. Waktu ulang tahun Pepno, Uwi ngasih kado pulpen mungil satu biji yang dilapisi berlapis-lapis koran hingga kadonya kelihatan besar. Di dalamnya, ada juga batu kerikil, biar agak berat.

Pepno sampai frustasi waktu buka kado Uwi. Dikira di dalamnya ada robot-robotan, ?"atau pesawat tempur, nggak taunya cuma pulpen yang mungil.

Di dalam kadonya, ada sederetan kalimat ucapan ulang tahun buat Pepno, disertai kata mutiara yang lucu. "Jangan memandang keikhlasannya, tapi pandanglah. .. harganya."

Lupus sampai terpingkal-pingkal ketika diceritai.

Ketika turun main, Lupus sering asyik belajar bersama Uwi. Biasanya jadi sembarangan, karena kedua anak itu memang ajaib. Biasanya Uwi yang membacakan dari buku, sambil memandangi buku bergambar. Sedang Lupus asyik memasukkan roti bekal Uwi ke dalam mulutnya hingga habis tak bersisa.

"Ikan bernapas dengan apanya, Pus?" ujar Dwi.

Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab, "Dengan insang."

"Ya, betul. Kalo ular, Pus?"

"Ular? N?g... dengan kulitnya!"

"Seratus! Kalau gajah bernapas dengan...?"

"Hidungnya!"

"Salah!"

"Kupingnya!"

"Salah!"

Lupus menelan potongan roti yang terakhir. "Jadi dengan apa?" tanyanya sambil memandang ke arah Uwi.

"Gajah bernapas dengan... teman-temannya!" ujar Dwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. "Hihihi... iya, kan? Mereka selalu bergerombol. "

Lupus keki. Lalu sambil menutup kotak tempat kue Uwi yang sudah kosong, dia berkata, "Kalau kodok bernapas dengan...?"

"Dengan paru-paru!" jawab Uwi.

"Salah, Wi. Kodok bernapas dengan... izin Tuhan. Hihihi."

Pepno pun datang meramaikan suasana.

"Bulu apa yang bisa marah?" kata Pepno.

?"Bu Lurah," jawab Dwi.

"Bulu apa yang bisa nangkis?"

"Bulu tangkis."

"Bulu apa yang paling jelek?"

"Bulu ketek."

"Bulu apa yang paling jauh?"

"Bulu roma... ibu kota Itali."

"Bulu... ng, apa lagi, ya?" Pepno berpikir.

"Ini, Pep," celetuk Lupus, "bulu apa yang mirip kamu, Pep?"

"Apa, ya?"

"Bulukan. Hihihi...."

Bel masuk pun berdentang lantang. Kelontang-kelonteng.

6. Membantu Lulu Makan

?SETIAP pulang sekolah, Lupus masih sering dijemput. Sebetulnya letak sekolah Lupus tak begitu jauh dari rumah Lupus. Hanya beberapa kali napas, sudah sampai Tapi kalau tak dijemput, Lupus bisa petang hari baru sampai rumah. Alasannya belajar bersama atau bersama-sama nonton video.

Seperti pada hari, ibu Lupus sedang kelewat repot hingga tak sempat menjemput. Ditunggu-tunggu anak bandel itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Ibu Lupus jelas bingung. Sibuk nyari-nyari di tong sampah, di kandang ayam tetangga, di atas pohon jambu, tak juga ketemu. Pergi ke mana lagi anak ini? pikir ibu Lupus bingung. Baru ketika ibu Lupus hendak mencari dan bertanya pada teman sekolah Lupus yang dekat tukang gado-gado, tiba-tiba Lupus kelihatan sambil berjalan terseok-seok. Baju seragamnya sudah tak lagi putih warnanya. Ada bercak-bercak cokelat, kayak lumpur. Sepatunya juga. Uh, ibu Lupus pun hampir lupa pada warna asli tu sepatu. Sebab kini sampai ke kaus kaki, berwarna cokelat semua. Wah, pasti Lupus habis main di comberan.

Memang betul. Meski tidak di comberan, Lupus habis berkotor-kotoran. Dia habis main bola di lapangan dekat kali yang tiap habis hujan selalu berkubang. Sebetulnya memang sudah tak pantas bila disebut lapangan. Tapi kalau mau disebut kolam renang, tak ada yang jaga karcis di sana. Meski begitu, Lupus dan teman-temannya sangat senang bermain bola di lapangan itu. Malah bila suatu ketika lapangan itu kering saat musim kemarau, Lupus tak mau main. Alasannya nggak seru. Nggak bisa ber-ski air.

"Lupus, dari mana saja kamu! Lihat, tubuhmu penuh lumpur!" begitu ibu Lupus selalu menghardik, jika Lupus berbuat salah.

"Sa... saya abis belajar bersama, Bu," ujar Lupus sambil menundukkan kepala. Tas sekolahnya yang juga dekil, didekap erat-erat, seolah takut ketauan.

"Belajar apa sampai kotor-kotoran begitu!"

"Belajar main bola, Bu."

"Main bola? Ya, tapi kan main bola tak perlu di lumpur. Lagi pula kamu belum ganti baju, belum makan siang, belum tidur siang."

"Saya main bola nggak di lumpur kok, Bu."

"Lha, itu. Kenapa bajumu penuh lumpur?"

"Bukan salah saya, Bu. Salah lumpurnya. Kenapa dia berada di lapangan bola. Seharusnya dia berada di sawah...."

"Sudah. Ayo pulang!" hardik ibunya sambil menggamit lengan Lupus.

Itulah, makanya ibu Lupus lebih suka meluangkan waktu untuk menjemput Lupus, daripada mengkhawatirkan anak itu selalu. Dan seperti anak-anak lainnya juga, sampai di rumah Lupus dan Lulu setiap pulang sekolah pasti disuruh menukar pakaian seragam. Tapi, sekali lagi. Lupus selalu tak mau. Dia bilang dia mau mengulang pelajaran dulu. Kalo belajar, mesti memakai baju seragam. Tidak enak belajar pakai baju rumah. Tak sopan, ujar Lupus. Biar malam hari pun bila ingin mengerjakan pekerjaan rumah, Lupus senantiasa memakai seragam sekolahnya.

Menghadapi anak macam Lupus memang mesti sabar. Begitu juga dengan ibu Lupus. Kadang dibiarkan keinginan Lupus yang aneh-aneh sejauh hal itu terasa tak merugikan perkembangannya. Toh biar suka aneh-aneh, Lupus pun punya kebiasaan yang baik juga. Misalnya saja dalam hal makan. Dia paling gampang disuruh makan, tidak seperti anak lainnya. Walau badan Lupus kecil, namun nafsu makannya lumayan gede. Jadinya nggak penyakitan. Riang selalu.

Pulang sekolah, Lupus selalu makan (kalau kebetulan tidak main bola). Agak siang sedikit, makan. Sore hari, makan juga. Malamnya sebelum bikin pe-er, makan lagi. Kalau ngantuk kepengen tidur, sebelumnya mesti makan. Kalo yang ini nggak mesti nasi, lontong pun Lupus mau. Akibatnya, bapak Lupus yang suka keasyikan baca koran, tak kebagian makan malam lagi.

Tapi si Lulu justru agak sedikit susah bila disuruh makan. Seperti siang itu, sepulang sekolah. Lupus sudah selesai makan, tapi Lulu kelihatan seperti malas untuk menyentuh nasi perkedelnya. Malahan asyik bermain dengan boneka pandanya. Kalo ada Ibu, Lulu lebih suka disuapi. Tapi kini Ibu sedang kedatangan tamu. Penting agaknya. Terpaksalah Lulu disuruh makan sendiri.

Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa susahnya sih? pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru, orang hidup mesti tolong-menolong. Dengan begitu, lebih mudah untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. ?Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus terus asyik. Ia terus menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa.

Karena kenyang, Lupus pun tidur-tiduran di kolong meja Wajahnya ditutupi buku cerita. Dan lama-kelamaan Lupus jadi tidur beneran. Sebab perutnya benar-benar kegendutan.

Ibu Lupus melihat piring Lulu kosong, jadi senang. Tapi sekaligus heran. Kok tumben Lulu bisa habis makan sendiri.

"Lulu, kamu makan sendiri, ya? Pintar kamu, Lu," ujar Ibu tersenyum.

Lulu acuh tak acuh saja. Dia malah sibuk membelai bonekanya. Kini boneka jadi anak-anaknya, dan Lulu jadi ibunya. Lulu berusaha menidurkan anaknya sambil berdendang kecil.

Rasa penasaran masih menyelimuti benak Ibu. Kemudian sekadar memenuhi rasa curiganya, ia pegang perut Lulu. Lho, kok masih kosong kempes.

"Lulu, kamu sudah makan, belum?"

Dengan santai Lulu menggeleng.

"Lalu, siapa yang menghabiskan nasimu?" desak Ibu.

? "Ssst... Ibu jangan libut, ya. Nanti anak Lulu bangun," bisik Lulu sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

Tapi ibu Lupus seperti sudah menemukan jawaban atas misteri ini, ketika melihat Lupus dengan santainya tidur di kolong meja. Di sekitar mulutnya, masih ada nasi yang tersisa. Buku cerita yang tadi menutupi wajah, terjatuh ke samping.

Ibu Lupus tersenyum, sambil membersihkan sisa nasi dan perkedel yang mengotori baju Lupus. Dipandangnya wajah Lupus lama-lama. Anak itu seperti tersenyum membalas.

"Ah, Lupus.... Lupus...," desah ibu Lupus panjang. Kemudian bergegas menyiapkan makan siang buat Bapak.

7. Ke Toko

?LULU besok ulang tahun. Baru yang keenam. Tapi ?ulu ingin hari jadinya itu dirayakan, seperti ulang tahunnya Pepno. Sebetulnya, Bapak memang kurang setuju. Karena dengan begitu, Bapak harus mencari uang tambahan untuk pesta ulang tahun Lulu. Tapi Lulu memaksa, didukung sepenuhnya oleh Lupus, yang berharap bisa makan kue tart enak lagi. Dan bagi Bapak, perang melawan dua anaknya yang bandel-bandel itu lebih mengerikan daripada perang melawan kantuk. Anak itu kompak berdemonstrasi ribut-ribut tiap sore, sehingga Bapak tak dapat lagi tenang-tenang membaca koran.

Maka, terpaksalah Bapak mengabulkan permintaan Lulu. Yah, sekali-sekali boleh dong ulang tahun itu dirayakan. Dan untuk itu, ibu Lupus mesti pergi ke toko membeli kue-kue dan kado buat Lulu.

Tiap ulang tahun, orang-orang yang berada atau datang ke rumah Lulu, selalu dimintai kado. Kalo ternyata karena sesuatu hal si orang itu tak bawa kado, maka dianggap utang. Di lain waktu, walau sudah lewat sebulan, Lulu masih rajin menagih. Makanya daripada repot-repot mendengar rengekan Lulu, Ibu lebih baik membeli kado saja.

Karena Lupus juga sejak kemarin dipaksa Lulu untuk beli kado, maka Ibu pun mengajak Lupus pergi ke toko. Tokonya cukup jauh dari rumah. Lupus, harus naik. bis kota segala. Jalan juga bisa, tapi lama. Kira-kira dua hari baru sampai. Maka itu lebih baik naik bis kota saja. Lagi pula bis kota itu murah meriah kok. Bayarnya murah dan isinya meriah. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, pokoknya macam-macam deh. Kamu tinggal pilih, mau yang mana.

Dan Lupus itu paling suka kalo diajak naik bis kota. Dia selalu pilih dekat jendela. Biar bisa melihat pemandangan dan bisa ber-dada-dada, melambaikan tangan.

Makanya Lupus langsung sibuk berdandan ketika Ibu mengajaknya pergi ke toko. Hatinya girang sekali. Sambil bersiul-siul riang, dia memakai sepatu, kemeja, dan tak lupa jam tangan mungilnya. Tapi rambutnya tak mau disisir. Biar bisa kena angin dari jendela bis kota. Kan sayang kalau disisir, jadi mubazir pikirnya.

?Tapi sayang, bis yang ditumpangi Lupus itu penuh sesak. Jadinya tak bisa leluasa memilih tempat duduk di dekat jendela. Lupus menyesal, kenapa tadi tidak membawa jendela dari rumah saja, ya? Biar penuh kan bisa tetap dekat jendela. Bisa angin-anginan.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Lupus masih diliputi penyesalan. Tapi segera hilang ketika di depannya terlihat keramaian yang amat sangat. Ada anak kecil tujuh orang bergandengan tangan, ada penjual obat yang ribut menawarkan dagangannya, ada tukang rokok yang mondar-mandir ke sana kemari, atau puluhan kemeja yang tergantung, bergoyang-goyang ditiup angin. Ya, toko itu memang berada di pusat kota. Selain ada toko yang menjual kue-kue, ada juga yang menjual baju, celana, mobil-mobilan, motor-motoran, anak-anakan, ibu-ibuan, bapak-bapakan....

Ibu sambil menggandeng lengan Lupus, menuju toko yang menjual kue-kue. Tapi sebelumnya, Ibu sempat tertarik pada penjual jepit jemuran di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima itu adalah pedagang yang kakinya li... eh, dua. Tapi barang dagangannya cukup digelar begitu saja. Tanpa diselimuti. Kasihan ya, kan nanti bisa masuk angin. Kalau sudah masuk angin, baru deh si pedagang itu sibuk mengeroki barang dagangannya. Sebab walau bagaimanapun juga, barang dagangan yang sakit kan tak bisa dijual.

Nah, Ibu sekarang sedang tertarik dengan penjepit jemuran tersebut. Ibu berniat membeli beberapa buah, supaya kalau lagi menjemur pakaian, tidak perlu lagi bersibuk-sibuk-ria mengejar jemurannya. Sebab sering ada angin nakal yang bertiup kencang dan membawa terbang jemuran Ibu yang sudah kering. Pakaian memang biasa dijemur Ibu di lapangan bulu tangkis di samping rumah. Sehingga Lupus yang hobi main bulu tangkis, pernah dengan kesal berkata kepada temannya, si Pepno, "Kamu pikir, Pep, apa kegunaannya Bapak membangun lapangan bulu tangkis di halaman samping rumah?"

"Memangnya apa? Untuk main bulu tangkis, kan?"

"Bukan. Untuk Ibu menjemur kasur secara massal!"

Dan Ibu kalo membeli sesuatu tak pernah menawar. Cuma menyarankan agar barang itu dijual murah saja. Seperti dengan penjual jepit jemuran itu. Harganya seribu rupiah, tapi disarankan agar dijual tiga ratus saja. Penjualnya tak mau. Ibu pun tak mau juga. Tapi ketika disarankan lima ratus, baru ada kesepakatan. Kemudian Ibu pun membayar, setelah sebelumnya tak lupa mereka berjabatan tangan atas kesepakatan yang telah diambil.

Selanjutnya Ibu terburu-buru melanjutkan perjalanan, yaitu ke toko kue. Tapi ?apa yang terjadi? Ibu Lupus berpikir, sepertinya ada yang ketinggalan. Tapi apa, ya? Ibu kebingungan setengah mati. Seluruh isi tasnya diperiksa. Dompetnya ada, sapu tangan ada, sisir juga ada. Lalu di depan etalase kaca, Ibu berkaca. Diamati seluruh tubuhnya. Dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Semua komplet. Tak kurang suatu apa pun. Lantas, apa yang ketinggalan?

Seorang satpam yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Ibu, akhirnya datang menghampiri. "Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Apa Ibu kecurian?"

"Oh, selamat siang. Tidak-saya tidak kecurian. Tapi bisakah Bapak membantu saya?"

"Dengan senang hati, Bu. Nah, ada apa?"

"Saya mau tanya, Pak. Apakah ada sesuatu yang ketinggalan pada diri saya?" tanya Ibu.

Satpam itu jelas bengong. Ibu Lupus dongkol. Katanya mau membantu, masa ditanya begitu saja bengong?

Astaganaga! Ibu baru ingat. Ya, ampun, anakku. "Lupus! Lupus!" Ibu berteriak-teriak, berlari-lari. Tak peduli orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Ibu kembali ke tukang penjepit jemuran. Alhamdulillah, Lupus masih ad di situ. Ibu lupa, kalau ternyata dia itu pergi bersama anaknya tercinta. Gara-gara terlalu girang karena telah mendapat penjepit jemuran, jadi lupa menggandeng anaknya.

Ketika dilihat Lupus masih segar-bugar tak kurang suatu apa. Ibu langsung memeluknya. Menciumnya. Mirip film Indonesia. Tapi Lupus sendiri biasa-biasa saja. "Lupus cuma mau menguji, lebih berharga mana, penjepit jemuran atau Lupus," bisik Lupus pada Ibu.

Ibu tersenyum.

Tapi, ngomong-ngomong soal penjepit jemuran, Ibu jadi ingat kembali dengan penjepit jemurannya yang ditinggalnya di muka toko kue. Wah - jangan-jangan nanti hilang?

"Lupus, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Penjepit jemuran Ibu ketinggalan!" ujar Ibu sambil bergegas kembali ke toko kue, meninggalkan Lupus yang terbengong sendirian.

Lupus cuma nyengir. Ya, ternyata dua-duanya penting. Ibu juga nggak mau dong kehilangan penjepit jemurannya!

8. Ke Dokter

?PAGI itu Lupus kelihatan murung sekali. Wajahnya pucat. Ia jadi segan berangkat ke sekolah. Lupus merasa badannya panas, tapi juga dingin. Ya, kadang-kadang panas, kadang dingin. Matanya pun berkunang-kunang.

"Aduuh, kok tumben Ibu bikin rotinya banyak anget!" keluh Lupus ketika duduk di meja makan. Padahal saat itu di meja makan rotinya cuma ada satu. Tapi kelihatan banyak di mata Lupus.

Ibu Lupus melihat anaknya bengong kayak kuda ompong, jadi heran.

"Lupus, kenapa nggak dimakan rotinya? Cepat. Nanti kau telat ke sekolah."

Lupus yang sedang memandangi rotinya, kaget ditegur demikian.

"Lupus malas Bu."

"Heh! Disuruh makan aja kok nggak mau?"

?"Habis Ibu bikin rotinya banyak banget sih! "

"Banyak?" Ibunya kaget. Roti cuma satu biji dibilang banyak? Ibu baru sadar kalau ternyata anaknya tuh lagi nggak beres, setelah ia menempelkan telapak tangannya ke jidat Lupus.

"Lupus, badan kamu panas, ya?"

Lupus mengangguk lemah.

"Kalau begitu hari ini tak usah masuk sekolah. Istirahat saja dulu."

"Wah... tapi Lupus hari ini ada janji sama Bu Guru."

"Janji apa?"

"Janji untuk membersihkan dinding yang Lupus coret-coret kemarin, Bu."

"Ah, itu kan bisa besok atau kapan...."

"Yaaa, Bu. Kalau tidak cepat-cepat dibersihkan, berarti Lupus tidak bisa cepat-cepat mencoret-coret dinding lagi dong, Bu...."

Ibunya mendelik. "Kamu kok nakal sekali, Pus!"

Lupus pun dituntun kembali masuk ke kamarnya. "Kalau kamu sudah sehat, kamu boleh membersihkan dinding yang kamu coret-coret. Tapi sekarang kamu tidur saja. Nanti sore kita ke dokter."

Lupus yang lagi membuka kembali seragam sekolahnya, agak kaget.

"Eh, apa? Ke dokter?" Lupus ini memang paling takut sama dokter Tak cuma ngeri sama suntikannya saja, tapi dengan dokternya sendiri yang selalu memakai baju putih-putih. Ih... kayak setan, pikir Lupus.

Bagi Lupus daripada ke dokter lebih baik tak usah sakit saja.

"Tak usah ke dokter ya, Bu. Sebentar juga sembuh kok!" Lupus memohon pada ibunya sambil meriang-riangkan wajahnya. Kemudian tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Tapi tak lama dia kecapekan. Mukanya kembali pucat.

"Sudahlah. Kamu itu sedang sakit. Nggak usah pura-pura sehat."

"Iya deh," Lupus mengangguk lemah. "Tapi jangan ke dokter ya, Bu?"

"Kamu mau sehat nggak?"

"Tapi cari dokter yang tidak punya alat suntik ya, bu?"

***

?Orang sakit memang tak enak. Tak bisa sekolah, tak bisa ketawa-ketawa, tak bisa makan enak, dan yang lebih tak enak lagi, harus berurusan segala dengan dokter.

Seperti Lupus sekarang ini. Seharian kerjanya cuma tidur. Tapi ya nggak bisa pulas. ?Habis badan rasanya enggak enak banget. Padahal di meja kecil tempat dia berbaring, terhidang buah-buahan segar. Jeruk, mangga, pepaya, apel, buni, gohok, jamblang. .. pokoknya komplet deh. Tapi Lupus tak bernafsu menjamahnya. Lidah jadi kurang berfungsi. .Makan pepaya terasa asam, makan asam terasa pepaya.

Ibu Lupus jadi kasihan juga melihat anaknya yang biasa lincah penuh gairah, kini terbaring lesu tak bernafsu. Ibu pun mengompres jidat Lupus agar panasnya turun.

Lupus kalau sakit memang cukup merepotkan. Ibunya selain sibuk mengompres, juga sering mengganti celana Lupus lantaran sudah empat kali ngompol. Tapi biar begitu, Lupus masih bisa bercanda. Ketika ibunya mau mengganti kompresannya, dan membuka selimut yang menutupi sekujur tubuh Lupus, ternyata Lupus-nya tak ada. Sudah diganti dengan bantal-guling. Terang saja ibu Lupus mengomel setengah mati. Sedang Lupus-nya sendiri asyik bersembunyi di kolong tempat tidur. Dan baru keluar ketika sudah diancam bakal dipanggilkan dokter bedah khusus buat anak -anak nakal.

***

?Sorenya Lupus diantar ke dokter. Sebelum berangkat Lupus berdoa habis-habisan biar dokternya juga sakit, agar tak bisa nyuntik. Atau dokternya nggak masuk lantaran rumahnya kebanjiran.

Tapi sayang, doa Lupus tak terkabul. Sebab dokternya masuk dan tidak sakit. Sehat wal'afiat, malah. Itu Lupus ketahui ketika sampai di tempat praktek, di pintunya tertulis: Dokter ada (Dan Enggak ke Mana-mana).

Di ruang tunggu pun sudah banyak orang menunggu. Setiap pasien nantinya akan dipanggil satu-satu menghadap dokter, menurut nomor urut. Nomor itu bisa diambil sebelumnya di loket depan Lupus, karena baru datang, kebagian nomor besar. Jadi agak lama. Dan ini kesempatan baik bagi Lupus untuk memperpanjang doanya. Kali-kali aja terkabul... hihihi.

Setelah menunggu cukup lama, seorang suster cantik tiba-tiba memanggil nomor Lupus. "Nomor 32!"

Belum ada sahutan. Ibu Lupus memang lagi ketiduran, kecapekan menunggu terlalu lama.

"Halo, nomor 32!"

"Eh, tidak ada!" tiba-tiba Lupus menyahut.

?"Eh, apa? Apa? 32? Ada, ada!" ibu Lupus sempat terjaga. "Lupus, kamu apa-apaan sih, kok bilang tidak ada!"

Ibu Lupus bergegas bangkit dan kursi.

"Ada. Ada, Suster...," sergah ibu Lupus. "Ini, ini dia nomornya, Suster."

"Ya, silakan masuk, Bu. Anaknya dibawa sekalian, takut nanti ngerusak."

"Yang sakit memang? anak saya kok, Suster..."

Lupus yang sejak tadi sudah mengkerut, kini makin merengut. Ia tak suka kalau dikira bakalan merusak ruang tunggu ini. Orang cuma merobek-robek kursi tunggu aja kok dibilang merusak. Huh!

Di dalam ruang praktek, Lupus berbisik, "Bu, jangan lupa pesankan ke dokter, tak usah disuntik, ya?"

Dokter tersenyum-senyum saja melihat tingkah Lupus yang ketakutan. Dengan sikap kebapakan, dokter itu lalu mengusap kepala Lupus.

"Sakit apa, Nak?"

"Oh, tidak. Saya tidak sakit, kok!" jawab Lupus.

"Lho, badanmu ini panas."

"Ya. Ini karena sepanjang pagi ini saya duduk dekat kompor. Ditambah seharian tadi, saya bermain bola di tanah lapang. Badan saya jadi panas. Tapi sebentar lagi akan adem. Percaya deh, Pak Dokter..."

Belum sempat pak dokter itu berkomentar, Lupus sudah menyambar lagi. "Lho, tangan Dokter juga panas kok," Lupus memegangi lengan Pak Dokter. "Wah, ini dia panas penyakit. Boleh saya periksa, Dokter?"

Dokter tersenyum. Tapi terus terang, dia kewalahan juga menghadapi anak kecil ini.

"Menurut saya, Dokter sakit dan harus disuntik," kata Lupus sambil menatap Pak Dokter dengan serius.

"Sa. . saya takut disuntik, Dokter Kecil. Lagi pula kalau hanya sakit panas tidak perlu disuntik," ujar Pak Dokter pura-pura merasa sakit dan takut disuntik.

"Jadi kalau sakit panas tak perlu disuntik, ya?" tanya Lupus.

"Tidak, Dokter Kecil."

"Kalau begitu, sekarang gantian Bapak Dokter yang memeriksa saya. Dan ingat, jangan disuntik, ya?"

Dokter tersenyum. Kemudian dia memeriksa badan Lupus dengan stetoskop. "Tarik napasmu, Nak"

"Ini apa namanya, Pak Dokter?"

"Ini stetoskop, untuk memeriksa badan."

?"'Enak, ya, Pak Dokter. Bagaimana kalau sekarang gantian, Pak Dokter?"

Dokter bengong. Dan dia mesti rela melepas bajunya untuk diperiksa Lupus.

9. Seekor Burung Kutilang

?SECARA kebetulan sekali Lupus menemukannya di dekat tong sampah depan. Seekor burung kecil yang sayapnya terluka. Menggelepar-gelepar ketakutan. Saat itu Lupus baru pulang dari sekolahnya, dan matahari sedang tinggi-tingginya.

Lupus, dengan rasa kasih sayang, memungutnya. Dan mendekapnya dalam pelukan. Seolah berusaha melindungi burung itu dari sengatan matahari yang terik. Burung kecil yang tadi ketakutan, kini seperti menemukan kenyamanan dalam dekapan Lupus. Kepalanya dirapatkan ke dada Lupus, dan matanya terpejam pelan-pelan. Ada sesekali rasa pedih mengganggu kedamaiannya, karena luka di sayap.

Lupus menyentuhnya perlahan. Burung itu tersentak. Lalu seolah manja, ia menarik dan merapatkan sayapnya ke tubuhnya.

"Sakit, ya?" ujar Lupus perlahan.

?Burung kecil itu tentu tak menjawab. Dan Lupus melihat ada luka yang agak lebar di sayapnya. Darah yang mulai mengental, membercak di sekitar sayap.

Burung siapa ini? Apa barangkali tersesat setelah terbang jauh? Dan kenapa sayapnya terluka?

Wah-mungkin ada kucing nakal yang menyergapnya diam-diam kala ia sedang beristirahat sejenak di dahan yang rendah. Yah, kucing-kucing memang suka jahat. Lupus pernah melihat kucing yang nakal. Yang menyergap seekor burung gereja yang sedang asyik mencari makan di rumput.

Kucing itu nakal.

Setelah menggigit sayap si burung, lalu ditinggalkan begitu saja. Mungkin kucing itu cuma merasa iseng, tidak benar-benar berniat memangsanya. Mungkin si pemilik kucing sudah memberi makan yang cukup buat si kucing, hingga si kucing merasa kenyang. Tapi kenapa lantas si kucing menyerang burung yang sedang mencari makan?

Soalnya, tak ada yang memberi makan burung yang tiap pagi berkeliaran. Burung-burung kecil mencari makannya sendiri.

Sambil merasa kesal memikirkan kucing nakal yang menerkam burung kecil, Lupus pun memasuki pekarangan rumahnya. Menutup pintu pagar dengan kakinya, dan langsung menuju ke belakang. Mencari obat merah dan perban.

Lulu yang asyik menjilati es krim, membuntuti. Ingin tahu.

"Apa tuh, Kak?"

Dengan hati-hati Lupus menunjukkan burung kecil penemuannya kepada Lulu.

"Ih, lucunya. rapi kok beldalah ?"

"Digigit kucing, kali," ujar Lupus seraya membawa obat merah dan perban dari kotak obat. Lalu dengan hati-hati, dibersihkannya luka burung kecil itu. Ya, di sekolah, sedikit-sedikit Lupus pernah diajari cara membersihkan luka. Dia kan ikut dokter kecil sekolah.

"Mau ets klim, Kak?"

Lupus memandang ke arah Lulu sejenak. Bibir dan pipi Lulu belepotan es krim. Nampaknya enak sekali siang-siang begini makan es krim. Ah, tapi Lupus lagi sibuk mengobati burung kecilnya.

"Kalo mau, di kulkats masih banyak kok."

Lupus mengangguk-angguk. "Nanti aja, Lu. Lagi ngobatin burung."

"Burung juga dikacih, Kak. Mungkin dia hauts. "

Lupus diam sejenak. Eh, apa burung juga suka es krim? Ah, rasanya tidak. Tapi Lulu benar, mungkin burung ini haus. Mungkin juga lapar. Apa ya, makanannya?

Lupus berpikir keras. Dia memang kurang begitu paham soal burung. Di rumahnya tidak ada burung. Tapi Lupus dapat akal. Di kotak kuenya masih ada roti. Mungkin ia mau.

Lupus pun mengambil kotak kuenya dari dalam tas. Lalu memotongnya menjadi serpihan-serpihan kecil. Setelah itu, langsung diberikan kepada burung kecilnya. Tapi... ah, burung itu rupanya tak mau. Ia bahkan tak menyentuhnya. Lupus bingung.

"Kak, kalo cudah cembuh, bulungnya buat Lulu, ya? Kita bikinin kandang yang baguts..."

Lupus menggeleng. "Jangan, Lu. Kasihan. Mungkin burung ini lagi tersesat. Mungkin burung ini lagi mencari ibunya yang hilang. Jadi jangan ditahan di sini. Kalo sayapnya sudah sembuh, dan dia sudah bisa terbang lagi, kita lepas aja."

Lulu mengangguk. Tanpa sadar es krim mencair dan menetes satu-satu ke lantai. Ke dekat burung kecil yang dibaringkan Lupus.

Burung itu bergerak-gerak sedikit, lalu mematuk tetesan es krim yang jatuh.

"Holeee... Kak. Bulungnya suka et?s klim..."

Wajah Lupus berseri-seri.

? "Cepat ambil es krim Kakak di kulkas, Lu. Biar buat burung kecil ini aja...."

Dan Lulu pun bergegas pergi mengambil es krim di kulkas.

***

?Sore hari, Lupus masih asyik berkutet dengan burung, kecilnya. Lupus sedih, ternyata burung itu tak mau makan. Es krim pun cuma sedikit. Burung itu kelihatan makin lemah. Makin tampak lesu. Jarang bergerak- gerak . .

Kata Bapak, ini namanya burung kutilang. Dan Bapak pun tadi sudah membelikan makanannya. Tapi nampaknya burung ini kurang nafsu makan. Mungkin ia masih merasa kesakitan, meskipun sayapnya sudah diobati. Mungkin lukanya makin terasa sakit.

Dan ketika hari mulai malam, Lupus harus membuat pekerjaan rumahnya. Maka ia pun membawa burung kecil itu ke kamarnya. Dibaringkan di atas sehelai kain halus. Lupus sengaja menolak waktu ditawari Bapak sebuah kandang bekas burung puter milik Bapak yang telah mati beberapa bulan yang lalu. Lupus bilang, kasihan kalau burung itu harus dikurung. Dia akan merasa semakin sedih. Lupus ingin, ketika burung itu sudah merasa kuat untuk terbang, maka dengan bebas burung itu langsung terbang. Tidak harus dikurung dahulu.

Bapak memuji niat baik Lupus.

Tak lama, karena kelelahan, Lupus pun tertidur. Tertidur di kamarnya sendiri. Ini memang untuk pertama kalinya, sejak ia punya kamar baru. Biasanya ia selalu ikutan tidur di ranjangnya Lulu. Tapi kini, karena merasa kasihan dengan burung kecilnya, ia pun menemani.

Dalam tidur, Lupus mimpi indah sekali. Ia mimpi burung kecilnya membangunkan dia, dan mengajaknya terbang melintasi malam. Lupus tentu gembira sekali. Karena tiba-tiba saja ia jadi seperti burung, bisa terbang bebas di angkasa. Tangan-tangan kecilnya ia gerak-gerakkan seperti burung kecil menggerakkan sayapnya. Lupus dan burung kecil, terbang berkejar-kejaran. Burung kecil itu ternyata sangat berterima kasih, karena Lupus sudah berbaik hati mengobati sayapnya. Maka ia pun mengajak Lupus terbang.

Lupus gembira sekali. Ia teringat cerita Peter Pan yang sering ia baca. Bersama-sama burung kecilnya, ia melintasi angkasa yang indah. Yang ditaburi bintang-bintang, dan awan tipis yang lembut. Sementara di bawah sana nampak lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Udara dingin malam tak terasa. Yang terasa hanya kehangatan karena luapan rasa gembira Lupus.

Ya, Lupus benar-benar gembira. Terbang ke sana kemari.

Tapi kegembiraan itu tak lama. Karena tiba-tiba si burung kecil terbang cepat sekali meninggalkan dirinya. Lupus berusaha berteriak memanggil, tapi tak didengar. Burung itu pergi, menembus kegelapan malam.

Pada jarak tertentu, burung kecil itu menoleh ke arah Lupus. Seolah mengucapkan selamat tinggal. Lalu menghilang di kegelapan malam. Tidak kembali lagi.

Lupus masih berteriak memanggil. Ia merasa ketakutan di tinggal sendirian di alam yang begini luas.

Sampai ia membuka mata dan mendapatkan dirinya di dalam kamar. Hari sudah pagi. Ia baru terjaga dari mimpi. Secepat kilat, setelah sadar apa yang terjadi, Lupus bergegas menuju ke tempat burung kutilang kecil yang ia baringkan dekat lampu meja. Dan ia mendapatkan kutilangnya kaku tak bergerak.

Kutilang kecil telah mati....

***

?Lupus masih sedih ketika siang hari Pepno dan Dicky menemani bermain. Lupus masih teringat kutilang kecilnya yang mati.

"Burung itu sangat bagus, Pep," cerita Lupus sedih. "Saya nemu di dekat tong sampah. Sayapnya terluka."

"Namanya apa?"

"Kata Bapak, burung kutilang...."

"Kutilang? Hahaha... itu banyak yang jual, Pus. Ayo kita ke pasar depan, di sana banyak burung kutilang. Nanti aku belikan," ujar Pepno.

Dengan bersepeda, Pepno, Dicky, dan Lupus menuju pasar . Ya, ternyata di sana banyak dijual burung kutilang. Ada yang besar, ada yang kecil.

Tapi, meski ternyata burung kutilang banyak yang jual, meski Pepno bisa membelinya sepuluh ekor, Lupus masih tetap teringat kutilang kecil yang ia temukan di tong sampah. Kata Pepno, mungkin kutilang kecil itu sengaja dibuang penjualnya karena luka dan tak laku dijual. Mungkin memang tidak ada yang menginginkannya lagi. Tapi meski begitu Lupus tetap bangga. Karena telah menolong kutilang kecil yang terluka. Walau ternyata kemudian kutilang itu mati, kata Bapak tidak jadi soal. Yang penting Lupus sudah berbuat baik. Sudah berusaha menolongnya. Pada akhirnya, kata Bapak lagi, burung itu hidup atau mati, bukan menjadi soal. Yang penting, usaha dan niat kita untuk berbuat kebaikan.

Lupus, Pepno, Dicky, atau kalian semua mungkin tidak begitu paham apa yang dikatakan oleh bapak Lupus itu. Tapi suatu saat, setelah kalian besar, kalian pasti akan mengerti.

Dan malam berikutnya, Lupus kembali bermimpi terbang bersama burung kutilang kecilnya. Terbang menembus awan....

10. Selamat Tidur

?HARI telah ?senja. Matahari berkilauan indah. Udara pun bertiup segar. Sangat sayang jika dilewatkan be?itu saja. Maka ketika Lupus baru terjaga dari tidur siangnya, dia langsung berniat jalan-jalan ke lapangan bola dengan sepedanya. Di sana pasti ramai dengan anak-anak yang bermain.

Pasti banyak tukang jualannya.

Setelah bergegas mandi sore, Lupus pun segera mengeluarkan sepeda mungilnya dari garasi mobil. Pelan-pelan, soalnya takut...

"Kak, mau ke mana? Ikut dooong...."

Nah, itu dia yang Lupus takutkan. Si Lulu kalau Lupus bersepeda, pasti mau ikut.

"Aduh, jangan ikut, Lu. Lupus mau bersepeda jauuuh sekali. Ke hutan seberang kampung. "

" Aaaa... ikut!"

"Jangan, Lu. Nanti kalau tersesat bagaimana? Terus nggak bisa pulang, trus diculik nenek sihir, trus dikurung seperti burung untuk disembelih setelah kamu gemuk...."

" Aaaa. . . "

"Makanya, jangan ikut."

"Ikut!!!" jerit Lulu

"Jangan!!!" bentak Lupus. "Nanti kamu diculik nenek sihir."

"Lupus!!!" tiba-tiba Ibu muncul di ambang pintu. "Kamu nggak boleh nakut-nakutin adik kamu secara nggak bener, ya? Kamu mau nanti adik kamu jadi penakut? Dan kamu juga nggak boleh memarahi apalagi membentak-bentak adikmu. Nanti dia juga akan menjadi penakut. Pokoknya kalau adikmu nakal sedikit, kamu harus sabar. Harus bisa menahan diri. Kan Lulu masih kelas nol, jadi kamu harus ngalah. Ayo, ajak adikmu bersepeda."

Lupus menunduk. "Iya, Bu."

"Nah, Lulu. Itu kakakmu sudah mau mengajakmu. Ayo, bermain-mainlah sebentar. Jangan berkelahi lagi. O ya, itu spidolnya disimpan dulu...."

Lulu memandang spidol yang ia genggam, bekas mencoret-coret buku gambarnya. "Ini cepidol Ibu, kan?"

Ibunya mengerutkan dahi. "Apa? Cepidol Ibu...?" Ibu pun meneliti spidol yang digenggam Lulu. Kemudian.. . "Aduh! Ya, ampun, Lulu. itu lipstik Ibu, bukan spidol, ?Sayaaaaaang!! ! Ayo, kembalikan ke tempatnya!" ujar Ibu geram.

Lupus tertawa terpingkal-pingkal. "Bu... Bu... jangan membentak-bentak Lulu, Bu. Lulu kan masih kecil... hihihi."

***

?"Aduh, ban sepedaku kempes, Pus," ujar Pepno, ketika Lupus menjemput.

"Yaaa, gimana, ya? Saya nggak bisa ngeboncengin kamu lagi. Soalnya sudah ada Lulu."

Pepno pun berpikir-pikir lagi.

Tiba-tiba Lupus punya akal. "Pep, katanya kakakmu kalau latihan karate suka bawa-bawa ban. Kamu pinjam aja...."

"Hus, ngaco. Bukan ban begituan, Pus. Atau kita jemput Uwi aja, yuk? Siapa tau dia mau memboncengkan saya?"

"Ayuk."

Mereka pun menuju ke rumah Uwi.

Untung Uwi-nya ada di rumah. Untung sepedanya juga ada boncengannya. Maka mereka berempat pun langsung bersepeda-ria menuju lapangan bola. Lupus membonceng Lulu, Pepno membonceng Uwi. Mereka main balap-balapan. Tinggal Lulu dan Uwi yang menjerit-jerit ketakutan.

?Suasana dekat lapangan bola nampak ramai. Banyak anak-anak yang bermain kejar-kejaran. Sementara di sepanjang tepi lapangan, tukang-tukang jualan sibuk melayani anak-anak yang jajan.

Lupus, Pepno, dan Uwi sudah ada di antara mereka. Riang bermain sepeda. Lulu ikut di boncengan belakang. Mendekap erat punggung Lupus. Ya, dia kan takut jatuh. Soalnya Lupus suka ngebut. Padahal Lulu sudah sering mengancam, k?alau Lupus ngebut-ngebut lagi, Lulu tak mau membantu menggenjot sepeda.

?Lupus berhenti di depan tukang siomai. Hihihi, abang penjualnya lucu. Mukanya bulat dan memakai topi dari tikar.

"Bang, satunya berapa?" tanya Lupus.

"Gocap, Dik!"

"Sudah pake bumbu?"

"Kalo bumbunya sih gratis."

"Kalo gitu minta bumbunya deh...."

Abang sio Ini bengong. Pepno ketawa cekikikan.

?Sementara Lulu mulai turun dari boncengan, dan berlarian ke tengah lapangan. Di tengah lapangan sedang ada permainan asyik. Perang kuda-kudaan. Anak-anak yang bertubuh besar, menggendong anak lainnya di punggung, dan mereka saling menjatuhkan lawan. Barang siapa yang terjatuh dari tunggangannya, dinyatakan kalah.

Uh, seru. Lulu sampai tegang menontonnya. Kadang-kadang tertawa geli jika melihat pasangan anak yang terpaksa harus jatuh tersungkur.

Karena seru, Lupus, Pepno, dan Uwi pun ikutan nonton. Duduk bersila sambil ribut-ribut di belakang Lulu.

"Kuda apa yang nggak bisa dinaikin, Lu?" tanya Lupus pada Lulu.

Lulu yang asyik nonton, berpikir sebentar.

?"Kuda catu!!"

"Salah dong."

"Abis, kuda apa?"

"Tebak dulu...."

"Kuda... ah, nggak bica, ah!"

"Kuda yang nggak bisa dinaikin kuda bisul. Hihihi...."

Lulu mencibir sambil menahan senyum.

Uwi yang dari tadi mendengarkan, ikut-ikutan ambil suara. "Sekarang gantian kamu, Pus. Coba tebak. Bendanya kecil, tapi bisa melindungi benda yang besar."

"Pisau lipat!"

"Salah, Pus."

"Pacul! "

"Salah juga."

"Apaan, dong?"

"Kunci," ujar Uwi penuh kemenangan.

Lupus nampak nggak rela. Nggak puas. Dia pun berusaha mencari tebak-tebakan lagi. Memang kalau anak -anak ini sudah saling bertemu, mereka selalu saling berlomba main tebak-tebakan. Tinggal Lulu yang asyik mendengarkan.

"Nah, saya juga punya, Wi. Bendanya kecil, tapi bisa merepotkan orang serumah sakit.... "

"Eeh, apaan tuh?"

"Duit gocapan yang ketelen anak kecil. ?Hihihi.... "

"Ah, bisa aja."

Bosan main tebak-tebakan, mereka pun melanjutkan bersepeda. Bersepeda di suasana senja begini memang menyenangkan. Selain badan menjadi sehat, bisa memperluas pergaulan. Buktinya, sore ini Lupus sempat berkenalan dengan beberapa anak dari kampung seberang.

Tapi karena hari telah mulai gelap, mereka pun cepat-cepat pulang.

Sampai di rumah, Lupus menemui ibunya yang asyik mengisi TTS. Biasa, tiap sore, Ibu suka asyik dengan kegiatannya sendiri. Tapi kali ini ternyata Ibu mendapat kesulitan dengan TTS-nya. Mau tau, apa pertanyaan yang. bikin Ibu pusing? Yaitu, berapa luas papan catur?

"Bu, kalau bahasa Arab-nya saya suka catur, Lupus tau. Luas papannya sih, emang susah. Mau tau kan, Bu? Dengar, ya. Bahasa Arabnya saya suka catur adalah: Anatoli Karpov. Hihihi...."

Ibunya tersenyum sambil meletakkan TIS-nya. Yah, lebih baik menyiapkan makan malam daripada terus berkutet dengan TTS itu.

Lupus pun segera mencari minum di kulkas. Rasanya haus setelah bersepeda sepanjang sore. Sedang Lulu kembali asyik bermain boneka.

"Ayo, kalian pada mandi dulu!" ujar Ibu sambil menyiapkan makan.

"Lho, kan sudah waktu mau main sepeda tadi?" ujar Lupus.

"Oh ya. Kalian tidak usah mandi lagi kalau begitu. "

***

Dan hari telah malam. Bapak mulai tampak mengantuk di kursinya. Koran terbitan sore yang habis dia baca, menutupi hampir separuh wajahnya. Ibu pun mulai menguap lebar-lebar. Makan malam telah selesai dari tadi. Sedang Lulu tertidur pulas di dekat kaki Ibu. Beralaskan karpet dan bantal.

Lupus baru saja menamatkan buku ceritanya yang seru. Tentang anak kecil yang sangat pemberani. Yang tinggal sendirian di gua. Orang tuanya konon dikabarkan meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang. Sedang anak kecil itu di asuh oleh seekor macan kumbang.

Oh, cerita yang seru. Dan betapa inginnya Lupus menjadi anak yang pemberani seperti tokoh dalam cerita yang baru ia baca.

Untuk menjadi berani, harus dilatih dari yang kecil-kecil dulu. Yaitu, tidur sendirian di kamar. Apa Lupus sudah berani untuk itu?

Harus. Lupus harus berani, tekadnya. Anak kecil dalam cerita itu berani tinggal sendirian di gua, masa Lupus tidak berani kalau hanya tinggal sendirian di kamar?

Maka ketika Bapak terbangun, dan menyuruh semua pindah ke kamar, Lupus pun memberanikan diri tidur di kamarnya. Bapak sempat heran, tapi ditahan. Ya, kalau memang Lupus sudah berani tidur sendiri, itu bagus.

Dan Lupus pun masuk ke kamarnya. Pertama ada rasa tegang. Tapi lama-lama, setelah berdoa kepada Tuhan, ia mulai tenang. Yah, sebetulnya yang membuat kita takut adalah diri kita sendiri. Hati kita sendiri. Kalau hati kita tidak membayangkan hal-hal yang menakutkan, maka kita tak akan takut. Seperti Lupus. Malam ini dia membayangkan dirinya seorang anak kecil yang pemberani. Seperti tokoh dalam cerita yang baru ia baca. Maka ia pun berani tidur sendirian. Hatinya pun jadi berani.

Dan ia pun bisa tidur dengan tenang. Selamat tidur, Lupus, selamat menempati kamar yang baru. Dan, bagaimana dengan kalian? Apa kalian juga berani tidur sendirian?

Posting Komentar

Tampilkan Emoticon